feminisme vs neoliberalisme

Dari Perbincangan Feminisme VS Neoliberalisme

Oleh: Khalisah Khalid


Feminisme dan neoliberalisme adalah dua faham atau isme yang antara satu dan lainnya sangat bertolak belakang, tapi keduanya diyakini mampu mempengaruhi kehidupan manusia terlepas apakah dari kedua faham atau ajaran tersebut membawa manfaat atau mudharat baik untuk segelintir orang didunia ini yang menikmati neoliberalisme maupun kebanyakan orang di dunia ini yang mayoritas adalah manusia yang berada di negara-negara berkembang dan negara miskin.

Neoliberalisme dengan jargonnya globalisasi menebarkan banyak sekali mitos yang mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan datang, jika tidak hari ini, besok atau lusa tapi yang pasti kerana globalisasi adalah keniscayaan maka seolah-olah atau seakan-akan dia adalah keharusan yang mau tidak mau, suka atau tidak suka pasti akan menjadi jargon dan kemudian perlahan-lahan namun pasti akan merasuk kedalam seluruh sendi-sendi kehidupan manusia baik disadari atau tidak (seperti darah yang mengalir dalam kehidupan kita), selain itu mitos keseragaman yang juga telah menghancurkan sendi-sendi bahkan kekhasan pada sebuah komunitas.

Globalisasi sebagai jargon yang telah dihembuskan oleh neoliberalisme paling tidak telah menggunakan perangkat-perangkat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir negara-negara maju yang konon katanya “sudah” mengalami masa “tradisional” sehingga saat ini sudah harus bergerak pada arus yang mengglobal dengan cara menggenggam dunia dengan hukum pasar dan dikarenakan globalisasi dimainkan oleh kekuatan pemilik modal hingga untuk masuk kedalam satu negara, tidak segan-segan mengebiri kekuatan negara lewat perusahaan trans nasional corporates (TNc’s) dan Multinasional Corporates (MNcs). Lewat agenda privatisasi, kekuatan negara perlahan telah diambil alih oleh kekuatan kapitalis.

Serangkaian dengan hal itu, neo liberalisme telah menancapkan kekuatannya lewat infra struktur yang luar biasa dahsyatnya, globalisasi sudah masuk pada tatanan isu good governance, mainstraim keadilan gender bahkan pada mainstraim kemiskinan yang dislurkan dalam agenda dana UKM. Globalisasi laksana gurita yang siap menghisap dan meremukkan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Disadari bahwa kekuatan neo liberalisme telah mengancam kehidupan mayoritas manusia di dunia, perlu kekuatan-kekuatan yang dibangun untuk menghadapi kekuatan “isme” tersebut dengan isme lain yang juga diyakini mampu melakukan perlawanan-perlawanan terhadap “isme” lain (neo liberalisme).

Feminisme adalah salah satu dari sebuah faham yang lahir dan disuarakan oleh perempuan atas kondisi ketidakadilan, kemiskinan dan marginalisasi pada perempuan yang diakibatkan oleh sebuah system patriarki yang melanggengkan penindasan. Meskipun demikian feminisme tidak secara sempit melihat struktur penindasan, karenanya feminisme berpihak pada mereka yang dilemahkan, dimarginalkan, dinomorduakan oleh sebuah system yang bernama kultur dan budaya. Singkatnya feminisme sangat jauh dengan penilaian laki-laki dan perempuan (Seksisme).

Apapun aliran yang disuarakan oleh feminis (perempuan dan laki-laki) seperti feminisme liberal, radikal, marxis, anarkis sampai eco feminis, yang terpenting dan harus digarisbawahi adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai feminisme yakni anti dikotomi (antara private dan publik), anti keseragaman karena dasarnya adalah pluralitas dan sangat menghargai keberagaman, anti dikotomi (antara rasionalitas dan perasaan) dan prinsip yang terpenting melawan segala bentuk penindasan dan kekerasan.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menjadi irisan antara neoliberalisme dan feminsme sehingga jika ditarik garis dia sangat berlawanan (neo liberalisme VS feminisme). Selama ini dalam isu perlawanan terhadap neoliberalisme yang disuarakan oleh orang-orang kebanyakan, isu perempuan sebagai (kaum yang dinomorduakan) hanya menjadi isu tempelan saja. Dia hanya dilihat sebagai sebuah dampak dari sekian parahnya dampak yang diarasakan akibat dari neoliberalisme. Padahal, kalau kita mau melihatnya secara lebih jelas, ada persoalan-persoalan yang sangat substansi dari akar permasalahan neo liberalisme terhadap perempuan.

Neolib jika kita nilai ternyata merupakan rezim patriarki baru yang antara lain warnanya dapat dilihat pada proses dimana neolib secara structural telah membawa kehancuran secara massif sehingga kerap kali neolib mematikan “kekhasan” (kekuasaan personality) pada perempuan misalnya kemampuan perempuan untuk menenun, meracik makanan bahkan sampai pola pertanian yang digunakan oleh perempuan, selain itu neolib ternyata berkontribusi besar terhadap pelanggengan pekerjaan berdasarkan seksual. Ini dapat dilihat dari beban pekerjaan perempuan (memasak, mengasuh anak dan pekerjaan rumah lainnya) dialihkan oleh perempuan dinegara-negara maju kepada perempuan-perempuan di negara miskin dengan mengimport TKW dengan harga yang sangat murah dan bahkan sering kali tidak manusiawi.

Globalisasi secara sistemik telah menghancurkan kehidupan perempuan sebagai kelas yang telah ditindas oleh system dan struktur social semakin bertambah terpinggirkan, globalisasi secara terorganisir telah melanggengkan penindasan, hegemoni , kekerasan terhadap perempuan. Untuk konteks lingkungan hidup, hancurnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing telah berdampak pada beban berlebih pada perempuan.

Sebagai sebuah faham anti penindasan, melihat akar persoalan neoliberalisme yang begitu refressif dan massif, feminisme mencoba menjawab dengan sebuah sikap perlawanan terhadap globalisasi. Feminisme bukan hanya sebuah sudut pandang (wacana) tapi feminisme juga merupakan sebuah ideology bagaimana cara bersikap, berprilaku untuk melawan hegemoni neoliberalisme. Karena selama ini kritik terhadap feminis adalah masih asyiknya para feminis tersebut “terjebak” dalam sebuah kehidupan konsumtif yang menghalalkan proses neoliberalisme terus masuk kedalam aliran darah manusia. Secara sadar maupun tidak, pola hidup yang dijalani oleh para “feminis” tersebut justru menenggelamkan mereka dalam sebuah kegamangan berideologi sebagaimana ideologi feminisme yang diyakininya.

Adapun strategi atau model perlawanan feminisme terhadap globalisasi memang bukanlah sebuah bentuk yang baku, karena prinsip dasar feminisme salah satunya adalah menghargai keberagaman, maka apapun model atau bentuk selama dia bertujuan mengikis penindasan terhadap kaum yang termarginalkan terutama perempuan, maka strategi itu adalah suatu keabsahan. Selain itu, strategi yang digunakan juga akan terus berdialektika dengan prularitas, apakah itu lewat pendidikan kritis, advokasi kebijakan, bahkan sampai aksi perlawanan yang militan, karena yang terpenting adalah strategi itu dirumuskan dan melibatkan kaum perempuan sebagai kaum yang memang secara struktur adalah kaum yang paling terpinggirkan dan semua yang dilakukan memang berbasis pada pengalaman perempuan.

1 comments:

espito said...

saya kira esensi Feminisme adalah "memanusiakan wanita" (baca: menghargai hak2 wanita sbg manusia, membebaskannya dari tirani dan hegemoni laki-laki/patriarki) dan bukan "me-lelaki-kan wanita" spt dalam pemikiran Feminis-radikal/posmo itu..

salam kenal..