Babi, Orang Utan dan Kita

Oleh: Khalisah Khalid

Saya dan teman satu sore asik ngegosipin babi dan orang utan, “apa yang diomongin”? Pasti begitu yang terbesit, sambil cekikan karena membayangkan raut mukanya si Babi dan Orang Utan, apalagi membayangkan muka kami berdua yang menggosipkannya ya??. Hehehe….. Ini obrolan serius, meskipun sambil makan siang menjelang sore di pusat perbelanjaan. Entah juga mengapa dia tiba-tiba jadi topic yang asik untuk dibahas, dengan runtutan pertanyaan yang muncul satu demi satu.

Makhluk yang satu ini memang unik, paling tidak begitulah penilaian saya terhadap Babi. Bagi umat muslim seperti saya, si Babi ini akan dipicingkan sebelah mata. Dilihat aja ndak boleh, apalagi dimakan. Kyai kampung saya bilang babi itu haram, jadi jangan coba-coba makan babi. Ada teman saya muslim lainnya, “makan babi itu halal kalau dipotongnya baca Bismillah”. Ini joke tentu saja, daripada tulisan ini nantinya digugat oleh MUI dan dengan serta merta akan difatwa sebagai tulisan haram. Hehehe…. Tapi apapun alasannya, konon daging babi itu eunak, melebihi daging sapi. Percaya nggak percaya, karena aku sendiri belum mau mencoba memakannya.

Any way, obrolan saya tidak hanya berhenti pada babi halal atau haram, juga tidak berhenti pada enak mana daging babi dibandingkan dengan daging yang lain. Soalnya kita mencoba membandingkan juga dengan cerita orang utan, yang sempat dibandingkan dengan babi sebagai binatang yang lebih “baik” dibandingkan dengan orang utan.

Walaupun jarang, dan saya sendiri belum pernah menemukan atau paling tidak berniat menemukan bahwa ada juga orang yang mau meneliti tentang babi. Kebanyakan orang meneliti tentang orang utan, dan salah satu kepentingannya adalah ketika dalam penelitian itu dihasilkan konservasi orang utan sebagai satu keharusan dalam sebuah ekosistem, salah satu argumentasinya adalah ketika orang utan sebagai “mesin” penabur biji yang baik karena dia pemakan tumbuhan dan banyak karena luas jangkauannya yang jauh.

Disinilah obrolan pertama dimulai, pertanyaan saya mungkin agak iseng bagi para peneliti satwa. Tapi sebagai orang dari “dunia” lain, pertanyaan saya serius sungguh serius karena saya ingin mencoba merasionalisasikan mengapa orang utan menjadi penting untuk dikonservasi, jika dia punah apakah akan secara serius mengganggu rantai makanan yang kemudian akan kita sebut sebagai sebuah satuan ekosistem semua makhluk, termasuk manusia tentu saja. Anggaplah pertanyaan saya ini mewakili egoisme makhluk yang bernama manusia, meskipun menurut sang peneliti orang utan memiliki perbedaan genetis dengan kita itu tipiiis sekali, hanya 3 koma sekian persen, itu menurut penelitian ilmiah loh, itu sama artinya prilaku kita dan orang utan itu beda-beda tipislah.

Harusnya kalau persamaan antara kita dan orang utan begitu dekat, hidup berdampingan akan baik-baik saja kan? Tapi kok anehnya banyak konflik di kawasan konservasi, mengusir masyarakat lokal yang menduduki lahan tersebut sejak lama untuk kepentingan langgengnya kawasan konservasi orang utan. Mungkin ini yang disebut dengan politik satwa, mengatasnamakan orang utan. Duuuuh, teganya orang utan masih dipolitisisasi. Sayangnya, sang peneliti itu tidak mampu atau mungkin tidak mau menjawab pertanyaan sederhana tersebut.

Kembali ke pertanyaan saya, “selain orang utan tidak adakah binatang lain yang memiliki fungsi dan peran yang sama”? disinilah kemudian kita beralih membicarakan sang babi. Teman saya menjawab, ada makhluk lain yang bisa menggantikan orang utan, manusia salah satunya. Kalau binatang, peran tersebut bisa tergantikan oleh babi. “Lalu mengapa babi tidak pernah menjadi sebuah diskursus konservasi”, tanyaku dengan keheranan tentu saja. Mau tau jawabannya, ternyata menurut teman saya sungguh langka orang yang mau meneliti babi, sehingga kita bisa mengetahui daya jangkaunya dan seberapa banyak atau besar dia dapat menjadi penebar benih tumbuhan seperti orang utan. Dari yang sedikit langka, ada satu peneliti prilaku babi yang pernah ditemui temanku.

Tapi mari kita simak temuan peneliti babi, ternyata ditemukan bahwa lambung babi itu besar, mungkin seukuran dengan ember besar penampung air di kamar mandi kami. Apa aja isinya, tanyaku berentetan kaya’ petasan rentet. Macam-macam, mulai dari jenis binatang lainnya yang dimakan sampai kertas dan kresek. Wadaw, bisa begitu? Ya, bisa karena babi itu binatang pemakan segala atau kita menyebutnya babi itu sebagai binatang “pembersih” yang baik.

Temanku juga mengajak untuk mengingat lagi cerita sejarah masa lalu. Babi itu ditakdirkan (baca; ditugaskan oleh Sang Maha Kuasa) sebagai binatang pembersih, dalam cerita sejarah perbabian disebutkan bahwa babi diciptakan pada jaman nabi Nuh ketika Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk berlayar ketika terjadi banjir besar. Semua makhluk termasuk binatang masuk kedalam perahu nabi Nuh, semuanya. Terbayang bagaimana baunya kapal tersebut dengan kotoran binatang yang beraneka macam jenisnnya. Disinilah Tuhan dengan kekuasaannya menciptakan Babi, dan seluruh kotoran binatang tersebut dimakan oleh babi. Aaah, yang bener?? Begitukan akal sehat kita bertanya, karena sungguh aku belum menemukan dalil agama dan satu periwayat hadits yang menceritakan ini. “Wah, kalau begitu Babi sangat baik dan berjasa ya”…..

Lalu kenapa babi diharamkan bagi umat muslim? Saya mencoba untuk merasionalisasikan antara haramnya makan babi dalam sebuah pengetahuan lain yang bernama kesehatan salah satunya. Ini satu alasan yang mungkin bisa merasionalisasikan “haram”nya mengkonsumsi babi, paling tidak urusannya bukan hanya pokoknya haram dan halal titik. “Karena babi itu binatang yang tidak memiliki leher, dan binatang yang tidak memiliki leher ketika dia di”bunuh” tidak mengalirkan darah. Nah, ketika dia tidak mengalirkan darah, itu akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Kenapa, karena babi itu pemakan segala dan makanan yang dicernanya masuk kedalam darah. Jika darahnya tidak mengalir waktu disembelih, itu sama artinya darahnya membeku dan yang akan ikut kita makan bersama dengan dagingnya yang mengandung banyak sekali jenis-jenis yang dimakannya, termasuk kresek dan kertas”.

Paling tidak itulah penjelasan singkat dari teman saya seputar babi, orang utan dan kita yang sedang memperbincangkannya. Masih penasaran tentu saja, karena aku belum lagi sempat untuk memeriksa yang dikatakan bahwa babi itu tidak punya leher. Termasuk untuk mengetahui lebih jauh, apa sih perbedaan 3 koma sekian persen manusia dengan orang utan tersebut, apakah pada daya indra pengedusannya yang bisa melampaui manusia. Salah satunya orang utan yang dapat mengetahui kandungan minyak dan gas dalam satu kawasan, benar nggak ya?

Tapi yang pasti, semoga Babi dan Orang Utan tidak marah telah digosipin. hmmm, jadi ingat dengan kesetaraan species yang jadi salah satu nilainya WALHI dulu kala.

0 comments: