Opini

Menyoal RUU PA dalam Agenda Pengelolaan Sumber Daya Alam

Oleh : Khalisah Khalid

Nasib RUU Pemerintahan Aceh yang saat ini sudah sampai pada pemerintah pusat, merupakan sebuah komitmen kedua belah pihak baik pemerintah RI maupun Gerakan Aceh Merdeka pasca MoU Perdamaian, untuk memberikan harapan baru bagi sebuah negeri yang telah mengalami sejarah konflik yang tak berkesudahan. Tentu saja kita semua berharap, agar gerbang perdamaian yang telah terbuka di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat menjadi tonggak baru sebuah kehidupan berbangsa.

Kita menyadari, bahwa selama ini kekayaan Aceh telah semakin menipis dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, harus menjadi tanggungan rakyat Aceh. Bukan hanya soal kedaulatan rakyat yang tercerabut, kemiskinan, ketertinggalan, dan banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia mewarnai ladang perusahaan-perusahaan besar. Realitas yang terjadi hampir 30 tahun ini, rakyat yang hidup di sekitar perusahaan pertambangan migas, 40-60% adalah penduduk miskin.

Sayangnya, harapan untuk mendapatkan kedaulatan Aceh sepenuhnya yang tertuang dalam pasal yang diusulkan rakyat Aceh, telah di”manipulasi” lewat pemangkasan pasal-pasal yan dianggap krusial yang diusulkan oleh rakyat Aceh, antara lain yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), kita masih berharap ruang-ruang untuk memberikan bacaan secara imparsial masih terbuka ditengah waktu yang tinggal sedikit lagi, sebelum ketuk palu dijatuhkan untuk mensahkan RUU Pemerintahan Aceh yang sangat dinantikan oleh rakyat Aceh khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya sebagai preseden baik untuk sebuah penyelesaian konflik.

RUU PA, Sebuah Kewenangan Pengelolaan SDA Aceh yang Dikebiri?

Ditengah banyaknya elemen masyarakat sipil yang mencoba mengawal proses berjalannya RUU PA dari daerah hingga ke pusat, hanya sedikit yang mencoba melihat RUU PA sebagai sebuah agenda besar bagi pengelolaan sumber daya alam dan upaya pelestarian lingkungan hidup di Aceh. Kekayaan alam Aceh yang melimpah ruah, hutan, tambang, pesisir laut, dan energi dan gas (hidrokarbon), seharusnya menjadi modal utama dalam sebuah kebijakan pengelolaan perekonomian rakyat Aceh, yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Aceh dan keberlanjutan hidup antar generasi didalamnya.

Didalam nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), disebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yan ada saat ini dan dimasa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

Saya mencoba mengajak kita semua untuk melihat kembali pasal-pasal dalam RUU PA, terutama mengenai beberapa pasal yang kita nilai terlalu berani untuk dipangkas oleh departemen dalam negeri karena akan berkibat buruk bagi kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang selama ini telah banyak mengeruk dan mengintervensi kedaulatan rakyat Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. Bab dan Pasal yang coba kita lihat saat ini adalah masalah perekonomian, dimana pengelolaan sumber daya alam (PSDA) menjadi bagian dalam laju perekonomian Aceh dalam bab XXIII yang terbagi dalam beberapa pasal dan mengatur tentang prinsip dasar perkonomian dan arah perekonomian Aceh serta pengelolaan sumber daya alam (PSDA), pesisir dan laut.


Pertama, kita melihat yang terpenting adalah soal kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya bahwa ada kesan pemerintah setengah hati memberikan hak pengelolaan perekonomian yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam kepada Aceh, padahal dalam MoU secara jelas menyebutkan bahwa prosentase perekonomian adalah sebesar 70% bagi Aceh. Harusnya dari sana pemerintah berpijak bahwa prosentase tersebut dapat terpenuhi, jika kewenangan Aceh diberikan secara penuh dalam mengelola sumber daya alamnya tanpa perlu membatasinya dengan peraturan dalam perundang-undangan lainnya sebagaimana yang diatur secara nasional, yang bersifat sektoral seperti undang-undang pertambangan, undang-undang Migas, undang-undang kehutanan dan lain-lain, yang justru akan menjadi benturan bagi pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya alamnya.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, seharusnya Aceh sebagai bagian dari kesatuan republik Indonesia menjadi penentu perekonomian nasional dan menjadi bagian dari perekonomian global dengan dibukanya kerjasama secara langsung dengan internasional. Pemangkasan kata perekonomian Aceh merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global menunjukkan bahwa ada ketakutan-ketakutan dari pemerintah terhadap otoritas yang akan dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk melakukan hubungan kerjasama dengan pihak luar, dan tidak perlu melalui pemerintah pusat.

Asumsi ketakutan yang muncul dari pemerintah ddasari atas sebuah kondisi yang tengah berlangsung bahwa hari ini, dengan kekayaan sumber daya alamnya, Aceh dari hasil minyak dan gasnya telah menyumbang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 10,6 Trilyun atau 43% setiap tahunnya. Asumsinya, jika itu langsung dilakukan oleh pemerintah aceh, praktis pemerintah pusat akan kehilangan penyokong dana terbesarnya. Dari sumbangan pendapatan yang sebesar itu, rakyat Aceh hanya mendapatkan alokasi dana dari pusat sebesar Rp. 153 miliar, tentu saja angka yang tidak berimbang dan tidak adil bagi rakyat Aceh selama ini.

Dalam pasal 130 tentang pengelolaan sumber daya alam yang berbunyi :”pemerintah aceh berwenang mengatur penyediaan, pengaturan, dan pengelolaan minyak bumi dan gas serta sumber daya alam lainnya di wilayah Aceh baik di darat maupun di laut teritorial perairan nusantara, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen”. Penegasan wewenang untuk penyediaan, pengaturan dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, lagi-lagi menyiratkan bahwa ada ketidakrelaan pemerintah terhadap Aceh. Padahal kita tahu bahwa sumber daya alam dari hidrokarbon (energi dan gas) sebagai sumber pendapatan utama Aceh dan sumber daya alam lainnya, banyak terdapat di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yakni sepanjang 12 Mil dari pulau terluar. Kita dapat melihat bahwa eksplorasi gas dan energi berada disepanjang lepas pantai ZEE, sumber daya alam minerba lainnya seperti emas, uranium atau galian c. Sumber-sumber kekayaan alam inilah yang kemudian didorong untuk menguatkan kewenangan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya.

Agenda mendesak (sebuah usulan) terhadap pengelolaan SDA

Idealnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa soal pengelolaan sumber daya alam yang masuk kedalam bab XXIII perekonomian, sangat rentan terhadap eksploitasi yang dilakukan secara beras-besaran tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi didalamnya. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam lainnya yang harus diatur secara tegas kedepannya adalah sektor kehutanan dengan melihat hutan dan kawasan hutan, Ini didasari atas kekhawatiran akan pengalaman paradigma pembangunan yang selama ini berorientasi ekonomi sentris. Untuk itu, beberapa agenda penting yang harus didesak antara lain:

  1. Sambil menunggu proses pembahasan dan pengesahan RUU PA yang saat ini sedang berlangsung, pemerintah harus melakukan moratorium terhadap pemberian ijin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan selama ini. Ini menjadi penting, agar kedepannya sumber daya alam di Aceh benar-benar dikelola oleh pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangannya. Terlebih ditahun ini, pejabat Gubernur Aceh mencanangkan bahwa tahun 2006 menjadi tahun investasi di Aceh.
  2. Dalam setiap ijin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam terutama sumber daya minerba, pemerintah segera menetapkan kewajiban untuk melakukan kebijakan mine closure sebagai sebuah kewajiban perusahaan atas sumber daya alam yang telah diambilnya, bukan hanya untuk mengembalikan/pemulihan lingkungan, tapi juga pemulihan kondisi sosial masyarakat, terutama bagi pemulihan bagi masyarakat korban pelanggaran HAM.
  3. Dalam pengelolaan sumber daya alam kedepan, hendaknya secara kelembagaan, ada lembaga tersendiri yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Aceh dan tidak bersifat sektoral. Kelembagaan ini bertanggungjawab secara penuh untuk mengkoordiasikan dan mengoptimalkan departemen-departemen terkait seperti departeman ESDM (energi dan sumber daya mineral), departemen kehutanan, departemen perkebunan, departemen perikanan dan kelautan.
  4. Dalam pengeloalaan sumber daya alam sebagai modal utama dari perekonomian daerah, hendaknya tetap mengacu pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek mitigasi bencana. Ini didasari atas sebuah pemikiran, bahwa kondisi Aceh sebagai daerah yang sangat rentan terhadap bencana, selain memang faktor kehancuran ekologis sebagai akibat dari maraknya eksploitasi sumber daya alam tanpa melihat daya dukung alam didalamnya.
  5. Pemerintah hendaknya juga berhati-hati atau meminimalisir penerimaan bantuan utang luar negeri, ini menjadi penting untuk menghindari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam demi kepentingan pembayaran utang luar negeri.

Kita berharap bahwa pengelolaan sumber daya alam (PSDA) bukan hanya menjadi konsesi politik bagi sekelompok elit, sehingga sejarah perlawanan untuk mendapatkan kesejahteraan bagi rakyat tak lagi berulang. Kita juga berharap, agar RUU PA tidak mengalami distorsi maknanya bagi kepentingan rakyat Aceh, terutama yang selama ini hak-haknya telah terabaikan oleh pemerintah pusat. Selagi palu belum diketuk, selagi masih banyak do’a dari rakyat yang memberikan amanah bagi wakil rakyat untuk melanjutkan komitmen bagi perdamaian di Aceh, akan sangat baik jika kita membuat keberanian politik untuk tidak menempatkan sumber daya alam hanya sebagai ladang eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata, melainkan juga untuk keberlajutan generasi Aceh kedepan. Serta memberikan ruang kemerdekaan sepenuhnya bagi Aceh untuk menangani pengelolaan sumber daya alam mulai dari perencanaan, pengurusan izin sampai proses monitoringnya.

0 comments: