Lebaran tak Semanis Brownis

Lebaran tak Semanis Brownis

Khalisah Khalid

Tiga tahun belakangan ini, setiap menjelang hari raya, meskipun tidak banyak ibuku selalu menerima pesanan brownis kukus. Jenis kue yang satu ini memang sangat enak, kaya dengan coklat dan begitu lembut dimakan. Kebanyakan orang suka dengan kue ini, apalagi ditambah dengan secangkir teh hangat. Kemanisan rasanya, bahkan mampu melupakan sejenak kerumitan pekerjaan.

Lebaran kali ini, pesanan kue juga sudah mulai datang. Tentulah orang ingin kembali menikmati kemanisan rasanya, dan harusnya ibuku juga senang karena itu sama artinya dengan pendapatan penghasilan yang akan dia dapatkan. Namun diluar dugaan, ibuku tidak merespon dengan cepat pesanan kue dari teman-temanku. Cerita punya cerita, ternyata dia bingung dengan harga jualnya. "Berapa ya mau dijualnya? takutnya kemahalan dan membuat orang jadi takut untuk membeli".

"Harga minyak tanahnya itu loh yang mahal banget, satu liter harganya mencapai sebelas ribu sampai dua belas ribu rupiah". Masih bagus kalau dapat, karena sudah mahal langka lagi di pasaran". Begitu ucapnya, untuk menjawab keherananku karena sikapnya yang tidak antusias menerima pesanan. Kupikir ibuku bisa masak kue, dengan menggunakan kompor gas. Ternyata, kompor gas juga tidak selalu bisa digunakan untuk memasak kue, karena matangnya tidak rata jika menggunakan kompor gas. "Hmmm, sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan. Begitu gumamku dalam hati.

Bukan ibuku saja yang merasakan itu, karena baru dua hari yang lalu saya ngobrol dengan seorang ibu nelayan sambil berbuka puasa di Cilincing Jakarta Utara sana. Sudah satu bulan ini suaminya tidak melaut, karena tidak ada ikan. Modal yang dikeluarkan begitu besar, hampir seratus ribu sekali jalan, dan yang terbesar adalah biaya untuk membeli minyak. Sementara hasil yang didapatkan hanya mencapai Rp. 20.000, padahal sistem pembayaran minyaknya biasanya dibayarkan setelah suaminya mendapatkan hasil melaut. Kini, untuk bertahan hidup, dia harus menjadi pengupas kijing (kerang) dengan harga Rp. 1.250 perkilonya. Maksimal dia bisa membersihkan 10 kilo satu hari, itupun sudah seluruh keluarganya ikut dibawanya membantu bekerja. Ramadhan depan, mungkin sudah waktunya aktifis-aktifis berbuka puasa yang biasanya di kantor mereka, di ruang-ruang mewah, memindahkan tempatnya ke kampung-kampung gelap, lorong-lorong kumuh.

Ibuku mungkin tidak terlalu sulit, karena usahanya menjual brownis bukan sebagai penghasilan utama keluarga. Tapi bagaimana dengan perempuan-perempuan lain, yang usahanya yang mengandalkan minyak tanah, merupakan sumber penghidupan keluarganya? Kesulitan hidup ibu-ibu ini dirasakan, setiap kali pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM. Bagaimana dengan nasib ibu nelayan itu, bagaimana dia harus makan dan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya?

Ah, susahnya kupikir jadi ibu rumah tangga yang sedang berusaha membantu ekonomi keluarganya. Dari beberapa pengalaman ini, aku menangkap apa yang menjadi problem utama kebijakan negara. Mereka mengabaikan kelompok perempuan yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar, baik untuk keperluan makan keluarga sehari-hari, maupun untuk membangun produktifitasnya dengan berbagai unit usaha yang dilakukan.

Setiap kenaikan harga BBM yang selalu diikuti dengan kelangkaan minyak tanah, belum lagi ditambah dengan konversi minyak tanah ke gas. Apakah pengurus negara ini tahu, bahwa fungsi minyak tanah untuk memasak kue yang bagus untuk dijual, tidak bisa digantikan oleh gas. Dan apakah pemerintah juga tahu, bahwa nelayan tidak mungkin membawa tabung gas untuk menyalakan lampu petromak mereka. Ah..... tapi bagaimana pemerintah tahu, lah wong mereka tidak pernah punya pengalaman menjadi nelayan, apalagi merasakan membuat brownis kukus yang harus dimasak di kompor minyak. Beginilah jadinya, kalau kebijakan negara mengabaikan kelompok masyarakat yang hidupnya bergantung dari minyak tanah.

Ibuku pernah bertanya, apakah Indonesia memang tidak lagi punya persediaan minyak?, sampai harus diganti ke gas dan harga minyak menjadi sangat mahal. Sebuah pertanyaan kritis bagiku, untuk bisa menjelaskan bahwa Indonesia begitu memiliki kekayaan yang berlimpah, sayangnya kekayaannya bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, melainkan menjadi komoditas dan dijual untuk memenuhi konsumsi negara-negara maju, karena hampir 85 persen minyak dan gas kita dikuasi oleh asing.

Lebaran, harusnya semua ummat bersuka cita, karena kelezatan dan kemanisannya seperti brownis kukus yang dibuat ibuku. Sayangnya, kemanisan hari raya sudah ikut diambil oleh penguasa yang memiliki kekuatan secara politik dan ekonomi untuk menguasai kekayaan alam di bumi ini.

0 comments: