Sya .... (I)

Sya ….

Aku sedang berada didalam kereta menuju kota Den Haag, detik-detik kecepatannya semakin membawaku jauh diambang batas khayalan yang selalu menjadi teman dimasa remajaku. Dulu aku selalu marajuk, mengapa ibu belum juga membelikanku bra dengan renda yang lucu-lucu, padahal hampir semua temanku sudah memakai bra dengan beraneka warna. Aku juga selalu bertanya kepada ibu, mengapa aku belum juga mendapatkan datang bulan sebagai tanda kalau aku sudah beranjak remaja, dan boleh mulai pacaran tentu saja.

Ah,…. Hampir saja ibu menjawab. Tapi rem kereta segera mengembalikan waktuku tepat disini. Kala dingin mulai menyingkap perlahan-lahan, merayapi seluruh badanku hingga ke sum-sumnya. “Seperti di Lembang”, begitu bisikku pada teman lelaki yang menjemputku. Dia hanya tersenyum melihat kepolosanku yang baru menapak di bumi Eropa.

“Eropa euy”….. setengah mati girangnya aku begitu keluar dari stasiun Holland Spoor, sama persis begitu girangnya ketika aku pertama kali aku mendapati rok sekolahku ternoda darah. “Yes, ibu………..” setengah berteriak aku berlari menghampiri ibuku. “aku menstruasi, aku sudah besar dan artinya sudah boleh pacarankan?” bisikku setengah memohon. Apalagi aku ingat cerita ibu, yang dinikahi ayahku diwaktu umurnya belum lagi genap 15 tahun.

Akhirnya aku memiliki cerita yang sama dengan teman-teman sebayaku, meskipun aku mendapatinya diumur 17 tahun. Terlambat ya, ah… tapi enggak pa-palah. Kata ibu, biar terlambat, yang penting aku sudah merasakan menjadi perempuan setengah sempurna. Kenapa cuma setengah? Protesku kepada ibu. “Ya…. Setengah, karena setengah lagi bisa kamu dapatkan jika kamu sudah menikah dan melahirkan”.

“Susah banget jadi perempuan ya”? “Apa teman lelakiku juga begitu?” Pasti enggaklah ya, mereka tidak akan pernah menjadi laki-laki yang sempurna, karena mereka tidak akan bisa melahirkan bukan?? Bisikku dalam hati dengan senangnya.

Sya .....

Dingin semakin kuat memenjaraku aku dalam jaket tebal ini, padahal salju belum lagi turun di awal September ini. Teh hangat secepat kilat kuteguk habis dalam sekejap, seperti jamu yang secara rutin harus aku minum setiap hari, untuk menghilangkan rasa sakit yang teramat sangat dikala jadwal menstruasiku tiba. Rasa gembira tiba-tiba berubah menjadi rasa benci dan sekarang aku malah membenci diriku sebagai perempuan, dan setiap kali menstruasi, aku selalu merengek pada ibu untuk mengganti vaginaku dengan penis. Belum lagi rasa mual yang hampir terlalu sering menguras isi perutku, hingga rasanya makanan menjadi duri sembilu yang menyayat-nyayat lambung dan ulu hatiku.

Ibu pasti begitu repot, sama repotnya dengan teman-temanku yang sempat berpikir bahwa tuntutan cuti haidh itu tuntutan kegenitan dari aktifis perempuan, karena selama ini kawan-kawanku tidak pernah punya pengalaman melihat istri atau teman perempuannya mengalami penderitaan seperti ini, beberapa kali pingsan saking tidak kuatnya menahan rasa sakit. Dokter bilang ada kelainan pada saluran vaginaku, dan terakhir dokter bilang ada kista di rahimku.

Syit, sungguh Sya.... aku nggak peduli meskipun dokter bilang aku sulit punya anak. Aku cuma mau rasa sakit itu pergi jauh-jauh, karena itulah aku rela harus meminum obat yang rasanya seperti empedu saja.

0 comments: