Kemunduran Perspektif Gender COP 15 UNFCCC

Media Rilis CSF, 15 Desember 2009

Kabarnya, salah satu mandat delegasi Indonesia adalah memperjuangkan subtansi Bali Action Plan yang dilahirkan COP 13, dimana Indonesia menjadi penyelenggaranya, sekaligus menjabat Presiden COP 13. Sayangnya, delegasi Indonesia tak konsisten, terbukti pelan tapi pasti gender tak lagi menjadi bagian yang muncul dalam teks shared vision AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Agreements).

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang berbeda pada tiap level masyarakat, bergantung wilayah tertentu, generasi, umur, kelas, tingkat pendapatan, pekerjaan, dan gender. Pada masyarakat yang secara dominan masih hidup dengan nilai-nilai patriarki, maka dampak perubahan iklim dengan sendirinya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hidup perempuan, ketimbang laki-laki.

Bagaimanapun, meski perempuan seringkali dianggap sebagai korban, tapi sesungguhnya peran mereka signifikan sebagai agen perubahan dan pengetahuan kehidupan sahari-hari merupakan jawaban menghadapi dampak perubahan iklim. Perempuan adat memiliki pengetahuan tentang hubungan paling baik dengan alam. Mereka paham pentingnya hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, dan sebagai gantinya, mereka menjaga alam agar dapat terus menyokong kehidupan keluarga mereka. Naluri untuk senantiasa menjaga kehidupan merupakan spirit yang feminine. Tak heran, jika kita selalu menyebut Ibu Pertiwi, atau Mother Nature. Inilah kebijaksanaan yang dimiliki oleh perempuan timur, terutama Indonesia. Pengetahuan ini adalah satu dari beberapa gelintir solusi nyata perubahan iklim yang dapat menyelamatkan generasi kita.

Bali Action Plan yang muncul pada COP 13 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dan social dan penghapusan kemiskinan adalah prioritas global, dan menekankan bahwa sebuah visi bersama (shared vision) mesti memperhatikan “kondisi social dan ekonomi atau factor relevan lainnya;”[iii] Gender equality— including equal participation of women and men as well as accounting for the differentiated impacts on women and men from climate change and its response measures— should be included in UNFCCC agreements in alignment with various international agreements including but not limited to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), the Beijing Platform for Action, and ECOSOC Resolution.

Komite CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) merekomendasikan perlunya segera melakukan upaya pencegahan resiko perubahan iklim dan bencana yang peka gender, sensitif terhadap sistem pengetahuan adat dan menghormati Hak Asasi Manusia. Hak perempuan untuk berpartisipasi pada semua tingkat pengambilan keputusan terkait perubahan iklim dan programnya, harus dijamin. Data yang terpisah berdasar jenis kelamin dan panduan program untuk membantu pemerintah merupakan salah satu yang penting untuk melindungi hak-hak perempuan. Kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, akan meningkatkan kemampuan Negara mengurangi dampak bencana, serta mitigasi adaptasi perubahan iklim.

Celakanya, negara-negara industri yang kerap disebut negara maju, ternyata terbelakang dalam prespektif gender. Australia menyatakan menolak shared vision pada sidang hari pertama AWG LCA, 7 Desember 2009 . Alasan mereka, upaya-upaya nyata yang berprespektif gender lebih baik dilakukan langsung ke dalam teks, misalnya tentang mitigasi dan adaptasi. Padahal, yang dibutuhkan memasukkan persektif gender sebagai prinsip konvensi, sehingga di dalam teks manapun kemudian prinsip ini dapat menjadi panduan. Selain Australia, negara lain yang menunjukkan resistensinya terhadap teks shared vision adalah Amerika Serikat dan Canada.

Sementara delegasi RI sendiri belum menunjukkan posisinya terhadap pentingnya shared vision sebagai teks bersama yang memuat prinsip-prinsip dasar dokumen LCA. Posisi ini sebetulnya membahayakan Indonesia, sebab shared vision akan memuat prinsip nyata ke depan, yang harapannya dapat menjamin nilai-nilai keadilan yang disepakati bersama. Shared vision adalah dokumen yang paling mungkin disepakati bersama diantara kesepakatan LCA lainnya.

Dengan adanya kesadaran bahwa percepatan perubahan iklim yang terjadi selama ini diakibatkan pembangunan yang tidak sensitif gender, maka Solidaritas Perempuan, CSF bersama Gender Climate Caucus mendesak pemerintah Indonesia mengusung klausul yang peka gender terkait dampak perubahan iklim pada Shared Vision AWG-LCA.

Usulan tersebut meliputi paragraph 7 dan 16.

Paragraph 7 (bis)

Recalling the international commitments to gender equality and participation, the full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Paragraph 16:

The full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Shared vision atau visi bersama atas prinsip-prinsip dalam menghadapi perubahan iklim sifatnya mendesak, baik di tingkat internasional hingga nasional. Linda Gumelar, Menteri pemberdayaan perempuan Indonesia yang baru beberapa bulan menjabat, mestinya cepat tanggap dengan shared vision terkait perubahan iklim.

Apalagi, delegasi Indonesia yang dikirim ke COP 15 UNFCCC diragukan memiliki prespektif gender. “memangnya perempuan itu penting ya terlibat dalam perubahan iklim?, tanggap salah satu delegasi RI yang ditanyakan mengapa Dewan Nasional Perubahan Iklim tidak melibatkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan ().

0 comments: