aku baca lagi suratmu

Naya,

Kuharap kabarmu baik-baik

Minumlah obat dari dokter, agar sakitmu

Cepat berlalu

Hentikan mengkonsumsi mie rebus dan teh botol kesukaanmu,

yang selalu membuatmu sakit tak berdaya

Karena aku masih ingin menyaksikan

Tawa keceriaanmu

Di tengah-tengah orang kampung

Naya,

Pesawat kami sudah mendaratkan badannya di bandara narita

nampak juga teman dari beberapa Negara

Bekas jajahan Jepang

Ya ….. mungkin program studi ini

Politik balas budi Jepang

Terhadap Negara-negara

Jajahannya tempo dulu

Aku ingin membawamu serta

Jalan-jalan disini, di taman kota

Melihat inmemorial park, sejarah kelam

Jatuhnya bom di Hiroshima

Walaupun kau bilang sama seperti di taman masjid Istiqlal

Menyusuri kota dengan tramp yang sangat teratur

Atau naik bus way yang sangat menakjubkan

Bersih, nyaman dan tak ada anak-anak penjaja asongan

Karena anak-anak miskin disini sudah dijamin

Seluruh kehidupan dan biaya sekolahnya oleh pemerintah

Tidak seperti dinegara kita

Kau pasti suka melihatnya

Karena kau selalu takut melahirkan anak

Yang hanya akan menanggung utang haram

yang dilakukan pendahulunya

Naya sayang

Aku senang sekali melihatmu begitu semangat

Membantu orang-orang susah

Bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam tindakanmu

Kebeningan hati dan wajahmu

Seperti sejumput cahaya

Ditengah gelap gulitanya negeri antah berantah ini

Tanganmu yang begitu kecil

Selalu terulur untuk menolong orang-orang pa-pa

Naya

Tiba-tiba aku teringat wajah lembutmu

Aku ingin mengecup keningmu

Mengurangi sakitmu

Mendekap hangat tubuhmu yang mungil

Yang selalu menemaniku dimasa-masa sulit

aku rindu sekali mendengar suaramu

aku ingin bercerita banyak hal

yang terjadi disini, sampai kau terlelap dalam tidurmu

“seperti dongeng penghantar tidur”

begitu katamu, kalau aku sering bercerita

dari Maroko sampai Marauke

ah ….. aku sungguh rindu

Naya

Semoga kasih Tuhan yang Maha Sempurna

Memberikan kita karunia-Nya

Untuk menjalani hidup bersama

Amin …..

11 Mei 2006 (Jakarta)

Suatu hari dimana aku meminta pada Tuhan untuk membiarkan aku tidur panjang, dan tidak ingin terbangun lagi karena aku merasa tidak mampu membuka mataku untuk melihat dan melalui realitas hidup ini. Pilihan untuk kembali ke Aceh kuputuskan jam 00.00, ketika telah mencapai titik nadir sebuah keputusasaan yang tiba-tiba menghantamku laksana palu godam.

Aku tidak pernah mengerti dengan pilihan tempat ini, aku hanya mengiyakan tawaran sahabatku untuk mulai membangun ulang kehidupanku disana.

”Mari Naya, kita sudah harus check-in, nanti telat”. Segera aku melipat lagi surat, lewat media virtual yang selalu kau kirimkan pada sangperempuanmu. Kalau hari ini, takdir Tuhan tidak menghendaki kebersamaan kita didunia ini. Berjanjilah, kau akan membawaku pergi pada kehidupan lain yang kau yakini ada. Rainkarnasi, entahlah..….. Kau begitu percaya bahwa rainkarnasi niscaya keberadaannya.

Seperti kau dulu seakan pernah berjumpa denganku, dan kemudian Tuhan tiba-tiba saja mempertemukan kita, walaupun akhirnya kita harus kembali dipisahkan oleh sebuah realitas yang kadang kala tidak kita mengerti alurnya.

