Saya, 99% Perempuan yang Melawan

11 tahun, kurang lebih saya bergelut dengan dunia gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam pergulatan proses yang panjang, rasanya saya hampir memahami akar persoalan kehancuran lingkungan dan krisis yang dialami oleh rakyat. Dimana segelintir orang dan kelompok menguasai dan secara rakus merampok kekayaan alam sebagian besar rakyat yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam. hampir setiap hari, penanganan kasus bahkan hampir membuat air mata kering karena acap kali kita bisa menyaksikan bagaimana rakyat 99% yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya,
harus berdarah-darah dan meregang nyawa.

kini, setelah 11 tahun saya hadir disini untuk menyatakan bahwa saya bagian dari 99% rakyat yang kini berjuang dan melawan, bukan hanya karena saya tau siapa biang kerok dari kemiskinan dan krisis yang dialami oleh sebagian besar penduduk bumi. lebih dari itu, saya hadir untuk meneriakkan suara perempuan, suara ibu yang gelisah dan takut dengan masa depan anak-anaknya di negeri yang elitnya culas dan korup.

Sejak menjadi ibu, saya berusaha membangkitkan harapan hidup yang optimistis untuk putri saya yang kini berumur 9 bulan, menatap dan menjalani masa depannya. tapi entah mengapa, justru semakin hari, saya semakin takut menatap masa depan anak saya.
saat di jalan-jalan,menemukan anak-anak diperdagangkan dan hidupnya setiap detik terancam dengan eksploitasi apapun oleh orang-orang dewasa, dan negara gagal melindungi hak-hak anak tersebut. setiap hari,anak-anak terancam dengan berbagai racun yang dihidangkan lewat jajanan yang tidak sehat.tapi sialnya, yang disasar oleh bidikan media massa hanya pedagang-pedagang kecil, padahal junk food tumbuh subur dengan iklan yang semakin meracuni anak-anak dan lagi-lagi negara membiarkannya. Sementara kita tahu, bagaimana mahalnya biaya kesehatan. orang tua yang tidak memiliki uang, jangan sekali-kali berani mengobati adanya ke RS, jika tak punya uang untuk membayar DP.

setiap hari, anak-anak dipertontonkan dengan berbagai praktek kekerasan baik yang dilakukan oleh negara, pemilik modal dan bahkan oleh orang-orang didekatnya.kekerasan seperti spiral yang saling menyambung dan sulit untuk diputuskan. Terutama anak-anak yang hidup di wilayah konflik, sungguh saya tak sanggup membayangkan anak-anak seusia Jingga sudah harus ditinggalkan orang tuanya.

Pendidikan yang sejatinya dapat membuat anak-anak cerdas sebagaimana yang tertuang dalam amanah Konstitusi, juga dikeredilkan tujuannya. sistem pendidikan di negeri ini keberhasilannya diukur dengan angka-angka kelulusan UN. sungguh saya tidak tega, anak-anak TK dan kelas 1 SD, sudah harus menjinjing tas yang begitu berat, hanya untuk menyasar nilai kelulusan. haknya untuk bermain, dikerangkeng oleh angka-angka yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang manipulatif dan membodohkan. membuat anak tidak dapat berpikir kritis, dan begitulah 1% penguasa dunia ini menghendaki, agar generasi mendatang hilang kekritisannya.

Saya sangat mengerti, setiap ibu dan orang tua dimanapun ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. tapi sialnya, anak-anak ini hidup dalam dunia yang sudah disabotase oleh 1% pemodal yang rakus dan elit penguasa yang kejahatannya berselubung atas nama rakyat. Sehingga untuk mendapatkan yang terbaik itu, kita harus membarternya dengan nominal uang yang nilainya juga ditentukan oleh 1% orang yang menguasai sektor finansial dan Perbank-kan. Perempuan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan sial-sial berkali lipat, sudah bekerja sedemikian keras, dengan upah yang tidak sebanding dengan peluh keringatnya, konstruksi sosial sering "menghukumnya" dengan berbagai label negatif yang dilekatkan kepada dirinya sebagai perempuan dan ibu. "ibu yang tidak peduli dengan anak dan keluarga", istri yang tidak taat pada suami", "perempuan yang lupa kodratnya" dan rentetan kata-kata lainnya.

bahkan, sudah berjibaku pula 99% perempuan melawan 1% pemodal dan elit yang menghegemoni, dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan, kami masih dihadapkan dengan dunia sosial yang tak adil. perempuan masih distempel sebagai warga negara ke-2, pelengkap dan menjadi sasaran empuk dari ekspansi modal. tubuhnya dihargai murah dengan menjadi buruh dengan harga yang murah dan lebih kecil dari laki-laki dan, bahkan sering kali tidak dihargai. tubuh perempuan disasar pula sebagai "pasar" bagi pemodal, terutama industri kecantikan.

aaaaa,nampaknya tak cukup dengan kata-kata untuk ingin mengatakan bahwa saya mau menjadi bagian dari 99% perempuan yang melawan, saya mau menjadi bagian dari 99% ibu yang berjuang, dan saya mau menjadi bagian dari 99% rakyat yang tak mau tunduk pada kekuatan 1% di dunia yang jelas-jelas telah gagal membawa dunia ini pada kebaikan bagi seluruh semesta.

0 comments: