Sya VI

Sya...
ini hari kedelapan dalam bulan maret, dan aku diberi lagi sekali waktu ini untuk menyaksikan berapa abad sudah perlawananmu para perempuan melawan berbagai rasa yang dilaluinya dengan hatimu, dengan tanganmu, dengan seluruh darah yang mengalir lewat sumsum-sumsummu. melawan lupa, melawan ketidaktahuan, melawan kelemahan, melawan sakit, melawan duka dengan hatimu, dengan tanganmu, dengan seluruh darah yang mengalir lewat persendianmu.

mulai dari balik dinding yang sunyi, hingga menyusup pada keramaian yang datang silih berganti, kau mencoba tidak tunduk pada apa saja yang menghalangi keyakinanmu. aku meyakini lautan luas tersimpan dalam hatimu, hingga ketenangannya dapat perlahan-lahan menjadi ombak yang menggulung rasa ketidakberdayaanmu menjadi kekuatanmu. kau teramat sangat tau, yang melemahkan dirimu adalah dirimu sendiri.

di perkebunan, amarah itu meluap menjadi benih-benih jiwa yang membangkang pada tuan tanah, pada rentenir yang terus saja mencekik lehermu dengan bunga utang yang kau sendiri sudah tidak sanggup menghitungnya, pada mandor-mandor yang seenak udelnya memainkan butiran keringatmu yang satu persatu kau pertukarkan dengan lembaran rupiah untuk bertarung hidup sambil sesekali memainkan tangannya yang nakal untuk menoel pantat-pantat anak gadismu yang juga mau tak mau mengikuti jejakmu menjadi buruh, pada penjajah yang dari dulu hingga kini hanya berubah bentuknya saja. dulu bertopi kompeni dan priyayi, kini berganti berseragam dan berdasi yang sesekali asik
saling berjudi mempermainkan nasibmu sekeluarga tanpa kau tau siapa yang menang, tapi selalu saja pasti hidupmu yang menjadi taruhannya.

di kampung-kampung, amarah itu meluap menjadi toxic-toxic yang siap meracuni rasa takutmu dan merubahnya menjadi bara yang dibakar pagi, siang dan malam pada traktor-taktor besar yang setiap saat siap merobek-robek tanahmu, pada umara'mu yang mengaku menjadi pemimpin dan wakilmu tapi tanpa malu-malu menyumbang masjid dari uang yang mengobral sawahmu, ladangmu, hutanmu menjadi lubang-lubang tambang menganga yang membuat dadamu sesak menahan amarah, pada orang yang bahkan kau tidak kenal siapa dia, dan tiba-tiba datang menyerobot lahanmu dan mengeruk isinya sesuka hati mereka sambil memberikan "gula-gula" dan tak lupa berkata "kami sungguh baik pada kalian".

di pabrik-pabrik, amarah itu meluap menjadi deru mesin yang siap berkejaran mengalahkan rasa takutmu pada bos-bos mulai dari kecil hingga bos-bos yang kaupun tidak tau bagaimana rupanya, tapi dari jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik menguras tenagamu tak ubahnya seperti sapi perah kurus yang tak pernah diberi makan, pada

di dapur hingga meja makanmu, amarah itu menjadi bisikan dan lagu yang selalu kau senandungkan pada buah hatimu agar mampu menegakkan kepala, mengepalkan jemari yang selama ini selalu terkepal tak berdaya, menjadi kepalan yang siap meninju angkasa.

di jalan-jalan, amarahmu menyatu dalam seluruh jiwa yang menggelora dalam gemuruh-gemuruh perlawanan pada bangsamu yang selalu mengabaikan hidupmu, pada adat istiadatmu yang menempatkan dirimu tak lebih sebagai properti, pada tafsir-tafsir agama yang selalu dipuja-puji oleh manusia yang tingkahnya melebihi Tuhan-Nya sendiri, pada kapitalisme yang menggenggam seluruh hidupmu hingga kau sendiri tidak mengerti siapa dirimu dalam balutan iklan yang menjual kebahagiaan hidup dalam bungkusan produk yang kau sendiri tidak butuh tapi kau menikmatinya dengan sangat.

sya...
hari itu kembali datang, dan aku sunggu merindumu hadir disini sambil terus mengajakku memahami alur hidup yang singkat ini. "perbuat apa yang kamu yakini sebagai kebenaran, karena itu hidup pilihan".

0 comments: