Ekofeminis di Indonesia, Adakah?


Ecofeminist di Indonesia, Adakah?

Oleh: Khalisah Khalid[1]

Werima Mananta, sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan melakukan pekerjaan domestik didalam kehidupan sehari-harinya jauh di Sorowako Sulawesi Selatan sana. Namun, ada yang tidak biasa dalam sosok dirinya. Dengan kesehajaan yang dimilikinya, tersimpan kecerdasan yang luar biasa dan nilai hidup yang jauh begitu mulia. Baginya, tanah adalah sebuah entitas ruang hidup, bukan komoditi yang bisa dijual beli apalagi dipertukarkan. Itulah yang mendasari mengapa tubuhnya yang mulai renta dimakan usia, melakukan reclaiming atas tanah nenek moyangnya yang telah diokupasi oleh satu perusahaan tambang nikel skala internasional yang menguras sumber daya alamnya tidak kurang dari 30 tahun lamanya.

Werima Mananta, mungkin tidak sekaliber Vandana Shiva dengan segala pemikirannya tentang ecofeminisme. Dimana Vandana Shiva melihat kenyataan yang dialami dunia ketiga, bagaimana pembangunan telah melahirkan sebuah mitos yang semakin menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak adil, terutama potret pembangunan yang dipraktekkan oleh negara-negara utara.

Pembangunan telah menyebabkan perempuan yang berada dalam kondisi miskin, semakin dimiskinkan oleh sebuah sistem yang menciptakan kebijakan ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara miskin dan berkembang seperti Indonesia dengan menjual jargon globalisasi. Belum lagi tindakan kekerasan yang dialaminya baik kekerasan fisik dan psikis yang dialami oleh perempuan yang dilakukan aparat keamanan. Jangankan kesejahteraan, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah nilai didalam cerita pembangunan yang dipraktekkan oleh pengurus negara.

Ecofeminist lahir didasari atas sebuah kondisi dimana bumi yang digambarkan sebagai ibu, telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang berkuasa dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme. Ecofeminist kemudian lahir untuk menjawab sebuah kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan didalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. Bagi perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap resiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.

Ecofeminisme sesungguhnya adalah sebuah cara pandang atau menganalisis persoalan lingkungan hidup, dengan menggunakan pisau analisis feminis. Dimana feminis menilai sebuah persoalan itu pada akar persoalan yang terjadi, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan apa yang mendasari perjuangan atau gerakan ini untuk terus besar. Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri.

Walaupun dengan bahasa yang sedarhana dan mungkin tidak terdengar heroik dimata aktifis gerakan perempuan dan gerakan lingkungan, yang dipraktekkan oleh sosok Werima dan perempuan-perempuan lainnya melawan industri tambang di Indonesia, telah mengajarkan kepada kita, bahwa perempuan sebagai korban yang lebih rentan terhadap daya rusak industri pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan, bisa memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang diyakininya sebagai perempuan.

Ditengah perdebatan apakah ecofeminist ada di Indonesia dengan segala definisi dan fragmentasi gerakan yang mengikutinya, dengan penuh keyakinan saya menyatakan bahwa ecofeminist telah ada sejak lama di Indonesia. Werima Mananta mewakili perempuan di Indonesia yang mulai melihat ketidakadilan yang dialaminya, sebagai sebuah relasi yang utuh atas ketidakadilan yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Ecofeminisme bukan hanya sebuah sudut pandang (wacana), melainkan merupakan sebuah ideology bagaimana cara bersikap, berprilaku untuk melawan hegemoni neoliberalisme. Karena selama ini kritik terhadap feminis adalah masih asiknya para feminis tersebut “terjebak” dalam sebuah kehidupan konsumtif yang menghalalkan proses neoliberalisme terus masuk kedalam aliran darah manusia. Secara sadar maupun tidak, pola hidup yang dijalani oleh para “feminis” tersebut justru menenggelamkan mereka dalam sebuah kegamangan berideologi sebagaimana ideologi feminisme yang diyakininya. Perjuangan Werima Mananta telah mengajarkan kepada kita sebagai perempuan, bagaimana mereka berjuang menuntut keadilan yang diyakininya.

Akhirnya, selamat hari perempuan internasional, 8 Maret 2008. Semoga gerakan ecofeminisme di Indonesia tidak hanya sekedar wacana.



[1] Penulis adalah Gender Vocal Point Friends of the Earth Indonesia (WALHI), sekaligus Kandidat Dewan Nasional WALHI

0 comments: