Sya VII

Sya ….
Di pojok ruangan aku menangis, aku merasa tiba-tiba takut kehilangan hidupku. Aku takut mati Sya, pergi disaat aku ingin memeluk cintanya dengan kesetiaan. Ketakutanku memuncak entah dari mana asalnya, tapi kurasa yang dikatakan laki-laki di rumah sakit itu telah membuat temperatur badanku naik tidak menentu, dan pengharapan hidupku seperti sedang diletakkan pada gelas yang retak. Aku telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan kali ini sungguh kekalahan ini sulit kulalui.

Sya ….
Aku tau dia juga merasakan resah yang sama, takut yang membuatnya menatapku dalam keheningan gelap. Aku menuliskan keresahanmu dalam lemari hatiku agar aku bisa terus membukanya. Mengapa takut pada kematian, bukankah kematian adalah sebuah keniscayaan yang menghampiri setiap makhluk yang bernyawa. Jadi mengapa mesti takut menghadapinya, ikhlas menjalani semua ujian hidup karena semua yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya.

Sya…
Ajari aku tentang kehidupan, bagaimana memahami nilai-nilainya dan mampu menunjukkanku padaku bagaimana menghargainya. Yakinkan aku, bahwa Tuhan hanya mengujiku dalam sakit lahiriah, namun tetap menjagaku dalam kepanjangan kesetiaan keyakinan nilai kehidupan yang hakiki. sungguh aku ingin terus hidup dalam jiwa. Ada dalam sebuah pengharapan, meski tanganku sulit menggapainya.

Menjelang semua makhluk sibuk dengan ritual agamanya, menyembah pada sang pemilik kehidupan. Terdengar dengan samar-samar tanpa pengeras suara alunan adzan dari surau diujung kampung sana, yang membangunkan orang dari tidur lelapnya bersamaan dengan kokok ayam jantan yang ceria setelah persengamaannya semalam dengan sang betinanya. Di ujung sana, kala dua jingga bertemu di dataran tinggi yang sama.

Pagi-Mu sungguh indah, puji-puji syukur mengalir dalam bait-bait doa
berlomba dengan embun yang satu satu turun ke bumi, dan Kau masih menggenggam hatiku dengan cinta dan pengharapan.

0 comments: