Sya V

Sya,
Desaumu samar menggelegar angkasa, lewat pucuk-pucuk kesetiaan yang dibungkus dalam nilai kebenaran. Kisahmu, seperti nyanyian kehidupan yang kau senandungkan dalam bait-bait peristiwa. Jemarimu mulai legam dan keruput dimakan usia, tapi tidak pada keyakinanmu.

Aku ingin menjadi engkau, lembut penuh ketegaran, sesempurna semburat jingga. Entah, mengapa aku menuliskanmu dalam ketukan-ketukan jemariku. Mengenalmu, tidak begitu. Aku hanya ingin kau tau, meriwayatkan kisahmu tak ubahnya seperti aku menyusuri bening mata air, semakin kususuri semakin haus aku akan sebuah nilai yang jika diakumulasikan entah setinggi apa. Setinggi gunung, setinggi bintang di angkasa atau setinggi imajinasi yang tak dibatasi ruang dan waktu.

Aku menutup jendela rapat-rapat, menghidupkan penghangat ruangan agar tak kaku tubuhku didekap dingin yang perlahan masuk. Secangkir teh panas menjadi teman diskusi untuk sekedar saling menyapa. “apa kabar”, pada sejumput daun yang telah diekstrak menjadi teman cemilanku di sore ini. Terbayang perempuan pemetik teh berseliweran, memetik pucuk-pucuknya. Kita asyik menikmatinya, sementara perempuan pemetik teh terus berjibaku dengan mandor-mandor.

Entah, berapa babak mereka melakoni derita hidupnya disana, di perkebunan Pagilaran, lereng pegunungan Kemuylan, sebelah utara pegunungan Dieng. Derita itu berbabak-babak, dari generasi ke generasi, berubah pelakunya, namun tetap saja sama korbannya. Perempuan pemetik teh. Anak beranak perempuan menjadi buruh harian lepas, jika anaknya tidak mau meneruskan jejak orang tuanya, siap-siaplah untuk hengkang dari rumah yang ada di area perkebunan ini.

Perempuan pemetik teh, luar biasa jasa mereka bagiku dan tentunya bagi penikmat the sedunia. Tanpa mereka, rasanya terlalu berat membayangkah makanan camilan kita termenung sendiri. “Ndak nendang”, begitu temanku selalu bilang kalau ada suasana yang kurang lengkap. Jari-jari pemetik teh begitu lincah dari satu pucuk ke pucuk yang lain, mencari-cari sambil berharap periuk nasinya tetap mengepul. Anak-anak bisa sekolah? Sebaiknya nanti dulu bicara itu, karena pucuk teh masih muda, belum waktunya dipetik dan artinya belum waktunya juga mandor-mandor, juragan-juragan itu mau berbaik hati memberikan pilihan hidup bagimu.

Belum lagi jika kau harus berlomba-lomba dengan buruh pemetik teh laki-laki, semakin kecil kesempatanmu untuk bisa menikmati lauk pauk lebih baik dari hari kemarin. Upahmu akan dihitung dari seberapa banyak pucuk-pucuk tersedia di bakul yang setia menemanimu, sementara kau abaikan lelahmu, tetap saja tenagamu tak sebanding dengan buruh laki-laki.

Mbah terlalu sempurna mengisahkan babak-babak derita perkebunan Pagilaran, dari mulai jaman Londo, digempur Jepang sampai hari ini. Rp. 400 kilo dihargai setiap kilo hasil petikan tehnya, sambil setiap mengambil gaji tak lupa harus memberikan nasi bungkus dan rokok untuk bos mandor. Aha, itu baru dari satu buruh pemetik teh dan hitunglah berapa banyak yang didapatkan oleh mandor, dengan modal wajah garang?
Menghitungnya rasanya malas, bikin sakit hati soalnya. Rasanya marah, muak dan entah apalagi. Ya, kalau sudah begitu minum teh rasanya seperti minum jamu. Minuman satu ini memang yang tidak kusukai, meskipun hasiatnya jempolan, begitu kira-kira kalau ibuku merayuku untuk minum jamu.

Sya,
Mungkin sedikit orang yang tahu bagaimana mbah, anak cucu bercucu ini menapaki babak demi babak deritanya, menghadapi mandor yang jahil memainkan jarinya di pantat si mbah yang masih belia kala itu, sambil mencekiknya dengan potongan-potongan upah untuk kretek si mandor. Perkebunan teh itu lebih kesohor dengan bisnis agrowisatanya, ada outboundnya juga yang membuat perkebunan ini tak henti-henti disanjung oleh penikmat wisata dalam situs-situs mereka. Aaaah, semoga kesabaran si mbah masih tersedia banyak dalam hatinya, jika dia tau itu. Pesohor-pesohor itu tidak pernah mau jauh lagi berjalan dan belajar memasuki nafas-nafas sesak, dihela perkebunan teh untuk pasokan ekspor.

Sya,
Matahari terus menenggelamkan dirinya, dan mungkin di dunia sana dia masih malu-malu beranjak menyapa penghuni bumi. Di pojok ruangan lain, masih di dataran dieng tak pernah habis kuteguk beningnya mata air. Disinilah perjumpaanku dengan jingga lainnya dimulai, seolah jingga itu berderet-deret membentuk satu rantai panjang bernama alur hidup kebenaran. Aku masih ingat, bersamamu menapaki satu desa, Wadas Lintang Namanya yang harus kutempuh dengan perahu tradisional meskipun dag dig dug dadaku bergemuruh mengikuti bunyi mesinnya. Hanya butuh 5.000 perak yang buatku ndak seberapa jumlahnya, tapi belum tentu untuk yang lainnya. Aku sering salah Sya, menilai bahwa penilaianku akan sama dengan penilaian yang lain, meskipun sebuah penilaian harga. Kita sering menilai pekerja seks komersil itu tidak berharga, sampah masyarakat dan seterusnya dan seterusnya.

Orang tuaku juga begitu Sya, karena itulah orang tuaku melarang adikku meneruskan pencarian identitas dirinya bareng komunitas belajarnya dengan PSK. Tapi tahukah Sya, mereka mencari rupiah demi rupiah untuk dikirim ke kampung, membiayai anak sekolah, memplester rumah biar agak bagus dan status social keluarganya naik sedikit saja. Bagiku, disanalah nilainya, sebuah harga yang mungkin aku sendiri tidak bisa melakukannya. Memangnya enak apa Sya, bercinta dengan laki-laki yang tidak kita kenal. Lagian, kata temanku yang lain, kita ini juga pekerja seks loh Sya, walaupun ndak komersial. Mikir toh?

Bisa ndak ya Sya, suatu saat “pelacur-pelacur” juga memiliki sendiri tubuhnya dan menentukan dia ingin bertransaksi dengan siapa dan itu semua atas pilihan dirinya secara sadar, bukan ditentukan oleh mucikarinya. Bisa Sya?? Jika bisa, aku ingin menceritakannya kelak pada anakku, anakmu dan anak-anak yang lahir dari kebanyakan orang tidak menghendakinya.

Aku membayangkan bisa minum teh sembari menyeruput semangkuk bubur putih. aaaah kenapa tiba-tiba aku teringat dengan jenis penganan yang satu ini ya?? Terbayang lezatnya menyerumput teh hangat bersama bubur kesukaanku waktu kecil, bertambah sempurna jika ditambah candil didalamnya. Hmmm, yummy. Glek glek glek, air liur hampir saja menetes kedalam cangkirku.

Aku ingat, Jajanan pasar ini kutemui di pagi buta, ketika bus mengantarkan aku di alun-alun kota Wonosobo. Sengaja kupilih berjalan kaki, sekalian olah raga pikirku karena jika disengaja akan menjadi kemustahilan. Aku tidak suka bangun pagi, apalagi olah raga pagi. Karena itulah aku menolak tawaran ojek motor, dan memilih berjalan kaki melalui Pasar tradisional yang menawarkan keharuman yang berbeda, dan paling tidak aroma bubur yang sudah ada di tanganku. Perlahan tapi pasti, terlewati sudah sampai ke perutku. Eunaaak tenan, aku menikmatinya sendok demi sendok.

Sya,
Kamu tau kan dinginnya Wonosobo, dataran tinggi itu kurang lebih sama dinginnya dengan The Haque. Eh, lebay nggak ya membandingkannya? Ini julukan dari kawanku Sya, kalau aku sudah bergurau melampaui batas nalarnya. Hehehe…. Siapa suruh sering-sering pake nalar ya Sya, lah wong pejabat aja nggak pernah menggunakan nalar kalau mau menggusur orang miskin.

Ya… berkali-kali, petani yang tinggal di dataran tinggi ini digusur oleh pemerintah. Alasannya buanyak banget. Mulai dari cara yang halus, dengan meminta kerelaan masyarakat berkorban untuk pembangunan, sampai yang ditangkepin, ditembakin karena menganggap petani merambah hutan negara, tepatnya tanah “milik” Perhutani. Alah mak, duluan mana sih hidupnya petani sama perhutani yang baru dapat “kerajaan” hutannya dari kolonial.

Ups, berarti Perhutani mewarisi kolonial toh? Untuk menjawab ini, aku mesti putar-putar otak dulu, soalnya banyak orang yang marah loh kalau disamakan dengan kolonial. Paling tidak salah satu pengusaha jalan tol yang kujuluki Daendels, dia langsung bilang “jangan begitu dik, masa’ saya disamakan dengan Daendels”. Hahaha….. tiba-tiba aku jadi ikut cekikan. Gendeng opo yo aku ini, ndak pa-palah toh ndak merugikan kas negara.

Akhirnya, aku berhasil juga menginjakkan kaki ditempat ini. Waktu itu umurku dua puluh lima tahun, tapi aku ingat di umurku yang belum lagi genap 15 tahun, ayah pernah mengajak kami berwisata ke kota ini. Hai, senyumku sumringah, karena tak kuduga, ibu Mulatinah datang menjemputku. Ibu ini memang luar biasa dahsyatnya, dia kutemui waktu di Jakarta bersama warga kampungnya yang lain untuk mengadukan nasibnya dan orang-orang dikampungnya yang ditenggalamkan oleh Asian Development Bank, lembaga keuangan internasional yang punya banyak proyek infrastruktur. Untuk apa?? Ternyata untuk memenuhi kebutuhanku dan orang-orang kota di Jawa dan Bali. Jahat ya Sya, kebutuhan listrikku untuk chatting-an dengan kamu, selama ini disuguhi diatas penderitaan kampungnya bu Mulatinah.

Untuk mendapatkan air bersih mereka hampir tidak memakai sumur karena letak pemukiman mereka lebih tinggi dari lokasi air yang ada, mereka menyalurkan air dari sumber air atau membuat penampungan air, untuk keperluan MCK mereka menggunakan air yang sama, yang tidak ada perbedaannya antara untuk mencuci atau memasak. Hampir lupa kukasih tau, aliran listrik yang sampai ke rumah dan kantorku dan pastinya rumah kalian juga orang-orang Jakarta, malah ndak sampai ke menerangi kampung mereka sendiri. Apa ya ndak ndablek mikirnya pemerintah. Kalau gini jadi malas bayar listrik ya Sya, hehehe....

Esok sore, aku kembali berjalan-jalan menyusuri dinginnya wadas lintang. Aku lihat, nenek tua sedang memancing ikan ditepian waduk. Kuhampiri dengan penuh semangat, siapa tau aku bisa juga belajar mancing.
“dapat banyak mbah”???, tanyaku agak ragu-ragu karena takut beliau tidak mengerti bahasa Indonesia. “Ya, seperti biasa nduk hanya cukup untuk dimakan keluarga saja”, ternyata beliau bisa juga bahasa Indonesia walau agak samar-samar. ”Memang keluarganya ada berapa orang mbah ??? tanyaku agak cerewet, mungkin karena aku gemas juga kenapa sudah nenek-nenek begini masih mencari nafkah untuk keluarganya. “kulo sama dua orang cucu nduk”, jelasnya padaku. “loh, memang orang tuanya kemana mbah”?, tanyaku memburu. “ibunya sudah meninggal waktu melahirkan anak yang kedua karena pendarahan dan ndak ada biaya ke bidan, kalo bapaknya merantau entah kemana, sudah 5 tahun nggak ada kabar ke kampung”.

Aku tak habis pikir. Harusnya perempuan setua ini sudah berisitirahat dengan damai bersama keluarganya. Tapi karena lagi-lagi kemiskinan, telah menyebabkan istirahatnya terganggu oleh “rasa perut lapar”. Dan ternyata, beliau masih bisa berjuang untuk hidup, meskipun dengan keringat bercucuran dan masih selalu berharap, Tuhan mau berbaik hati padanya. Mengirimkan malaikat penolong, yang dapat memberikan rejeki berlebih pada cucunya. Dia cuma khawatir, cucunya tidak bisa hidup lagi bersamaan dengan jasadnya yang akan terbaring kaku.

“apa lagi yang bisa kita buat selain pasrah mbak, yang penting sekarang bagaimana kita bisa makan, anak-anak bisa sekolah walaupun sampai SMP aja. ”Itu sudah cukup buat kami kok”, ucap bu Mulatinah dengan penuh harap sambil sesekali matanya menatap waduk.
Bahagia?, tanyaku dalam hening, ”jawabnya ada disini mbak, dalam hati kita dan tidak mencuri” apa yang tidak ada pada kita”. Disana letak kebahagiaan kami. Dia mengajariku falsafah hidup yang tiada habisnya.

”Tuhan ….. aku menghadap pada-Mu dalam ketidakberdayaan manusia, jika kebenaran itu memang mutlak datang dari-Mu, mengapa tak pernah Kau hadiahkan cuma-cuma pada orang-orang miskin. Jika kebenaran adalah kepunyaan-Mu, mengapa harus begitu susah orang-orang miskin ”menghamba” pada makhluk-Mu yang derajatnya tak lebih tinggi dari binatang ciptaan-Mu”.

Menjelang semua makhluk sibuk dengan ritual agamanya, menyembah pada sang pemilik kehidupan. Terdengar dengan samar-samar tanpa pengeras suara alunan adzan dari surau diujung kampung sana, yang membangunkan orang dari tidur lelapnya bersamaan dengan kokok ayam jantan yang ceria setelah persengamaannya semalam dengan sang betinanya. Di ujung sana, kala dua jingga bertemu di dataran tinggi yang sama di Jawa tengah.
Dan aku masih disini, di tempat ini. Suatu sore, dalam rinai hujan. Geliat keresahan palingkan realitas jiwa. Sayang, hujan tak cukup mampu basahi kekeringan.

JIngga, mungkin mewarisi keberanian perempuan-perempuan yang berinteraksi dengan Pram dalam karya-karyanya Midah si gadis bergigi emas atau si gadis pantai, Nyai Ontosoroh, kisah yang tak habis-habis menguras air mataku saat mengecap alur kisahnya. Aaaah, perempuan-perempuan itu begitu rupa menafsirkan dirinya ditengah budaya patriarkal yang mengungkungnya sepajang jaman.

Siapapun engkau, aku merasa tak habis-habis kekuatanmu memancar dengan caramu sendiri lewat lakon-lakonmu dan sedikit demi sedikit mengalirkannya padaku, padamu mungkin Sya dan entah pada siapa lagi yang telah mengalami perjumpaan denganmu. Kuhabiskan the yang tinggal segaris lagi di gelas, memejamkan mata, sekejap saja. Sambil berharap, esok pagi masih ada keyakinan itu dalam hatiku.

0 comments: