Sya ... (III)

Sya…
Kamu pernah lihat jingga diatas mendung? Aku menemukan itu disini, diwaktu rasa rinduku memuncak pada sebuah asa yang dikemas dalam balutan nilai kesetiaan. Pun sakit dan menyesakkan, tapi jingga itu tetap menyemburat dengan penuh kedamaian. Disini, dikamarku yang paling luas dibandingkan dengan kamar lainnya yang dimiliki oleh kampus yang berada di Oudemoulstrat. Ketika aku menengok gerimis diantara tirai jendela, aku seperti melihat jingga itu menyemburat dengan sempurna.

Tatapannya yang masih kuingat dalam-dalam, sembari membayangkan alangkah kuatnya nilai itu bersemayam dalam hatinya. Nilai kesetiaan pada sebuah kebenaran akan sejarah, sejarah hidupnya, sejarah keibuannya, sejarah keistriannya, sejarah kewarganegaraannya, dan seluruh sejarah yang pernah coba dipangkas untuk diingat oleh anak cucunya karena dia tidak pernah bermimpi sejarah itu melukai masa depan anak cucunya. Rasanya,berapa banyak orang yang ingin melupakan sejarah hidupnya dengan berbagai cara.

Tapi jingga itu lain Sya, dia menampakkan hal yang lain, meskipun memiliki rasa yang kuat untuk melupakan sejarah. Aku melihat, disanalah nilai keabadian jingga itu meski dia berada diatas mendung. Dia begitu kuat, dia begitu sempurna, dia begitu percaya bahwa inilah cara dalam hidupnya untuk melalui sejarah. Tenggorokanku juga rasanya begitu kering, ketika sepucuk surat ditanganku yang diberikannya membuat aku semakin percaya bahwa alur hidup memang niscaya adanya, dan sesungguhnya itulah hakikatnya pembentukan jingga. Dalam genggaman tangannya yang begitu kuat, diantara kecilnya kepalan tanganku sambil meradang senja dan berharap agar butiran air mata tak menganggu apapun dan siapapun. Bukan hanya dia, tapi juga aku dan atau bahkan kebanyakan orang yang masih percaya bahwa kebenaran itu masih ada, paling tidak itu yang ada dalam hatiku.

Sya…
Sepucuk surat itu kini kupegang dalam genggaman tanganku, semilir angin yang merasuk perlahan-lahan di kamar ini semakin membuatku takut menghadapi jingga. Tapi puji Tuhan, diapun berdoa untukk agar Tuhan tidak menarikku dalam alur hidup yang sama. Tidak dinistakan oleh orang-orang disekelilingku, apalagi oleh negara yang dalam jiwa dan ragaku sudah tertanam itu sejak lama, paling tidak sejak aku mengenal pelajaran PMP di sekolah. Perlahan-lahan, aku kembali membukanya. Maaf jingga, aku selalu membuka surat ini, membacanya berulang-ulang. Mungkin itu tidak cukup membuat sakitmu terobati, tapi paling tidak aku ingin mengerti bahwa betapa kebenaran itu begitu mahal dan kuat menampung semua dalam pundakmu, menyimpannya rapat-rapat dalam hatimu.

Catatan bagi mereka yang mau mendengarnya
Pertama diterima kebenarannya
Sekilas saya menyatakan kebenaran saya namun kalau sudah semua orang menyatakan itu tidak benar, maka yang tidak benar itu menjadi kebenaran.
Saya berpesan kepada anakku, semoga menjadi pedoman hidupmu
Saya tetap merasa dipihak yang benar, tetap merasa apa yang dikatakan orang itu semuanya adalah hal tidak benar, semua meruapakan fitnahan bagi diri saya, dmana fitnahan itu dianggap sebuah kebenaran.
Kenapa orang menyatakan yang tidak benar ? mungkin ini adalah sekedar mencari keselamatan dirinya, padahal dia lupa kehidupan yang lain akan timbul dengan kebenaran yang kita buat.
Belum lagi kalau pembalasan ataukah hukum karma, tapi hal ini tidak begitu dipikirkan oleh karena kebenaran itu biasanya (selalu) terlambat datangnya. Menyebabkan banyak orang mau memilih kebenaran yang sebenarnya bukan kebenaran.

Anak-anakku, hati-hatilah dalam hidup ini, tetap berbanggalah bahwa bagaimanapun bapakmu tidak pernah merasa berbuat sebagaimana yang dikatakan oleh semua orang itu.
Saya tidak mempersalahkan mereka itu, karena saya tau mereka mau mencari keselamatan dirinya, sekalipun orang lain dikorbankan.

Hadapilah hidup ini dengan penuh kesatrya, sekalipun banyak orang tidak senang dengan kamu. Biarlah mereka itu mneyatakan bahwa saya tidak benar karena itu adalah haknya untuk menyatakan itu.

Saya tetap berbangga sampai dimanapun, bahwa apa yang dikatakan oleh saya itulah yang benar, dan yang lain itu adalah fitnahan yang penuh dengki.
Apa sebab banyak dari mereka itu dengki pada saya? Itu saya sendiri tidak tau.

Anakku, (putraku) mudah-mudahan saja doaku, engkau menjadi manusia yang bahagia. Bahagiakanlah ibumu yang nanti tetap mengasuh dirimu. Sayangilah ibumu yang tetap berkorban mau menderita untukmu. Melihat cobaan ini, mungkin saya tidak bisa lebih lama lagi memberikan kebahagiaan pada ibumu.

Kepada istriku, tabahlah hadapi hidupmu. Kau trepaksa akan melayarkan bahteramu sendiri dengan kesanggupanmu sendiri dan pemikiranmu sendiri.
Jangan gentar menghadapi hidup ini, karena hidup ini adalah penuh dengan tantangan dan cobaan. Kita tidak boleh mengeluh, karena mengelu adalah meruapakan usaha yang sia-sia.

Aku tak bisa lagi melanjutkan, air mataku tiba-tiba saja mengalir dan hampir jatuh di lembaran surat berikutnya. Tenggorokanku terasa kering dan teramat kering. Ya Tuhan, begitu beratnya cobaan ini untuk seorang perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya, bukan karena tangan Tuhan yang menghendakinya. Tapi kerakusan manusia oleh kursi kekuasaan. Tapi ketika kulihat, mata ibu kasim yang menatapku teguh, menguatkan lagi hatiku untuk melanjutkan alur cerita ini.

Isteriku,
Entah berapa lama nanti engkau sendiriran menghadapi hidup ini, ditengah-tengah gelombangnya hidup ini. Mudah-mudahan saya akan tahan dalam ujian, pada prinsipnya semua terserah padamu. Bagaimana kau akan menanggulangi hidup ini dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih, akan saya jadikan azimat dalam pengembaraan saya ini. Saya kira itu sudah cukup banyak. Sekarang, aturlah hdiupmu untuk anak-anakmu, agar mereka itu dapat bertumbuh menjadi manusia yang baik dan berguna untuk kemanusiaan. Do’akan jangan putus-putus, beri pada saya agar dapat memberi keselamatan diri saya. Maaf, dan ampunkanlah segala dosa-dosaku padamu, sebagai istriku kalau ada dosa padamu agar soal menyesalnya dan harapanku dimaafkan.

Hanya kepadamu manusia satu-satunya yang benar-benar saya telah banyak berbuat dosa, mungkin inilah pembalasannya pada diriku, tapi mengapa akibatnya menimpa kau juga istriku. Padahal kau tetap orang bersih, orang yang saya tau tidak berdosa.
Saya rasa ini tidak layak, tidak adil, karena dosaku kalian ikut memikulnya. Terlepas saya salah atau tidak dalam persoalan ini, tapi ini sudah meruapakan takdir Illahi pada diriku ini. Dalam selku sekarang, saya tidak dapat melihat alam lagi, hanya cahaya yang masuk melalui lobang 20 x 30 cm, itulah yang memberi saya petunjuk bahwa hari sudah siang ataupun sudah malam. Malam ini, saya akan lalui tidur di selku ini, sebagai malam pertama tanggal 8 April 1969.

0 comments: