Politik Banjir

Politik Banjir
Oleh: Khalisah Khalid

Pembelokan Kepentingan
Menarik, apa yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla bahwa banjir merupakan imbas dari kerusakan lingkungan. Kalla juga mengatakan, tata kota di Jakarta dan sekitarnya harus dibenahi. ”Pembenahan kawasan hijau wajib segera dilakukan untuk penyerapan air. Sungai-sungai harus diperlebar, dikeruk, dilestarikan.” (Kompas, 15 Februari 2010).

Saya setuju, salah satu penyelesaian banjir adalah dengan pembenahan tata kelola kota yang saat ini sudah amburadul. Tapi yang menjadi kekhawatiran berikutnya adalah ketika solusi ini ditelan mentah-mentah oleh pemerintah tanpa pernah melihat akar persoalan secara kebih struktural. Yang terjadi adalah persis paska banjir tahun 2007, pembenahan kota dilakukan secara besar-besaran. Penggusuran marak terjadi dimana-mana, dan yang disasar adalah permukiman warga miskin dengan mengatasnamakan pembangunan kawasan hijau dan pengendalian banjir.

Inilah yang mesti dilihat secara lebih jauh, bahwa melihat persoalan lingkungan tidak bisa hanya dari aspek teknis lingkungan. pendekatan ekologi politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam (Blaikie and Brookfield, 1987). Bahkan selain menggunakan analisis structural, ekologi politik kontemporer juga menggunakan keterkaitan antara pengetahuan, kekuasaan, dan wacana.

Ruang terbuka hijau (RTH), memang menjadi kebutuhan mendesak bagi kota Jakarta yang memiliki laju kerusakan lingkungan hidup begitu tinggi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dalam study cepat yang dilakukan dengan wawancara terhadap 1000 orang warga krisis di Jakarta, mendapatkan hasil bahwa kualitas hidup di Jakarta memang semakin buruk. Tingkat polusi udara yang begitu tinggi, persoalan sampah dan banjir yang setiap tahunnya mendatangi kawasan padat huni ini.
Jakarta dan kota-kota besar lainnya juga mengalami fragmentasi ruang publik yang begitu besar, akibat konversi untuk kepentingan kawasan komersil, ruang interaksi sosial warga Jakarta, yang sekaligus memiliki fungsi ekologis, telah beralih menjadi pusat perbelanjaan yang kemudian didefinisikan sebagai ruang publik.

Nampaknya, ini bukan lagi persoalan perbedaan interpretasi. Ini sudah menyangkut persoalan perbedaan kepentingan, dan pemerintah dalam hal ini lagi-lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan warga miskin, sehingga kepentingan warga miskin dapat dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yakni kepentingan modal.

Wacana tentang lingkungan hidup kini diadopsi oleh pemegang kekuasaan dan pasar, dengan bungkusan modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism), tujuannya jerlas yakni untuk kepentingan politik dan pasar, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.

Bahkan dengan mengusung pendekatan Green Developmentalism, isu lingkungan kemudian bergeser menjadi komoditas baru diantaranya bisnis perumahan yang kini semakin marak diiklankan lewat media massa. Sebagai komoditas ekonomi, sasarannya juga jelas yakni kelas menengah keatas yang tingkat konsumsinya melampaui daya dukung lingkungan. Bukan dalam rangka memenuhi hak atas lingkungan yang hidup dan sehat sebagaimana yang diamanahkan dalam Konstitusi yang menjadi hak semua warga negara.

Mengelola Kota
Kepentingan ekonomi memang jauh mendominasi kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan isu keberlanjutan kehidupan bagi rakyat dan lingkungan. Perebutan kue pembangunan, selalu dimenangkan oleh pasar dan industri yang menguasai tata konsumsi dan tata produksi masyarakat. Penegakan hukum untuk mengimplementasikan peruntukan perencanaan ata ruang wilayah sebagai ruang terbuka hijau, hanya berlaku untuk warga miskin, tidak berlaku untuk investasi.

Karenanya, pengurus negara harus merubah solusi dalam menangani problem perkotaan, dan hal pertama yang mesti dilakukan adalah bagaimana merubah kebijakan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang dipilih. Persoalannya bukan pada seberapa tinggi populasi penduduk di kota-kota besar, tapi seberapa jauh distribusi lahan dan tingkat konsumsi masyarakat dapat dikelola secara adil dan berkelanjutan.

Pengelolaan tata kota tidak hanya dengan melihat aspek teknisnya semata, meskipun itu memang lebih menarik karena putaran uang untuk proyek akan sangat besar. Terlebih, dalam kurun waktu 10-15 tahun kedepan, kota akan menjadi tempat pengungsian terakhir ketika desa tidak lagi dinilai bisa memberikan jaminan atas kesejahteraan dan produktifitasnya, sementara kota memiliki daya dukung ruang yang terbatas. Artinya, yang dibutuhkan adalah kebijakan pengelolaan kota dan tata ruang yang berkeadilan, baik untuk lingkungan maupun keberlanjutan kehidupan rakyat, terutama kelompok rentan seperti miskin kota.

0 comments: