Impian Kemakmuran Beralas Darah

Impian Kemakmuran Beralas Darah

Oleh : Khalisah Khalid

Jawa, dalam sejarah keberadaannya hingga kini selalu menjadi sebuah potret yang menarik untuk dilihat sebagai sebuah alur cerita krisis yang mengatasnamakan pembangunan. Penguasaan terhadap kelas menjadi sebuah cerita sejak jaman kerajaan, kolonialisasi, hingga saat ini. Setiap kelas yang berkuasa pada jamannya, menancapkan kekuasaannya untuk melanggengkan sebuah imperium bagi keberlanjutan eksistensinya sebagai pemilik kuasa.

Pemimpin manusia di pulau Jawa, didalam sistem kekuasaannya (power sistem) telah menempatkan diri sebagai sebuah elit yang mengatasnamakan kelas yang dikuasainya. Dalam hal ini rakyat yang selalu ditempatkan menjadi objek dalam seluruh cerita pembangunan, untuk mewujudkan mimpi kemakmuran dan kesejahteraan untuk kelompoknya.

Daendels, menjadi sosok pertama dari jaman kolonialisasi Belanda yang meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi di Pulau Jawa dan yang selanjutnya melahirkan banyak lagi daendels-daendels lain yang menerapkan dasar yang sama. Praktek industrialisasi yang disokong infrastruktur raksasa inilah yang kemudian menjadi landasan atau pijakan model pembangunan, yang berujung pada tata kuasa, tata penggunaan lahan, tata produksi dan tata konsumsi yang menguntungkan segelintir kuasa politik dan modal.

Pada saat itu, Daendels memimpikan dapat menguasai perdagangan dan jalur ekonomi, yang dapat dicapai dengan membangun infrastruktur ekonomi diantaranya jalan raya yang menjadi poros dari jalur perdagangan di Pulau Jawa dengan mempekerjakan secara paksa sekitar 12.000 orang. Jawa dipilih oleh kolonial Belanda untuk menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya, karena pulau Jawa`dinilai sangat strategis, kaya dengan sumber daya alamnya dan memiliki banyak sumber daya manusia yang sangat murah, yang dapat dipekerjakan secara paksa, antara lain di perkebunan teh dan kopi yang dikuasai oleh Perusahaan Belanda. Yang lainnya adalah karena pemimpin politik di Jawa dapat dijadikan sebagai penghubung atau mitra Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya. Kenyataan inilah yang alur kolonialisasi secara ekonomi, sejalan beriringan dengan kolonialisasi secara politik.

Meskipun hanya tiga tahun berkuasa, prinsip-prinsip penguasaan yang dilakukan oleh Daendels, diamini secara baik oleh generasi penerus daendels pada masa kolonial. Pembangunan imperium dirancang untuk mengamankan jalur ekonomi Belanda pada masa itu. Kesejahteraan bagi Indonesia sebagaimana yang dijanjikan oleh pemerintahan kolonial Belanda, hanya berada diatas kertas.

Sistem Tanam paksa di Jawa juga menjadi salah satu kebijakan yang dilakukan oleh kolonial Belanda mulai tahun 1830 yang diperkenalkan oleh van den Bosch, yang bertujuan untuk mendapatkan produksi komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia. Sistem tanam paksa kala itu merupakan alat penghisapan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, yang telah menciptakan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani di Jawa. Betul memang tanam paksa telah mendorong pertumbuhan di bidang ekspor pertanian dan terlibat dalam proses perdagangan internasional, tetapi dari seluruh cerita ini, yang memetik keuntungan dan kepentingan atas perdagangan internasional adalah kongsi dagang Belanda, bukan petani yang mengerjakan tanam paksa di Jawa.

Paska pembangunan jalan Anyer-Panarukan, di jaman Orde Baru, entitas politik di Pulau Jawa mengikuti dan memperkokoh praktek pembangunan infrastruktur industri. Pembangunan dan janji pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah mitos yang terus menerus disuarakan oleh pengurus negara dan pemodal yang menguasai tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi dan tata konsumsi manusia di Pulau Jawa. Sayangnya, semua kebijakan pembangunan yang dilakukan kemudian, tidak pernah menghitung nilai-nilai lain yang dapat memastikan rakyat di pulau Jawa`dapat terus berlanjut antara lain jaminan atas keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.

Dimasa orde baru, bagaimana pembangunan infrastruktur industri manufuktur dan modern, menjadi mesin utama dari cerita pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan telah menggantikan ekonomi pertanian di pedesaan dan merubah tatanan sosial dan budaya dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri.

Dalam konteks kekinian, pembangunan jalan menjadi prioritas utama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Seluruh cerita pembangunan infrastruktur jalan di Jakarta ditujukan menyediakan sarana dan fasilitas dengan mendukung investasi yang menanamkan modalnya di Jakarta. Antara lain dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, pembebasan lahan dengan biaya yang murah, bahkan seringkali menimbulkan persoalan panjang dikemudian hari dengan menggusur masyarakat, yang dipercaya sebagai mesin utama penggerak ekonomi. Dalam penataan ruang, sistem transportasi bertujuan untuk melakukan efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan infrastruktur di Ibukota dilakukan dengan begitu pesatnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dibuktikan dengan membangun ruas jalan, jembatan layang, jalan tol agar dapat memudahkan distribusi industri dan modal bekerja. Selain itu, tanah juga menjadi salah satu alat produksi investasi yang disiapkan dengan memberikan jaminan atas pembebasan tanah-tanah masyarakat untuk membangun kepentingan pembangunan infrastuktur, tentu saja atas nama pembangunan dan menjual jargon kesejahteraan rakyat.

Yang mesti dilihat secara kritis, bahwa cerita pembangunan dengan janji kesejahteraan dan kemakmuran melahirkan cerita lain yakni sebuah krisis yang terus menerus harus dialami oleh rakyat. Jalan Anyer-Panarukan yang menjadi jalan utama bagi industri kolonial Belanda, dibangun diatas landasan air mata, darah dan mayat dari ribuan orang pekerja paksa. Penyakit, kelaparan dan kemiskinan bercampur menjadi sebuah siklus hidup yang harus dialami oleh rakyat yang tidak memiliki kekuatan untuk kekuatan untuk melawan kebijakan kolonial, karena daendels turut mengajak penguasa di Jawa, untuk masuk dalam gerbong koloni untuk membangun kerajaan ekonomi.

Bagi pengurus negara, pengorbanan adalah sebuah kewajaran didalam cerita pembangunan. Cerita orang yang mati pada masa kerja paksa pembangunan jalan Anyer-Panarukan, cerita 37 desa di 3 kabupaten dan 7 kecamatan desa yang tenggelam dan sekitar 23.380 jiwa kehilangan ruang hidupnya untuk pembangunan Kedung Ombo, dinilai oleh pengurus negara sebagai sebuah bentuk pengorbanan dari rakyat kepada negara, dengan atas nama pembangunan. Proyek infrastruktur dengan resiko tinggi dengan tingkat manfaat sangat rendah. Terakhir, Kedung Ombo menjadi sebuah potret kepatuhan pengurus Negara kepada agenda perluasan infrastruktur oleh institusi keuangan internasional untuk kepentingan investasi.

Cerita Lapindo hari ini, menjadi cerita yang paling kontekstual. Bagaimana industri telah menjadi sebuah malaikat baru yang siap untuk mencabut nyawa rakyat kapanpun dia mau, karena sampai hari ini industri di sektor tambang dan migas menjadi industri yang paling tertutup. Bahkan, rakyat tidak pernah bahwa mereka hidup tanpa adanya jaminan keselamatan, produktifitas, kesejahteraan dan keberlanjutan pelayanan alam. Kasus Lapindo menjadi sebuah potret yang utuh bahwa industri telah mampu dalam sekejap mata menghancurkan bangunan hidup yang telah dirintis dengan susah payah oleh rakyat di Sidoarjo. Saat ini, 24.000 orang harus kehilangan ruang hidupnya, ditenggelamnya oleh sebuah cerita pembangunan yang bernama industri migas.

Bahkan bagi rakyat di Jawa Timur, sama sekali tidak memiliki jaminan apakah nasibnya tidak akan lebih buruk dari cerita sedih yang dialami oleh rakyat di Sidoarjo akibat busuknya politik industrialisasi yang dipraktekkan oleh kuasa modal dan pengurus negara, karena tidak kurang dari 32 blok migas yang ada di Jawa Timur yang memiliki tingkat huni yang padat.

Dalam cerita Lapindo, industri migas menjadi sebuah industri yang memiliki kekuatan ekonomi politik. Dari sejarah dimulainya industri sektor ini, terutama pertambangan minyak, di Indonesia menjelang abad 19. Industri minyak bahkan menjadi urusan kunci dalam dinamika proses diplomasi di awal Kemerdekaan. Nilai strategis ini menjadikan industri minyak sektor yang sakral, yang hingga perlu ditangani dengan keterlibatan militer.

Di perkotaan, hegemoni industri bahkan sudah memasuki sum-sum kehidupan masyarakat perkotaan. Bagaimana industri mampu merubah pola konsumsi masyarakat perkotaan, yang melahirkan sebuah gaya hidup sampah yang dikemas sedemikian apik dan menarik melalui reklame gaya hidup. Pola konsumsi yang dibangun oleh industri semakin menempatkan rakyat menjadi korban, baik korban dalam pemahaman sebagai konsumen yang tingkat konsumsinya disetir oleh industri, maupun korban ikutan yang justru harus merasakan dampak dari pola konsumsi yang lebih besar. Tidak kurang 125 orang yang mati tertimbun 4000 ton/hari sampah, akibat dari sebuah pola konsumsi yang dibangun oleh elit kuasa dan modal. Demikian juga yang terjadi di kota besar lain, seperti di Jakarta yang memproduksi sampah 6000 ton/hari

Cerita lain dari masyarakat perkotaan di Pulau Jawa adalah hilangnya ruang hidup rakyat tersingkir oleh derasnya laju pembangunan dan industrilisasi seperti yang dialami oleh komunitas pertama Jakarta, yang saat ini hanya menyisakan 30% komunitas, dan tinggal menunggu waktunya tersingkir.

Pembangunan infrastruktur industri, telah mengabaikan kerentanan pulau Jawa terhadap bencana. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya hitungan bencana yang masuk dalam angka belanja negara, dan buruknya penanganan bencana yang menyebabkan rakyat kembali harus menjadi korban kedua kalinya akibat dari lemahnya negara didalam merespon bencana. Bahkan, bencana kemudian menjadi sebuah komoditi baru, ketika bantuan kemudian diokupasi oleh elit kuasa dan modal. Rakyat akan ditempatkan sebagai korban yang tidak berdaya, dengan jualan kesabaran dan bahkan dengan tidak malu-malu menyertakan Tuhan dalam cerita komoditas baru yang bernama bencana. Kurang lebih 6400 orang meninggal dunia dalam bencana gempa di Yogya, belum lagi ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal.

Jika ditarik garis lurus, bahwa kelas yang berkuasa pada jamannya, dari jaman kolonial hingga rezim saat ini, meletakkan sebuah pondasi pembangunan dengan mimpi yang sama yakni kemakmuran dan kesejahteraan bagi pelanggengan kekuasaannya. Bahkan dengan menggunakan bacaan yang sama, bahwa seluruh cerita pembangunan infrastruktur industri, digunakan sebagai sebuah ajang bagi bentuk konsolidasi modal, politik (kekuasaan) dan militer.

Semua pemilik kuasa, juga menggunakan cara pandang yang sama dalam melihat rakyat.Rakyat dalam hal ini, hanya ditempatkan sebagai objek, tidak lebih dan tidak kurang. Karenanya, rakyat akan selalu didudukkan sebagai hamba yang baik, korban yang baik dan penerima nasib yang baik.

Bagaimana kita melihat dan menyaksikan sebuah bentuk pengorbanan yang diminta oleh penguasa terhadap rakyatnya untuk kebutuhan memudahkan berjalannya pengembangan ekonomi dan laju investasi di Jakarta, pembangunan sejumlah jalan di Jakarta memang disiapkan dengan menyediakan tanah-tanah bagi kepentingan bisnis, yang itu artinya sedang mendorong industri untuk memainkan perannya yang begitu besar dalam pembangunan perkotaan. Kebijakan pemerintah melalui Perpres 36/2005 dan kemudian direvisi menjadi Perpres 52/2006, yang melegitimasi pengambilan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan infrastruktur dengan atas nama kepentingan umum.

Pembangunan dan perluasan infrastruktur, dipastikan akan menggusur ribuan orang yang dipaksa untuk berkorban dengan atas nama kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dan yang lebih menjijikkan dengan atas nama stabilitas ekonomi dan politik.

Lalu bagaimana dengan impian kemakmuran yang selalu disuarakan dengan lantang oleh kelas yang berkuasa di Jawa, apakah kemakmuran yang diimpikan itu untuk seluruh rakyat? Kemakmuran bagi kelas yang berkuasa di Pulau Jawa, menjadi sebuah keniscayaan untuk melanggengkan struktur kekuasaannya, bahkan termasuk dengan mengabaikan keselamatan, kesejahteraan, produktifitas dan keberlanjutan pelayanan alam.

Kemakmuran, dalam seluruh cerita pembangunan menjadi sebuah impian dari elit dalam sebuah sistem kekuasaan (power sistem), dan menempatkan rakyat sebagai objek dari seluruh alur dari perwujudan cerita impian kemakmuran ini. Kemakmuran adalah angka-angka penderitaan rakyat yang dapat dimanipulasi melalui asumsi yang tidak masuk akal dan menghina akal sehat, antara lain dengan angka kemiskinan.

Bagi rakyat yang selalu menjadi objek, kemakmuran hanya sebuah ilusi atau mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan dari rakyat yang selalu berkorban. Dari waktu ke waktu sejak jaman kolonialisasi, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai objek semata, dan karenanya jika kita melihat krisis yang dialami oleh rakyat dari tahun ke tahun, sesungguhnya kita sedang melihat siklus yang sama. Derajat korban dari waktu ke waktupun mengalami hal yang sama. Tak bernama, dan tak berwajah.

Kemiskinan menjadi sebuah fakta riil dari masa ke masa, yang dialami oleh rakyat yang tidak memiliki “kemampuan” didalam merespon krisis yang diciptakan oleh akumulasi kekuatan modal dan kuasa. Bahkan, krisis ini semakin terus menerus lahir dengan durasi yang lebih panjang dan meluas.

BPS menyampaikan data kemiskinan pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat mencapai 3,90% dari tahun sebelumnya, menjadi 35,10 juta orang dan sebagian besar terjadi di pedesaan, yang disebabkan oleh semakin hilangnya sumber-sumber produksi yang dikuasai oleh para pemilik kuasa modal.

Jangankan janji kesejahteraan atau kemakmuran seperti yang selalu dikampanyekan oleh para pelaku pemilik kuasa, keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung sebagai sebuah cost yang seharusnya menjadi dasar didalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Cerita pengentasan kemiskinan juga bukan hal yang baru, pemerintah selalu memiliki program pengentasan kemiskinan, bahkan dengan mengajukan utang luar negeri. Sayangnya program tersebut, justru tidak pernah menjawab krisis kemiskinan yang terjadi.

World Bank bahkan mengajurkan bahwa salah satu program pengentasan kemiskinan adalah dengan program pertumbuhan ekonomi. Padahal rumus ekonomi tidak pernah memberikan distribusi yang adil bagi rakyat, karena sesungguhnya pertumbuhan ekonomi tidak lebih hanya menjadi bentuk akumulasi dari pemilik modal dan pengurus negara yang menguasai tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan.

Gizi buruk, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, menjadi fakta-fakta yang disajikan setiap hari oleh media massa yang mengiringi sarapan kita setiap pagi. Lalu dimana adanya impian kemakmuran itu, sesungguhnya dia hanya ada di ruang-ruang mewah.

sumber : catatan perdana Java Collapse

3 comments:

infogue said...

artikel anda:

http://jawa.infogue.com/
http://jawa.infogue.com/impian_kemakmuran_beralas_darah

promosikan artikel anda di infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler,telah tersedia widget shareGue dan nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

andreas iswinarto said...

alien coba dimanfaatkan fasilitas link di blogmu. kita bikin grup aktivis hijau

khalisah khalid said...

trims atas comment dari kawans, fyi aku gaptek so bingung mau ngelink-nya. hehehe.... salam kenal:-)