“Tuhan, aku berserah diri pada-Mu. Temani dan jaga kekasih hatiku dalam setiap tarikan nafasnya. Kuatkan aku dalam setiap langkah kakiku, diantara orang-orang miskin yang hari ini selalu tertindas”.

Perlahan dan pasti, pesawat yang kami tumpangi mulai tackoff, dan tiba-tiba saja semua alur hidup yang selama dua tahun kita lalui bersama, menampakkan dengan jelas harapan hidup yang tiba-tiba kandas dan aku tertinggal disini dalam jalan-jalan sepi yang harus kulalui sendiri. Aku betul-betul tidak menduga, tangan Tuhan menarikku untuk kembali ke negeri Nanggroe Aceh Darussalam dalam kondisi yang terbalik 180 derajat.

“Bangun Naya, sudah pagi”!!!. Ketukan pintu seperti membangunkan aku dalam percakapan panjang malam tadi. Ups, very nice. Secangkir kopi panas sudah cukup menggodaku untuk segera beranjak dari tempat tidur.

“Aku kangen YaN”, teramat kangen padamu. Kucoba yakinkan hati ini, dengan menyimpan kembali surat ini diantara tumpukan buku Das Capital yang pernah dihadiahkan seorang kawan kepadaku sewaktu aku mengunjunginya.

Hai …. Kau habis menangis non, matamu sembab begitu?? Tiba-tiba saja, andrea menghentakkan aku dengan pertanyaannya yang beruntun, seperti klakson labi-labi yang berjalan disepanjang Darussalam hingga Masjid Baiturrahman.

“Tidak, mungkin hanya kurang tidur. Semalam aku terpaksa harus menyelesaikan beberapa tulisanku yang sempat tertunda hingga satu tahun”. Aku mencoba menyembunyikan kegalauanku yang sempat menyergapku hingga tengah malam tadi.

“kamu yakin tidak ada masalah sayang?” yup, I’m oke. Jawabku singkat

“Ok, non. Aku tunggu diruang depan ya. Kau harus baca surat kabar hari ini”. Sembari menyodorkan surat kabar yang terbit hari ini

“lihat Naya, tulisanmu ada di opini koran lokal hari ini. Baru satu minggu disini, kau sudah nampak seperti pengamat NAD ini”. Kita bisa rayakan ini nanti malam dengan makan-makan enak ya. Ok, honey??”

“bisakah kakak carikan aku sebotol bir, aku butuh untuk menemani tidurku yang sudah terganggu satu minggu ini”.

Hai,hai, hai … Naya, aku mengajakmu untuk makan-makan saja, anggaplah ini sebagai bentuk penghargaan karena tulisanmu sudah dimuat. Jangan lari ke alkohol dong sayang, apalagi ini daerah yang menerapkan syari’at Islam. Tidak akan dijual untuk orang muslim seperti kita.

“Please Naya, ada aku dan banyak teman-temanmu yang lain, yang terlalu besar cintanya padamu. So, kamu tidak perlu merasa sendiri”. “Aku mengenalmu dengan sangat, kamu perempuan tegar yang pernah kami kenal dalam ikatan pertemanan kita selama ini”. Sayangi dirimu Naya, seperti kami sangat menyayangimu. Bagaimana kalau kita ke pantai Lokhnga?, kau bisa mencurahkan semua kegundahan hatimu pada segenap kekuatan alam”.

“Nikmatilah bumi serambi mekkah yang sedang berdamai ini, setelah konflik yang berkepanjangan antara GAM dan RI. Kita bisa menyusuri sepanjang hutan yang indah di Aceh Selatan. Kau pasti suka, bertemu dengan perempuan-perempuan tangguh yang selalu kamu kagumi dalam hidupmu. Mimpimu kan masih panjang, kamu masih ingin membangun gerakan perempuan pedesaan yang selama ini tertindas oleh system feodalisme dan imperialisme ini kan”?? “Ayo honey, kita bisa bangun sama-sama itu disini. Kita bisa lalui hari-hari yang lebih baik dan indah, seperti yang kamu katakan dalam tulisanmu ini”.

Entahlah, sudah berapa banyak kekuatan do’a yang selalu menemani setiap langkah kaki yang aku lalui. Seperti terakhir seorang kawan mengirimkan sms untukku. “Naya, seiring do’a sahabat-sahabatmu, kamu akan dikuatkan. Tuhan akan jaga kamu dalam setiap tarikan nafasmu”.

Selesai membaca beberapa surat kabar untuk melihat perkembangan terkini Indonesia dan sedikit menengok jendela dunia, aku sudah berada di depan alat kerja yang setia menemaniku belakangan ini. Aku melihat kembali sebuah rencana untuk melanjutkan studiku yang sempat tertunda. Segera kukirim kabar kepada teman-teman yang ada di Aceh Utara agar bisa menemaniku dalam perjalanan ini.

Konflik bersenjata yang berkepanjangan, telah membuat kondisi di Lhokseumawe sebagai salah satu tempat yang sering terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI sedikit mengkhawatirkan sampai hari ini. Pos-pos TNI dan polisi sampai hari ini juga masih berdiri, meskipun sudah banyak pasukan TNI non organic yang ditarik, pasca penandatanganan MoU antara GAM dan Pemerintah RI di Helsinki. Mungkin sisa-sisa trauma itulah yang hingga hari ini, orang lebih banyak mengunci mulutnya untuk bicara lagi soal hari-hari yang penuh penderitaan yang dilalui oleh perempuan-perempuan disini. DOM, hingga darurat sipil, sudah cukup menggambarkan bagaimana pahitnya perempuan berada dibalik moncong senjata selama kurang lebih 30 tahun. meskipun kekhawatiran juga menyelimuti jika pembahasan RUU PA tidak aspiratif dan MoU Helsinki dianggap gagal, seperti perjanjian damai yang sudah beberapa kali dicoba dan selalu gagal, maka bumi NAD akan kembali kemasa suramnya. Ah, Tuhan .... semoga itu hanya menjadi ketakutanku yang berlebihan. sungguh, jangan biarkan Aceh harus kembali kehilangan orang-orang yang tak berdosa, hanya demi alasan nasioalisme.

Rupanya, selain hobby menembak dan menumpas GAM di Aceh Utara, militer juga senang bermain-main dengan bisnis disini. Aceh Utara memang kawasan industri, sehingga sangat wajar daerah ini begitu ramai dan juga tingkat polusinya mengkhawatirkan. Militer disewa oleh korporasi untuk menjadi anjing penjaga, salah satunya PT. Arun yang mengeksplorasi dan eksploitasi GAS. Tembok yang tinggi menjadi pemisah yang cukup menyakitkan dengan perkampungan yang mayoritas penduduknya miskin. Ujong Blang adalah kawasan pantai yang juga terkena prahara tsunami, menjadi saksi dari buruknya potret investasi asing sekian puluh tahun lamanya di bumi Nanggroe ini. Dimana-mana, investasi di pertambangan memang menjadi industri yang paling gelap. Gelap karena seakan-akan tertutup, sehingga banyak dokumen yang harusnya diketahui oleh publik, jutru disimpan rapat-rapat, dengan alasan rahasia negara. Aneh bukan?? Tapi beginilah nikmatnya bermain sebagai investor di negeri yang kekayaan alamnya dibuka sebesar-besarnya bagi industri ekstraktif, tidak peduli rakyatnya harus mati dibalik tembok keuntungan bermilyar-milyar bahkan trilyunan hasil eksplorasi dan eksploitasi pertambangannya.

Seorang teman tiba-tiba mengejutkan aku, “kau harus bisa jaga diri disana, Naya”. Masih banyak mata-mata liar yang akan siap memangsamu, karena aktifitasmu itu. Apalagi jika berhadapan dengan investor asing yang kuasanya melebihi Tuhan di negeri ini.

Oh,iya. Meskipun sudah dalam kondisi damai begini??” tanyaku dengan terheran-heran

Betul Naya, karena kau bukan saja ingin mengetahui seluk beluk peran perempuan dalam mengelola sumber daya alamnya, tapi kau juga mau mengetahui sejauhmana tentara bermain dalam bisnis sumber daya alam. Tapi jangan khawatir, aku sudah menghubungi beberapa kawan, yang akan menemani aktifitasmu selama ini.

Dengan menumpang travel L300, kendaraan inilah yang selalu setia menemani masyarakat Aceh yang hendak berlalu-lalang dari Kabupaten satu ke Kabupaten yang lain. 17 Kabupaten dan 4 Kota jalur L300, yang biasanya juga dimanfaatkan untuk mengantar surat atau paket barang lainnya. Maklumlah, jasa pengiriman lewat pos atau titipan kilat, seringkali memakan waktu yang panjang. Ada pesawat SMAC, yang bisa juga membawa kita ke beberapa Kabupaten, tapi itupun tidak setiap hari. Selain pesawat capung ini, akan siap mengajak kita seakan-akan naik jetcoaster di dunia fantasi sana. Siap-siap spot jantung atau banyak-banyak berdo’a, agar pesawat tidak nyangkut di bukit-bukit atau bisa mendarat dengan sempurna.

Travel menjemputku jam 20.00 WIB, dan terus berkeliling menjemput penumpang hingga penuh. 5 jam kurang lebih, waktu yang tempuh yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke Lhokseumawe. Sepanjang jalan, meskipun agak gelap, aku mencoba menikmati perjalanan dengan sesekali menengokkan kepala ke arah luar jendela. Jalan-jalan yang cukup banyak lubangnya, mirip dengan kubangan air. Mungkin partai Golkar kalah telak di sepanjang daerah ini. Karena kata seorang kawan, itu salah satu indikator yang bisa menyebutkan Golkar kalah atau menang di suatu daerah pemilihan, lihat saja kondisi jalannya, apakah beraspal atau masih berlubang-lubang. Ha,ha,ha ..... mungkin alasan yang lucu, tapi sangat masuk akal, karena siapa yang tidak kenal dengan partai utama pendukung status quo ini. Melalui daerah Pidie, tempat kelahirannya Hasan Tiro, yang disebut-sebut oleh Wali Nanggroe oleh sebagian masyarakat Aceh. Tokoh GAM yang menghabiskan waktunya di Swedia, akhirnya dapat menghantarkan rakyat Aceh pada sebuah peristiwa penting dengan lahirnya nota kesepahaman perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM. Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan pilihan berjuang dengan gerakan bersenjata di Aceh, GAM secara politik telah diakui oleh pemerintah RI dan dunia Internasional sebagai sebuah kekuatan politik untuk memerdekakan diri dari republik ini.

Andrea mulai mengoceh dengan gayanya yang khas. Naya, dimasa konflik baik waktu DOM, darurat militer sampai darurat sipil, tak ada travel yang berani lewat di malam hari. Selain karena jalannya yang buruk begini, kontak senjata biasanya akan sering terjadi. Saling bersahut-sahutan seperti sirene kereta api jabodetabek itu. Banyak pos-pos tentara disepanjang jalan ini. Tapi biasanya, tidak ada tentara yang berani lewat jalan ini, jika jumlah mereka bisa dihitung dengan jari. Mana mau mereka mati konyol, kalau nggak satu kompi, mereka nggak akan melintas disini, apalagi di malam hari.

Warga sipil juga agak takut, karena banyak juga yang kena peluru nyasar atau tiba-tiba dituduh GAM. Pokoknya benar-benar mencekam. Disetiap perbatasan juga biasanya akan diperiksa kartu identitas kita, KTP Indonesia atau bukan.

What, KTP Indonesia?? Tanyaku agak heran

Seperti apa KTP Indonesia itu, andrea?

KTP merah putih nona, seperti ini. Andrea memperlihatkan KTP merah putihnya yang sudah agak kumal itu warna benderanya.

My God, kasihan sekali saudara-saudaraku di Aceh. Untuk urusan KTP pun, mesti diyakinkan seseorang NKRI atau tidak.

Naya, inilah Aceh. Daerah istimewa, yang selalu mendapat perlakukan khusus. Dari mulai DOM, darurat sipil dan darurat militer adalah perlakukan-perlakuan khusus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, untuk membungkam suara-suara yang menuntut Aceh, Freedom from Indonesia. Tidak ada perlakukan khusus seperti ini di daerah lain di belahan bumi Indonesia. Hmm... benar-benar daerah istimewa. Mudah-mudahan pasca RUU PA ini, Aceh mendapatkan perlakuan istimewanya dengan memberikan keweanangan bagi rakyat Aceh sepenuhnya untuk bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri. Sehingga kedepannya, Aceh tidak lagi miskin ditengah lumbung padi, dan rakyat Aceh bisa hidup dengan damai dan aman setelah sekian lama didera konflik bersenjata.

Rasa lelah yang teramat sangat, membuatku tertidur diantara setumpuk pertanyaan di kepala. Tuhan, beginikah cerita bangsaku, uang negara dihambur-hamburkan untuk membayar tentara berperang melawan rakyatnya sendiri.

Camp-camp pengungsian masih berdiri diantara tiupan angin malam yang menusuk sampai ke sum-sum tulangku, pasti para pengungsi itu kedinginan. Benarkah ini di Indonesia, di negeriku yang katanya Agama menjadi pandangan hidupnya, dan ramai-ramai membantai kelompok atheis yang dianggap penjahat karena tidak mengakui Tuhan. Jika saja Tuhan mendengar, tentu takkan dibiarkan para ”penjahat” berbaju agama itu berdo’a diantara dosa-dosa kemanusiaan yang dibuatnya.

1 jam lagi kita akan tiba di Lhokseumawe Naya, Andrea membangunkan aku dengan lembutnya. Seperti seekor ayam betina yang mengajak anaknya mencari makan, tatkala matahari mulai menampakkan cahaya kemerahannya. Ayam betina yang sangat rajin, mencari nafkah untuk anaknya dan selalu melindungi anaknya dari berbagai ancaman. To respect, to protect and to pulfill rupanya lebih dimiliki oleh seekor ayam betina, daripada pejabat-pejabat bangsa ini.

Aku merapikan kerudung, sambil memasuki pintu gerbang kantor NGO lokal. Ups, sampai juga akhirnya setelah 5 jam perjalanan menyusuri jalan yang berkelok-kelok, berlubang-lubang seperti pelari yang menempuh marathon di sirkuit dan tentu saja melalui banyak bekas-bekas pos-pos tentara dan GAM disepanjang jalan Banda Aceh-Lhokseumawe.

Cerita demi cerita mengalir dari sosok perempuan yang kutemui digubuknya yang rindang. Perempuan paruh baya yang begitu getir hidupnya dimasa-masa konflik. Anak laki-laki yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung keluarganya harus mati terkena timah panas sewaktu GAM dan TNI kontak senjata diperbatasan gampong. kini dia harus menghidupi dirinya sendiri. aku begitu takjub dengan ketabahan dan keikhlasannya menghadapi banyak ujian hidup. baginya mungkin menjadi kebanggan ketika anak yang dilahirkan dari rahimnya mati demi memperjuangkan sebuah kemerdekaan yang hakiki untuk rakyat Aceh yang telah sekian lama mengalami penindasan oleh bangsanya sendiri.

Dengan langkah-langkah yang pasti, aku mulai mendekati batas tembok antara PT. Arun dan pemukiman nelayan yang miskin ini. hmm.... dari jauh memang penjagaannya terlihat sangat ketat. maklumlah, eksplorasi dan eksploitasi ekstraktif memang begitu tertutup, sama tertutupnya dengan UU Migas yang sengaja dibuat begitu sangat tertutup bahkan hanya untuk mendapatkan hak informasi publikpun, akan dianggap sebagai dokumen negara yang tidak boleh diketahui oleh organisasi masyarakat sipil, apalagi cuma kelas nelayan seperti di Ujong Blang ini.

Harusnya aku bisa membantu mereka, tapi sayangnya tanganku terlalu kecil untuk membantu perempuan-perempuan yang tak berdaya. Yang paling mungkin aku lakukan adalah menghubungkan mereka dengan beberapa kenalanku di NGO perempuan, mungkin belum tentu bisa menyelesaikan masalah, tapi paling tidak akan semakin banyak orang yang membantu mereka, akan semakin ringan menghadapi kekuasaan modal yang begitu angkuhnya.

Tuhan, tentu Engkau tak pernah tertidur. Seperti banyak ayat yang menyebutkan itu dalam kitab suci-Mu. Bantulah beri mereka kekuatan dan petunjukmu, agar hari-hari yang mereka lalui tak lagi segelap langit dikala mendungnya.

Aku menghisap rokok dalam-dalam, menghabiskan cerutu sambil sesekali menengadahkan wajahku ke langit-langit perbatasan diujung sana. Bumi Nanggroe mungkin sudah begitu lelah memikul beban kejahatan penguasa dan pengusaha, hingga dia muntahkan bencana di negeri ini. Mungkin Tuhan tidak rela membiarkan lebih banyak lagi korban berjatuhan akibat perang, Tuhan lebih awal menjemput nyawa anak-anak karena Tuhan sangat menyanyanginya dan tidak mau anak-anak menjadi korban perang.

Aku memesan lagi satu cangkir kopi ulee kareng, the famous coffe, yang memang sangat terkenal nikmatnya di kota ini selain kopi gayo. Aku senang sekali, setiap kali melihat penjual kopi meracik kopi-kopi yang sudah dipesan oleh para penikmat kopi baik penduduk Aceh maupun pendatang seperti aku. Aku kadang kala senyum sendiri, disini aku dikira seorang muallaf, seorang chines yang baru masuk Islam. Yup, mungkin karena kulitku yang putih yang dilindungi kerudung merah marun ini, menandakan sekali kalau aku pendatang di Serambi Mekkah ini.

Cita rasa kopi yang begitu menggoda, membuat aku lama berbetah-betah disini. Tapi sebenarnya bukan cuma aku, hampir sebagian besar waktu orang-orang disini dihabiskan di kedai-kedai kopi. Tapi yang membuat aku agak bingung, dengan PNS-PNS, yang jam 10.00 WIB masih berada di kedai kopi, so ... masuk kerjanya jam berapa? Tak aneh memang kata seorang kawan disini yang mendaftar menjadi PNS, bisa masuk jam 10 pagi, terus istirahat siang dan jemput anak sampe jam 2 siang and then jam 15.00 sudah bisa pulang. Justru kerja kalian yang kami tidak mengerti. Kerja setengah mati, kepala dijadikan kaki dan kaki dijadikan kepala. Belum tentu digaji, apalagi fasilitas asuransi kesehatan dan pensiun. Tapi anehnya, kalian kok menikmati sekali hidup seperti itu.

Agak susah memang mendapatkan minuman beralkohol disini, kecuali bule yang membelinya. Tapi akhirnya, itu tersedia juga di kostku. Lumayan beberapa kaleng bir yang aku dapatkan dari seorang kawan di AMM. Lagi-lagi bule, yang bisa mendapatkan minuman beralkohol ini. Syit pikirku, kok mereka bisa lebih berkuasa dari pada orang-orang pribumi.

Aku masih duduk dengan santainya, aku coba menelpon kembali seorang kawan yang janji akan menemuiku disini. Janjian memang lebih asyik di kedai kopi ini, selain suasana santainya, lagi-lagi aku senang melihat para waiters, meracik kopi dengan sempurnanya. Lucunya, memang duduknya aku sendiri di kedai kopi ini menjadi pemandangan yang aneh. Jarang sekali memang perempuan mau berlama-lama nongkrong di kedai kopi. Selain bukan menjadi kebiasaan, juga karena mayoritas konsumen kopi itu laki-laki. Tidak ada catatan sejarah yang absah memang, tapi begitulah kondisinya. Kopi dan rokok identik dengan laki-laki.

Sebenarnya aku bukan bermaksud tidak menghargai budaya disini, yang menabukan perempuan merokok, walaupun nenek-nenek di kampungku juga banyak yang merokok tuh. tapi aku lebih ingin bicara soal kebutuhan yang harus terpenuhi. Hari ini, aku butuh kopi dan rokok untuk menemaniku paling tidak sampai malam nanti, jadi itulah yang aku penuhi. Sambil iseng menunggu kawan, tak sengaja mataku tertuju pada gantungan kunci yang menghiasi tasku.

Hak anda jika ditangkap polisi, sambil senyum-senyum aku membaca lagi isi dari kampanye yang ada di gantungan kunci ini. Ketua Pansus RUU PA pernah terkaget-kaget ketika aku memberikan gantungan kunci itu ke dia. Maksudnya apa ini dek? Apa kamu mau abang ditangkap polisi. Loh, abang gimana sih?? Ini kan buat mengingatkan hak abang, siapa tau nanti diperlukan. Maklumlah, bukannya sekarang lagi musim-musimnya anggota DPR diperiksa polisi, walaupun banyak teman-teman sesama Dewan protes, demi nama baik partai alias koorps. Artinya kau mendo’akan abang nanti terjegal kasus? Hai, abang kok berpikir buruk gitu sih? nggak lah, masa’ orang sebaik Ketua Pansus ini bisa ditangkap polisi. Bisa terbengkalai dong pembahasan RUU PA kita. Jawabku sekenanya. Tapi aku senang, membuat dia jadi terbengong-bengong begitu.

Good idea, gantungan kunci ini banyak aku bagikan ke masyarakat di kampung-kampung terutama yang sedang menghadapi kasus dengan investor yang sesuka hati berinvestasi disini. Menyewa polisi dan tentara untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi rakyat, salah satunya lewat penangkapan yang illegal. Yup, illegal karena justru seringkali mereka tidak memakai kaidah-kaidah hukum untuk menjerat rakyat miskin yang berani melawan investor dan pemerintah. Kampanye dengan gantungan kunci, membuat rakyat jadi tahu dengan hak-haknya yang seharusnya diberitahukan oleh para penegak hukum, tapi justru seringkali malah disembunyikan. Termasuk hak untuk didampingi oleh pengacara selama diperiksa. Boro-boro didampingi pengacara, yang ada juga penuh dengan lebam-lebam karena mengalami penyiksanaan selama diperiksa. Padahal negara ini telah menandatangani DUHAM yang salah satunya memuat bahwa tidak dibenarkan orang mengalami penyiksanaan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya atas nama apapun.

Hai Naya, sorry saya terlambat. Tetapi saya tahu, kamu kan teman terbaik. Sial, pikirku dalam hati. Mentang-mentang aku temannya, dia seenaknya aja datang terlambat. “Ok, no problem” nyinyirku. Segera kupeluk temanku satu ini dengan penuh kehangatan. “How are you, Shoba?? “Good”, sembari duduk Shoba menjawab pertanyaanku sekenanya. Shobha memang teman yang baru aku kenal, kurang lebih satu tahun yang lalu. Perempuan cantik berkebangsaan India ini, sebenarnya salah seorang pengawalku untuk penanganan konflik yang aku pegang. Kebetulan aku menjadi klien dari organisasinya, yang memberikan perlindungan bagi human right defender dan environment right defender. Mereka begitu sigap, jika kliennya membutuhkan pendampingan melekat di lapangan. Emergency call nya selalu standby 24 hours, siap dihubungi dan siap setiap saat mendampingi kliennya. Etos kerjanya yang sangat aku kagumi, tim work yang cukup solid, padahal mereka berbeda kebangsaan. Jika aku menghubungi emergency callnya, maka sudah dapat dipastikan mereka akan mengetahui keberadaanku dimanapun, bayangkan mereka menelpon sedikitnya sehari 3 kali, untuk memastikan kondisiku dalam keadaaan aman.sebenarnya aku agak kurang nyaman, tapi bagaimana lagi. Sebagian besar kawan-kawan dan bosku menginginkan aku tetap aman bekerja di tengah-tengah konflik, meskipun aku sudah pasrahkan seluruh hidupku pada Tuhan. Jika sudah waktunya nyawa ini lepas dari raga, baik terkena timah panas atau bahkan terjatuh dari tempat tidur, itu semua sudah dituliskan sewaktu kita berada dalam rahim bunda.

Ketika aku mengabarkan bahwa aku akan pindah ke Aceh dalam beberapa bulan, semua ”pengawalku” ini sibuk sekali untuk menanyakan kebutuhanku menjadi klien mereka selama di Aceh, mereka langsung menghubungi aku dengan volunteer lembaga ini yang ada di Banda Aceh. Aku datang ke kantor mereka, tetapi secara halus aku menolaknya, karena di Aceh ini, kebetulan aku tidak menangani kasus atau konflik. Jadi tidak perlu dikawal, untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan.

”Kamu kelihatan lebih hitam Shobha”, cetusku sambil menghirup kopi yang masih tersisa

”Oh iya ya, karena aku liburan di Sabang dan setiap hari berjemur di pantai”.

“Kamu harus kesana, pantai Iboh sangat eksotis untuk dikunjungi”. Sarannya padaku dengan santainya.

Ya …. Selain Medan dan Singapura, Sabang memang menjadi daerah favorit bagi para pendatang, utamanya para pekerja NGO Internasional atau lembaga donor untuk berlibur diakhir pekan.

”Berapa lama kamu akan tinggal di Aceh”? Tanyaku sambil menyalakan rokok yang untuk yang kesekian batang

Kurang lebih tiga bulan, aku menikmati liburan sebelum aku kembali ke India dan menetap disana”. ”Mungkin ini pertemuan kita yang terakhir di Indonesia, aku senang sekali bisa bertemu dan berteman dengan kamu, Naya. Ucapnya dengan lirik yang agak sedih.

”Kita masih bisa berkomunikasi melalui email, dan kamu tetap bisa berhubungan dengan organisasi kami. Kami senang sekali bisa bekerjasama dengan kamu dan teman-teman selama disini”.

Ya, aku juga sangat berterima kasih. Kamu dan organisasimu sudah banyak membantu aku dan organisasiku. Kalau tidak ada kalian, tentu kami akan menemui banyak kendala dengan aparat kepolisian di negara kami sendiri. Aku juga senang sekali, sudah merasakan masakan ala India buatanmu yang sangat nikmat. Ya .... ini sangat menyenangkan shobha, sungguh.

Kami kembali saling berpelukan erat, sungguh menyenangkan pertemanan kami. Meskipun jarang sekali bertemu, tapi selalu saja mengalir doa-doa dan harapan agar hidup kami bisa berguna untuk orang lain. Tuhan, aku masih ingin terus hidup disini.

0 comments: