beli ikan di pasar Jum’at
Mancing dulu di pinggir kali
aye ame rombongan datang dengan segala hormat
mohon diterime dengan seneng hati

Rombongan calon mempelai laki-laki akan dicegat di depan pekarangan rumah, “eh, bang. Jangan asal nyelonong dong, main masuk-masuk aje ente nggak pake permisi”. “emang ada syaratnye bang”, dijawab “eh, ente boleh masuk kalau udah penuhi syarat-syaratnye”.


Berbalas pantun seperti penggalan pantun di atas, merupakan satu syarat pembuka yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki dan keluarganya sebelum diterima masuk ke dalam pekarangan rumah, selain 2 (dua) syarat lainnya yang tidak kalah beratnya.

Syarat berikutnya adalah saling “adu pukul” alias main silat, yang menang baru boleh masuk. Sudah bisa ditebak, pastinya jagoan dari pihak laki-laki yang menang. Sepukul dua pukul, jagoan dari pihak laki-laki dan perempuan menunjukkan kebolehannya bermain silat.

Eit, biarpun sudah menang jagoan calon mempelai laki main silatnya. Palang pintu belum bisa dibuka sebelum syarat terakhir dipenuhi yakni baca syair Sike yang berbahasa arab yang berisi pujian dan doa-doa agar kedua mempelai bisa bahagia. Nah, setelah semua dipenuhi, barulah calon mempelai laki-laki bersama rombongan dipersilahkan masuk.

Buka palang pintu merupakan prosesi yang satu sama lain seperti menjadi jalan cerita (alur) sebuah peristiwa, dan dari proses kawinan orang Betawi ini kita bisa melihat berbagai budaya menjadi satu kesatuan yang indah. Mulai dari arakan-arakan calon pengantin dengan iringan hadrah dan marawis yang jika boleh dibilang berasal dari budaya arab, mercon alias petasan yang konon merupakan kebudayaan Cina dimana saban acara-acara besar di Betawi tidak pernah ketinggalan. Sampai berbalas pantun dan silat yang banyak ditemui pada kebudayaan Melayu.

Rasanya belum cukup afdol, jika prosesi buka palang pintu ini tidak dilengkapi dengan aneka makanan dan minuman betawi seperti asinan betawi, kue selendang mayan dan bir pletok. Kue selendang mayang dan bir pletok merupakan jenis makanan dan minuman yang sudah jarang ditemui, dan menariknya keduanya memiliki sejarah namanya masing-masing. Konon keduanya juga punya rasa yang enak, hmmmm yummy (hanya bisa membayangkan) karena saya juga tidak bisa mencicipinya. Kami berdua masih harus duduk manis di pelaminan yang berbentuk teras rumah adat Betawi. Teman-teman kami yang kebetulan berasal dari luar Jakarta menyebut ini rumahnya si Doel, mungkin karena mereka penggemar si Doel Anak Sekolahan. Hehehe….

Arakan bersama sepasang roti buaya dibawah pohon kembang kelapa yang bertabur duit recehan, berbalas pantun, berpencak silat, membaca sike menjadi satu cerita yang menarik dan sangat berbekas dalam perjalanan kehidupan kami berdua. Dibumbui sedikit cerita kumpeni di sela-sela waktunya. Semula mau dicut, tapi untuk apa juga menipu sejarah bahwa kumpeni sedikit banyak juga mempengaruhi peristiwa atau kehidupan orang Betawi, pun juga budayanya. Misalnya di waktu-waktu yang lalu, pengatin juga ada sessi menggunakan pakaian bergaya eropa. Juga bir pletok sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang Belanda atau orang Betawi menyebutnya dengan kumpeni.

18 April 2010, satu tahun usia perkawinan yang telah terlalui, melihat kembali rekaman proses perkawinan kami (karena waktu itu saya yang menjadi “tuan putrinya”), saya seperti sedang menyaksikan sebuah percampuran berbagai budaya yang mengalir dan hidup bersama di sebuah entitas yang bernama Betawi. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di Betawi, sungguh saya mensyukuri dilahirkan dari sebuah perpaduan kebudayaan yang sangat kaya. Disini saya mengamini apa yang dituliskan oleh Lance Castle dalam Melting Pot, di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia.

Aaaaah, akhirnya satu pintu telah kami buka dan lalui bahkan dengan dua perpaduan budaya Betawi dan Banjar. Semoga kami masih bisa terus melangkah bersama, karena kami meyakini cinta dapat membebaskan.

(kk, 18 april 2010)

0 comments: