Sya (II)

Sya….

Keperempuananku tiba-tiba terus menerus menjadi pertanyaan yang sulit untuk kupahami, sesulit aku membayangkan pikiran kolonial Belanda yang begitu sempurna menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di tanah kelahiranku. Bahkan, memorial succes story penjajahannya terhadap pribumi Indonesia, juga dibenamkan begitu kuat paling tidak di tempat istirahatku di Okkey Hostel di Amsterdam, semua sudut-sudut ruangan ini menggunakan nama-nama tempat yang aku pastikan kenal betul bertujuan untuk memperlihatkan tapak jejak penguasaan mereka. Ada tempat pertemuan yang diberi nama Jawa, tempat aku lahir dan besar di pulau ini.

Jawa yang sungguh terkenal dengan sistem per-Nyaian atau pergundikan, sebuah sistem penguasaan kolonial terhadap tubuh perempuan di Jawa dalam rangka pelanggengan kekuasaannya. Nyai-nyai yang dipelihara oleh kolonial Belanda, seperti yang dialami oleh Nyai Dasima yang dijadikan selir oleh Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan sistem pernyaian, sampai saat ini menyisakan bentuk penindasan yang lain, untuk konteks saat ini banyak perempuan yang dijadikan istri simpanan oleh laki-laki, dengan tujuan penguasaan terhadap tubuh perempuan yang dimilikinya. Pun, seperti yang dialami oleh salah seorang perempuan Kwitang, yang mengalami Pernyaian modern. Bagiku, inilah jejak kehancuran perempuan yang paling nyata, yang diwariskan oleh sebuah tirani kolonialisme Belanda.

Eh Sya, kamu tahu nggak? Belanda, luasnya tidak lebih besar Sukabumi di Jawa Barat, tempat dimana saat ini kunjunganku kedua setelah mendapatkan bea-siswa short course ekologi politik dengan uang saku yang sangat lumayan, belanja seminggu dua kali di open market atau albert heijn jika open market sudah tidak cukup waktu untuk dikejar, paling tidak untuk memenuhi selera makan ala Indonesia. Aneh, mungkin begitu bisikku dalam hati. Aku menghujat dan sekaligus menikmati negara ini dengan semua latar belakang yang bisa dijadikan sebagai basis argumentasi, bahwa program ini sama dengan bentuk politik balas budi Belanda terhadap Indonesia.

Ah, tapi aku mencoba untuk mengambil sisi lain, juga dari sejarah yang sempat aku baca. Pengalaman para pendiri republik ini, merumuskan sebuah konsep kebangsaan, juga dilakukan di tempat ini. Sebut saja Tan Malaka yang merumuskan gagasan Menuju Republik Indonesia, Soekarno yang menuliskan dengan sangat baik Menuju Indonesia Merdeka, Hatta yang menuliskan Indonesia Merdeka. Hmmm, tapi kok tidak ada perempuan ya??? Gugatku seketika. Oooh, mungkin sejarah lupa untuk menuliskan bagaimana perempuan menuliskan konsep kebangsaannya melalui struktur penindasan yang menjadi cerita keseharian para Nyai-Nyai.

Lalu aku, ada disini untuk apa? Aku juga tidak terlalu mengerti, setauku hanya karena aku mendapatkan keberuntungan bisa belajar di tempat beberapa tokoh penting pergerakan Indonesia merumuskan pikirann-pikirannya tentang Indonesia yang berdaulat disini, di negeri Belanda. Tapi ucapku, paling tidak aku pernah punya cita-cita, mimpi atau entah apapun lah namanya yang disebut oleh para pemimpi perubahan, untuk mencorat-coret ulang definisi sebuah nilai kebangsaan yang kini sudah dikooptasi oleh pasar bebas, oleh atas nama demokrasi, oleh segelintir kelompok yang secara kebetulan menjadi mayoritas dalam parlemen. Seperti anak kecil yang suka menggambar, aku hanya ingin membuat paling tidak titik-titik yang bisa ditarik menjadi sebuah garis, potret dunia baru bagi Indonesia. Mungkin, nggak mungkin, mungkin, nggak mungkin, tiba-tiba Tika Panggabean nyeletuk begitu saja disamping kupingku lewat lagunya yang menemaniku minum kopi sebelum masuk kelas, tapi konon another world is posibble, paling tidak itu pesan kuat dari sebuah kumpulan teman yang menamakan dirinya Indoprogress.


Sya.... kurang lebih 10 menit dari tempat tinggalku, jalan kaki menuju Institute of Social Studies. Sangat dekat, apalagi berjalan kaki disini begitu nyaman, tidak seperti Jakarta yang rasanya pejalan kaki itu menjadi kelas yang paling termarginal. Dalam pembangunan jalanpun, kita bisa melihat relasi kelas, kelas mana yang berkuasa atas jalan raya di Jakarta. Jawabannya mudah bukan, pemilik mobil pribadi, dan pejalan kaki menempati bagian yang sudah semakin tergeser.

Ini kelas pertamaku di kampus yang katanya kiri, meskipun temanku yang tinggal di London sempat mengenyitkan dahinya, menurutnya kampus ini tidak lagi menjadi kampus kiri. Enggak pa-palah, agak-agak berbau kiri juga nggak mengapa. Hujan rintik-rintik menjadi inspirasi baru akan lahirnya mimpi sebuah perubahan. Paling tidak mencoba untuk melihat sisi nasionalisme dari dunia yang berbeda, Utara – Selatan. Entah, apa aku memaknainya dengan bacaan ini. Tapi paling tidak, cuaca dingin ditambah rintik-rintik hujan yang turun, menjadi sebuah isyarat nyata bahwa dunia ini bisa dilihat dalam dua sisi yang berbeda. Di negeri kolonial, justru para pemuda merumuskan konsep kebangsaan Indonesia yang didasari atas satu keinginan, persatuan dan kemerdekaan.

Aku memasukkan coin untuk mendapatkan secangkir kopi, lumayan pikirku untuk menghangatkan badan setelah seharian dari pagi hingga petang menghabiskan waktu di kelas, keliling kampus mulai dari perpustakaan hingga mampir dalam sebuah kelas diskusi Marxist, kebetulan kawanku yang baru kukenal satu hari itu. Aku menikmati kopi di pelataran kampus, kebetulan ada kursi didepan kanal yang mengalir disitu, sambil sesekali menebar senyum pada sekawanan turis yang berwisata sungai dengan japal-kapal kecil, sesekali khayalanku melayang pada sebuah mimpi sungai di Jakarta tak kalah menariknya dari kanal yang didepanku ini, apalagi dalam sejarahnya kali Ciliwung pernah menjadi cerita yang sangat terkenal di Belanda.

0 comments: