Perempuan, Tambang dan Negara yang Abai

Perempuan, Tambang dan Negara yang Abai
Oleh: Khalisah Khalid

Industri Maskulin
Industry tambang terus mengeruk isi bumi tiada henti, dibarengi dengan terus menerus berbagai krisis yang mengikutinya. Marjinalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan bersama, mengorbankan kepentingan kehidupan perempuan, penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan system yang meminggirkan perempuan, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, dan kerap kali menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam. Inilah praktek industry patriarkis yang kini diwakili oleh berbagai industry ekstraktif, tambang salah satunya.


Galuh Wandita menyebut industry tambang sebagai bentuk industry yang maskulin dimana secara fisik dalam industry tambang menggunakan penetrasi alat berat untuk mengeruk isi bumi dan sifat pekerjaannya yang menggunakan dan sifat pekerjaannya yang membutuhkan teknologi canggih, ‘keperkasaan’, dan kekuatan penghancur yang kesemuanya bercirikan maskulin. Maskulinitas memang menjadi salah satu ciri yang melekat dalam pengelolaan sumber daya alam di berbagai belahan dunia, dengan menempatkan perempuan sebagai korban akibat dari praktek industry ekstraktif tersebut.

Pengucilan dan Pengabaian
Hampir dapat dipastikan, rentang kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang, dimulai sejak masuknya industry tambang di wilayahnya. Pada tahun 2002 Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan telah mencatat, bahwa Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan khususnya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan akibat dari beroperasinya industry tambang antara lain kekerasan berbasiskan seksualitas perempuan seperti pelecehan seksual, perkosaan dan kawin lelang yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang. Kesehatan reproduksi perempuan yang hidup di sekitar wilayah tambang juga terancam akibat tercemarnya sumber air dari limbah tambang.

Fenomena munculnya lokalisasi prostitusi yang terjadi di hampir seluruh kawasan industry ekstraktif terutama tambang, memandang tubuh perempuan sebagai property yang bisa dijadikan komoditas untuk mengontrol mulai dari tatanan keluarga hingga komunitas yang hidup di lingkar tambang. Nampaknya industry tambang juga menyadari bahwa tubuh dan seksualitas perempuan dapat dijadikan sebagai alat atau menjadi sebuah medan pertarungan yang kritis untuk mendapatkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik mulai dari pekarangan rumah hingga level negara.


Pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri, termasuk bagaimana pengetahuan Ilmu-ilmu pengobatan banyak dikuasai perempuan dan pengetahuan menyadap aren menjadi gula merah seperti yang dialami oleh perempuan yang tinggal di lingkar tambang di Kalimantan Timur.

Setelah dijauhkan aksesnya, perempuan juga dibatasi kontrolnya terhadap sumber-sumber kehidupannya. Sehingga ketika bicara soal industry tambang, urusannya direduksi seolah-olah hanya terkait dengan pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi, padahal di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap tanahnya.

Yang memprihatinkan tentu saja ketika perempuan kehilangan wilayah kelolanya dengan bertani, berkebun, membuat arang dan dan membuat gula merah, sehingga banyak perempuan yang tergantung hidupnya dari laki-laki baik suami, ayah, maupun anak laki-laki. Seperti yang disampaikan oleh seorang ibu yang tinggal di Kutai Timur “perempuan tidak bisa makan kalau laki-laki tidak pergi bekerja senso kayu atau kerja lain yang dapat uang, karena semua sekarang harus dibeli, sungguh susah hidup sekarang.”

Dimana Negara?
Salah satu program Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan dan pemenuhan hak anak melalui evaluasi pelaksanaan kebijakan peningkatan kualitas hidup perempuan.

Didalam Konstitusi, jelas disebutkan berbagai hak warga negara untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupannya dan pengurus negara berkewajiban untuk menjalankan mandat Konstitusinya. Sayangnya, apa yang tertera dalam Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan atau referensi untuk memenuhi kewajibannya. Hendri Saparani menyebutkan apa yang dilakukan oleh negara saat ini merupakan sebuah proses mengaburkan jalan untuk memenuhi kewajiban Konstitusinya, dan terus mereduksi peran-perannya melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya.

Negara terus membiarkan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang masuk melalui rantai yang bernama pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.

0 comments: