Jejak Utang di Konsevasi

Oleh: Khalisah Khalid

Politik Utang
Debt for Nature Swap (DNS) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dengan melibatkan salah satunya lembaga konservasi intrernasional sebagai partner swapnya terus bergulir, ditengah kritik publik yang keras terhadap utang luar negeri. Tidak kurang dari 21,6 juta US dollar utang Indonesia kepada Amerika Serikat yang dikonversi untuk membiayai program konservasi di 3 (tiga) kawasan hutan di Sumatera.


Dalam konteks utang luar negeri, mekanisme DNS merupakan sebuah skenario dari kreditor untuk “memaksa” negara pengutang tetap membayar utang mereka, karena mereka takut apabila negara pengutang gagal membayar utangnya. Skema ini merupakan sebuah cara untuk mengurangi utang luar negeri yang dipilih sebagai skema yang dianggap paling aman bagi negara pemberi utang dalam hal ini Amerika Serikat. Kepentingannya jelas, Indonesia terus membayar utangnya kepada USA, dengan memberikan fasilitas kemudahan.

Hal lain yang mesti dikritisi adalah syarat-syarat yang menyertai mekanisme swap tersebut. Selama ini setiap upaya mengkonversi utang luar negeri tidak disertai dengan menyebutkan syarat-syaratnya secara transparan kepada publik. Dalam konteks DNS, sejauhmana transparansi syarat-syarat tersebut diketahui oleh public, khususnya bagi masyarakat yang ditetapkan kawasannya sebagai wilayah penerapan konservasi di Sumatera yang dibiayai dari DNS.

Politik Konservasi
Dari pengalaman praktek-praktek kebijakan perluasan konservasi tersebut yang berlangsung sampai saat ini, konservasi diperuntukkan bagi kepentingan investasi baik melalui bisnis dengan menjual taman nasional atau mengalihkannya menjadi industri tambang dengan atas nama lingkungan dan berlindung dibalik kedok konservasi.

DNS tidak lebih merupakan sebuah alat untuk melahirkan multy effect player dalam bidang ekonomi, yakni pengusaaan kekayaan alam. DNS sebagai “pembuka jalan” menuju pengerukan sumber daya alam, khususnya pertambangan karena disanalah letak cadangan mineral dan gas. Paling tidak itulah yang terekam dalam jejak sejarah penetapan kawasan lindung oleh kolonial Belanda sebagai kawasan cadangan minyak dan gas.
Yang mesti diingat, masalah pokok konservasi dan lingkungan hidup di Indonesia bukan terletak pada pembiayaannya, melainkan pada kebijakan pengelolaannya. Selama ini praktek konservasi justru menjauhkan akses dan kontrol rakyat dari ruang hidupnya.

Ecological Debt
Mekanisme konversi utang luar negeri untuk lingkungan hidup, justru tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan restorasi lingkungan hidup, dalam hal ini manajemen pengelolaan kekayaan alam yang demokratis dan menempatkan masyarakat, paling tidak itulah pengalaman dari berbagai negara seperti Filipna, Kosta Rika, Guatemala dan hasil seminar yang dilaksanakan oleh Brasilian Institute for Economic dan Social Analysis pada tahun 1991. Lalu apa solusinya, pasti itulah yang menjadi pertanyaan yang selalu muncul ketika bicara soal pembiayaan pemulihan lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sejak tahun 2001 telah mengkampenyekan tuntutan pembayaran utang ekologi oleh negara-negara kreditor, sebagai sebuah tawaran alternative untuk merespon DNS. Selama ini kita mengetahui bahwa aliran dana utang dalam sejarahnya telah digunakan untuk membiayai industry ekstraktif negara industry seperti tambang yang telah mengeruk habis kekayaan alam dan menyisakan kerusakan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah Indonesia harusnya berposisi menuntut pembayaran utang ekologi terhadap negara-negara maju dengan pilihan penghapusan utang luar negeri dan tidak lagi mengambil utang luar negeri sebagai pilihan membiayai pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara lainnya, dan hal ini telah dilakukan oleh Bolivia dalam setiap perundingan dunia menangani perubahan iklim.

2 comments:

Mimin said...

kunjungi blog saya juga ya, masih newbie soalnya.

Mimin said...

http://creativeendless.wordpress.com/2011/02/11/lestari-alamku-menjadi-selaras-hidupku/