Panasnya Batu Bara

www.cetak.kompas.com
Panasnya Batu Bara
Selasa, 19 Agustus 2008 | 00:48 WIB

Khalisah Khalid

Di luar dugaan, Menteri Keuangan mengeluarkan surat pencekalan terhadap petinggi perusahaan tambang.

Mereka dicekal karena mangkir membayar royalti 13,5 persen. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp 3 triliun.

Lelucon politik

Situasi memanas. Adu argumentasi terjadi antara pemerintah dan perusahaan tambang batu bara yang dicekal. Situasi ini sebenarnya hanya lelucon politik yang dimainkan elite oligarki yang menguasai hampir seluruh negeri. Negeri ini sudah dikuasai korporasi sehingga dikenal sebagai negeri korporatokrasi yang berwatak eksploitatif.

Disebut lelucon karena kondisi ini muncul akibat regulasi yang dibuat pemerintah sendiri melalui peraturan pemerintah yang menyebutkan, tambang batu bara tidak terkena pajak, lalu mengapa kebakaran jenggot?

Kita tahu, karakter pertambangan di Indonesia tidak terbarukan, berumur pendek, berdaya rusak tinggi. Pertambangan juga berorientasi ekspor bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, mengakibatkan Indonesia mengalami krisis energi di tengah limpahan batu bara. Bukankah ini buah skenario kolaborasi penguasa dan pemodal melalui instrumen hukum yang dikeluarkan tahun 2000?

Saat perusahaan itu menghancurkan keselamatan rakyat, merusak produktivitas dan kesejahteraan rakyat, serta menghambat keberlanjutan pelayanan alam sekitar wilayah konsesi tambang, di manakah negara?

Pada sisi lain, apakah negara juga kebakaran jenggot karena saat rakyat mengalami kerugian begitu besar karena kehilangan keselamatan ruang hidup, kehilangan produktivitas, kehilangan kesejahteraan, dan lingkungan rusak tak terpulihkan mengancam generasi ke depan?

Negara tidak pernah menghiraukan itu semua karena yang terpenting adalah pendapatan bagi negara, bukan bagi kepentingan rakyat. Negara ribut karena perusahaan tambang lalai membayar royalti, tetapi pengurus negara diam saja saat perusahaan lalai memenuhi kewajibannya terhadap rakyat yang hidup di sekitar tambang.

Jared Diamond menggambarkannya dalam teori collapse. Dinyatakan, runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan kondisi geografik alami saja.

Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya dan pemimpin di Indonesia menghendaki kehancuran sumber-sumber kehidupan. Pemimpin juga melihat sumber daya alam bukan sebagai sumber kehidupan, tetapi sumber daya yang bisa diekstraksi dengan mengabaikan keselamatan manusia penduduk bumi Indonesia.

Utang ekologis

Jaringan advokasi tambang mencatat, sejak lama perusahaan tambang batu bara ini bermasalah dan ini telah melahirkan berbagai krisis di Indonesia.

Sejak tahun 1999, PT Arutmin Indonesia, misalnya, melakukan serangkaian kejahatan korporasi (corporate crime) berupa kejahatan lingkungan di sekitar wilayah konsesi pertambangan yang separuhnya ada di kawasan hutan lindung. Pertambangan ini mencemari lingkungan hidup yang menyebabkan hancurnya fungsi-fungsi ekologis kawasan itu.

Belum lagi PT Adaro Indonesia, yang telah menenggelamkan Desa Lamida Atas dan Desa Juai di Kalimantan Selatan tahun 2003, merusak pertanian dan perkebunan yang menjadi sandaran hidup petani sekitar.

Jika berniat bangkit, seharusnya negara tidak hanya menuntut royalti dari perusahaan tambang batu bara. Pengurus negara juga harus menuntut utang ekologis yang ditinggalkan. Sejak berproduksi dan mengeruk kekayaan alam di Indonesia, mereka meninggalkan kerusakan alam, mencemari tanah, air, dan sumber kehidupan dan perlu dimintai pertanggungjawaban. Belum lagi pelanggaran HAM, baik terkait hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mengadili mereka bukan hanya karena soal uang, tetapi juga cara dan watak mereka, datang, gali, dan pergi dengan meninggalkan kerusakan lingkungan, menurunnya kualitas kesehatan dan kemiskinan.

Pengurus negara perlu menyadari, industri pertambangan skala besar—salah satunya batu bara—kontraproduktif dengan sumber kehidupan berkelanjutan.

Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

0 comments: