Bumi, Rumah Manusia

Bumi, Rumah Manusia

Oleh : Khalisah Khalid*

Bumi, rumah manusia. Begitu kira-kira sosok Pramoedya Ananta Toer menggambarkan ruang hidup manusia Indonesia yang semakin hilang eksistensinya, yang terus menerus diteropong layaknya miniatur (baca, rumah kecil) oleh sebuah sistem kapitalisme. Kini, bumi Indonesia tidak bisa lagi menjadi rumah yang aman bagi manusia Indonesia yang mendiaminya. Kata-kata keselamatan bagi manusia yang ada di rumah besar ini, saat ini semakin kabur dari esensinya. Realitas inilah yang dihadapi oleh anak-anak di belahan bumi Sidoarjo, yang rumahnya ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo Brantas dan terancam kehilangan eksistensinya sebagai manusia.

Derajat kerusakan lingkungan di Indonesia, sudah mencapai krisis ekologi yang mengkhawatirkan. Pencemaran (udara, air, tanah) yang menyebabkan turunnya kualitas kesehatan dan kualitas hidup manusia, kehancuran ekosistem yang tidak terpulihkan yang menyebabkan krisis panjang bagi rakyat antara lain kemiskinan akibat hilangnya hak dan akses terhadap sumberdaya alam, kelangkaan sumberdaya alam menyebabkan merosotnya ketahanan pangan, gizi buruk dan kemiskinan. Fenomena perubahan iklim (climate change) saat ini, menjadi potret nyata atas pengabaian terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dan hak-hak dasar rakyat untuk mendapatkan jaminan keselamatan, produktifitas, kesejahteraan.

Dari semua manusia yang menempati rumah besar yang sudah mengalami krisis ini, yang paling merasakan dampak yang lebih besar adalah manusia yang hidup dalam garis kemiskinan. Rakyat miskin mengalami masalah dalam mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan usaha tani karena menurunnya kuantitas dan kualitas air yang dapat dimanfaatkan. Pengungsi ekologik dan pengungsi pembangunan yang setiap saat kehidupannya tidak lepas dari ancaman, yang dibangun secara sistematik oleh sebuah pembangunan ekonomi global.

Sebagai rumah bagi manusia, bumi Indonesia kita semakin meradang. Keberlanjutannya saat ini telah tergadai oleh sebuah sistem kapitalisme, yang mensyaratkan menjadikan seluruh isi bumi sebagai sumber daya yang bisa dikeruk secara besar-besaran, dengan atas nama mengejar pertumbuhan ekonomi, pembangunan, peningkatan devisa negara dan bahkan atas nama stabilitas negara. Proses penghancuran terhadap bumi dan makhluk bumi inilah yang mendorong terjadinya ecocide, sebagaimana yang dituliskan dalam buku yang berjudul Ecocide, Pelanggaran HAM dan Kejahatan Lingkungan, bahwa ecocide adalah sebuah tindakan terencana yang secara langsung maupun tidak langsung, ditujukan untuk menguras, menghancurkan dan memusnahkan eksistensi dasar ekologi dari sebuah tata kehidupan semua makhluk bumi didalamnya. Walhasil, berbagai upaya destruktif bagi eksistensi keberlanjutan lingkungan hidup, sama halnya dengan penghapusan identitas diri manusia sebagai makhluk yang berakal budi (dehumanisasi).

Ditengah hampir robohnya rumah Indonesia ini, tentu saja kita harus membangun kekuatan kolektif seluruh penduduk bumi untuk menata ulang pondasi dari bangunan dengan konstruksi berbasis ideologi yang jelas. Meskipun, setiap masanya ada proses transisi yang terus menerus mengalami perkembangan, seiring dengan perkembangan sebuah masyarakat memaknai dan memperlakukan alam itu sendiri. Konstruksi yang ingin kita bangun ulang tentu saja dengan pondasi yang melihat kelas siapa yang hari ini paling dimiskinkan, disingkirkan, dihilangkan hak-haknya dasarnya.

Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi, bukan sekedar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang, bicara soal gerakan lingkungan juga tidak terlepas dari bicara soal bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat terhadap hak-hak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Lao Tzu, bahwa seorang pemimpin adalah orang yang berjalan bersama rakyat, tinggal bersama rakyat, belajar dari rakyat, mencintai rakyat, memulai dari apa yang diketahui oleh rakyat, membangun dari apa yang rakyat miliki. Hanya dengan pemimpin-pemimpin terbaik, ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan rakyat telah tercapai. Rakyat akan berkata, kita telah melakukannya sendiri. Karenanya, gerakan politik lingkungan harus bisa memainkan ritme iramanya dengan manfaat dari gerakan itu sendiri, dan menyentuh kebutuhan dasar dari gerakan rakyat dan merubah kondisi politik yang kontekstual dengan kebutuhan politik rakyat. Kita percaya, bahwa perjuangan politik rakyat tidak bisa lagi diserahkan kepada elit politik dominan hari ini. Semua orang adalah makhluk politik, karenanya tanggungjawab dan tindakan politik harus dimulai setiap hari dmulai dari lingkungan komunitas terkecil sampai lingkungan Negara.

Akhirnya, selamat hari lingkungan 5 Juni 2008. Semoga seluruh kekuatan rakyat hari ini bisa merebut kembali kedaulatan rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.



* Penulis, Dewan Nasional WALHI 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

0 comments: