Rokok Haram, Freeport Bagaimana?

Oleh : Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia.

JUDUL di atas tiba-tiba menggelitik saya, ketika melihat siaran di sebuah stasiun televisi (3 Desember 2008) di mana Menteri Perindustrian menjadi salah satu pembicaranya. Isu yang dibahas seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haram merokok dan dampak ikutannya. Saya tidak hendak ikut-ikutan setuju atau tidak dengan fatwa MUI, tetapi saya mencoba melihat sisi lain yang mungkin luput dari pandangan kita.

Saya tertegun atas pernyataan atau tepatnya hitung-hitungan Menteri Perindustrian tentang kisaran angka yang diperoleh negara dari cukai rokok, yakni Rp 53 triliun. Angka yang cukup besar untuk menambah pundi-pundi negara. Karena itulah fatwa MUI itu kemudian tampaknya menempatkan pemerintah seperti berada di simpang jalan: setuju dengan alasan melindungi warga negara dari kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak; tidak setuju karena nasib sekitar 10 juta orang bergantung pada industri bernama “Tuhan sembilan senti”, seperti diistilahkan Taufik Ismail, baik yang bersentuhan langsung di pabrik maupun orang-orang yang tidak secara langsung bergelut dengan mesin pabrik.


Bukan Rp 53 triliun itu yang membuat saya tertegun, melainkan hitungan berikutnya. Jika angka tersebut dibandingkan dengan royalti yang didapatkan dari perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia, yang lagi-lagi mengutip pernyataan Bapak Menteri itu, angka royaltinya paling tinggi mencapai Rp 20 triliun. Itu pun sudah mendapatkan bonus dengan menyandang sebagai perusahaan pembayar royalti terbaik dari majalah tambang pada tahun 2008. Artinya, segitulah pundi-pundi kas negara yang masuk dari perusahaan emas yang sudah tiga dasawarsa menguras isi perut Papua, meskipun tidak pernah dihitung ongkos lain yang ditimbulkan akibat praktik industri pertambangan baik berupa kerusakan lingkungan maupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang semuanya difasilitasi dengan baik oleh negara.

Dalam logika saya yang paling sederhana muncul pikiran, jika begitu angkanya, seharusnya pengurus negara ini berpikir ulang untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai sumber pendapatan ekonomi bangsa. Pun sudah ditempatkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi, toh keuntungannya jauh lebih besar dari industri rokok yang sekarang difatwakan haram. Namun lagi-lagi saya juga tidak hendak hitung-menghitung angka keuntungan baik yang bersumber dari cukai rokok maupun dari royalti PT Freeport Indonesia.

Yang menarik bagi saya untuk dipertanyakan lebih jauh adalah ketika pengharaman rokok dihubungkan dengan sebuah nilai kemaslahatan dan kemudaratan. Ditafsirkan bahwa merokok lebih banyak mudaratnya, khususnya bagi warga negara tertentu, dibandingkan dengan maslahatnya, sehingga demi kesehatan masyarakat maka MUI mengeluarkan fatwa haram tersebut. Nah, saya juga ingin menariknya pada satu kondisi dari nilai yang sama yang dijadikan sebagai alat tafsir, yakni maslahat dan mudarat dalam industri ekstraktif seperti tambang emas yang antara lain dikerjakan oleh PT Freeport. Jika dinilai, sungguh kemudaratannya jauh lebih besar ketimbang kemaslahatannya bagi umat manusia. Kemaslahatan (itu pun jika ada) yang paling mungkin dirasakan oleh segelintir elite baik pusat maupun lokal, tapi kemudaratannya paling tidak dicatat oleh organisasi yang concern bekerja untuk isu lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang, di mana PT Freeport Indonesia yang konon memberikan kontribusi pendapatan negara, sesungguhnya lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan lingkungan. Angka tertinggi Rp 20 triliun royaltinya harus dibayar dengan harga yang juga sangat tinggi oleh rakyat akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup yang tidak terpulihkan.

Jika Taufik Ismail yang menyebut Indonesia sebagai surga luar biasa ramah bagi para perokok, negeri ini juga menjadi surga bagi industri tambang. Datang, gali, dan pergi, semuanya difasilitasi negara. Jasa keamanannya, undang-undangnya, bahkan berkali-kali dengan iklan-iklannya. Apa itu bukan surga?

Saya menilai fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjadi satire didengar. Sebab, sebelum-sebelumnya lembaga ini hampir absen mengeluarkan fatwa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jika merokok haram bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak demi kemaslahatan, mengapa MUI tidak sekalian saja mengeluarkan fatwa haram terhadap perusahaan industri tambang seperti PT Freeport, untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap limbah industri tambang?

Artikel ini juga dimuat di www.vhrmedia.com

0 comments: