Moratorium, Masih di Langit!

Moratorium kini jadi kata yang sering diperbincangkan: mulai dari jeda tebang hutan, jeda tambang, hingga jeda pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan, moratorium tebang hutan yang dulu seperti sebuah kemustahilan kini jadi keniscayaan.

Setidaknya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Norwegia terkait pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut. Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan instruksi lewat Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Apakah ini angin baik setelah 10 tahun lebih dimimpikan oleh gerakan lingkungan? Sekilas iya, terutama jika melihat Inpres No 10/2011 dari kulit luarnya. SBY berkomitmen menghentikan izin baru hutan dengan jualan penurunan emisi hingga 41 persen.

Mari kita bicara mimpi moratorium hutan yang benar. Sebuah cita-cita untuk membenahi pengelolaan hutan yang karut- marut dan melahirkan berbagai kerentanan dan konflik kehutanan yang tak berkesudahan, yakni dengan melakukan jeda tebang setidaknya dalam kurun 15 tahun. Kurun waktu ini dianggap cukup untuk membenahi kerumitan pengelolaan hutan dan izin pengelolaan hutan yang tumpang tindih, yang menyebabkan rakyat semakin miskin dan bencana lingkungan.

Dalam mimpi gerakan lingkungan, moratorium hutan sekaligus untuk memberikan ruang bagi negara memfasilitasi rakyat dalam membangun ruang-ruang produktifnya. Kita tahu bahwa selama ini berbagai konflik di sektor kehutanan salah satunya disebabkan tidak dibukanya akses dan kontrol rakyat terhadap pengelolaan hutan.

Akan tetapi, waktu dua tahun yang ditetapkan untuk moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan gambut—sebagaimana tertuang dalam Inpres No 10/2011—tentu perlu dikritisi. Apakah dalam waktu dua tahun dapat menyelesaikan berbagai problem kehutanan yang sudah menggurita? Belum lagi ditambah praktik mafia di sektor kehutanan yang begitu kuat memengaruhi kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah?

Inpres No 10/2011 melakukan pembiaran terhadap pemodal karena izin sudah diberikan di kawasan berhutan, tanpa ada penundaan izin, termasuk evaluasi izin. Inpres ini hanya penundaan izin terhadap izin baru. Faktanya, di Kalimantan Timur, misalnya, selain hutan lindung dan kawasan konservasi, seluruh kawasan hutan telah dibebani izin. Ini berarti memang tak akan ada izin baru, tetapi yang ada adalah jual-beli izin.

Pelanggengan kekuasaan

Dengan kondisi kerusakan hutan yang begitu masif, sepanjang 2006-2007 saja deforestasi mencapai 2,07 hektar dan memusnahkan sekitar 5,17 miliar pohon berdiameter beragam, maka penundaan pemberian izin baru selama dua tahun tak lebih hanya wacana untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik.

Jika melihat dari waktu penetapan Inpres No 10/2011, moratorium tampaknya akan jadi momentum dan dasar dari revitalisasi industri untuk mendorong optimalisasi, efisiensi, dan kompetensi industri kehutanan dan perkebunan.

Meskipun ada di luar, para pemodal berkonsolidasi. Mereka seperti kebakaran jenggot dan menuding isu moratorium yang didesak oleh organisasi lingkungan untuk kepentingan asing dan bertujuan menghambat majunya perekonomian nasional. Sebuah klaim yang tidak mendasar karena, kenyataannya, struktur ekonomi-politik neoliberal telah menyebabkan ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi nasional saat ini. Dominasi modal asing telah sangat besar menguasai seluruh sektor ekonomi, khususnya sumber daya alam. Nasionalisme hanya bersifat simbolisme karena unit-unit yang menjalankan ekonomi negara sesungguhnya tidak ada.

Jangan lupa, selain Inpres No 10/2011, SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—yang dikeluarkan hampir bersamaan—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Jika realitasnya seperti ini, omong kosong jika kemudian moratorium akan menjawab krisis lingkungan dan dapat menyelamatkan hutan yang masih tersisa, apalagi memulihkan kondisi kerusakan hutan.

Melihat dari waktu moratorium yang hanya dua tahun dan adanya Perpres No 12/2011, tampaknya ini tidak lebih hanya sebuah cara bertransaksi dengan mendompleng isu lingkungan. Mengingat tahun 2013 akan ada persiapan Pemilu 2014, artinya akan ada ekstraksi besar-besaran pada 2013 atau menjelang 2014.

Sejak SBY mengumumkan moratorium, hingga mengeluarkan instruksinya dalam bentuk Inpres No 10/2011, faktanya moratorium yang dicita-citakan oleh gerakan lingkungan masih berada di langit. Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi rakyat yang harus memilih jalannya sendiri untuk menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi di tengah pengurus negara yang abai. oleh : Khalisah Khalid ,Dewan Nasional Walhi

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/06/20/0238301/moratorium.masih.di.langit

0 comments: