Perempuan dan Jejak Ekologi yang Ditinggalkan

Perempuan dan Jejak Ekologi yang Ditinggalkan

Oleh : Khalisah Khalid[1]

Ada survey singkat terhadap 10 orang perempuan yang tinggal di Jakarta, terkait dengan jejak ekologi yang ditinggalkan dari sebuah pola konsumsi yang setiap harinya dilakukan. Survey ini berdasarkan atas pertanyaan yang sederhana, berapa sering mereka berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dimana kecendrungan mereka berbelanja. Hasilnya tidak mengejutkan, perempuan di kota lebih dari 3 (tiga) kali berbelanja setiap bulannya di pusat perbelanjaan. Survey ini kita juga bisa melihat jejak ekologi yang ditinggalkan oleh perempuan untuk pemenuhan pola konsumsinya.

Dalam hitungan jejak ekologi (ecological footprint), kita bisa menilai sejauhmana tingkat konsumsi kita mempengaruhi kualitas lingkungan hidup kita dan tentu saja berapa besar kemudian korban yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan hidup yang bersumber dari pola konsumsi. Hitungan jejak ekologi ini memang cara menghitung dengan cepat dan relatif akurat untuk perseorangan yang bisa dihitung perbulan atau pertahun, dan tentu saja ini bisa diterapkan dimana saja termasuk di Indonesia yang tingkat kerusakan ekologinya begitu tinggi. Hasil dari hitungan ecological footprint kita mungkin akan sangat mengagetkan, tapi hitungan ini sekaligus bisa menjadi “alat” bagi kita untuk mulai mengurangi tingkat konsumerisme dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini juga hendak mengajak kita untuk melihat, bahwa jejak ekologi yang ditinggalkan oleh perempuan, bukan hanya menyisakan persoalan lingkungan hidup, tetapi bahkan berkontribusi besar atas proses kekerasan yang dialami oleh perempuan di belahan bumi lain yang mungkin tidak pernah terbayang di benak perempuan yang ada di kota. Tulisan ini hendak membawa kita (perempuan) yang tinggal di kota, untuk mulai membangun kepekaan terhadap perempuan yang tinggal di pedesaan.

Mari hitung tingkat konsumsi kita sebagai perempuan, yang mengkonsumsi lebih banyak tissue baik untuk menghapus keringat, kebutuhan di toilet, sampai menghapus makeup wajah. Apakah kita pernah berhitung, berapa banyak kemudian konsumsi kertas kita telah ikut menyumbangkan laju kerusakan hutan yang hingga kini mencapai 3,8 juta hektar pertahun. Pernahkah kita juga menghitung tingkat konsumsi terhadap tissue yang berasal dari hutan akasia, telah ikut menyumbangkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh perusahaan pulp and paper di Sumatera Utara terhadap perempuan yang tinggal di Porsea Sumatera Utara.

Kita juga sangat konsumtif terhadap kebutuhan mandi seperti sabun dan shampoo dengan berbagai aroma dan kemasannya, hingga kita tidak menyadari bahwa sabun dan shampoo itu dihasilkan dari minyak sawit (CPO) dari perkebunan besar kelapa sawit yang sangat tidak ramah lingkungan karena menggunakan pestisida dan insektisida pada masa pemupukan. Bahkan, banyak industri besar perkebunan sawit memperkerjakan buruh perempuannya dibidang pemupukan yang notabene itu beracun dan sangat berbahaya bagi kesehatan perempuan. Belum lagi tingkat diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan di industri perkebunan besar kelapa sawit seperti yang dialami oleh buruh perempuan di Riau dengan satu perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Fakta ini mungkin memang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh perempuan di perkotaan, karena kita berpikir bahwa semua pemenuhan kebutuhan kita tidak ada relasi sama sekali dengan pola produksi yang dibangun oleh industri yang tidak pernah menghitung dampak ekologi yang ditimbulkan dari hasil produknya. Sesungguhnya budaya konsumtif yang dibangun oleh sistem kapitalisme tidaklah berdiri sendiri, karena ini terkait erat dengan kebijakan ekonomi politik yang dibangun dan diskenariokan sebagai sebuah papan reklame yang mengiklankan gaya hidup masyarakat perkotaan. Sistem kapitalisme menciptakan tata kuasa, tata konsumsi dan tata produksi berada di genggaman pemilik modal, dan menjadikan perempuan sebagai target utama dalam pemasaran produk yang dihasilkan.

Seorang teman perempuan pernah mengingatkan kepada saya, untuk tidak menerima pemberian emas sebagai bentuk ungkapan cinta, karena emas ternyata bukan lagi menjadi logam mulia. Emas yang sering menjadi ukuran strata sosial atau kelas bagi perempuan, ternyata telah menjadi logam penindasan bagi perempuan yang menjadi korban industri pertambangan emas.. Bahkan emas yang sangat disukai oleh perempuan, setiap gramnya menghasilkan tidak kurang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing yang dibuang. Ditambah 5,8 kilogram emisi beracun, 260 gram timbal, 6,1 gram merkuri dan 3 gram sianida. Semua limbah-limbah yang dihasilkan untuk memenuhi hasrat kita terhadap perhiasan emas, ternyata berandil besar terhadap lingkungan, khususnya perempuan yang lebih rentan dan spesifik terkena resiko dampak limbah terhadap alat reproduksinya.

Suara dari perempuan untuk perempuan, menjadi sebuah langkah nyata menuju keberlanjutan kehidupan yang lebih adil. Mari merubah gaya hidup, suara perempuan untuk kehidupan. Vote for Life, setidaknya itu dimulai bertepatan dengan peringatan hari perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2008.


[1] Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye WALHI Jakarta, tergabung dalam Gender Working Group Friends of the Earth Internasional (FOE)

0 comments: