Lebaran tak Semanis Brownis

Lebaran tak Semanis Brownis

Khalisah Khalid

Tiga tahun belakangan ini, setiap menjelang hari raya, meskipun tidak banyak ibuku selalu menerima pesanan brownis kukus. Jenis kue yang satu ini memang sangat enak, kaya dengan coklat dan begitu lembut dimakan. Kebanyakan orang suka dengan kue ini, apalagi ditambah dengan secangkir teh hangat. Kemanisan rasanya, bahkan mampu melupakan sejenak kerumitan pekerjaan.

Lebaran kali ini, pesanan kue juga sudah mulai datang. Tentulah orang ingin kembali menikmati kemanisan rasanya, dan harusnya ibuku juga senang karena itu sama artinya dengan pendapatan penghasilan yang akan dia dapatkan. Namun diluar dugaan, ibuku tidak merespon dengan cepat pesanan kue dari teman-temanku. Cerita punya cerita, ternyata dia bingung dengan harga jualnya. "Berapa ya mau dijualnya? takutnya kemahalan dan membuat orang jadi takut untuk membeli".

"Harga minyak tanahnya itu loh yang mahal banget, satu liter harganya mencapai sebelas ribu sampai dua belas ribu rupiah". Masih bagus kalau dapat, karena sudah mahal langka lagi di pasaran". Begitu ucapnya, untuk menjawab keherananku karena sikapnya yang tidak antusias menerima pesanan. Kupikir ibuku bisa masak kue, dengan menggunakan kompor gas. Ternyata, kompor gas juga tidak selalu bisa digunakan untuk memasak kue, karena matangnya tidak rata jika menggunakan kompor gas. "Hmmm, sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan. Begitu gumamku dalam hati.

Bukan ibuku saja yang merasakan itu, karena baru dua hari yang lalu saya ngobrol dengan seorang ibu nelayan sambil berbuka puasa di Cilincing Jakarta Utara sana. Sudah satu bulan ini suaminya tidak melaut, karena tidak ada ikan. Modal yang dikeluarkan begitu besar, hampir seratus ribu sekali jalan, dan yang terbesar adalah biaya untuk membeli minyak. Sementara hasil yang didapatkan hanya mencapai Rp. 20.000, padahal sistem pembayaran minyaknya biasanya dibayarkan setelah suaminya mendapatkan hasil melaut. Kini, untuk bertahan hidup, dia harus menjadi pengupas kijing (kerang) dengan harga Rp. 1.250 perkilonya. Maksimal dia bisa membersihkan 10 kilo satu hari, itupun sudah seluruh keluarganya ikut dibawanya membantu bekerja. Ramadhan depan, mungkin sudah waktunya aktifis-aktifis berbuka puasa yang biasanya di kantor mereka, di ruang-ruang mewah, memindahkan tempatnya ke kampung-kampung gelap, lorong-lorong kumuh.

Ibuku mungkin tidak terlalu sulit, karena usahanya menjual brownis bukan sebagai penghasilan utama keluarga. Tapi bagaimana dengan perempuan-perempuan lain, yang usahanya yang mengandalkan minyak tanah, merupakan sumber penghidupan keluarganya? Kesulitan hidup ibu-ibu ini dirasakan, setiap kali pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Bagaimana dengan nasib ibu nelayan itu, bagaimana dia harus makan dan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya?

Ah, susahnya kupikir jadi ibu rumah tangga yang sedang berusaha membantu ekonomi keluarganya. Dari beberapa pengalaman ini, aku menangkap apa yang menjadi problem utama kebijakan negara. Mereka mengabaikan kelompok perempuan yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar, baik untuk keperluan makan keluarga sehari-hari, maupun untuk membangun produktifitasnya dengan berbagai unit usaha yang dilakukan.

Setiap kenaikan harga BBM yang selalu diikuti dengan kelangkaan minyak tanah, belum lagi ditambah dengan konversi minyak tanah ke gas. Apakah pengurus negara ini tahu, bahwa fungsi minyak tanah untuk memasak kue yang bagus untuk dijual, tidak bisa digantikan oleh gas. Dan apakah pemerintah juga tahu, bahwa nelayan tidak mungkin membawa tabung gas untuk menyalakan lampu petromak mereka. Ah..... tapi bagaimana pemerintah tahu, lah wong mereka tidak pernah punya pengalaman menjadi nelayan, apalagi merasakan membuat brownis kukus yang harus dimasak di kompor minyak. Beginilah jadinya, kalau kebijakan negara mengabaikan kelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari minyak tanah.

Ibuku pernah bertanya, apakah Indonesia memang tidak lagi punya persediaan minyak?, sampai harus diganti ke gas dan harga minyak menjadi sangat mahal. Sebuah pertanyaan kritis bagiku, untuk bisa menjelaskan bahwa Indonesia begitu memiliki kekayaan yang berlimpah, sayangnya kekayaannya bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, melainkan menjadi komoditas dan dijual untuk memenuhi konsumsi negara-negara maju, karena hampir 85 persen minyak dan gas kita dikuasi oleh asing.

Lebaran, harusnya semua ummat bersuka cita, karena kelezatan dan kemanisannya seperti brownis kukus yang dibuat ibuku. Sayangnya, kemanisan hari raya sudah ikut diambil oleh penguasa yang memiliki kekuatan secara politik dan ekonomi untuk menguasai kekayaan alam di bumi ini.

Baca selengkapnya...

Tuhan, sang Pembawa Makanan

Tuhan, sang Pembawa Makanan

Khalisah khalid


Mataku tertegun pada sebuah berita TV, ketika sebuah keluarga memakan dari hasil mengais-ngais sisa makanan orang lain, dan sebagian yang lainnya menjual makanan itu sambil berharap ada sedikit rejeki yang bisa didapatkan untuk memperpanjang nafas hidup keluarganya.

Ah….. rasanya diluar akal sehatku, begitukah cara orang-orang miskin mempertahankan hidupnya dan mencoba keluar dari sebuah kungkungan ekonomi, sambil sesekali dihibur dengan siraman rohani para rohaniawan yang berada dibelakang jubah-jubah sucinya untuk mengatakan, "jikapun didunia ini kita miskin, maka bersabar dan berbuat baiklah, karena setelah kematian, akan ada balasan kesabaran dari orang miskin berupa syurga". Tapi apakah syurga itu ada??? Itulah pertanyaan nakal yang selalu aku gugat kepada orang tuaku yang selalu membenamkan ayat-ayat suci kepada anak-anaknya, apalagi bagi orang miskin yang memilih bunuh diri karena tidak sanggup lagi menghadapi derita kemiskinan?, karena kata ayahku orang yang bunuh diri tidak akan masuk syurga. "Ah, kasihannya orang miskin itu, didunia mereka tidak diterima, setelah matipun dilempar ke neraka".

Meskipun masih sulit percaya, aku masih ingat dengan apa yang tertera dalam tafsir-tafsir al-kitab, bahwa begitu pemurahnya Tuhan telah memberikan makanan, minuman dan semua kekayaan yang ada dibumi untuk manusia. Bahkan, cacingpun diberi makanan didalam tanah agar mereka bisa bertahan hidup. Karena itu, menjadi kewajiban bagi ummat manusia untuk bersyukur. Gugatanku kemudian adalah, bagaimana bisa mencari makanan dari dalam bumi, sedang sejengkal tanahpun sudah dikavling oleh modal, dengan menyingkirkan mereka yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.

Tapi dimana adanya Tuhan, yang menugaskan malaikat-Nya yang bernama Mikail untuk memberikan rejekinya kepada semua makhluk hidup. Atau jangan-jangan malaikanpun sudah dikuasai oleh kekuatan modal, dengan hanya memberikan semua limpahan kekayaan alam hanya bagi segelintir kelompok mereka. Sangat mungkinkan jika malaikat pemberi rejeki itu dikuasai oleh modal, buktinya para pemimpin agama itu telah menjadi alat bagi modal untuk mengakumulasi keuntungannya. Itulah kenapa kemudian Mikail enggan mendatangi orang-orang miskin, dan membagikan kemurahan rejeki yang dijanjikan Tuhan,meskipun orang-orang miskin sudah berpeluh keringat bekerja menjadi kuli, buruh murah, menyemir sepatu, bertani sayuran, menjadi PSK atau buruh migran di luar negeri sana.

"Tuhan, aku memimpikan Kau datang membawakan makanan kepada orangorang miskin yang tinggal di kolong jembatan, di permukiman kumuh yang mengganjal perutnya dari hasil mengais sisa makanan". Memberikan sedikit saja makanan yang ada dari keseluruhan bagian perut bumi, untuk mereka yang miskin. Sedikit saja, paling tidak membuat hambamu tidak cemas akan kelaparan.

Baca selengkapnya...

Dibalik Pertarungan Sumber Daya Alam

"Dibalik Pertarungan Sumberdaya Alam Indonesia"
Bogor, 18 September 2008


Latar Belakang

Krisis multidimensi yang sedang dialami oleh Indonesia harus segera di
akhiri, agar Indonesia bisa meraih kedaulatan atas apa yang
dimilikinya. Hak pengelolaan atas sumberdaya alam harus berada di
tangan rakyat, dan sudah seharusnya pemerintah sebagai pelaksana
mandat rakyat hanya berfungsi sebagai pengatur terpenuhinya hak-hak
rakyat tanpa intervensi asing dan bebas dari kepentingan neoliberal.

Berbagai persoalan terkait kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup,
bencana ekologis, krisis pangan, krisis air bersih, kebodohan dan
pencabutan subsidi pokok bagi rakyat adalah sebagai akibat dari
akumulasi ekstraksi sumberdaya alam yang tidak berkeadilan dan tidak
berpihak kepada kepentingan rakyat yang ditopang oleh kebijakan
pemerintah yang korup dan paradigma pertumbuhan ekonomi yang hanya
mengandalkan sektor tertentu seperti sektor pertambangan, perkebunan
dan kehutanan.

Pengelolaan Taman Nasional maupun kawasan konservasi lain, pembangunan
bendungan besar, pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, industri
pertambangan, pertambakan besar dan permasalahan lingkungan hidup di
perkotaan telah melahirkan berbagai konflik. Konflik tersebut
merupakan ruang pertarungan kepentingan antara pemerintah dan kaum
modal dengan komunitas lokal/adat.

Persoalan diatas memang harus dipahami secara utuh, sehingga berbagai
solusi dapat dimunculkan tanpa harus mengorbankan kepentingan yang
lain. Untuk itu diperlukan sebuah cara pandang dan pisau analisis yang
mampu memahami politik ekonomi dalam konteks pengrusakan lingkungan
hidup, sehingga bisa membuka tabir bagaimana sebenarnya hubungan
pengrusakan lingkungan hidup berkaitan dengan persoalan populasi dan
pembangunan di negara-negara maju/kepentingan global.

Para periset WALHI telah melakukan kajian singkat terhadap berbagai
problematika lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Hasil kajian
tersebut menjadi penting untuk dibedah bersama agar lebih tajam dan
memberikan makna bagi perubahan di Indonesia. Untuk itu, WALHI bersama
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan
Seminar Publik "Dibalik Pertarungan Sumberdaya Alam Indonesia"

Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini berbentuk seminar yang terbuka bagi umum dengan lima (5)
orang pembicara dari periset WALHI, 2 (dua) orang pembahas dan 2 (dua)
orang Key note Speaker.

Tujuan Kegiatan
Seminar ini bertujuan untuk :
1. Memaparkan dan membahas hasil-hasil penelitian tentang ekstraksi
sumberdaya alam, perubahan ekologi dan kepentingan ekonomi politik;
dengan menggunakan pendekatan ekologi politik.
2. Memperoleh masukan dari kalangan akademisi dan masyarakat untuk
memperkuat basis argumentasi hasil penelitian.

Hasil yang diharapkan
1. Mempertajam daya analisis periset WALHI dalam melakukan kajian
dengan pendekatan ekologi politik.
2. Terbangunnya komunikasi dan jejaring antar peneliti dan peminat
ekologi politik.

Waktu dan Tempat Kegiatan
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :
• Hari & Tanggal: Kamis, 18 September 2008
• Pukul : 13.00 – 18.00 WIB
• Tempat : Ruang Mahoni
Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB
Jl. Raya Pajajaran Bogor

Peserta Kegiatan
• Seminar ini tidak dipungut biaya dan terbuka untuk kalangan
akademisi, pemerintah, anggota legislatif, LSM, mahasiswa S1, S2 dan
S3, Periset WALHI serta kalangan jurnalis.
• Peserta dibatasi sebanyak 100 orang dan diutamakan yang mendaftar
lebih dahulu.
• Pendaftaran dilakukan melalui:
Kelompok Diskusi Ekologi, Kebudayaan dan Pembangunan (Ekbudbang),
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB
1. Rina Mardiana, SP. MSi
HP: 081555779667; email: rina_nrf@yahoo.com;
2. Anton Supriyadi, SP. MSi
HP: 081310053054; email: supriyadi_anton@yahoo.co.id
3. Mariamah Achmad
Eksekutif Nasional WALHI
HP: 081345407525; email: mayi@walhi.or.id

Baca selengkapnya...

Impian Kemakmuran Beralas Darah

Impian Kemakmuran Beralas Darah

Oleh : Khalisah Khalid

Jawa, dalam sejarah keberadaannya hingga kini selalu menjadi sebuah potret yang menarik untuk dilihat sebagai sebuah alur cerita krisis yang mengatasnamakan pembangunan. Penguasaan terhadap kelas menjadi sebuah cerita sejak jaman kerajaan, kolonialisasi, hingga saat ini. Setiap kelas yang berkuasa pada jamannya, menancapkan kekuasaannya untuk melanggengkan sebuah imperium bagi keberlanjutan eksistensinya sebagai pemilik kuasa.

Pemimpin manusia di pulau Jawa, didalam sistem kekuasaannya (power sistem) telah menempatkan diri sebagai sebuah elit yang mengatasnamakan kelas yang dikuasainya. Dalam hal ini rakyat yang selalu ditempatkan menjadi objek dalam seluruh cerita pembangunan, untuk mewujudkan mimpi kemakmuran dan kesejahteraan untuk kelompoknya.

Daendels, menjadi sosok pertama dari jaman kolonialisasi Belanda yang meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi di Pulau Jawa dan yang selanjutnya melahirkan banyak lagi daendels-daendels lain yang menerapkan dasar yang sama. Praktek industrialisasi yang disokong infrastruktur raksasa inilah yang kemudian menjadi landasan atau pijakan model pembangunan, yang berujung pada tata kuasa, tata penggunaan lahan, tata produksi dan tata konsumsi yang menguntungkan segelintir kuasa politik dan modal.

Pada saat itu, Daendels memimpikan dapat menguasai perdagangan dan jalur ekonomi, yang dapat dicapai dengan membangun infrastruktur ekonomi diantaranya jalan raya yang menjadi poros dari jalur perdagangan di Pulau Jawa dengan mempekerjakan secara paksa sekitar 12.000 orang. Jawa dipilih oleh kolonial Belanda untuk menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya, karena pulau Jawa`dinilai sangat strategis, kaya dengan sumber daya alamnya dan memiliki banyak sumber daya manusia yang sangat murah, yang dapat dipekerjakan secara paksa, antara lain di perkebunan teh dan kopi yang dikuasai oleh Perusahaan Belanda. Yang lainnya adalah karena pemimpin politik di Jawa dapat dijadikan sebagai penghubung atau mitra Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya. Kenyataan inilah yang alur kolonialisasi secara ekonomi, sejalan beriringan dengan kolonialisasi secara politik.

Meskipun hanya tiga tahun berkuasa, prinsip-prinsip penguasaan yang dilakukan oleh Daendels, diamini secara baik oleh generasi penerus daendels pada masa kolonial. Pembangunan imperium dirancang untuk mengamankan jalur ekonomi Belanda pada masa itu. Kesejahteraan bagi Indonesia sebagaimana yang dijanjikan oleh pemerintahan kolonial Belanda, hanya berada diatas kertas.

Sistem Tanam paksa di Jawa juga menjadi salah satu kebijakan yang dilakukan oleh kolonial Belanda mulai tahun 1830 yang diperkenalkan oleh van den Bosch, yang bertujuan untuk mendapatkan produksi komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia. Sistem tanam paksa kala itu merupakan alat penghisapan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, yang telah menciptakan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani di Jawa. Betul memang tanam paksa telah mendorong pertumbuhan di bidang ekspor pertanian dan terlibat dalam proses perdagangan internasional, tetapi dari seluruh cerita ini, yang memetik keuntungan dan kepentingan atas perdagangan internasional adalah kongsi dagang Belanda, bukan petani yang mengerjakan tanam paksa di Jawa.

Paska pembangunan jalan Anyer-Panarukan, di jaman Orde Baru, entitas politik di Pulau Jawa mengikuti dan memperkokoh praktek pembangunan infrastruktur industri. Pembangunan dan janji pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah mitos yang terus menerus disuarakan oleh pengurus negara dan pemodal yang menguasai tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi dan tata konsumsi manusia di Pulau Jawa. Sayangnya, semua kebijakan pembangunan yang dilakukan kemudian, tidak pernah menghitung nilai-nilai lain yang dapat memastikan rakyat di pulau Jawa`dapat terus berlanjut antara lain jaminan atas keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.

Dimasa orde baru, bagaimana pembangunan infrastruktur industri manufuktur dan modern, menjadi mesin utama dari cerita pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan telah menggantikan ekonomi pertanian di pedesaan dan merubah tatanan sosial dan budaya dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri.

Dalam konteks kekinian, pembangunan jalan menjadi prioritas utama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Seluruh cerita pembangunan infrastruktur jalan di Jakarta ditujukan menyediakan sarana dan fasilitas dengan mendukung investasi yang menanamkan modalnya di Jakarta. Antara lain dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, pembebasan lahan dengan biaya yang murah, bahkan seringkali menimbulkan persoalan panjang dikemudian hari dengan menggusur masyarakat, yang dipercaya sebagai mesin utama penggerak ekonomi. Dalam penataan ruang, sistem transportasi bertujuan untuk melakukan efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan infrastruktur di Ibukota dilakukan dengan begitu pesatnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dibuktikan dengan membangun ruas jalan, jembatan layang, jalan tol agar dapat memudahkan distribusi industri dan modal bekerja. Selain itu, tanah juga menjadi salah satu alat produksi investasi yang disiapkan dengan memberikan jaminan atas pembebasan tanah-tanah masyarakat untuk membangun kepentingan pembangunan infrastuktur, tentu saja atas nama pembangunan dan menjual jargon kesejahteraan rakyat.

Yang mesti dilihat secara kritis, bahwa cerita pembangunan dengan janji kesejahteraan dan kemakmuran melahirkan cerita lain yakni sebuah krisis yang terus menerus harus dialami oleh rakyat. Jalan Anyer-Panarukan yang menjadi jalan utama bagi industri kolonial Belanda, dibangun diatas landasan air mata, darah dan mayat dari ribuan orang pekerja paksa. Penyakit, kelaparan dan kemiskinan bercampur menjadi sebuah siklus hidup yang harus dialami oleh rakyat yang tidak memiliki kekuatan untuk kekuatan untuk melawan kebijakan kolonial, karena daendels turut mengajak penguasa di Jawa, untuk masuk dalam gerbong koloni untuk membangun kerajaan ekonomi.

Bagi pengurus negara, pengorbanan adalah sebuah kewajaran didalam cerita pembangunan. Cerita orang yang mati pada masa kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan, cerita 37 desa di 3 kabupaten dan 7 kecamatan desa yang tenggelam dan sekitar 23.380 jiwa kehilangan ruang hidupnya untuk pembangunan Kedung Ombo, dinilai oleh pengurus negara sebagai sebuah bentuk pengorbanan dari rakyat kepada negara, dengan atas nama pembangunan. Proyek infrastruktur dengan resiko tinggi dengan tingkat manfaat sangat rendah. Terakhir, Kedung Ombo menjadi sebuah potret kepatuhan pengurus Negara kepada agenda perluasan infrastruktur oleh institusi keuangan internasional untuk kepentingan investasi.

Cerita Lapindo hari ini, menjadi cerita yang paling kontekstual. Bagaimana industri telah menjadi sebuah malaikat baru yang siap untuk mencabut nyawa rakyat kapanpun dia mau, karena sampai hari ini industri di sektor tambang dan migas menjadi industri yang paling tertutup. Bahkan, rakyat tidak pernah bahwa mereka hidup tanpa adanya jaminan keselamatan, produktifitas, kesejahteraan dan keberlanjutan pelayanan alam. Kasus Lapindo menjadi sebuah potret yang utuh bahwa industri telah mampu dalam sekejap mata menghancurkan bangunan hidup yang telah dirintis dengan susah payah oleh rakyat di Sidoarjo. Saat ini, 24.000 orang harus kehilangan ruang hidupnya, ditenggelamnya oleh sebuah cerita pembangunan yang bernama industri migas.

Bahkan bagi rakyat di Jawa Timur, sama sekali tidak memiliki jaminan apakah nasibnya tidak akan lebih buruk dari cerita sedih yang dialami oleh rakyat di Sidoarjo akibat busuknya politik industrialisasi yang dipraktekkan oleh kuasa modal dan pengurus negara, karena tidak kurang dari 32 blok migas yang ada di Jawa Timur yang memiliki tingkat huni yang padat.

Dalam cerita Lapindo, industri migas menjadi sebuah industri yang memiliki kekuatan ekonomi politik. Dari sejarah dimulainya industri sektor ini, terutama pertambangan minyak, di Indonesia menjelang abad 19. Industri minyak bahkan menjadi urusan kunci dalam dinamika proses diplomasi di awal Kemerdekaan. Nilai strategis ini menjadikan industri minyak sektor yang sakral, yang hingga perlu ditangani dengan keterlibatan militer.

Di perkotaan, hegemoni industri bahkan sudah memasuki sum-sum kehidupan masyarakat perkotaan. Bagaimana industri mampu merubah pola konsumsi masyarakat perkotaan, yang melahirkan sebuah gaya hidup sampah yang dikemas sedemikian apik dan menarik melalui reklame gaya hidup. Pola konsumsi yang dibangun oleh industri semakin menempatkan rakyat menjadi korban, baik korban dalam pemahaman sebagai konsumen yang tingkat konsumsinya disetir oleh industri, maupun korban ikutan yang justru harus merasakan dampak dari pola konsumsi yang lebih besar. Tidak kurang 125 orang yang mati tertimbun 4000 ton/hari sampah, akibat dari sebuah pola konsumsi yang dibangun oleh elit kuasa dan modal. Demikian juga yang terjadi di kota besar lain, seperti di Jakarta yang memproduksi sampah 6000 ton/hari

Cerita lain dari masyarakat perkotaan di Pulau Jawa adalah hilangnya ruang hidup rakyat tersingkir oleh derasnya laju pembangunan dan industrilisasi seperti yang dialami oleh komunitas pertama Jakarta, yang saat ini hanya menyisakan 30% komunitas, dan tinggal menunggu waktunya tersingkir.

Pembangunan infrastruktur industri, telah mengabaikan kerentanan pulau Jawa terhadap bencana. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya hitungan bencana yang masuk dalam angka belanja negara, dan buruknya penanganan bencana yang menyebabkan rakyat kembali harus menjadi korban kedua kalinya akibat dari lemahnya negara didalam merespon bencana. Bahkan, bencana kemudian menjadi sebuah komoditi baru, ketika bantuan kemudian diokupasi oleh elit kuasa dan modal. Rakyat akan ditempatkan sebagai korban yang tidak berdaya, dengan jualan kesabaran dan bahkan dengan tidak malu-malu menyertakan Tuhan dalam cerita komoditas baru yang bernama bencana. Kurang lebih 6400 orang meninggal dunia dalam bencana gempa di Yogya, belum lagi ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal.

Jika ditarik garis lurus, bahwa kelas yang berkuasa pada jamannya, dari jaman kolonial hingga rezim saat ini, meletakkan sebuah pondasi pembangunan dengan mimpi yang sama yakni kemakmuran dan kesejahteraan bagi pelanggengan kekuasaannya. Bahkan dengan menggunakan bacaan yang sama, bahwa seluruh cerita pembangunan infrastruktur industri, digunakan sebagai sebuah ajang bagi bentuk konsolidasi modal, politik (kekuasaan) dan militer.

Semua pemilik kuasa, juga menggunakan cara pandang yang sama dalam melihat rakyat.Rakyat dalam hal ini, hanya ditempatkan sebagai objek, tidak lebih dan tidak kurang. Karenanya, rakyat akan selalu didudukkan sebagai hamba yang baik, korban yang baik dan penerima nasib yang baik.

Bagaimana kita melihat dan menyaksikan sebuah bentuk pengorbanan yang diminta oleh penguasa terhadap rakyatnya untuk kebutuhan memudahkan berjalannya pengembangan ekonomi dan laju investasi di Jakarta, pembangunan sejumlah jalan di Jakarta memang disiapkan dengan menyediakan tanah-tanah bagi kepentingan bisnis, yang itu artinya sedang mendorong industri untuk memainkan perannya yang begitu besar dalam pembangunan perkotaan. Kebijakan pemerintah melalui Perpres 36/2005 dan kemudian direvisi menjadi Perpres 52/2006, yang melegitimasi pengambilan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan infrastruktur dengan atas nama kepentingan umum.

Pembangunan dan perluasan infrastruktur, dipastikan akan menggusur ribuan orang yang dipaksa untuk berkorban dengan atas nama kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dan yang lebih menjijikkan dengan atas nama stabilitas ekonomi dan politik.

Lalu bagaimana dengan impian kemakmuran yang selalu disuarakan dengan lantang oleh kelas yang berkuasa di Jawa, apakah kemakmuran yang diimpikan itu untuk seluruh rakyat? Kemakmuran bagi kelas yang berkuasa di Pulau Jawa, menjadi sebuah keniscayaan untuk melanggengkan struktur kekuasaannya, bahkan termasuk dengan mengabaikan keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.

Kemakmuran, dalam seluruh cerita pembangunan menjadi sebuah impian dari elit dalam sebuah sistem kekuasaan (power sistem), dan menempatkan rakyat sebagai objek dari seluruh alur dari perwujudan cerita impian kemakmuran ini. Kemakmuran adalah angka-angka penderitaan rakyat yang dapat dimanipulasi melalui asumsi yang tidak masuk akal dan menghina akal sehat, antara lain dengan angka kemiskinan.

Bagi rakyat yang selalu menjadi objek, kemakmuran hanya sebuah ilusi atau mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan dari rakyat yang selalu berkorban. Dari waktu ke waktu sejak jaman kolonialisasi, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai objek semata, dan karenanya jika kita melihat krisis yang dialami oleh rakyat dari tahun ke tahun, sesungguhnya kita sedang melihat siklus yang sama. Derajat korban dari waktu ke waktupun mengalami hal yang sama. Tak bernama, dan tak berwajah.

Kemiskinan menjadi sebuah fakta riil dari masa ke masa, yang dialami oleh rakyat yang tidak memiliki “kemampuan” didalam merespon krisis yang diciptakan oleh akumulasi kekuatan modal dan kuasa. Bahkan, krisis ini semakin terus menerus lahir dengan durasi yang lebih panjang dan meluas.

BPS menyampaikan data kemiskinan pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat mencapai 3,90% dari tahun sebelumnya, menjadi 35,10 juta orang dan sebagian besar terjadi di pedesaan, yang disebabkan oleh semakin hilangnya sumber-sumber produksi yang dikuasai oleh para pemilik kuasa modal.

Jangankan janji kesejahteraan atau kemakmuran seperti yang selalu dikampanyekan oleh para pelaku pemilik kuasa, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah cost yang seharusnya menjadi dasar didalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Cerita pengentasan kemiskinan juga bukan hal yang baru, pemerintah selalu memiliki program pengentasan kemiskinan, bahkan dengan mengajukan utang luar negeri. Sayangnya program tersebut, justru tidak pernah menjawab krisis kemiskinan yang terjadi.

World Bank bahkan mengajurkan bahwa salah satu program pengentasan kemiskinan adalah dengan program pertumbuhan ekonomi. Padahal rumus ekonomi tidak pernah memberikan distribusi yang adil bagi rakyat, karena sesungguhnya pertumbuhan ekonomi tidak lebih hanya menjadi bentuk akumulasi dari pemilik modal dan pengurus negara yang menguasai tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan.

Gizi buruk, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, menjadi fakta-fakta yang disajikan setiap hari oleh media massa yang mengiringi sarapan kita setiap pagi. Lalu dimana adanya impian kemakmuran itu, sesungguhnya dia hanya ada di ruang-ruang mewah.

sumber : catatan perdana Java Collapse

Baca selengkapnya...