Lagu Lama, Aransemen Ulang

Lagu Lama, Aransemen Ulang

Khalisah Khalid

· Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012, Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia

Siapa rakyat Indonesia yang tidak tahu bahwa presidennya jago mencipta dan menyanyikan lagu. Di awal Juni 2008, Susilo Bambang Yudhoyono kembali akan melansir sebuah lagu dan kali ini lagu itu diberi judul Naiknya Harga BBM. Yudhoyono memastikan bahwa harga BBM akan naik hingga 30 persen, dan tentu saja rakyat diminta menerima "dengan lapang dada", sembari menjanjikan kompensasi bagi rakyat miskin.

Tulisan ini hendak mengingatkan kita semua bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah lagu lama yang coba diaransemen ulang. Presiden Yudhoyono menyatakan menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir dari berbagai skenario untuk mengamankan anggaran pendapatan dan belanja negara. Alasan kenaikan harga BBM tahun ini juga sesungguhnya alasan lama yang sama, sewaktu Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM pada 2005, yang hampir mencapai 120 persen. Dengan nada yang sangat menyesal dan intonasi yang sedih, Yudhoyono menyampaikan kondisi naiknya harga minyak dunia yang dinilai akan mempengaruhi APBN jika pemerintah tetap memberikan subsidi kepada rakyat, yang sama artinya menciptakan defisit anggaran dan pada akhirnya akan membebani APBN.

Kenaikan harga BBM sebagaimana yang direncanakan pemerintah sesungguhnya bukan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia, melainkan mengamankan anggaran belanja negara, sedangkan kita mengetahui bahwa APBN kita tidak pernah berpihak kepada rakyat. Ini dapat dilihat dari komposisi anggaran yang sebagian besar diperuntukkan bagi kepentingan pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 94 triliun per tahun, peruntukan obligasi perbankan Indonesia antara lain melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai Rp 60 triliun per tahun, belum lagi untuk membiayai kebutuhan birokrasi aparatus negara. Bahkan dalam catatan Koalisi Anti-Utang disebutkan bahwa tidak kurang dari 46 persen pos dalam APBN kita setiap tahunnya tidak terserap. Ini sama artinya dengan pemerintah sesungguhnya tidak becus membuat perencanaan strategis, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Agenda liberalisasi

Agenda kenaikan harga BBM sesungguhnya menjadi agenda liberalisasi atas sumber daya alam, khususnya liberalisasi di sektor minyak dan gas. Kenaikan harga minyak dunia sesungguhnya tidak cukup mendasari pencabutan subsidi BBM kepada rakyat dan menaikkan harga BBM. Sebab, konstitusi, yang mewajibkan negara memberi jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, tidak bisa dibatasi oleh mekanisme pasar dunia yang liberal.

Krisis energi selalu dipakai pemerintah untuk memuluskan kebijakannya, seperti memaksakan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir dan kali ini dipakai untuk menaikkan harga BBM. Krisis energi yang dialami Indonesia saat ini tidak lebih disebabkan oleh kebijakan negara terhadap kegiatan pembangunan yang mengarah pada industrialisasi yang menyebabkan tingkat konsumsi energi begitu tinggi dan telah mengakibatkan krisis lingkungan hidup yang semakin tidak terpulihkan. Kasus Lapindo menjadi contoh kerusakan lingkungan hidup dan tragedi kemanusiaan yang paling kontekstual, dengan atas nama pemenuhan produksi energi.

Agenda kenaikan harga BBM memang tidak bisa hanya melihat Yudhoyono-Kalla sebagai aktor tunggal, Yudhoyono-Kalla tidak lebih hanya boneka yang dipakai oleh aktor liberalisasi, antara lain lembaga keuangan internasional dan pemodal. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyebutkan kenaikan harga BBM disinyalir hanya membuka pintu bagi 107 pengusaha swasta asing dan domestik yang sudah memiliki izin prinsip usaha hilir BBM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yang 90 persen usaha hulu (eksploitasi) migas telah dikuasai sepenuhnya oleh modal asing. Secara keseluruhan, sektor minyak telah didedikasikan untuk pasar bebas dan bukan demi kepentingan rakyat.

Liberalisasi migas adalah salah satu paket yang tercantum dalam nota kesepahaman antara Indonesia dan IMF pada 1998. Dari sini kita dapat menyatakan pemerintah saat ini lebih patuh kepada industri dan bisnis multinasional serta pemerintah negara-negara Utara ketimbang mengurus rakyatnya. Yudhoyono tidak segan-segan menurunkan popularitasnya di mata rakyat daripada popularitasnya turun di mata para aktor liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Permen politik

Pemerintah berjanji akan memikirkan rakyat miskin sebagai prioritas ketika harga BBM dinaikkan. Ada beberapa opsi yang ditawarkan pemerintah Yudhoyono-Kalla sebagai kompensasi untuk rakyat miskin atas naiknya harga BBM, antara lain, melalui bantuan langsung tunai plus (BLT plus) dan Program Nasional Pembangunan Mandiri, di mana sejumlah dana akan digelontorkan oleh World Bank: Rp 19,7 triliun pada tahun ini dan Rp 58 triliun pada 2009.

Perlu diketahui, BLT plus yang akan diberikan pemerintah kepada rakyat miskin sesungguhnya tidak lebih hanya menjadi alat untuk menyuap rakyat miskin. Apa yang disampaikan Yudhoyono bahwa dia tidak peduli dengan popularitasnya menjelang Pemilu 2009 sesungguhnya bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dana BLT plus yang akan diberikan Yudhoyono akan didorong sebagai "kemurahan hati" Yudhoyono kepada rakyat miskin. Ini bisa dikategorikan sebagai biaya suap politik Yudhoyono kepada rakyat miskin. Tampaknya Yudhoyono akan menggunakan model kampanye karitatif selama kurun waktu satu tahun ini untuk menaikkan lagi popularitasnya dengan segera melalui dana kompensasi atas kenaikan harga BBM ini.

Kompensasi atas kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin melalui uang tunai sarat berbagai dampak, terutama dampak sosial dengan meningkatnya konflik horizontal di tengah masyarakat. Dana kompensasi kenaikan harga BBM akan menjadi permen pemanis untuk kepentingan melanggengnya kekuasaan politik dominan menjelang Pemilu 2009, dan naiknya tingkat inflasi karena akan meningkatkan sektor riil di tingkat rakyat tidak lebih hanya pembohongan publik dan akal-akalan pemerintah hari ini. Kenaikan harga BBM justru akan semakin meningkatkan angka kemiskinan dan semakin menjerumuskan rakyat ke dalam krisis turunannya, seperti krisis pangan, yang dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Tercatat, tidak kurang dari 4.456 kali peristiwa rawan pangan terjadi di Indonesia.

Rakyat menyubsidi negara

Yudhoyono-Kalla mengklaim bahwa negara telah memberikan subsidi kepada rakyat dengan memberikan harga BBM yang murah, dan hari ini negara akan mencabut subsidi tersebut dengan alasan akan terjadi defisit anggaran APBN. Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah apakah selama ini negara benar-benar telah memberikan subsidi kepada rakyat?

Ketika negara absen memberikan jaminan atas keselamatan, keamanan, serta keberlanjutan kehidupan bagi warga Sidoarjo dalam kasus Lapindo, dan rakyat harus membangun kekuatannya sendiri, seharusnya itu dihitung sebagai sebuah subsidi rakyat kepada negara. Selama ini keselamatan rakyat dihitung negara dalam angka-angka yang sungguh tidak masuk akal, sambil rakyat diminta bersabar dan bertawakal demi keamanan APBN. Ketika pengurus negara bermain-main dalam hitungan angka-angka asumtif, bahwa angka-angka tersebut sesungguhnya tidak berdiri sendiri, dia akan membangun relasi sebab-akibat dengan derajat kehidupan manusia. Bukankah menurunkan derajat kemanusiaan manusia yang merdeka sama artinya dengan menghilangkan nilai kemanusiaan itu sendiri, dan itu bagian dari sebuah proses pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang jauh sekali dari krisis yang dihadapi rakyatnya. Kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, dan bencana ekologis justru dijawab dengan mengeluarkan kebijakan yang bahkan tidak ada relevansinya sama sekali dengan krisis yang dihadapi rakyat dan bahkan justru menjerumuskan rakyat ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. *

0 comments: