Menyemai Perjuangan di Perkebunan

“Sebuah inisiatif perempuan melawan pemiskinan”
Oleh: Khalisah Khalid

“Entah, berapa babak mereka melakoni derita hidupnya disana, di perkebunan Pagilaran, lereng pegunungan Kemuylan, sebelah utara pegunungan Dieng. Derita itu berbabak-babak, dari generasi ke generasi, berubah pelakunya, namun tetap saja sama korbannya. Perempuan pemetik teh. Anak beranak perempuan menjadi buruh harian lepas, jika anaknya tidak mau meneruskan jejak orang tuanya, siap-siaplah untuk hengkang dari rumah yang ada di area perkebunan ini”. (Sya V)

Kolonialisasi Perkebunan
Penggalangan kalimat diatas, merupakan sebuah gambaran kecil dari cerita yang bisa kita sebut sebagai bentuk kolonialisasi perkebunan. Ini hanya sekelumit gambaran bagaimana nasib perempuan di perkebunan skala besar seperti perkebunan teh yang telah menjalani kehidupannya berbabak-babak dengan berbagai peristiwa, lapis-lapis kekerasan dan juga kemiskinan yang dialami sepanjang sejarah hidupnya yang artinya juga sepanjang sejarah perkebunan teh itu sendiri.

Buruh perkebunan teh secara turun temurun tetap menjadi buruh, tanpa jaminan hidup yang jelas dan jauh dari jangkauan perlindungan, yang sesungguhnya lebih mirip disebut dengan perbudakan. Kebanyakan buruh perempuan adalah buruh pemetik daun teh yang ditempatkan sebagai buruh harian lepas (BHL). Walau di beberapa tempat upah buruh baik laki-laki maupun perempuan sama, pada kenyataannya buruh laki-laki mendapatkan upah yang lebih banyak dari buruh perempuan karena system pembayaran upah pada buruh harian lepas didasarkan pada berat perkilo daun the yang berhasil di kumpulkan.

Di tempat yang lain, cerita nasib perempuan di perkebunan tidak jauh lebih baik yakni perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini menjadi salah satu primadona pembangunan kebijakan ekonomi yang berbasiskan pada industry ekstraktif dan industry kotor. Seperti kebanyakan lagu pembangunan, yang dijual adalah kesejahteraan bagi masyarakatnya. Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif pertanian; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya. Berbagai fakta penghancuran inilah yang menjadi indikator bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu basis produksi kotor yang diandalkan Indonesia, setelah industri tambang.

Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan dan bentuk-bentuk pemiskinan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.


Meskipun mungkin kurun waktunya tidak sepanjang perkebunan teh, apa yang terjadi pada perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit juga tengah mengalami lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.
Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk paling tidak sejak tahun 1985 di Kalimantan Barat, perempuan telah kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Bentuk ketidakadilan yang lain adalah ketika perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang lemah dan tidak berdaya, dan mengabaikan semua pengalaman pribadi termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas, dan pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan.

Inisiatif Perempuan
Pemiskinan memang menjadi realitas yang begitu rupa telanjang bentuknya, bahkan ditengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Peristiwa pemiskinan dan penderitaan perempuan memang tidak akan habis untuk terus dibicarakan sampai bisa terwujudnya keadilan, namun yang juga menjadi penting untuk dicatat adalah bagaimana perempuan sebagai sebuah entitas dengan dirinya yang juga menjadi bagian penting dari komunitas dan negaranya telah melakukan berbagai inisiatif untuk melawan pemiskinan atau agar dapat mempertahkan kehidupannya, meskipun dengan kualitas hidup yang berada dibawah standar kesehatan sebagaimana yang termaktub dalam Konstitusi Negara.

Dalam temuan awal yang berjudul meretas jejak jejak kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, ditemui beberapa inisiatif yang dilakukan oleh perempuan menghadapi pemiskinan yang dialaminya. Inisiatif ini dibangun oleh perempuan di kawasan perkebunan yang biasanya didasari atas pengalaman dirinya, dan kemudian bisa disebut sebagai sebuah pengetahuan. Inisiatif ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi survival yang dilakukan oleh perempuan untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya yang terus menerus dimiskinkan.

Di beberapa daerah, dimana masyarakatnya berhadapan dengan ekspansi industry perkebunan sawit skala besar seperti di Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Riau, perempuan yang menjadi korban dampak perkebunan sawit terlibat dalam perjuangan advokasi bersama dengan masyarakat yang lainnya untuk merebut kembali akses dan control terhadap sumber-sumber kehidupannya. Namun sering kali inisiatif perjuangan ini, dihadapkan pada upaya kriminalisasi dari pengurus negara dan perusahaan seperti yang dialami oleh ibu Nursiah di Sumatera Selatan. Di Sanggau, meskipun belum menjadi pemimpin organisasi, perempuan justru menjadi penggerak kelompok perempuan dan masyarakat di kampungnya seperti yang dilakukan oleh ibu Rini.

Pengalaman perempuan di perkebunan sawit di Sanggau Kalimantan Barat yang dilakukan dengan mencari pendapatan tambahan untuk keluarganya bahkan pekerjaan perempuan tersebut justru menjadi sumber pendapatan yang menopang keberlanjutan hidup keluarga. Bagi perempuan yang tidak memiliki lahan, biasanya perempuan bekerja menjadi berondol sawit, dan perempuan petani biasanya mereka alih profesi menjadi penoreh karet di kebun orang lain atau menjadi buruh tani.
Berdasarkan pengalaman buruk dengan perusahaan sawit, membuat mereka berpikir panjang untuk menyerahkan tanahnya. Kini, perempuan disana juga menanam jenis tanaman lain di tanahnya seperti jeruk yang juga bisa memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga.

Hal lain yang menjadi inisiatif perjuangan perempuan selain dengan cara merebut akses dan control terhadap kekayaan alam, juga dilakukan dengan membangun organisasi atau kelembagaan. Organisasi dan kelembagaan yang dimaksudkan disini bukan hanya bergabung dengan organisasi rakyat atau organisasi yang terlembagakan secara struktural, aktivitas ritual keseharian dua perempuan, dan beragam bentuk solidaritas antar perempuan (sederhana apapun) merupakan bagian dari kelembagaan perempuan sebagai bagian dari cara bertahan hidup perempuan ditengah krisis. Seperti perempuan berondol yang didalam aktifitasnya secara bersama-sama atau berkelompok setiap harinya untuk membicarakan berbagai permasalahan kehidupan yang dialami oleh perempuan, terlebih perempuan berondol sawit dihadapkan pada resiko kekerasan lain, seperti ancaman ditangkap oleh mandor-mandor perkebunan karena memungut buah sawit yang jatuh dianggap sama dengan mencuri.

Inisiatif-inisiatif (baca, strategi surviva) perempuan yang dilakukan mungkin jauh dari harapan untuk membuat hidup mereka sejahtera, namun yang pasti inisiatif ini merupakan cara mereka bertahan hidup ditengah absennya pengurus negara didalam memenuhi hak-hak dasar warganya.

Bagian gerakan social, menjadi penting untuk tidak hanya mengkampanyekan nasib-nasib ketertindasan perempuan, namun juga terus mempromosikan inisiatif-inisiatif perempuan yang selama ini telah dilakukan sebagai sebuah “iuran” besar warga negara yang harusnya diakui.

0 comments: