Tiga Hari Itu

Oleh: Khalisah Khalid

Aku hampir lupa, kalau kesehatanku belum pulih benar. Rasa senang memuncak begitu menginjak kaki di Banda Aceh untuk ketiga kalinya. Sambil menyusuri jalan, terlintas kopi Aceh yang begitu masyhur nikmatnya, bertambah lezat bila ditemani kue timpan yang sangat kusuka. Aaaah, sayangnya aku belum bisa menikmatinya sesegera mungkin. Semoga Aceh menjadi obat, paling tidak dalam tiga hari ini. Begitu harapku dalam bisik sambil memasuki penginapan yang berada di daerah Neusu.


Selain bahagia bisa kembali ke Banda Aceh walaupun hanya tiga hari, yang lainnya karena aku dipertemukan dengan sekitar 20 orang perempuan luar biasa dan 1 orang lelaki yang bertahan berada diantara kumpulan perempuan. Jarang loh ada lelaki yang mau bergabung belajar dengan kelompok perempuan, tanpa ada rasa diskriminasi dan juga dominasi.

Bagaimana tidak hebat, 20 orang perempuan ini mencurahkan hidup dan waktunya untuk pemajuan hak asasi manusia termasuk hak atas lingkungan di desanya masing-masing. Maklumlah, kebanyakan ibu-ibu yang usianya diatas saya dan beberapa ada yang lebih muda dari saya merupakan paralegal dan fasilitator di desanya masing-masing. Saya sangat yakin, proses membangun ini tidak segampang membalik telapak tangan, dan perempuan-perempuan yang hadir disini telah menunjukkan bagaimana perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang begitu istimewa dan berbeda, dan itu merupakan bagian dari kerja keras Solidaritas Perempuan Aceh.

3 hari ini kami melalui proses belajar bersama, aku asik menyimak bagaimana ibu-ibu mulai berdiskusi dan berdebat seru tentang peran gender yang mereka alami dalam kehidupannya sehari-hari. Bu Maryati misalnya, dia menceritakan kepada kita semua bahwa di keluarganya ada hari ayah. Waw, satu hari di setiap hari Jum’at, semua pekerjaan rumah tangga dilakoni oleh sang ayah. Senang bukan??? Tidak sampai disitu, ibu yang ceria ini juga telah menanamkan pembagian peran gender kepada anak-anaknya, termasuk anak laki-lakinya yang mulai dikenalkan dengan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak.

Nah, hal lain diungkapkan oleh kak Uti. Kakak yang heboh kalau bicara ini, menceritakan perasaannya yang malu sekali jika suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. “Apa nanti kata tetangga”, itu alasan singkatnya. Meskipun dia memahami bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak berjenis kelamin, bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Yang menarik awal proses belajar kami ini, paling tidak bagi saya semakin memperjelas bahwa memang peran gender, termasuk relasi didalamnya dipengaruhi dengan sangat kuat oleh sebuah system social dan budaya yang ada dalam masyarakat, termasuk agama didalamnya.

Sebenarnya diskusi masih berlangsung “panas”, namun waktu telah beranjak naik dan kini waktunya bagiku untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman advokasi yang selama ini aku lakukan. Meskipun aku bukan ahli hukum, materi belajar kami kali ini mengupas tentang hukum dan hak atas lingkungan. Aku ingat apa yang dikatakan oleh salah satu peserta, bahwa selama ini justru hukum yang membuat masyarakat tidak berdaya.

Belajar kita dimulai dengan mengulik kasus demi kasus yang dihadapi oleh peserta di masing-masing desanya dalam sebuah diskusi kelompok, mulai dari berhadapan dengan industri semen yang bernama PT. SAI dan turunan masalahnya seperti pembangunan PLTU untuk kepentingan pelanggengan bisnisnya, hingga berhadapan dengan pemilik usaha perabot. Satu demi satu peserta mengurai apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat dan bagaimana pilihan-pilihan yang telah dilakukan oleh paralegal ini bersama dengan komunitasnya.

Disinilah saya mulai masuk untuk menyampaikan informasi yang selama ini selalu diputar-balikkan untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak sesekali bersentuhan dengan hukum, jika tidak mau berhadapan dengan aparat hukum. Padahal hakikat kebaradaan hukum adalah sebagai alat untuk mencapai nilai keadilan dan memanfaatkan hukum untuk memperkuat posisi tawar mereka dan sebagai alat untuk mempertahankan dan melindungi serta mendorong dipenuhinya hak-hak asasi masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi dalam berbangsa. Peserta disini sudah mengerti isi Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara keseluruhan. selama ini, UUD 1945 juga belum digunakan sebagai pijakan untuk melihat sejauhamana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya bertentangan atau sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan produk hukum yang lebih tinggi.

Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kerusakan lingkungan hidup telah mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia dan penurunan kualitas hidup manusia, mungkin itu salah satu alasan mengapa hak atas lingkungan juga menjadi salah satu materi yang menarik untuk didiskusikan. Kami pun mulai saling berbagi cerita, ibu-ibu ini sedikit banyak telah mengetahui bagaimana pentingnya arti lingkungan hidup, meskipun diakui bahwa urusan perut menjadi kebutuhan yang lebih utama. Makanya ada diantara keluarga mereka yang bekerja mencari nafkah di PT. SAI, yang ibu-ibu juga telah ketahui telah mencemari lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan mereka seperti pertanian.

Diantara peserta ada yang merasa bahwa diantara paralegal ini belum melakukan apa-apa, tapi ada juga yang mengatakan bahwa meskipun sedikit dan kecil, paralegal ini telah berjuang meskipun belum maksimal hasilnya. Dari sinilah aku mulai mengenalkan strategi dan pernak-pernik advokasi dan komunikasi, sebagai salah satu keahlian yang akan sangat baik jika dimiliki oleh seorang paralegal lingkungan.
Kami mencoba “berkomunikasi” dengan sebuah permainan singkat, bisik kata. Meskipun permainan ini sederhana, ternyata ada juga kelompok yang salah menyebutkan sesuai permintaan fasilitator. Kami tertawa terbahak-bahak ketika kelompok tiga salah menyebutkan kata, dari kata hak lingkungan, menjadi hai lingkungan.....

Dari permainan singkat ini kami dapat mengambil pembelajaran, bahwa meskipun setiap hari dilakukan, berkomunikasi tidak semudah yang kita bayangkan. Karena itulah strategi komunikasi menjadi penting untuk diketahui oleh seorang paralegal, dan kata-kata kepercayaan menjadi keharusan dalam kerja-kerja advokasi, apalagi bagi seorang paralegal atau fasilitator desa yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dengan segala dinamikanya.

“Takut di-Pritakan, mbak”, yang lain menyahut “takut seperti pak Munir, mbak”, itu ungkapan dari ibu-ibu yang tidak lepas membayangi mereka, ketika mereka harus berhadapan dengan kerja-kerja advokasi di lapangan. Manusiawi dan bahkan teramat sangat manusiawi, apalagi bagi perempuan-perempuan yang daerahnya baru lepas dari operasi militer seperti di Aceh.

Menggunakan hukum sebagai alat perjuangan memang seperti berjalan di hutan belantara, karena hukum di Indonesia masih korup, tidak independen dan belum berpihak kepada keadilan bagi rakyat miskin. Namun bagaimanapun situasinya, masyarakat harus tetap mengerti tentang hukum termasuk bagaimana membedakan antara hukum pidana dan perdata. Yang terpenting tidak takut lagi dengan kata-kata hukum dan bahkan menggunakan instrument hukum untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.

Kak Khairani, yang memang jago di bidang hukum mengajak kita semua untuk mulai belajar mengelompokkan criteria hukum pidana dan perdata. Lagi-lagi saya terkagum-kagum, dengan pemaparan ibu-ibu di depan kelas selepas membedah kasus di desanya masing-masing. Wuih, ibu-ibu ini sudah bisa mengidentifikasi kasus-kasus mereka berdasarkan kriteria hukum perdata dan pidana, meskipun mereka bukan ahli hukum.
Bukan itu saja, termasuk pada strategi atau pilihan apakah akan menggunakan jalur hukum atau diluar jalur hukum seperti lobby, mediasi dan lain-lain. Apalagi saya percaya bahwa pada dasarnya perempuan merupakan seorang pelobby yang ulung, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman melakukan lobby dalam kesehariannya.

Lewat bermain peran, peserta ini mulai mempraktekkan bagaimana melakukan lobby-lobby dengan para actor-aktor yang dianggap penting untuk dipengaruhi dalam kasus-kasus yang terjadi di desanya, mulai dari pak Keucik sampai Bupati. Meskipun hanya bermain peran, peserta mencoba untuk mendalami karakter aktor-aktor yang mau dipengaruhi. Sekali-dua kali-tiga sampai empat kali, hampir semua peserta kebagian peran dan belajar bagaimana cara melobby.

“We are the best”, itu teriakan kami bersama setelah kita semua sukses belaajar bagaimana proses melobby. Tentu tidak berhenti hanya sampai disini, karena semua yang dipelajari akan dipraktekkan secara langsung di desanya. Paling tidak, pertemuan ini sudah berhasil merancang kerja-kerja yang akan dilakukan secara realistis.

Jam 17.30, pesawatku meninggalkan Banda Aceh. Meskipun terlalu cepat berada di Banda Aceh, paling tidak dalam tiga hari ini aku bisa berada diantara perempuan-perempuan hebat sampai doa dan harap mengakhiri perjumpaan kami. Semoga perjuangan membela hak-hak masyarakat dan hak perempuan ini dapat menuai keberhasilan, dan kami masih bisa terus belajar bersama.

Aaaah,perempuan memang punya segudang pengetahuan dan pengalaman berjuang mempertahankan kehidupannya. Sayangnya, inilah yang tidak pernah dilihat dan diakui oleh negara dan komunita social lainnya. Selain hanya melulu menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya.

0 comments: