Dampak Makro Produksi Agrofuel di Indonesia

Dalam Bacaan Ekologi Politik Feminis
Oleh : Khalisah Khalid


Meningkatnya permintaan bahan bakar nabati untuk pemenuhan energi yang dipandang tidak terlalu mencemari lingkungan hidup, terutama di negara-negara industri, telah mendorong terjadinya perluasan perkebunan penghasil bahan baku nabati. Kebijakan investasi global lebih diarahkan pada pemenuhan industri penghasil energi nabati, termasuk terhadap penyediaan bahan baku. Kondisi ini mendorong pada terjadinya “pemaksaan” perluasan perkebunan penghasil bahan baku energi nabati, di wilayah-wilayah yang “dipandang” mampu menyediakan lahan skala luas. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mentargetkan luasan yang luar biasa untuk menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit, kedelai maupun tebu, yang diarahkan pada dukungan terhadap energi nabati.

Pilihan komoditi lalu diarahkan pada kelapa sawit, karena dipandang komoditi ini mampu menyediakan kebutuhan energi “hijau” dalam jumlah yang cukup besar. Hingga kemudian terjadilah beragam permasalahan di wilayah perkebunan besar maupun pada industri pengolahan dasar, semisal konflik tenurial, kekerasan, penghilangan lahan-lahan produktif, krisis air, hingga pencemaran.

Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hubungan keduanya, jika ditarik pada garis sebuah entitas yang berjenis kelamin sosial perempuan. Dalam peristiwa yang ada diatas, nampaknya cerita perempuan sungguh jauh dari pembahasan tentang industri sawit, jika tidak mau dikatakan dihilangkan dari seluruh cerita tentang sawit. Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.

Selain berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak dari agrofuel, ada hal mendasar lainnya yang secara spesifik dialami oleh perempuan. Ekologi politik feminis melihat aspek pengetahuan, hak atas kekayaan alam dan sumber –sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aspek akses dan kontrol, serta aspek institusi pengurusan kekayaan alam dan perjuangan merebut kembali hak atas pengurusan kekayaan alam dari perspektif gender, kelas, etnisitas, dan aspek-aspek lain (Rocheleau, Thomas-Slayter, Wangari 1996).

Ekologi politik feminis sebagai pisau analisis karena pendekatan ini membuka peluang untuk melihat relasi kekuasaan dalam masyarakat yang dipengaruhi gender, kelas, etnisitas, agama, dan aspek-aspek lain. Pendekatan ini juga mengakui bahwa perempuan bukan entitas homogen dan bahwa perempuan memiliki kompleksitas posisi, fungsi, dan permasalahan yang dihadapi berdasarkan perbedaan kelas, etnisitas, dan hal-hal lainnya, sehingga pengalaman dan reaksi perempuan terhadap satu isu akan berbeda dengan perempuan lainnya.

Dengan menggunakan pisau analisis ekologi politik feminis, cerita yang diungkapkan oleh perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit, mencoba untuk lebih dalam melihat bagaimana lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan di perkebunan besar kelapa sawit disebabkan oleh penguasaan sumberdaya alam oleh para pihak yang memiliki kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural dengan aktor utama negara dan pasar. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.

Akumulasi dari beragam permasalahan pada penyediaan bahan bakar nabati, memberikan dampak yang lebih besar kepada kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak. Dalam setiap rantai produksi tetes-demi-tetes bahan bakar nabati, terdapat beragam permasalahan yang menjadikan perempuan sebagai korban yang menerima dampak yang lebih besar di dalam sebuah komunitas korban bahan bakar nabati.

Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk, perempuan kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan. Konflik terjadi, bukan hanya karena terjadinya perbedaan persepsi antara komunitas lokal dengan pelaku pendukung agrofuel baik pasar maupun pemerintah. Konflik terjadi, karena kebijakan agrofuel telah mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan didalam mengelola sumber kehidupannya, khususnya sebagai penjaga dan pengelola sistem produksi rumah tangga dan produksi sosial. Bukankah pengabaian sebuah entitas dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang melekat dalam dirinya sebagai sebuah bangunan tatanan social, merupakan bentuk yang paling mendasar dari sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia?

Jikapun, perempuan memiliki akses yang setara atas pekerjaan, namun kontrol mereka atas penghasilannyapun terbatas, atau sebenarnya tidak ada sama sekali. Perempuan dan laki-laki sama-sama mengerjakan sawit, namun karena pada tahap memanen dan mengangkut untuk dijual adalah para suami, sehingga upah diterima oleh suami. Suami yang mengerti akan kedudukannya dalam rumah tangga menyerahkan uang untuk dipegang istrinya tetapi bagi para suami yang tidak mengerti uang hasil upah mengerjakan sawit digunakan sendiri salah satunya dihabiskan ke kafe. Para suami juga kerap berbohong tentang jumlah upah yang diterima, si istri tidak bisa tahu pasti berapa upah yang diterima karena jumlahnya memang tidak tetap. Nampaknya, fenomena maraknya tempat-tempat hiburan malam dan dunia prostitusi dalam industri tambang, juga terjadi di perkebunan.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup, yang dalam konteks ini dapat ditemui dalam cerita situasi global produksi agrofuel di Indonesia . Kelangkaan dari daya dukung alam yang dikeruk tanpa mempertimbangkan kerentanan dan keberlanjutan lingkungan, yang terjadi karena intervensi pasar dan negara, telah menyebabkan konflik terjadi di tingkat masyarakat dengan mengabaikan pengalaman perempuan maupun keberadaan perempuan sebagai subyek keberlangsungan reproduksi sosial, dan pada akhirnya menempatkan perempuan kelas paling bawah berada dalam kondisi terpuruk, terpinggirkan dan terabaikan.

0 comments: