tag:blogger.com,1999:blog-323995792024-03-13T08:50:36.997+07:00sangperempuankhalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.comBlogger94125tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-46106426272892129692012-02-15T17:36:00.001+07:002012-02-15T17:39:00.405+07:00Batubara, Menggali Kubur SendiriOleh: Khalisah Khalid<br /><br />Demokratisasi yang Gagal?<br />Pada masa reformasi, demokratisasi ditandai dengan berbagai desakan agenda. Selain soal kebebasan pers, agenda reformasi lain yang digulirkan terkait dengan pengurusan wilayah adalah desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara otonom memiliki kewenangan mengurus wilayahnya sendiri melalui Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22/1999 dan direvisi dalam Undang-Undang No. 32/2004. <br />Euphoria demokrasi memang begitu dirasakan, khususnya bagi pemerintah daerah yang selama puluhan tahun berada dalam genggaman kekuasaan pemerintah pusat dan melahirkan kesenjangan social ekonomi yang tinggi, salah satunya dalam pengelolaan kekayaan alam yang dikelola dalam sebuah kebijakan yang sentralistik. Ini ditandai dengan begitu massifnya peraturan daerah dibuat oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk yang mengatur tentang keluarnya ijin eksploitasi sumber daya alam. Terlebih, tuntutan pemenuhan PAD menjadi stimulan bagi kepala daerah untuk berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya karena itulah sandaran utama dalam pembangunan ekonomi daerah. <br /><br />Pasca itu, kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda dari harapan. Laju kerusakan lingkungan terus meningkat seiring dengan angka kemiskinan di berbagai daerah, khususnya di wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti Kalimantan Selatan. Desentralisasi banyak ditafsirkan sebagai bagi-bagi “kue”, sehingga kawasan terbagi habis untuk perijinan industry ekstraksif. Sementara lahan-lahan produktif semakin berkurang, akibat dampak langsung maupun tidak langsung dari perijinan tersebut. <br /><br />Banyak pihak yang menilai desentralisasi dinilai kebablasan, jika tidak mau dikatakan gagal dalam implementasinya, pun oleh gerakan social khususnya gerakan lingkungan sendiri. Buku ini paling tidak menyampaikan kritik terhadap desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, khususnya dalam pengurusan batubara di Kalimantan Selatan yang melahirkan berbagai dampak ekologi, ekonomi, social dan budaya. Meskipun sesungguhnya pada masa reformasi, gerakan lingkungan mendorong desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam, yang bertujuan mendekatkan mekanisme akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupannya. <br />Pertanyaannya kritisnya kemudian adalah apakah desentralisasi khususnya dalam pengelolaan kekayaan alam menjadi sebuah pilihan pengurusan wilayah yang gagal? <br /><br />Alir Energi Kapital<br />Setelah system ekonomi global mendominasi pembangunan ekonomi Indonesia melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat pada masa orde baru, yang melahirkan begitu banyak kebijakan yang eksploitatif. Kebijakan eksploitatif tersebut dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. I Tahun 1967, disanalah saluran penguasaan kekayaan alam Indonesia dimulai oleh kekuatan Trans National Corporation/Multi National Corporation, dan dilanjutkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007. <br /><br />Sebagai sebuah tali temali alir capital ini, kita dapat menemukan bagaimana bentuk intervensi yang dilakukan oleh system kapitalisme dengan aktornya antara lain lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan Asian Development Bank dan negara-negara donor seperti USAID dan AUSAID.<br /> <br />Negara dan lembaga donor menilai bahwa selama ini pemerintah Indonesia gagal mengelola bantuan luar negeri mereka (baca; utang luar negeri), hal ini dikarenakan system pemerintahan yang sentralistik. Karena itu, mereka memandang perlu adanya penguatan terhadap pemerintah melalui program tata kelola pemerintahan yang baik yang dibungkus dalam kebijakan otonomi daerah. Dalam mendukung proses desentralisasi daerah di Indonesia, program-program USAID antara lain mendukung perbaikan jasa pelayanan lokal dan perencanaan budgeting pada sektor-sektor penanganan dan pengolahan sumber daya alam dan kesehatan.<br /><br />Ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang memberikan bantuan luar negeri kepada negara-negara berkembang melalui program tata kelola pemerintah yang baik yang mensyaratkan administrasi negara harus disederhanakan dan diselenggarakan seefisien mungkin dan pemerintah pusat harus mendesentralisasikan sebagian besar fungsinya kepada pemerintah di bawahnya dan melayani publik pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat. Sebagai syarat, dalam prakteknya pemerintah negara tersebut mengatur ekonomi negaranya berdasarkan atas pasar yang bebas, kompetitif dan efisien. <br /><br />Desentralisasi dalam pengelolaan kekayaan alam yang memiliki tujuan mulia, dibajak dengan cara mengintervensi undang-undang otonomi daerah. Karenanya tidak mengherankan jika desentralisasi akhirnya harus dilengkapi dengan syarat-syarat yang diharuskan oleh aktor-aktor global tersebut antara lain pemerintah yang bersih dan keterwakilan masyarakat. Skema ini terlihat memiliki tujuan baik, namun dibalik itu syarat-syarat ini justru sebagai justifikasi dan membangun image yang baik untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. <br /><br />Menyebarnya birokrasi sampai ditingkat daerah, justru lebih memudahkan investor melakukan “tawar menawar”. Padahal kita tahu, disisi yang lain desentralisasi yang didorong tidak disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kalaupun ada, peningkatan kapasitas pemerintah daerah ditujukan bagi kapasitas pelayanan yang mendukung investasi di masing-masing daerah seperti dalam hal perijinan industri. <br />Tujuannya bisa diduga, bagaimana desentralisasi ini didorong untuk membangun sebuah jalan penguasaan kekayaan alam untuk memenuhi konsumsi negara-negara industry atau mengamankan pasokan energy dan dalam jangka panjang melanggengkan dominasi mereka atas ekonomi politik dunia. Dimulai dengan menguasai kekuatan politik daerah melalui program-program pembuatan Peraturan Daerah sampai Peraturan Desa, dan kemudian menguasai kawasan yang memiliki kekayaan alam yang bisa dikeruk habis. <br /><br />Sayangnya, desentralisasi yang diimplementasikan saat ini, sesungguhnya sedang mereduksi tujuan utama dari desentralisasi itu sendiri yakni mendekatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupannya. Karenanya menjadi sangat wajar, jika otonomi daerah dan pembangunan demokratisasi yang berjalan saat ini tidak berurusan dengan agenda keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas rakyat. <br />Kekuatan ekonomi kapitalisme akan selalu masuk dalam kekuatan politik yang sedang berkuasa, dan memanfaatkan ruang-ruang yang menguntungkan bagi pelanggengan kekuasan politik modal mereka, termasuk ruang desentralisasi dan kebijakan-kebijakan lainnya seperti kebijakan liberalisasi di sector energy yang juga disokong oleh aktor-aktor yang sama. <br /><br />Potret Kalimantan Selatan<br />Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan dalam cerita pengerukan batubara, menggambarkan begitu sempurnanya system ekonomi kapitalisme masuk dalam ruang-ruang kebijakan di daerah melalui jalur otonomi daerah dengan tujuan penguasaan aliran energy yang menjadi kebutuhan konsumsi negara-negara industry.<br /><br />Sekian puluh tahun lamanya kekayaan batubara dikelola oleh pemerintah pusat, desentralisasi seolah menjadi sebuah angin segar bagi pemerintah daerah. Aktor ekonomi politik dominan masuk, memanfaatkan moment tersebut. Ijin pertambangan yang semula dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui PKP2B yang diberikan kepada industry tambang batubara internasional skala besar, kini pemerintah daerah mengeluarkan kuasa pertambangan (KP) kepada industri-industri nasional dan local skala kecil, menengah dan besar. <br /><br />Mekanisme perijinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dua-duanya sama menguntungkan bagi negara-negara industry maju, karena disanalah alir energy capital bergerak dengan adanya pasokan batubara yang masuk ke negara mereka. Batubara menjadi komoditas utama bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten, dengan orientasi ekspor sudah dapat diprediksi sebagian besar batubara diperuntukan bagi kebutuhan ekspor, dibandingkan dengan kebutuhan domestik daerah. Ini dapat dilihat dari aliran energy dimana lebih dari 73 % produksi batubara di Kalsel dipasok untuk kebutuhan luar negeri, sisanya yaitu 27% hingga 29%, sementara hanya 1,69 persen digunakan untuk kebutuhan domestiknya.<br /> <br />Bab demi bab dalam buku ini mengantarkan kita untuk memahami bagaimana praktek-praktek alir energy kapitalisme ini dimulai, dikeruk dengan berbagai modus operandi maupun ijin dan mengabaikan keselamatan, produktifitas dan kesejahteraan dan mengabaikan jaminan keberlanjutan jasa layanan alam. <br /><br />Dalam Bab III tentang kesejarahan penguasaan batubara di Kalimantan Selatan, sejak awal dari jaman kolonialisme Belanda hingga jaman reformasi, Kalimantan Selatan sudah dibidik untuk dikuasai kekayaan alamnya oleh kekuatan ekonomi global khususnya negara-negara industry. Aktor-aktornya masuk melalui elit yang sedang berkuasa secara politik, jalur primordial di masa kerajaan, sentralistik dimasa orde baru berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan kini mendompleng reformasi melalui desentralisasi dan otonomi daerah dengan membangun persekutuan yang baik dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten untuk mendapatkan konsesi-konsesi eksploitasi tambang batubara dan konsesi ekstraktif lainnya di sector kehutanan dan perkebunan skala besar yang sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi. <br /> <br />Janji kesejahteraan digunakan oleh pemerintah daerah, seolah-olah pilihan terhadap industry batubara ini sebagai sebuah jalan bagi rakyat yang memiliki cadangan batubara ketiga di Indonesia setelah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan untuk mengatasi masalah ekonominya. Namun lagi-lagi, kondisi masyarakat tidak mengalami kenaikan yang signifikan bagi perbaikan kualitas hidup manusia di Kalimantan Selatan. Belum lagi kehancuran lingkungan yang semakin meningkat, dan hancurnya sumber-sumber produksi akibat konversi lahan-lahan produktif seperti pertanian yang berubah menjadi lubang batubara.<br /> <br />Kalimantan Selatan dengan pilihan industry ekstraktifnya hanyalah satu dari sekian banyak daerah yang mengandalkan kekayaaan alam sebagai modal utama dalam pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pilihan ini bisa disadari atau tidak resikonya, mengingat daya rusak industry batubara tidak kecil sebagaimana yang dijelaskan pada buku ini dalam bab V, VI dan VII. Angka kerusakan lingkungan hidup beriringan naik dengan angka kemiskinan di Kalimantan Selatan. Sehingga menjadi tidak ada urusan antara harga batubara dunia yang membuat Pemerintah Daerah tergiur menjual habis pasokan batubaranya ke luar negeri, dengan indeks human development dan angka pengangguran di bumi Antasari ini. <br /><br />Tidak cukup sampai disitu, dampak lain dari industry pertambangan batubara ini melahirkan krisis lain yakni hancurnya tatanan sosial masyarakat. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap pembukaan industry ekstraktif, akan selalu dibarengi dengan masuknya “pasar” yang melahirkan perubahan pola konsumsi pada masyarakat, yang seringkali menempatkan masyarakat pada sebuah pilihan yang mendukung industry yang dalam waktu cepat bisa memenuhi pola konsumsinya. Inilah salah satu realitas social masyarakat ditengah gempuran investasi, masyarakat akan meresponnya diluar dari yang sering dibayangkan oleh aktifis atau pelaku gerakan lingkungan. <br /><br />Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, dan Kalimantan Selatan khususnya yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Biaya tersebut adalah kemiskinan struktural yang menghasilkan kerawanan pangan serta krisis air bersih dan energi yang menjadi kebutuhan dasar manusia.<br /><br />Cerita yang sama terjadi di hampir semua daerah di Indonesia yang sedang berlomba-lomba keruk habis kekayaan alam, dengan praktek-praktek dan aktor-aktor yang sama. Terlebih saat ini, Pilkada menjadi moment yang menguntungkan bagi investor untuk membangun kekuatan politik daerah melalui calon-calon pemimpin daerah dengan membiayai ongkos politik mereka, tidak dengan gratisan tentu saja karena konsesi politik siap menunggu dengan ijin-ijin industry yang semakin menguntungkan mereka. Bisa jadi, pemerintah daerah juga mereplikasi pemerintah pusat sebelumnya, bahwa resiko-resiko tersebut akan digeser kepada masyarakat dengan lagi-lagi menggunakan jargon yang sama yakni berkorban atas nama pembangunan.<br /><br />Jared Diamond dalam teori collapse-nya mengatakan runtuh dan berkembangnya satu entitas dalam satuan lingkungan bukan ditentukan oleh kondisi geografik alaminya saja. Pilihan untuk bertahan atau collapse jatuh pada entitas manusia yang tinggal di dalamnya. Entitas pada konteks tertentu ditentukan oleh pilihan pemimpinnya. Tampaknya pemimpin entitas manusia di Kalimantan Selatan memilih jalan menuju collapse dengan membiarkan bencana terjadi dengan intensitas yang meningkat dari tahun ke tahun. <br /><br />Pada bab penutup, buku ini juga memberikan tawaran berupa resolusi-resolusi yang ditujukan kepada banyak pihak. Mestinya, resolusi yang didorong mampu melampaui dari daya rusak tambang batubara itu sendiri, salah satunya dengan tidak terkungkung pada hal-hal teknis administrative atau mengikuti alur skema-skema yang dibangun oleh system ekonomi kapitalisme itu sendiri. Yang pasti, tantangan dan tugas dari gerakan social menjadi lebih berat. Untuk mengembalikan lagi semangat utama desentralisasi pengelolaan kekayaan alam, dimana dengan desentralisasi dapat menjamin akses dan kontrol rakyat dapat terpenuhi.<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-41218165381447199292011-12-27T11:42:00.001+07:002011-12-27T11:43:24.486+07:00Agenda Politik Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan HidupDisusun oleh: <br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) <br /> <br />DRAFT (11 JUNI 1998) <br /> <br /> <br />1. Pendahuluan <br /> <br />WALHI memandang bahwa reformasi harus dilakukan dalam sebuah makna yang <br />benar, bukan reformasi tambal sulam maupun reformasi yang hanya mengganti <br />'sekrup-sekrup' kapal tua yang sama. Dengan demikian kita tidak perlu <br />membatasi gagasan-gagasan dan hendaknya kita mampu membebaskan <br />pikiran-pikiran kita dalam perubahan yang berkembang, untuk menyiapkan <br />tatanan Indonesia baru yang lebih baik. <br /> <br />Semangat militansi mahasiswa juga harus menjiwai cara pandang kita untuk <br />melakuan perubahan-perubahan mendasar, karena dengan semangat militan <br />tersebutlah sebenarnya bangsa ini dan kita hari ini duduk di sini berbicara <br />tentang sebuah kata: reformasi. <br /> <br />Agenda reformasi WALHI di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan <br />hidup bersifat sangat makro, dengan pertimbangan bahwa: (1) agenda-agenda <br />reformasi yang lebih bersifat mikro dapat dilakukan pada saat pemerintahan <br />baru yang memperoleh legitimasi politik rakyat dan dunia internasional <br />telah terbentuk. Dengan demikian, hal yang paling penting dan mendesak yang <br />segera harus dilakukan adalah pengambilan keputusan-keputusan politik yang <br />menjadi frame-work reformasi secara keseluruhan; (2) usulan reformasi yang <br />lebih mikro telah sejak lama disuarakan kalangan ornop dan bukanlah <br />merupakan hal baru sama sekali, yang tersedia dalam sekian banyak pilihan <br />dan langkah-langkah, termasuk usulan-usulan konkrit yang dapat segera <br />diterapkan. <br /> <br /> <br />2. Agenda Reformasi <br /> <br />Dengan dasar pikiran bahwa persoalan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan <br />adalah persoalan politik, maka WALHI memandang reformasi politik merupakan <br />dasar reformasi dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan <br />hidup. Reformasi politik dalam scope makro tersebut paling tidak harus <br />mencakup mengenai kebijakan (policy) dan kelembagaan. Reformasi pada kedua <br />hal tersebut menjadi prasyarat utama untuk mencapai pengelolaan sumberdaya <br />alam yang adil dan lestari. <br /> <br />2.1. Reformasi kebijakan <br /> <br />Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dipraktekkan oleh <br />pemerintah orde baru rezim Suharto telah kehilangan argumen, keabsahan dan <br />legitimasi moral untuk tetap dipertahankan karena terbukti menyebabkan <br />kerusakan sumberdaya alam yang masif, tidak berkelanjutan dan hanya <br />menyebabkan kemiskinan dan secara tidak adil hanya menguntungkan segelintir <br />orang yang dekat dengan elit kekuasaan. <br /> <br />Dengan alasan tersebut, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada <br />masa-masa mendatang haruslah memuat lima prasyarat penting, sebagai <br />berikut: (1) desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan sumberdaya alam <br />antara pemerintah pusat dan daerah; (2) pengawasan rakyat yang lebih kuat <br />untuk mendorong transparansi proses pengambilan keputusan; (3) pengelolaan <br />utuh-menyeluruh yang menghilangkan pendekatan sektoral dalam pengelolaan <br />sumberdaya alam. (4) keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi <br />sumbedaya alam dan lingkungan; dan (5) keadilan bagi rakyat dalam akses dan <br />pemanfaatan sumberdaya alam. <br /> <br />2.2. Reformasi Kelembagaan <br /> <br />Konsekuensi politis dari hal tersebut di atas, maka akan terjadi perubahan <br />radikal dalam struktur kelembagan yang diserahi wewenang dalam mengelola <br />sumberdaya alam dan lingkungan. Semangat otonomi harus mendasari perombakan <br />kelembagaan ini, dimana pembagian tugas dan tanggung-jawab antara <br />pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih jelas dan berimbang. Pembagian <br />tugas ini juga berarti akan mengurangi peran pemerintah pusat dan <br />menyerahkan sebagian mandat tersebut kepada pemerintah daerah tingkat <br />propinsi dan kabupaten <br /> <br />Pemerintah pusat seyogyanya hanya bertanggung-jawab untuk mengeluarkan <br />standar-standar pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada skala <br />nasional, dan pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan lokal untuk <br />masing-masing daerah. Standar nasional ini dapat dijadikan sebagai rujukan <br />dan 'batas minimum' sebuah policy yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. <br />Namun demikian, pemerintah pusat harus dapat mengakomodir dan melindungi <br />kepentingan-kepentingan minoritas di seluruh daerah. <br /> <br />Dengan demikian lembaga pemerintahan atau departemen di tingkat nasional <br />(pusat) untuk sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hanya akan terdiri dari <br />dua bagian (departemen) besar: yaitu departemen sumberdaya alam dan <br />departemen pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup. <br /> . <br />2.2.1. Departemen Sumberdaya Alam <br /> <br />Departemen ini diserahi wewenang dan tanggung-jawab pada hal-hal yang <br />menyangkut pemanfaatan (eksploitasi atau harvesting) sumberdaya alam, <br />dengan lingkup kerja: inventarisasi atau stocking sumberdaya alam, <br />pengawasan dan monitoring, serta perijinan. Depertemen ini akan menyatukan <br />semua pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dikelola secara sektoral <br />seperti pertambangan, kehutanan dan perikanan. Departemen Sumberdaya alam <br />ini masih dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sifat dan jenis <br />sumberdaya alam yang dikelola, yaitu: sumberdaya alam dan sumberdaya <br />budidaya. Kedua bidang ini secara struktur dapat dibagi berupa <br />sub-departemen atau direktorat jendral. <br /> <br />§ Sub-departemen sumberdaya budidaya yang mencakup budidaya kehutanan <br />(hutan tanaman dan perkebunan), pertanian dan hortikultura, serta perikanan <br />(darat dan laut). <br /> <br />§ Sub-departemen sumberdaya alam yang meliputi hutan produksi alam, <br />pertambangan, penangkapan ikan (laut dan tawar), pemanfaatan air (tanah dan <br />permukaan), serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). <br /> <br />2.2.2. Departemen Pengendalian Dampak dan Perlindungan Lingkungan <br /> <br />Departemen ini akan mengurus masalah pelestarian dan perlindungan <br />sumberdaya alam dan buatan serta mengeluarkan kebijakan pemanfaatan <br />sumberdaya alam termasuk penataan-ruang. Lingkup kerja departemen ini <br />antara lain adalah inventarisasi, penetapan kuota, pengawasan, <br />rehabilitasi, pembuatan amdal dan lain-lain yang termasuk dalam perencanaan <br />pengendalian dan perlindungan. Dengan demikian maka departemen ini juga <br />seyogyanya memiliki wewenang sebagai penyidik sipil dalam kasus atau <br />perkara lingkungan hidup. <br /> <br />Seperti juga departemen sumberdaya alam, maka departemen ini juga akan <br />dibagi dua dalam sub-departemen sumberdaya buatan dan sumberdaya alam. <br /> <br />§ Sub-departemen sumberdaya buatan, yang melingkupi pengendalian dampak dan <br />perlindungan lingkungan sektor industri, perairan buatan (bendungan), dan <br />pertanian. <br /> <br />§ Sub-departemen sumberdaya alam yang melingkupi pengendalian dampak dan <br />perlindungan lingkungan pada sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, <br />kelautan dan perairan. <br /> <br /> <br />3. Penutup <br />Konsekuensi dari perubahan tersebut, maka Departemen Kehutanan dan <br />Perkebunan (Dephutbun), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen <br />Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Deptrans &PPH), Badan Pertanahan <br />Nasional (BPN), Departemen Perindustrian (Deperind), Kantor Negara <br />Lingungan Hidup dan Bapedal direkomendasikan untuk dihapuskan, karena <br />lingkup tugasnya telah terinternalisasi dalam kedua lembaga tersebut di <br />atas. Namun demikian juga akan terdapat penambahan tugas dan wewenang pada <br />departemen lain, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang akan <br />mengurus masalah-masalah land-management, pengembangan regional dan tata <br />ruang. <br /> <br />Keberanian untuk melebur beberapa departemen juga berarti kita melakukan <br />langkah besar untuk efisiensi dan peningkatan profesionalisasi. Deptrans & <br />PPH misalnya, merupakan contoh sebuah departemen yang sangat boros dan <br />kenyataannya tidak pernah menyelesaikan permasalahan kependudukan. Dengan <br />merubah strategi pembangunan menjadi lebih otonom (tidak sentralistik) <br />melalui pengembangan regional, dengan sendirinya akan mengatasi <br />masalah-masalah kependudukan. Masalah-masalah yang tersisa dari program <br />ini dapat diserahkan kepada Depdagri, juga termasuk masalah-masalah <br />pertanahan. <br /> <br />Dengan leburnya departemen pertambangan, maka masalah-masalah energi akan <br />diurus dalam departemen sendiri, yaitu Departemen Energi yang memiliki <br />lingkup kerja pada pengelolaan sumberdaya buatan untuk penyediaan energi <br />seperti PLTU, PLTA dan lain-lain. Departemen Pertanian masih dapat <br />dipertahankan sebagai departemen tersendiri tergantung pada beban dan <br />volume pekerjaan pada bidang budidaya sumberdaya alam seperti perkebunan, <br />pertambakan, hortikultura dan tanaman keras. <br /> <br />Agenda reformasi ini tentu saja akan memakan waktu panjang dan rumit. <br />Langkah ini dapat dimulai melalui sebuah mekanisme terbuka dan demokratis <br />dengan masukan dari semua unsur dan kekuatan sosial masyarakat. Beberapa <br />inisiatip awal juga dapat dirumuskan melalui dialog dan konsultasi terbuka <br />diantara komponen-komponen bangsa untuk mencapi sebuah konsensus. <br />Reformasi total hanya dapat tercapai bila semua pihak terbuka dan positip <br />demi sebuah cita-cita bersama yaitu tatanan masyarakat Indonesia Baru <br /> <br />Jakarta, Kamis, 11 Juni 1998 <br /> <br /> <br />Untuk informasi lebih lanjut hubungi: <br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) <br />Mampang Prapatan IV, <br />Jl. K. No. 37 - Jakarta 12790 <br />Telp.: 021-7941672 <br />Fax: 021-7941673 <br />e-mail: <walhi@pacific.net.id><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-85700947976848206232011-12-27T11:39:00.000+07:002011-12-27T11:40:18.312+07:00Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45Oleh : Arimbi HP dan Emmy Hafild<br /><br />Diterbitkan oleh :<br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia<br />Fiends of the Earth (FoE) Indonesia<br />1999<br /><br />*Pendahuluan*<br /><br />1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas<br />kekeluargaan.<br />2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai<br />hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.<br />3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh<br />Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.<br />Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.<br />Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar<br />demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah<br />pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran<br />masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".<br />Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang<br />terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu<br />harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya<br />kemakmuran rakyat".<br /><br />Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta<br />penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan<br />orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek<br />kartel dalam bidang pengelolaan sumber dayya alam adalah bertentangan<br />dengan prinsip pasal 33.<br />Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh<br />-setidaknya-- dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus<br />yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan<br />menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya<br />alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam :<br />1. UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;<br />2. UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967;<br />3. UU Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967;<br />4. UU Landasan kontinen No. 1 tahun 1973;<br />5. UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan;<br />6. Uu 13 tahun 1980 tentang Jalan;<br />7. UU No. 20 tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan<br />Keamanan;<br />8. UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan<br />Lingkungan Hidup;<br />9. UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;<br />10. UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; dan<br />11. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.<br /><br />Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan<br />dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat<br />disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,<br />persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan<br />hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian<br />indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D<br />(Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan<br />demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi<br />pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan<br />(Indrawati,1995). Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam<br />ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya<br />dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta<br />memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas<br />kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat<br />(Indrawati, ibid).<br />Jiwa pasal 33 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan<br />barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara.<br />Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang<br />mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu,<br />pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang<br />mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang<br />jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan tranparan (good<br />governance).<br /><br />*Permasalahan dan Tantangan Global Pengelolaan Sumberdaya Alam *<br /><br />Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap<br />mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat<br />didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara<br />buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan<br />rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam<br />pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi<br />demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada<br />perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam<br />ini.<br />Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi<br />sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh<br />pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti<br />ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan<br />rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan<br />tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi<br />prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.<br /><br />Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya<br />dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang<br />seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam<br />pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579<br />konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha<br />kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada<br />sumberdaya hutan dan ari generasi ke generasi telah berdagang kayu,<br />harus diputuskan dari ekonomi kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan<br />hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak<br />Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah<br />disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan<br />No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak<br />rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan<br />Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri<br />Dalam Negeri kepada Gubernur (Lihat teleks N0. 522.12/81/sj.). Begitu<br />pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan<br />Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan<br />Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal<br />kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi<br />sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan<br />dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah<br />dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai<br />PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan<br />tempat bagi penambang besar. Dengan logika yang sama seperti di sektor<br />kehutanan, penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan<br />manajemen yang baik, sehingga 'layak' digusur hanya dengan dalih tidak<br />mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan<br />manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat<br />pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan<br />pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.<br /><br />Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah kesektor<br />pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi<br />menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata<br />baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.<br />Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini<br />tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya<br />alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down<br />effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke<br />pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan,<br />kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya<br />untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor<br />pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.<br />Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa<br />sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan<br />melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan<br />keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem<br />ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke<br />swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di<br />Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan<br />dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta<br />mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan<br />keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan<br />apapun kepada rakyat kecil.<br /><br />Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat global<br />bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and<br />tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free<br />Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era<br />perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur<br />kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana<br />perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan<br />perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus<br />mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era<br />perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara<br />mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi<br />sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan<br />internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung<br />dalam konstitusinya.<br /><br />*Penerapan Pasal 33 saat ini : Pengusaha Untung, Rakyat Buntung*<br /><br />Dalam perjalanan waktu, penerapan pasal ini dilapangan menimbulkan<br />polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Apalagi jargon'demi<br />kepentingan umum' dan atau 'demi pembangunan' seolah-olah menjadi cara<br />sah untuk menggusur rakyat dari sumberdaya alamnya. Rakyatlah yang<br />menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam<br />diatas, tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Seperti kasus PT. IIU,<br />rakyat tidak dapat lagi menikmati air bersih sumber penghidupan mereka,<br />ladang penggembalaan mereka menghilang, terkena longsor dan banjir.<br />Pemberian HPH seolah-olah anugrah bagi pengusaha untuk memiliki kawasan<br />HPH secara mutlak akan melarang masyarakat lokal untuk turut menikmati<br />hutan tersebut, seperti mengambil damar, gaharu, menggembalakan ternak<br />atau berburu. Lagipula, masuknya masyarakat lokal kedalam kawasan HPH<br />dianggap sebagai perambahan dan mengganggu keamanan kawasan tersebut.<br />Ini menunjukkan hutan produksi indonesia hanya dikuasai sekelompok orang<br />dengan menegasikan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh, hasil<br />penelitian WALHI tentang rente ekonomi penguasaan hutan di Indonesia<br />menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil eksploitasi hutan sebesar US$<br />2,5 miliar pertahunnya, hanya 17 % yang masuk kekas negara, selebihnya<br />masuk kekantung pengusaha. Bank Dunia (World Bank, 1993) malah<br />menghitung hanya 12 % yang masuk kekas negara.<br /><br />Sistem Konsesi Kepemilikan kehutanan jelas telah mencabut masyarakat<br />lokal dari sumberdaya kehutanan yang dahulunya pernah mereka nikmati.<br />Sebelum sistem konsesi pada tahun 1970-an, masyarakat lokal Sumatera,<br />Kalimantan dan Sulawesi telah melakukan perdagangan kayu skala kecil<br />selama ratusan tahun. Masyarakat Dayak di Kalimantan misalnya telah<br />berdagang kayu dan produk hutan laninnya dengan Cina dan Arab.<br /><br />Sedang disektor pertambangan, rakyat Amungme dan Komoro di bumi Irian<br />kehilangan lahannya karena tergusur aktivitas pertambangan tembaga PT.<br />Freeport. DiAceh Utara 82 Desa yang berada disekitar kegiatan<br />pertambangan Minyak dan Gas Bumi PT. Mobil oil dan PT. Arun NGL,<br />seringkali menerima 'getah' dari aktivitas kedua perusahaan itu. Terjadi<br />semburan api tak terkendali (blow out) dan pecahnya pipa transmisi gas<br />telah mencemarkan sungai dan perkebunan mereka. WALHI mencatat kejadian<br />diatas terjadi berturut-turut pada tahun 1983/1984. Bahkan pada tahun<br />1992 rakyat di Desa Puuk telah menggugat Mobil Oil dan Pertama karena<br />gagalnya panen udang/ikan akibat tercemar limbah minyak. Dikecamatan<br />puruk Cahu, Kalimantan Tengah pendulang emas tradisional harus tergusur<br />karena lahan tambangnya diberikan kepada perusahaan emas besar dari<br />Australia, PT. Indo Muro Kencana. Sementara sekarang rakyat disekitarnya<br />tidak dapat memakai air sungai karena tercemar limbah pertambangan. Dan<br />banyak lagi kasus serupa yang semakin hari semakin meningkat ke<br />permukaan, tanpa adanya sambutan penyelesaian yang berarti.<br /><br />Sistem ekonomi rakyat lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang<br />telah dihancurkan adalah rotan. Masyarakat lokal di Kalimantan dan<br />sumatera telah berdagang rotan sejak lama. Tetapi sejak tahun 1989<br />-berdasarkan keuntungan dari perdagangan valuta asing yang didapat dari<br />larangan ekspor log- aturan larangan ekspor rotan mentah diterapkan.<br />Konon katanya untuk tujuan meningkatkan nilai (value added) dari<br />pemrosesan rotan. Sayangnya peraturan ini memberikan monopoli<br />pengusahaan rotan ke ASMINDO (Asosiasi Meubel Indonesia). Peraturan ini<br />tidak lagi mengakui bahwa masyarakat di Kalimantan dan sumatera telah<br />sejak lama melakukan ekspor rotan ke Jepang, Philipina, taiwan dan<br />negara-negara lainnya. Dengan memaksa rotan harus diproses terlebih<br />dahulu, lampit (sejenis karet terbuat dari rotan) yang dahulunya<br />merupakan sumber uang cash bagi masyarakat adat di Kalimantan telah pula<br />terkena larangan untuk diekspor. Hasilnya adalah bencana bagi banyak<br />perekonomian rakyat didaerah itu.<br />Sekarang, perusahaan perabotan yang akan dikembangkan sebagian besar<br />malah kolaps dan terkena kredit macet. Ekspor rotan hasil pemrosesan<br />telah menurun tajam, sementara ekspor rotan mentah malah dimonopoli<br />ASMINDO dibawah ekspor kemanusiaan (semisal ekspor rotan ke Jerman untuk<br />pusat pelatihan cacat fisik). Sedangkan perekonomian rakyat di<br />Kalimantan tidak pernah bangkit lagi.<br />Mirip dengan tragedi rotan adalah perekonomian jeruk dan cengkeh setelah<br />adanya aturan tata niaga. Sampai lima tahun lalu, petani cengkeh dan<br />jeruk adalah kelompok petani yang kaya di Indonesia. Mereka menikmati<br />harga yang pantas karena tingginya permintaan domestik. Keadaan diatas<br />telah berubah sejak BPPC (Badab Penyangga dan Pengawasan Cengkeh)<br />terlibat dalam monopoli perdagangan cengkeh, dan BIMANTARA memonopoli<br />perdagangan jeruk. Atas nama "membantu" para petani untuk menjaga harga,<br />mereka memonopoli distribusi cengkeh dan jeruk. Para petani tidak<br />diijinkan lagi untuk menjual langsung produknya, kecuali kepada para<br />distributor yang ditunjuk oleh BPPC dan BIMANTARA.<br /><br />Sejak itu harga cengkeh jatuh dari antara Rp. 6.000 - 12.000 menjadi<br />hanya Rp. 1.500, bahkan seringkali di bawah harga RP. 1.500. Disamping<br />itu, distributor yang ditunjuk, taitu Koperasi Unit Desa (KUD), tidaklah<br />mempunyai kapasitas untuk membeli produk dalam jumlah besar dan<br />menyimpannya. Sementara distributor independen akan terkena sanksi jika<br />mereka melakukan aktivitasnya. Akibatnya para petani menjadi kelebihan<br />cengkeh, tidak ada yang bisa membeli. Cengkeh banyak dibiarkan busuk<br />dipohonnya. Banyak pula cengkehnya, karena biaya merawatnya jauh lebih<br />tinggi dari harga jualnya. Kondisi petani jeruk tidaklah berbeda jauh<br />dengan petani cengkeh. Begitu tata niaga kedua jenis ini tidak lagi<br />menguntungkan, kedua perusahaan pemegang monopoli itu meninggalkan<br />aktivitanya dan membiarkan perekonomian cengkeh dan jeruk dalam kondisi<br />yang parah.<br /><br />Sementara Bank Dunia menunjukkan walaupun Indonesia sudah melakukan<br />pembangunan yang gencar dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun<br />selama 25 tahun, dan menguras sumberdaya minyak dan hutan, Indonesia<br />masih termasuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah<br />(World Bank,1995). Dimana jumlah rakyat yang tergolong miskin hanya<br />tinggal 27 juta saja pada tahun1994, yaitu sekitar 15% saja dari<br />populasi total.<br /><br />Data Bank Dunia, diatas mesti dilihat dengan cara pandang yang kritis.<br />Tingkat kemiskinan ditentukan oleh bagaimana definisi miskin itu<br />ditentukan. Bagi Indonesia, garis kemiskinan ditentukan oleh pendapatan<br />sejumlah Rp.18.250 per bulan untuk daerah pedesaan dan Rp.28.000 untuk<br />daerah perkotaan. Artinya orang dengan pendapatan tersebut diatas tidak<br />lagi disebut miskin. Padahal, sangat dipahami pendapatan sebesar itu<br />tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan sandang,<br />pangan, papan apalagi rekreasi. Jika garis kemiskinan ini ditingkatkan<br />menjadi dua kalinya saja, misalnya Rp. 56.000 untuk perkotaan, seluruh<br />kebutuhan tersebut masih belum dapat dipenuhi. Dan jumlah penduduk yang<br />masuk dalam kategori berpenghasilan dibawah Rp. 56.000 ini sejumlah 75<br />juta jiwa.<br />Kecendrungan yang berkembang dalam pereduksian makna pasal 33 UUD 1945<br />malah semakin buruk, perubahan peruntukan lahan -tanpa mengindahkan<br />penataan ruang- seperti yang terjadi dalam proyek perumahan dan bisnis<br />Pantai Indah Kapuk di Jakarta, ternyata 'melegitimasi' Penguasaan Pantai<br />pada satu kelompok saja, demikian pula kontroversi rencana pembangunan<br />Pantai Utara Jakarta dan Teluk Naga, Jawa Barat. Dikawasan SIJORI<br />(Singapura-Johor-Riau), sekelompok pengusaha telah menjual tanah dan<br />pulau-pulau di propinsi Riau Kepulauan kepada Singapura, untuk<br />kepentingan reklamasi pantai disingapura. Demikian pula berita, bahwa<br />seorang pengusaha besar Indonesia telah menawarkan akan menyuplai air<br />bersih kepada singapura, yang diambil dari air tanah dalam kawasan<br />konsesi seluas 500.000 hektar di Propinsi Riau.<br /><br />*Kehadiran GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan Mekanisme<br />Pasar Bebas*<br /><br />Pasar bebas adalah suatu keadaan dimana dua pihak melakukan transaksi<br />dagang secara sukarela, dimana pihak penjual menyatakan kerelaannyauntuk<br />menjual dan pihak pembeli kerelaannya untuk membeli dengan harga yang<br />disepakati bersama. Mekanisme pasar dalam penentuan harga ditentukan<br />oleh penawaran dan permintaan. Jika permintaan meningkat, maka harga<br />akan naik, permintaan turun maka harga akan turun. Sebaliknya jika<br />penawaran tinggi, maka harga turun. Penawaran rendah, maka harga akan<br />naik. Ekonomi didalam pasar bebas diatur oleh para pelaku, sedangkan<br />intervensi pemerintah sangatlah minimal.<br /><br />Pasar bebas juga mengasumsikan bahwa setiap prodeusen berada dalam<br />situasi persaingan sempurna. Artinya tidak ada subsidi atau monopoli<br />alam pasar. Harga sudah merupakan sesuatu yang mutlak ditentukan oleh<br />pasar, sehingga produsen tidak bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya<br />dengan menentukan harga yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan akan<br />menawarkan harga yang serendah-rendahnya agar dapat bersaing dipasar.<br />Keuntungan perusahaan biasanya sangat sedikit, dan akumulasi kekayaan<br />bukan dari margin keuntungan yang tinggi, tetapi dari omzet penjualan<br />yang tinggi.<br />Konsep pasar bebas sebenarnya konsep yang ideal dan egalitarian.<br />Perdagangan dilakukan secara sukarela, dan karena persaingan sempurna,<br />maka konsumen akan mendapatkan harga yang semurah-murahnya, dan produsen<br />mendapatkan keuntungan yang setimpal. Keuntungan produsen biasanya<br />ditentukan dengan penekanan harga yang serendah-rendahnya. Dalam prinsip<br />ini, suatu ekonomi dikatakan efisien, jika tidak ada yang dirugikan<br />dalam kegiatan yang membuat orang lain menjadi lebih baik (no one worse<br />off to make some one better off).<br />Kelemahan pasar bebas adalah bahwa karena persaingan sempurna, maka yang<br />kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Seseorang dengan modal dasar<br />yang besar (kaya) akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang,<br />dan mempunyai pilihan-pilihan lebih banyak. Akses kepada kapital,<br />informasi, pendidikan dan hubungan relasinya pasti lebih baik dari<br />seseorang dengan modal kecil(miskin). Keuntungan yang diraihnya akan<br />jauh lebih besar daripada seseorang dengan modal lebih kecil.<br /><br />*Structural Adjustment Programs (SAPs)*<br /><br />Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah program untuk menyesuaikan<br />perekonomian suatu negara (biasanya yang berhutang berat) kedalam sistem<br />ekonomi pasar bebas. Ada tiga hal yang dilakukan dalam SAPs ini, yaitu :<br />1. mengurangi defisit anggaran pemerintah<br />2. mengurangi defisit<br />3. membiarkan harga ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar bebas<br />Hal-hal yang menyebabkan distorsi pasar seperti monopoli, subsidi harga<br />atau penetapan harga dasar harus dihapuskan. Untuk menyeimbangkan<br />anggaran belanja negara tersebut, maka anggaran-anggaran yang tidak<br />perlu harus dihapuskan.<br />Sayangnya, pengurangan biaya pengeluaran negara biasanya sangat<br />dipengaruhi politik negara tersebut. Misalnya, negara tidak akan mau<br />mengurangi anggaran pertahanannya begitu saja, walaupun anggaran itu<br />cukup besar. Biasanya, yang akan mendapat pemotongan adalah pelayanan<br />kesehatan gratis dll. DiKenya misalnya, pelayanan kesehatan dan<br />pendidikan harus dikurangi, sehingga rumah-rumah sakit pemerintah<br />kekurangan obat dan peralatan karena harus melaksanakan SAPs. Karena<br />subsidi harga harus dihentikan, harga bahan makanan pokok menjulang<br />tinggi, sehingga banyak rakyat yang menjadi bertambah miskin. SAPs<br />menyebabkan yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin.<br /><br />*SAPs, GATT dan Indonesia*<br /><br />Bagi Indonesia, dimana perekonomiannya bukanlah perekonomian pasar<br />bebas, dan bukan pula perekonomian sosialis, melainkan monopoli karena<br />relasi politik, proteksi dagang lebih diberikan kepada pengusaha besar<br />dan bukan pengusaha kecil. Perdagangan bebas akan mempunyai dampak<br />positif. Contoh dampak positif misalnya seperti harga mobil, kertas, dan<br />semen akan turun. Konsumen akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih<br />banyak dengan harga yang hampir sama dengan negara lain.<br />Indonesia tidak berada dibawah SAPs Dana Moneter Dunia. Karena SAPs yang<br />berada dibawah Dana Moneter Dunia ini biasanya sangat kejam kepada<br />rakyat kecil. Sampai saat ini, karena Indonesia belum mencapai kondisi<br />krisis hutang (walaupun nyaris sedikit lagi) Indonesia masih berada<br />dibawah SAPs Bank Dunia. Dlam SAPs Bank Dunia ini antara lain harus<br />dilakukan beberapa perubahan seperti pengurangan peran negara dalam<br />pengaturan kegiatan ekonomi, termasuk peran BUMN, penghapusan monopoli,<br />menghilangkan subsidi BBM, listrik, dan terigu, serta pengetatan<br />anggaran belanja negara.<br />Segi positif SAPs di Indonesia misalnya bahwa dana yang digunakan untuk<br />membeli terigu dari Bogasari yang lebih mahal dari harga pasar dunia<br />dapat dimamfaatkan untuk pelayanan kesehatan rakyat miskin. Monopoli<br />BPPC terhadap cengkeh harus dihapuskan, demikian pula monopoli<br />perdagangan jeruk oleh BIMANTARA, dan monopoli perdagangan rotan dan<br />kayu oleh ASMINDO dan APKINDO. Sehingga rakyat dapat mengelola cengkeh,<br />jeruk dan langsung dapat mengekspor kayu dan rotan.<br />Tetapi dampak positif ini tidak akan terasa kepada rakyat kecil jika<br />pemerintah tidak dengan sungguh-sungguh melaksanakan kebijakan ekonomi<br />yang memberdayakan rakyat kecil. Walaupun dalam sistem ekonomi pasar<br />bebas peran negara dalam kehidupan ekonomi diminimalkan, intervensi<br />pemerintah dalam batas-batas tertentu masih dapat dilakukan. Hanya dalam<br />bentuk apa intervensi ini akan dilaksanakan, tergantung kepada komitmen<br />politik pemerintah suatu negara. Intervensi pemerintah dalam sistem<br />pasar bebas biasanya adalah dalam pendistribusian kekayaan dari si kaya<br />kepada si miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas.<br />Distribusi kekayaan dimana uang pajak ini lalu digunakan untuk<br />program-program mengentaskan kemiskinan, bantuan kredit dengan bunga<br />dibawah harga pasar, jasa informasi pasar, pelayanan kesehatan gratis,<br />pemberian kupon makanan bagi rakyat yang berada dibawah garis<br />kemiskinan, pemberian bea siswa bagi anak-anak tidak mampu, ataupun<br />penetapan dasar suatu harga barang tertentu.<br /><br />Misalnya subsidi harga BBM di Indonesia. Biaya produksi BBm sebenarnya<br />jauh lebih tinggi, sehingga kalau dibiarkan produsen menentukan sendiri<br />harga BBM, sehingga akan mahal dan tidak terjangkau rakyat banyak.<br />Karena itu, maka pemerintah mensubsidi harga BBM, dengan membeli harga<br />BBM dari produsen lebih tinggi dari harga dasar jual yang kemudian<br />ditetapkan oleh pemerintah.<br />Sebaliknya, untuk mengontrol agar harga beras tidak terlalu mahal,<br />sehingga dapat dijangkau oleh banyak pihak dan agar tidak terjadi<br />pergolakan politik, maka pemerintah Indonesia dan banyak pemerintah<br />negara lain mengkontrol kenaikan harga beras dan delapan bahan makanan<br />pokok. Disini pemerintah tidak mensubsidi petani, tetapi petani<br />mensubsidi banyak orang dengan menjual dibawah harga pasar. Kebijakan<br />seperti ini disebut dengan cheap food policy.<br /><br />*Dampak GATT dan SAPs pada Rakyat Kecil*<br /><br />Secara selintas, permasalahan ekonomi rakyat akibat adanya monopoli<br />sumber-sumber daya mereka, tampaknya akan tertolong dengan adanya GATT.<br />Karena GATT akan melarang adanya bentuk-bentuk monopoli itu. Tapi pada<br />saat yang sama GATT juga akan membawa bahaya bagi petani di Indonesia.<br />Segi negatifnya, misalnya harga BBM akan naik yang akan mengakibatkan<br />harga transportasi akan naik. Melihat tingkah laku inflasi di Indonesia,<br />dimana setiap kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga-harga<br />barang konsumsi, maka harga-harga barang konsumsipun akan naik. Kenaikan<br />harga akan menimpa rakyat kecil jauh lebih berat daripada mereka dengan<br />kondisi ekonomi lebih baik. Kemungkinan yang lain adalah kenaikan harga<br />beras. Kenaikan harga beras akan menolong petani tetapi akan<br />menyengsarakan rakyat miskin diperkotaan. Selain itu ada juga<br />kemungkinan bahwa biaya pendidikan di sekolah negeri akan meningkat,<br />demikian pula dengan biaya dan harga obat di Pusat-pusat Kesehatan<br />Masyarakat (PUSKESMAS).<br /><br />Namun bagi rakyat miskin di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 75 juta<br />jiwa tersebut, GATT mempunyai dampak negatif. Seperti yang telah<br />disebutkan dimuka, kelemahan utama sistem pasar bebas adalah bahwa yang<br />kaya akan makin kaya, yang kuat akan makin kuat, yang miskin akan kalah<br />bersaing dengan yang kaya. Dalam konteks global, negara miskin dan<br />berkembang akan kalah bersaing dengan negara industri kaya. Negara<br />industri menguasai teknologi dan informasi serta modal yang sangat<br />diperlukan didalam suatu sistem persaingan sempurna.<br />Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian kita semua, terutama<br />pemerintah adalah petani dan pengrajin serta pengusaha kecil. Didalam<br />negeri, kelompok ini tertekan karena digilas oleh pengusaha besar tanpa<br />ada usaha perlindungan dari pemerintah. Apabila GATT benar-benar<br />diterapkan maka penggilasan itu akan menjadi ganda, tidak hanya dari<br />pengusaha domestik, tetapi juga dari petani dan pengusaha negara<br />industri kaya. Petani buah-buahan, petani produksi buah, pengusaha<br />garmen kecil-kecilan, dsb akan kalah besaing dengan buah-buahan impor<br />dan produksi pakaian impor. Demikian juga dengan peternaka ayam dan<br />sapi. Peternak ayam kecil akan kalah bersaing dengan peternak ayam<br />besar, karena peternak ayam besar akan lebih efektif (cost effective).<br />Daging impor dari Australia dan Selandia Baru saat ini harganya sudah<br />sama dengan daging lokal, bahkan ada yang lebih murah.<br />Dampak negatif dari perdagangan bebas dan SAPs yang langsung mengena<br />rakyat miskin antara lain :<br />1. Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan<br />biaya, buruh akan semakin diperas.<br />2. Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk<br />pertanian internasional.<br />3. Meningkatnya urbanisasi kekota.<br />4. Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh Undang-undang<br />dan peraturan perburuhan.<br />5. Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan<br />permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam.<br /><br />*Posisi dan Usulan WALHI*<br />Perdagangan bebas kelihatannya tidak akan terelakkan, jika kita tidak<br />siap maka perdagangan bebas bak "air bah" yang akan melanda negeri kita,<br />dan hanya mereka yang kuat dan mempunyai informasi yang cukuplah yang<br />sanggup bertahan. Dalam kondisi menuju perdagangan bebas diperlukan<br />intervensi pemerintah untuk pendistribusian kekayaan dari si Kaya kepada<br />si Miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas. Dalam konteks<br />ini, seharusnya fungsi menguasai negara untuk kemakmuran rakyat<br />diterapkan, dengan lebih menekankan fungsi pelayanannya (service),<br />perlindungan serta pemberdayaan rakyat berekonomi kecil serta<br />sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bentuk pernyataan-pernyataan kosong.<br />Walaupun dalam era perdagangan dan pasar bebas, prinsip pasal 33 masih<br />sangat relevan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Peran negara<br />dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan pasar bebas seharusnya<br />difokuskan kepada pengaturan agar sumberdaya alam Indonesia tidak<br />dimonopoli oleh sekelompok swasta atas nama negara dan agar dikelola<br />secara berkesinambungan baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Peran<br />negara dalam "kepemilikan" yang dalam hal ini "monopoli kepemilikan"<br />atas sumberdaya alam Indonesia sebaiknya dialihkan kepada peran<br />"pengaturan" yaitu intervensi agar pengumpulan kekayaan dan modal dari<br />hasil pengelolaan sumberdaya alam kita tidak terjadi hanya kepada<br />golongan tertentu saja. Artinya, negara tidak bisa lagi mentransferkan<br />hak monopolinya atas sumberdaya alam kepada segelintir swasta yang<br />ditunjukkan.<br /><br />Karena itu, praktik penguasaan sumberdaya alam secara monopolistis,<br />seperti dibidang kehutanan dan pertambangan, yang didukung dengan<br />seperangkat peraturan yaitu UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU<br />Pertambangan No.11/1967 adalah bertentangan dengan makna pasal 33 UUD<br />1945. Sehingga sebenarnya praktek di bidang kehutanan dan pertambangan<br />selama ini, yang didasarkan pada kedua Undang-undang itu adalah tidak sah.<br />Sebaliknya, negara harus membuka peluang rakyat sebesar-besarnya untuk<br />ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD<br />1945 harus diterjemahkan dalam situasi ekonomi sekarang sebagai<br />"pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem pasar bebas yang populis".<br />Rakyat diberikan hak untuk memiliki dan mengelola sumberdaya alam dengan<br />cara pengelolaan yang diatur oleh negara dengan cara demokratis.<br /><br />Dapat disimpulkan bahwa, pasal 33 UUD 1945 bersifat populis karena<br />menempatkan masyarakat sebagai kelompok utama, tetapi makna itu<br />dikaburkan dalam kebijakan maupun aturan pelaksanaannya. Berdasarkan<br />kondisi dan argumen diatas, maka terlihat ada beberapa masalah utama<br />yang harus dikaji lebih jauh agar masyarakat luas dapat turut menikmati<br />hasil-hasil sumberdaya alam. Secara rinci, maka usulan kami adalah<br />sebagai berikut :<br />1. Bahwa harus disadari sumberdaya alam yang tersedia walaupun memang<br />rahmat dari Tuhan, bukan berarti tidak ada pemiliknya. Sudah<br />berabad-abad lamanya masyarakat lokal mengelola dan mempunyai akses<br />langsung ke sumberdaya alam disekitarnya. Karena itu hak-hak mereka<br />haruslah diakui baik dalam perundangan nasional, maupun kebijaksanaan<br />sektoral.<br />2. Makna pasal 33 UUD 1945 tidaklah menutup akses masyarakat ke<br />sumberdaya alamnya, sehingga setiap usaha penguasaan sumber-sumber daya<br />alam haruslah melibatkan masyarakat, dalam pengambilan keputusan sampai<br />skala menikmati hasil pengolahan sumber-sumber itu. Contoh buruk dalam<br />pemberian konsesi kehutanan dan pertambangan harus dihapus. Dan<br />karenanya perlu segera merevisi UU Kehutanan dan UU Pertambangan agar<br />lebih berwawasan kerakyatan.<br />3. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan dalam setiap pemanfaatan<br />sumber-sumberdaya alam, tidak saja bagi penentuan arah tujuan suatu<br />kegiatan tetapi juga sebagai sarana pengawas kegiatan pengolahan<br />sumberdaya alam. Peran serta ini sangat penting untuk menjaga<br />keseimbangan hak negara yang dimandatkan pasal 33 UUD 45 untuk mengatur,<br />menyelenggarakan, menggunakan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya<br />alam serta pengaturan hukumnya. Dengan hak rakyat untuk mendapatkan<br />keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengolahan sumberdaya alam itu.<br />4. Pemerintah yang baik (good governance) sangat penting dalam<br />pengelolaan sumberdaya alam yang adil. Intervensi negara harus lebih<br />difokuskan kebidang pelayanan umum, seperti pemerataan distribusi<br />kekayaan antara si kaya dan si miskin lewat kebijakan pajak, pelayanan<br />informasi pasar dan teknologi, pengaturan perundang-undangan anti<br />monopoli dan anti trust, serta pemberian kredit usaha kecil.<br /><br />sumber: http://www.pacific.net.id/~dede_s/Membumikan.htm<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-27814804956250415972011-11-08T15:50:00.001+07:002011-11-08T15:52:57.597+07:00Hutan dan Janji Gombal PenguasaKhalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia<br /><br /> <br /><br />SBY kembali menebar janji menyelamatkan hutan Indonesia. Janji ini disampaikan dalam Konferensi Internasional Kehutanan Indonesia yang digelar Lembaga Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) di Jakarta (Kompas, 28/9/2011).<br /><br />Sejak menjabat, SBY antara lain berkomitmen dan berjanji mengurangi emisi karbon Indonesia 26 persen hingga tahun 2020. Untuk mendukung janjinya, SBY kemudian mengumumkan moratorium yang dituangkan dalam Inpres No 10/2011, tetapi banyak memberikan pengecualian pada industri ekstraktif. Kita tentu belum lupa, SBY menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia hukum dan mafia penebangan liar.Semakin banyak berjanji seharusnya semakin keras upaya kita memenuhinya. Namun, pada Presiden SBY janji ternyata tidak lebih dari upaya pencitraan agar tampak peduli pada lingkungan dan hutan.<br /><br /> <br /><br />Tanaman industri<br />Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir perkembangan perluasan hutan tanaman industri justru sangat pesat. Tahun 2000 luasan hutan tanaman industri adalah 4,44 juta hektar. Tahun 2011 luasannya mencapai 18,54 juta hektar (termasuk kawasan pencadangan). Hutan tanaman industri rata-rata dibangun di atas hutan produksi dengan tegakan kayu alam yang masih bagus.<br /><br />Konflik ruang dalam kawasan hutan cukup tinggi. Berdasar data Sawit Watch, luasan kawasan sawit saat ini adalah 9,09 juta hektar dengan rencana ekspansi 26,71 juta hektar. Rencana ekspansi mencakup 3,02 juta hektar perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan 3,14 juta hektar dalam kawasan gambut. Di Kalimantan Tengah saja tercatat ratusan perusahaan perkebunan beroperasi tanpa izin dan mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 3,7 juta hektar. Di Kalimantan Timur tercatat 200.000 hektar kawasan hutan dicaplok perkebunan kelapa sawit.<br /><br />Sawit Watch mencatat, konversi hutan menjadi kawasan nonhutan penyumbang terbesar hilangnya keragaman hayati dan kerusakan hutan secara permanen. Luas kawasan perkebunan kelapa sawit meningkat 1,26 juta hektar, naik dari 7,82 juta hektar tahun 2009 menjadi 9,09 juta hektar tahun 2010. Data Walhi menunjukkan, luasan izin hutan tanaman industri meningkat menjadi 11,53 juta hektar yang akan mengganti hutan alam menjadi hutan monokultur.Permenhut P.62/2011 yang kemudian dibatalkan ataupun Permenhut 614/1999, hakikat dan tujuannya sama, yakni melindungi perbuatan melanggar hukum oleh beberapa kepala daerah dan pengusaha perkebunan besar kelapa sawit. Kementerian Kehutanan bahkan masih mencari celah untuk melegalkan sawit dalam kawasan hutan. Karena itu, sungguh mengherankan kalau Presiden SBY masih berani mengumbar janji yang sudah pasti akan digombalinya sendiri.<br /><br /> <br /><br />Terkait korupsi<br />Bagaimana dengan angka korupsi dan mafia yang menyeruak masuk sektor kehutanan? Janji SBY untuk memberantas mafia di sektor kehutanan juga tak lebih hanya isapan jempol. Buktinya sampai saat ini SBY tidak berani memerintahkan Polri mencabut surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus pembalakan liar di Riau.<br /><br />Semua itu diperkuat dengan temuan investigasi yang dilakukan Walhi Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo. Hasil investigasi menunjukkan adanya modus korupsi dalam pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit.Serbuan industri tambang yang masuk di hutan juga tidak kalah menyeramkan. Jangan lupa SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—hampir bersamaan dengan Inpres No 10/2011—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Dengan realitasnya seperti ini, sudah pasti palsu semua janji SBY.<br /><br />Lalu bagaimana dengan nasib hutan dan lingkungan yang sudah kadung hancur, disertai ancaman bencana ekologis yang terus membuntuti generasi sekarang dan mendatang?Presiden SBY seperti syair lagu saja. ”Kau yang berjanji, kau juga yang mengingkari....”<br /><br />(sumber: kompas, senin 3 oktober 2011).<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-20784236268482330552011-11-08T14:50:00.004+07:002011-11-08T15:39:01.719+07:00Saya, 99% Perempuan yang Melawan11 tahun, kurang lebih saya bergelut dengan dunia gerakan lingkungan di Indonesia. Dalam pergulatan proses yang panjang, rasanya saya hampir memahami akar persoalan kehancuran lingkungan dan krisis yang dialami oleh rakyat. Dimana segelintir orang dan kelompok menguasai dan secara rakus merampok kekayaan alam sebagian besar rakyat yang hidupnya bergantung pada kekayaan alam. hampir setiap hari, penanganan kasus bahkan hampir membuat air mata kering karena acap kali kita bisa menyaksikan bagaimana rakyat 99% yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya, <br />harus berdarah-darah dan meregang nyawa. <br /><br />kini, setelah 11 tahun saya hadir disini untuk menyatakan bahwa saya bagian dari 99% rakyat yang kini berjuang dan melawan, bukan hanya karena saya tau siapa biang kerok dari kemiskinan dan krisis yang dialami oleh sebagian besar penduduk bumi. lebih dari itu, saya hadir untuk meneriakkan suara perempuan, suara ibu yang gelisah dan takut dengan masa depan anak-anaknya di negeri yang elitnya culas dan korup. <br /><br />Sejak menjadi ibu, saya berusaha membangkitkan harapan hidup yang optimistis untuk putri saya yang kini berumur 9 bulan, menatap dan menjalani masa depannya. tapi entah mengapa, justru semakin hari, saya semakin takut menatap masa depan anak saya. <br />saat di jalan-jalan,menemukan anak-anak diperdagangkan dan hidupnya setiap detik terancam dengan eksploitasi apapun oleh orang-orang dewasa, dan negara gagal melindungi hak-hak anak tersebut. setiap hari,anak-anak terancam dengan berbagai racun yang dihidangkan lewat jajanan yang tidak sehat.tapi sialnya, yang disasar oleh bidikan media massa hanya pedagang-pedagang kecil, padahal junk food tumbuh subur dengan iklan yang semakin meracuni anak-anak dan lagi-lagi negara membiarkannya. Sementara kita tahu, bagaimana mahalnya biaya kesehatan. orang tua yang tidak memiliki uang, jangan sekali-kali berani mengobati adanya ke RS, jika tak punya uang untuk membayar DP. <br /><br />setiap hari, anak-anak dipertontonkan dengan berbagai praktek kekerasan baik yang dilakukan oleh negara, pemilik modal dan bahkan oleh orang-orang didekatnya.kekerasan seperti spiral yang saling menyambung dan sulit untuk diputuskan. Terutama anak-anak yang hidup di wilayah konflik, sungguh saya tak sanggup membayangkan anak-anak seusia Jingga sudah harus ditinggalkan orang tuanya.<br /><br />Pendidikan yang sejatinya dapat membuat anak-anak cerdas sebagaimana yang tertuang dalam amanah Konstitusi, juga dikeredilkan tujuannya. sistem pendidikan di negeri ini keberhasilannya diukur dengan angka-angka kelulusan UN. sungguh saya tidak tega, anak-anak TK dan kelas 1 SD, sudah harus menjinjing tas yang begitu berat, hanya untuk menyasar nilai kelulusan. haknya untuk bermain, dikerangkeng oleh angka-angka yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang manipulatif dan membodohkan. membuat anak tidak dapat berpikir kritis, dan begitulah 1% penguasa dunia ini menghendaki, agar generasi mendatang hilang kekritisannya. <br /><br />Saya sangat mengerti, setiap ibu dan orang tua dimanapun ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. tapi sialnya, anak-anak ini hidup dalam dunia yang sudah disabotase oleh 1% pemodal yang rakus dan elit penguasa yang kejahatannya berselubung atas nama rakyat. Sehingga untuk mendapatkan yang terbaik itu, kita harus membarternya dengan nominal uang yang nilainya juga ditentukan oleh 1% orang yang menguasai sektor finansial dan Perbank-kan. Perempuan banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dan sial-sial berkali lipat, sudah bekerja sedemikian keras, dengan upah yang tidak sebanding dengan peluh keringatnya, konstruksi sosial sering "menghukumnya" dengan berbagai label negatif yang dilekatkan kepada dirinya sebagai perempuan dan ibu. "ibu yang tidak peduli dengan anak dan keluarga", istri yang tidak taat pada suami", "perempuan yang lupa kodratnya" dan rentetan kata-kata lainnya. <br /><br />bahkan, sudah berjibaku pula 99% perempuan melawan 1% pemodal dan elit yang menghegemoni, dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan, kami masih dihadapkan dengan dunia sosial yang tak adil. perempuan masih distempel sebagai warga negara ke-2, pelengkap dan menjadi sasaran empuk dari ekspansi modal. tubuhnya dihargai murah dengan menjadi buruh dengan harga yang murah dan lebih kecil dari laki-laki dan, bahkan sering kali tidak dihargai. tubuh perempuan disasar pula sebagai "pasar" bagi pemodal, terutama industri kecantikan. <br /><br />aaaaa,nampaknya tak cukup dengan kata-kata untuk ingin mengatakan bahwa saya mau menjadi bagian dari 99% perempuan yang melawan, saya mau menjadi bagian dari 99% ibu yang berjuang, dan saya mau menjadi bagian dari 99% rakyat yang tak mau tunduk pada kekuatan 1% di dunia yang jelas-jelas telah gagal membawa dunia ini pada kebaikan bagi seluruh semesta.<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-67065379086294625082011-06-27T12:51:00.001+07:002011-06-27T12:51:48.366+07:00Moratorium, Masih di Langit!Moratorium kini jadi kata yang sering diperbincangkan: mulai dari jeda tebang hutan, jeda tambang, hingga jeda pengiriman TKI ke luar negeri. Bahkan, moratorium tebang hutan yang dulu seperti sebuah kemustahilan kini jadi keniscayaan.<br /><br />Setidaknya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Norwegia terkait pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut. Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan instruksi lewat Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.<br /><br />Apakah ini angin baik setelah 10 tahun lebih dimimpikan oleh gerakan lingkungan? Sekilas iya, terutama jika melihat Inpres No 10/2011 dari kulit luarnya. SBY berkomitmen menghentikan izin baru hutan dengan jualan penurunan emisi hingga 41 persen.<br /><br />Mari kita bicara mimpi moratorium hutan yang benar. Sebuah cita-cita untuk membenahi pengelolaan hutan yang karut- marut dan melahirkan berbagai kerentanan dan konflik kehutanan yang tak berkesudahan, yakni dengan melakukan jeda tebang setidaknya dalam kurun 15 tahun. Kurun waktu ini dianggap cukup untuk membenahi kerumitan pengelolaan hutan dan izin pengelolaan hutan yang tumpang tindih, yang menyebabkan rakyat semakin miskin dan bencana lingkungan.<br /><br />Dalam mimpi gerakan lingkungan, moratorium hutan sekaligus untuk memberikan ruang bagi negara memfasilitasi rakyat dalam membangun ruang-ruang produktifnya. Kita tahu bahwa selama ini berbagai konflik di sektor kehutanan salah satunya disebabkan tidak dibukanya akses dan kontrol rakyat terhadap pengelolaan hutan.<br /><br />Akan tetapi, waktu dua tahun yang ditetapkan untuk moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan gambut—sebagaimana tertuang dalam Inpres No 10/2011—tentu perlu dikritisi. Apakah dalam waktu dua tahun dapat menyelesaikan berbagai problem kehutanan yang sudah menggurita? Belum lagi ditambah praktik mafia di sektor kehutanan yang begitu kuat memengaruhi kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah?<br /><br />Inpres No 10/2011 melakukan pembiaran terhadap pemodal karena izin sudah diberikan di kawasan berhutan, tanpa ada penundaan izin, termasuk evaluasi izin. Inpres ini hanya penundaan izin terhadap izin baru. Faktanya, di Kalimantan Timur, misalnya, selain hutan lindung dan kawasan konservasi, seluruh kawasan hutan telah dibebani izin. Ini berarti memang tak akan ada izin baru, tetapi yang ada adalah jual-beli izin.<br /><br />Pelanggengan kekuasaan<br /><br />Dengan kondisi kerusakan hutan yang begitu masif, sepanjang 2006-2007 saja deforestasi mencapai 2,07 hektar dan memusnahkan sekitar 5,17 miliar pohon berdiameter beragam, maka penundaan pemberian izin baru selama dua tahun tak lebih hanya wacana untuk melanggengkan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik.<br /><br />Jika melihat dari waktu penetapan Inpres No 10/2011, moratorium tampaknya akan jadi momentum dan dasar dari revitalisasi industri untuk mendorong optimalisasi, efisiensi, dan kompetensi industri kehutanan dan perkebunan.<br /><br />Meskipun ada di luar, para pemodal berkonsolidasi. Mereka seperti kebakaran jenggot dan menuding isu moratorium yang didesak oleh organisasi lingkungan untuk kepentingan asing dan bertujuan menghambat majunya perekonomian nasional. Sebuah klaim yang tidak mendasar karena, kenyataannya, struktur ekonomi-politik neoliberal telah menyebabkan ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi nasional saat ini. Dominasi modal asing telah sangat besar menguasai seluruh sektor ekonomi, khususnya sumber daya alam. Nasionalisme hanya bersifat simbolisme karena unit-unit yang menjalankan ekonomi negara sesungguhnya tidak ada.<br /><br />Jangan lupa, selain Inpres No 10/2011, SBY juga mengeluarkan Perpres No 12/2011—yang dikeluarkan hampir bersamaan—untuk penambangan di bawah hutan lindung. Jika realitasnya seperti ini, omong kosong jika kemudian moratorium akan menjawab krisis lingkungan dan dapat menyelamatkan hutan yang masih tersisa, apalagi memulihkan kondisi kerusakan hutan.<br /><br />Melihat dari waktu moratorium yang hanya dua tahun dan adanya Perpres No 12/2011, tampaknya ini tidak lebih hanya sebuah cara bertransaksi dengan mendompleng isu lingkungan. Mengingat tahun 2013 akan ada persiapan Pemilu 2014, artinya akan ada ekstraksi besar-besaran pada 2013 atau menjelang 2014.<br /><br />Sejak SBY mengumumkan moratorium, hingga mengeluarkan instruksinya dalam bentuk Inpres No 10/2011, faktanya moratorium yang dicita-citakan oleh gerakan lingkungan masih berada di langit. Dalam situasi seperti ini, lagi-lagi rakyat yang harus memilih jalannya sendiri untuk menyelesaikan berbagai krisis yang terjadi di tengah pengurus negara yang abai. oleh : Khalisah Khalid ,Dewan Nasional Walhi<br /><br />Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/06/20/0238301/moratorium.masih.di.langit<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-62333404670021626092011-05-10T11:33:00.002+07:002011-05-10T11:40:38.085+07:00Serdadu dan Konflik Sumber Daya AlamOleh: Khalisah Khalid <br /><br />Pengantar<br />Salah satu penyebab dari konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia adalah ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini. <br /><br />Pada abad ke-19, raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di pulaiu Jawa menjadi hak milik VOC atau raja Mataram. Hal ini antara lain dapat disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. <br /><br />Paska kemerdekaan, pemerintah berupaya melakukan penataan ulang atas sumber-sumber agrarian dengan mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah suatu produk perundang-undangan yang dibuat untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta untuk menghapuskan segala bentuk sisa-sisa feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. <br /><br />Sayangnya, sebelum UUPA dilaksanakan, Indonesia mengalami pergolakan politik yang panas dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan dimana militer menjadi bagian dari cerita ini. Ada beberapa pihak yang menilai bahwa peristiwa 30 september tidak bisa dilepaskan dari actor-aktor eksternal salah satunya intervensi asing yang memiliki kepentingan ekonomi. Ini ditandai dengan keluarnya UU Penanaman Modal Asing dua tahun paska peristiwa 30 September 1965.<br /><br />Meskipun dalam catatan sejarah kolonialisasi di Indonesia kita dapat membaca bahwa penggunaan kekuatan militer telah terjadi untuk membackup penjarahan sumber daya alam, faktanya kini penggunaan militer (isme) tetap digunakan. Tulisan ini ingin melihat sejauhmana peran atau keterlibatan militer (TNI/POLRI) dan watak militeristik yang dilakukan oleh organ sipil dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup. <br /><br />Tulisan ini juga hendak melihat bagaimana situasi dan kondisi perempuan dalam menghadapi militer(isme) dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup yang selama ini masih minim menjadi perhatian banyak pihak baik institusi negara maupun gerakan masyarakat sipil. <br /><br />Pengaman Modal<br />Konflik agraria dan sumber daya alam selalu bermula dari adanya ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini. <br /><br />Hak menguasai negara (HMN) yang terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan berbeda oleh orde baru dengan “semuanya milik negara” hingga penguasaan kolektif masyarakat adatpun dianggap tidak ada. Orde baru membagi-bagi sumber-sumber agraria kepada kelompok-kelompok yang dikehendaki dapat mendukung kekuasannya, utamanya kepada pemilik modal asing. Kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari pasal 33 tersebut, tidak pernah dihitung. Jangankan kesejahteraan, justru rakyat sering kali dihadapkan sebagai “musuh” negara ketika mempertanyakan hak-haknya. <br /><br />Dalam praktek semasa Orde Baru, kedudukan Negara yang dominan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu serta untuk menikmati hasilnya. Undang-Undang dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, justru menjadi alat legitimasi bagi negara untuk menjual sumber daya alamnya, tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada ketamakan dan kekerasan. Di masa orde baru, kekerasan dan korupsi menjadi pintu masuk dalam setiap investasi di Indonesia. <br /><br />Karena semua cabang-cabang produksi dianggap milik negara, maka negara menggunakan seluruh perangkat dan kekuatannya untuk mengamankan investasi dan pembangunan, dengan jargon stabilitas ekonomi dan keamanan nasional yakni aparat keamanan yang terdiri dari TNI dan Kepolisian. Aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian digunakan oleh pemerintah dan atau pemilik untuk menggusur, merebut lahan masyarakat pada saat eksplorasi dan eksploitasi akan dimulai. <br /><br />Di beberapa kasus, aparat keamanan terlibat dalam proses pembebasan lahan masyarakat agar masyarakat mau menjual tanahnya dengan harga yang sangat rendah. Jika tidak mau menjual tanah dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah dan korporasi, tidak segan-segan aparat keamanan melakukan ancaman untuk mengintimidasi warga. seperti yang dialami dalam kasus antara masyarakat dengan PT. Adaro dimana yang melibatkan aparat militer didalam proses ganti rugi lahan warga yang telah ditanami pohon karet. Pola ganti rugi yang melibatkan militer membuat warga tidak berdaya dan akhirnya menyerahkan tanah mereka diganti rugi dengan harga yang sangat rendah. Kepentingan umum, kepentingan pembangunan, kepentingan nasional selalu menjadi alasan pembenar bagi negara untuk “merampas” tanah warga. Kepres No, 55 tahun 1993 atau kini Perpres 65/ tahun 200 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum menjadi senjata sakti untuk memaksa warga melepas tanahnya dengan harga yang murah. <br />Aparat keamanan juga dipasang untuk menghadapi berbagai tindakan “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat terhadap industry atau investasi di wilayah mereka, sehingga yang justru acap kali berhadapan adalah rakyat dengan aparat keamanan. Rakyat yang kritis atau menolak industry masuk di wilayahnya, akan dikelompokkan sebagai pihak yang melawan kebijakan negara. Aksi-aksi unjuk rasa dihadapi dengan penangkapan, penembakan, kriminalisasi dan intimidasi. <br /><br />Kondisi inilah yang menyebabkan konflik agraria dan sumber daya alam antara korporasi yang ditopang oleh institusi negara dengan rakyat terus meningkat dari hari ke hari, dan bahkan di beberapa wilayah stabilitas keamanan bagi investasi menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, nelayan dan kelompok rakyat yang selama ini memperjuangkan hak-hak atas sumber kehidupannya. <br /><br />Bisnis dan Tali Temali Pelanggaran HAM<br />Selain menempatkan aparat keamanan sebagai “penjaga” modal dan kebijakan negara, ada peran atau keterlibatan lain yang dinilai berkontribusi besar bagi langgengnya praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam. Apalagi kalau bukan bisnis yang berada dibalik berputarnya roda investasi sumber daya alam, baik yang dilakukan secara institusional maupun non institusional. <br /><br />Di masa orde baru, militer “dikaryakan” sosial, ekonomi dan politik sebagai pilar penjaga kestabilan pembangunan. Militer tidak hanya dikaryakan oleh pemerintah, tetapi juga pemilik modal. Praktek bisnis militer tidak hanya terjadi pada sector pengamanan modal tapi juga ikut aktif ikut serta sebagai pelaksana bisnis. Segala fasilitas, asset militer (tanah milik negara yang diperuntukkan bagi tiap angkatan) dijadikan modal dan infrastruktur pendukung bisnis. <br /><br />Intensitas militer terlibat dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi. Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan. <br /> <br />Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak tertulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseragam coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk).<br /><br />Nampaknya, inilah yang melanggengkan praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam cerita pengelolaan agrarian dan sumber daya alam. Dimana bisnis militer saling terkait erat dengan watak dan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan pembangunan (baca: modal) dan stabilitas keamanan negara dimana ladang-ladang investasi dianggap sebagai objek-objek vital nasional yang harus diamankan oleh aparat keamanan bahkan dengan dalih operasi militer. bisnis angkatan dan penggunaan asset militer untuk bisnis baik yang legal maupun illegal. <br />Setidaknya ada Sampai dengan tahun 2003 misalnya, tercatat nama 16 perusahaan yang termasuk dalam kategori objek vital dan mendapat pengamanan aparat TNI. Ke 16 perusahaan tersebut adalah PT Arun LNG, PT Exxonmobil Oil, PLTA Sigura-gura, PT Inalum, PT Caltex Dumai, Kilang minyak Plaju dan Gerong, PLTU Suralaya, PT Dirgantara Indonesia, Kilang Minyak Cilacap, PLTU Paiton, PLTU Petrokimia Gresik, PT Badak LNG Bontang, PT Vico Muara Badak, Unocal Sangata dan PT UP V Pertamina Balikpapan, PT Nikel Soroako, PT Freeport Tembagapura, dan PT Puspitek Serpong. <br />TNI membangun 100-150 pos-pos militer disekitar perusahaan yang rata-rata dijaga oleh 25-50 personil. Per-hari, diperkirakan Exxonmobil menghabiskan dana sekitar Rp 33,75 juta sampai dengan Rp. 127,5 juta. Artinya, dalam setahun militer bisa mendapatkan uang jasa sekitar Rp 12,15 milyar sampai dengan Rp 45,9 miliyar. Bayangkan, begitu besarnya bisnis militer di bidang pengamanan korporasi yang berkedok objek vital negara. <br /><br />Sebuah laporan yang diterbitkan Global Witness menyebutkan TNI sepanjang tahun 2001-2003 telah menerima uang keamanan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., perusahaan pertambangan yang berbasis di New Orleans, AS untuk jasa pengamanan pertambangan mereka di Papua. Belum termasuk pengeluaran bagi pejabat militer seperti kepada Mayor Jenderal Mahidin Simbolon selaku Panglima Kodam VIII Trikora. <br />Kucuran dana tersebut selain melanggar hukum Indonesia, juga menimbulkan pertanyaan besar atas independensi TNI dan kepolisian dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Apalagi, ketika juga diakui oleh petinggi militer bahwa pasukan TNI digaji langsung oleh korporasi transnasional tersebut. <br /><br />Tidak segan-segan, cap separatis, pemberontak dan label-label negative lainnya dilekatkan kepada masyarakat yang dianggap mengganggu kepentingan korporasi dan negara, dengan demikian, operasi militer menjadi legal untuk dilakukan seperti yang terjadi di Papua dan Aceh. Ini menjadi praktek nyata, bahwa operasi militer dimanapun, motif utamanya adalah kepentingan ekonomi. <br /><br />Hal yang sama terjadi di Poso Sulawesi Tengah, konflik yang terjadi disana, diindikasikan kuat tidak lepas dari kepentingan ekspansi modal, Dimana Sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, di mana sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso. Masih banyak lagi modal yang masuk dan mendompleng dengan konflik berdarahnya, dan akhirnya berbagai kasus perampasan tanah terhadap petani beralih isunya menjadi konflik antar etnis dan agama. <br /><br />Aparat militer juga bermain dengan bisnis pembacking-an kegiatan tambang illegal misalnya sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan yang melibatkan sebuah koperasi militer untuk menyediakan keamanan guna memperlancar kegiatannya dengan para penambang illegal di area konsesi tersebut. Misalnya kegiatan pengamanan para penambang illegal di Pongkor Jawa Barat. TNI diduga menjadi backing para penambang liar. <br /><br />Bisnis militer di wilayah operasi pertambangan Trans-Nasional khususnya tambang emas, minyak, gas dan nikel yang mendapatkan Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia untuk membangun imperiumnya sendiri dan seperti ada negara didalam negara, seperti mendapatkan keistimewaan lebih melalui private business yang dijalankan oleh militer. Industry tambang Berbeda dengan tambang batubara dan perkebunan yang kebanyakan dijaga oleh aparat kepolisian, yang tidak “serapih” bisnis militer. <br /><br />Asset “Warisan” Penjajah<br />Selain terkait dengan bisnis militer, konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan khususnya dengan TNI juga terkait dengan asset warisan penjajah (baik Belanda maupun Jepang) yang dianggap semua tanah yang dulunya dikuasai oleh tentara Belanda dan Jepang secara langsung menjadi milik negara (TNI). Inila yang kemudian banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan TNI, karena kebanyakan tanah yang diklaim milik mereka, dulunya merupakan tanah rakyat yang direbut paksa oleh penjajah. <br /><br />Kasus yang bisa merepresentasikan modus ini antara lain konflik TNI AL dengan masyarakat Alas Tlogo telah ada sejak tahun 1965. Lahan yang ditempati oleh masyarakat untuk tinggal dan berkebun diklaim sebagai asset TNI AL. demi mengusir masyarakat dari tanahnya, TNI melakukan berbagai upaya intimidasi dan puncaknya pada tahun 2007, terjadi penembakan yang menwaskan 5 orang meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka-luka. Dalam hasil investigasi yang dilakukan oleh KontraS bahwa ditemukan fakta bahwa motif pengosongan lahan bukan hanya sekedar untuk lahan pelatihan tempur semata, tetapi ditemukan adanya penyewaan lahan kepada PT. Rajawali plus pengamanan terhadap penyewa. <br /><br />Selain kasus Alas Tlogo di Jawa Timur, Hal yang sama terjadi untuk kasus Rumpin antara masyarakat rumpin dengan TNI AU Atang Sandjaya, selain klaim kepemlikan lahan yang diwariskan oleh “penjajah”, ditemukan ada indikasi bisnis tambang pasir diatas lahan tersebut. <br /><br />Ada juga kasus di Bojong Kemang Kabupaten Bogor, bahwa tanah yang ditempati oleh warga diklaim milik TNI AU, bahwa pada tahun 1940-1945, tanah masyarakat disewa oleh angkatan udara jepang untuk kepentingan menyembunyikan pesawat tempur mereka. Setelah Jepang mengalami kekalahan, TNI kemudian mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka yang merupakan tanah “hasil rampasan perang” atau tanah warisan penjajah. <br /><br />Meskipun belakangan juga terungkap, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh militer ternyata juga terkait dengan kegandrungan tentara berbisnis, misalnya dengan menyewakan tanah-tanahnya kepada perusahaan. <br /><br />Militerisme Terus Berlanjut<br />Dalam perjalanannya, era reformasi mendesak agar militer segera kembali ke barak dan meninggalkan bisnis-bisnisnya. Sayangnya, desakan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan. Militer dan kepolisian sampai saat ini masih menjadi anjing penjaga modal yang sangat baik. Faktanya, sampai saat ini, praktek kekerasan dan pelanggaran HAM masih kental mewarnai konflik sumber daya alam di Indonesia. Sebagian merupakan kasus-kasus lama yang tidak kunjung selesai dan semakin manifes, sebagian lagi merupakan kasus-kasus baru dengan menggunakan pola-pola dan pendekatan yang sama. <br /><br />Setidaknya sejak jaman kolonial hingga saat ini, pelanggaran hak asasi manusia selalu berdampingan dengan ekspansi modal, dengan menggunakan seluruh kekuatannya termasuk kekuatan bersenjata dengan aktornya yang berubah-ubah. Misalnya, di beberapa kasus, kekerasan justru dilakukan oleh sipil seperti Polisi Kehutanan yang mengamankan konsesi tanah Perhutani, Satpol PP dan Pamswakarsa. Namun jika dilihat, sipil ini menggunakan pendekatan dan pola yang sama yakni militeristik dan tidak jauh dari induknya yakni militer dan kesemuanya dipersenjatai. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh sipil seperti Pamswakarsa yang sering kali dibiayai oleh perusahaan, biasanya justru aparat keamanan melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan tersebut. <br /><br />Industry ekstraktif baik tambang maupun perkebunan sawit skala besar merupakan industry yang kotor, penuh dengan praktek kekerasan dan sarat dengan pelanggaran HAM baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, social dan budaya, khususnya bagi rakyat yang hidup di lingkar area tambang dan perkebunan besar. Di berbagai wilayah operasi pertambangan dan perkebunan, keterlibatan aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian dalam mengamankan korporasi sangat kental. Konflik yang sering muncul antara korporasi dan masyarakat setempat, selalu menempatkan masyarakat sebagai korban. <br />Disinilah kita dapat mengurai tali temali antara peran militer yang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan akan digunakan oleh negara dengan mengerahkan semua kekuatannya termasuk militer dan aparat keamanan lainnya atau aparat keamanan justru membiarkan praktek kekerasan dilakukan oleh sipil yang berupa preman-preman bayaran, pamswakarsa atau milisi-milisi ketika berhadapan dengan warga. Inilah kerja kolaboratif yang sangat baik antara pemodal dengan negara (plus aparat keamanannya) untuk melanggengkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik. <br /><br /><br />Perempuan dan Militer(isme) <br />Peran perempuan dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupan antara lain terlibat langsung dalam barisan massa aksi seperti ibu-ibu Sugapa memeluk pohon yang akan dirobohkan oleh PT. IIU di Porsea Sumatera Utara, ibu-ibu di Bojong Jawa Barat yang melakukan penghadangan mesin-mesin perusahaan yang akan masuk, dan bersama laki-laki melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah yang diambil oleh perusahaan seperti yang dilakukan oleh ibu Werima yang berhadapan dengan PT. INCO di Sulawesi Selatan. <br />Ironisnya, peran dan perjuangan perempuan bersama komunitasnya untuk mendapakan hak-hak dasarnya harus berhadapan dengan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Seorang petani kelapa sawit perempuan bernama ibu Yuniar tewas ditembak oleh satuan Brimob ketika memperjuangkan haknya atas ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau baru-baru ini. <br /><br />Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai kasus terkait dengan konflik agraria, sumber daya alam dan perjuangan lingkungan hidup, bukanlah cerita baru. Dalam catatan WALHI, berbagai kekerasan yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya, mulai dari kasus PT. Freeport Indonesia dimana mama Yosepha pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, kekerasan yang dialami oleh opung Risma ketika berhadapan dengan aparat kepolisian dalam kasus dengan PT. Inti Indorayon Utama atau PT. Toba Pulp Lestari, ibu Nursiha yang ditangkap oleh aparat Kepolisian ketika berhadapan dengan perusahaan sawit. Selain kekerasan yang dialaminya sendiri, banyak perempuan yang harus kehilangan suami, ayah dan anak laki-lakinya ketika berhadapan dengan aparat kamanan negara. <br /><br />Sebagian besar kita sempat berpikir bahwa saat melakukan aksi ketika terjadi konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup, perempuan berada di barisan terdepan akan membuat aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan. Ternyata apa yang terjadi tidaklah demikian, tanpa memandang siapa yang dihadapinya, termasuk ibu-ibu dan dihadapan anak-anak, tindak kekerasan dilakukan oleh alat negara seperti dalam kasus Indorayon ketika memblokir jalan atau kasus Rumpin yang berhadapan dengan TNI Angkatan Udara, saat ibu-ibu berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan ibu-ibu. Tanpa ada aba-aba atau peringatan, pasukan TNI AU langsung mendorong ibu-ibu hingga terjatuh, dan berujung pada penembakan terhadap massa aksi. Dalam kasus ini, selain satu orang tertembak di bagian leher, 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu di rusuk sebelah kanan.<br /><br />Dalam kasus Bojong, saat melakukan sweeping dari rumah ke rumah, beberapa orang ibu dipukul oleh aparat dari Polwil dan Polres Bogor, bahkan ada ibu hamil yang didorong dan ditodongkan senjata dari belakang. <br /><br />Bahkan di Ibukota, cerita kekerasan seperti banyak terjadi di pelosok-pelosok desa juga secara brutal dilakukan. Dalam kasus penggusuran pasar Barito, ibu-ibu yang melakukan aksi damai dengan membawa bunga, mesti merasakan sepatu Satpol PP. Kurang lebih 15 orang perempuan yang berada di barisan diinjak-injak, dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.<br /><br />Berbagai bentuk ketidakadilan telah dialami oleh perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, akibat peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan yang disebutkan sebagai kekerasan berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Kekerasan yang dialami akibat praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI), seterusnya melahirkan bentuk kekerasan lain yang disebabkan karena peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan. Beban ganda bagi perempuan yang kehilangan suami, ayah atau anak laki-lakinya terpaksa harus mengambil peran sebagai pencari nafkah keluarga, sementara dia masih harus mengurus peran-peran domestiknya. <br /><br />Sayangnya, meskipun begitu berat resiko yang dihadapi oleh perempuan dan begitu besar peran yang telah dilakukan oleh perempuan bersama komunitasnya dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupannya. Masih sedikit perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM dalam konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup. <br /><br />Padahal, perempuan pembela HAM harus menghadapi berbagai ancaman dan bentuk pelanggaran. Mulai dari yang umum dihadapi antara lain pembunuhan, dan resiko kehilangan nyawa, penyiksaan, penganiayaan, pengrusakan property, kriminalisasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, intimidasi, penghancuran sumber-sumber penghidupan, pembunuhan karakter dan stigmatisasi. Selain ancaman dan pelanggaran yang akan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, ancaman dan pelanggaran yang khusus dialami oleh perempuan antara lain perkosaan dan pelecehan seksual dan serangan pada posisi dan peran ibu, istri dan anak perempuan. <br /><br />Dalam kasus penangkapan yang dialami oleh ibu Nursiha, selain hak-hak dasarnya yang dilanggar, ibu Nursiha juga terpaksa tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu yang menyusui bayinya yang baru lahir dan tiga orang anak lainnya. <br />Disinilah kita dapat menilai bagaimana peran militer(isme) dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan khususnya hak asasi perempuan. <br /><br />Penutup<br />Tidak ada yang berubah dari dulu hingga saat ini, dari jaman kolonial hingga paska reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan agrarian di Indonesia, menggunakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber daya alam dan agraria. Aktornya bisa mengalami perubahan, tapi korbannya tetap sama yakni rakyat yang seolah tak berwajah dan tak bernama. Dan perempuan menjadi korban yang mengalami renteng kekerasan berlanjut dan berlapis-lapis dari seluruh cerita yang bernama penjarahan sumber daya alam dan agraria.<br /><br />Namun dari kesemuanya, yang diuntungkan dari watak pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan berwatak militeristik ini juga sama yakni segelintir orang baik pemodal, elit politik dan tentu saja alit dari aparat keamanan mulai dari TNI hingga elit di Kepolisian yang kesemuanya saling mengikatkan diri menjadi dan bertali temali dengan kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politiknya. <br /><br />-----------------------------------------------<br /> Tulisan ini telah disampaikan kepada Komnas Perempuan pada tanggal 26 Jnauari 2011 dalam kerangka penulian Pemetaan keterlibatan militer (ism) dalam konflik SDA<br /><br /> Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia<br /><br /> Analisa Hukum Kolonial di Tanah Merdeka, Hedar Laudjeng, http://www.huma.or.id/<br /><br /> Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.<br /><br /> Gali-Gali Jatam, Volume 3 Nomor 13, 2001<br /><br /> http://bhotghel.multiply.com/journal/item/19/KONFLIK_AGRARIA_DAN_BISNIS_MILITER<br /><br /> http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/utama/684570.htm, dikutip dari Pelanggaran HAM; Warisan (Maut) Keterlibatan Militer dalam Bisnis, Mufti Makarim. <br /><br /> ibid<br /> Siaran Pers Bersama, KONTRAS, IMPARSIAL, JATAM, MPI, WALHI, ELSAM, AMAN, ALIANSI PEREMPUAN MENGGUGAT, ICW, YAPPIKA, LSPP, YLBHI, akarta, 19 Maret 2003<br /> http://ariantosangaji.blogspot.com/2010/08/kekerasan-poso-dan-ekspansi-modal.html<br /> M. Islah, <br /> <br />Kronologi kasus Bojong dan Rumpin, WALHI. <br /><br /> Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-49780614754593150862011-05-07T15:13:00.003+07:002011-05-07T15:15:58.493+07:00ASEAN Gagal Bertanggung Jawab dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Perempuan.Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan<br /> <br /><br />Pada tanggal 7-8 Mei 2011, pemimpin negara-negara ASEAN bertemu ASEAN Summit ke-18 di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 3-5 Mei 2011, lebih dari 1300 delegasi masyarakat sipil dari 10 negara Asia Tenggara terlibat di dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum 2011 di Jakarta. ACSC/APF adalah ruang untuk memperdebatkan dan mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi politik ASEAN yang bertumpu pada pasar, mengabaikan prinsip hak asasi yang berdampak langsung pada hidup dan kehidupan buruh migran perempuan, nelayan, petani perempuan, perempuan adat dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.<br /><br />Secara spesifik, berbagai elemen gerakan perempuan di Asia Tenggara, termasuk Solidaritas Perempuan dari 10 daerah di Indonesia – terlibat aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan ASEAN. Kritik Solidaritas Perempuan (SP) berbasiskan pada pengalaman-pengalaman perempuan akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat peran gender sebagai perempuan, warga negara, buruh migran perempuan, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan dalam konflik bersenjata dan konflik sumber daya alam, perempuan yang hidup di dalam hukum syariah, serta kelompok perempuan lainnya yang mengalami penindasan akibat identitas politik, seksualitas dan kepercayaan tertentu. <br /><br /><br />Solidaritas Perempuan menilai negara-negara ASEAN telah gagal dalam memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan Asia Tenggara dan Indonesia, pada khususnya. Kegagalan tersebut tercermin dalam beberapa pandangan Solidaritas Perempuan di bawah ini.<br /><br /> <br />Regionalisasi Politik Ekonomi Pro-Pasar<br /><br />Negara-negara ASEAN secara terbuka melayani kepentingan politik ekonomi global yang ditunjukkan dalam Pilar Ekonomi, Pilar Sosial dan Budaya, serta Pilar Politik dan Keamanan ASEAN. ASEAN telah gagal melindungi hak-hak perempuan dari berbagai kebijakan yang mendukung eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam dan liberalisasi perdagangan. <br /><br /><br />ASEAN Economic Community Blueprint (AEC) secara jelas berorientasi pada pasar global dan meminggirkan perempuan adat, perempuan pedesaan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik perdagangan bebas yang mematikan produksi dan konsumsi lokal terus menguatkan peran Asia Tenggara sebagai produsen dan konsumen pasar global, yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas lahan, pangan, pekerjaan, dan lingkungan hidupnya. Perempuan kehilangan lahannya, tidak berdaulat atas pangannya, dan dipaksa bermigrasi dalam upaya mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya. Bahkan, ketika bermigrasi, perempuan masih juga tidak mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya sebagai manusia, warga negara, perempuan dan pekerja, termasuk dalam hal kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.<br /><br /> <br />Konsistensi ASEAN mendorong kebijakan neoliberal secara terbuka terlihat dalam politik perdangangan bebas melalui FTA dengan melupakan prinsip pelibatan masyarakat, dan upaya memenuhi keadilan sosial-ekonomi rakyat, termasuk perempuan. Liberalisasi perdagangan melalui FTA secara nyata melanggar hak-hak perempuan dalam mengelola sumber-sumber produksi pangan mereka, dan bertentangan dengan upaya rakyat dalam merebut kembali hak-haknya dalam mengelola sumber-sumber produksi yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.<br /><br /> <br />Proyek-proyek sumber daya alam, khususnya terkait energi, mineral, migas, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pengelolaan sumber daya air yang dirancang oleh ASEAN justru semakin memiskinkan perempuan dengan hilangnya lahan-lahan penghidupan, hilangnya akses atas air bersih, kerusakan lingkungan, dan akibatnya terhadap kesehatan. Bahkan, berpotensi mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.<br /><br /> <br />Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, ASEAN tidak juga mempunyai posisi politik yang kuat di dalam negosiasi perubahan iklim untuk mendesakkan negara-negara industri bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM. ASEAN justru terjebak di dalam skenario perubahan iklim yang dirancang oleh negara-negara industri dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (WB/ADB) untuk terus menguatkan perekonomian mereka dan menyerahkan tanggung jawab merespon dampak perubahan iklim lebih kepada negara-negara berkembang melalui proyek-proyek iklim. Pendanaan iklim yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari negara-negara industri sebagai pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca tidak dikelola untuk kepentingan negara-negara berkembang. Bahkan, negara berkembang dijadikan arena perdagangan, investasi dan jebakan hutang iklim melalui model Green Economy yang diskenariokan Amerika Serikat dan Uni Eropa.<br /><br /> <br /><br />Lemahnya Akses Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses ASEAN<br /><br />Masyarakat sipil telah diakui keberadaannya di dalam Piagam ASEAN. Bahkan, jargon pemerintah negara-negara ASEAN mengatakan bahwa kebijakan dan mekanisme ASEAN berpusat pada rakyat. Tapi pada kenyataannya, rakyat dijadikan sasaran pasar untuk kepentingan perdangangan. Yang menyedihkan, tidak ada keterlibatan rakyat yang penuh dan berarti dalam seluruh proses ASEAN.<br /><br />Tidak ada suatu mekanisme yang jelas untuk pelibatan masyarakat sipil di dalam proses pengambilan keputusan di tingkat ASEAN. Proses konsolidasi masyarakat sipil belum juga menjadi bagian dari proses ASEAN. Negara-negara Anggota ASEAN tidak pernah secara serius menindaklanjuti hasil-hasil dari ACSC/APF sebelumnya. Hingga kini, hak-hak petani, nelayan, dan buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara terus dilanggar dan tidak ada jaminan perlindungan yang dapat memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Perempuan terus menjadi pihak yang termarjinalisasi serta mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masyarkat sipil tidak akan pernah berhenti mempertanyakan prinsip ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat.<br /><br /> <br />Desakan Solidaritas Perempuan<br />Atas dasar situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak agar:<br /><br /> KTT ASEAN 2011, sebagai proses pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN, menghasilkan mekanisme partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, khususnya perempuan.<br /> ASEAN merevisi ASEAN Economic Community Blueprint menjadi model pembangunan komunitas ekonomi ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat ASEAN.<br /> ASEAN memastikan dan menjamin implementasi dari reforma agraria yang berkeadilan jender, mencakup pengelolaan sumber-sumber produksi pangan serta perdagangan yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan. <br /><br />4. ASEAN membangun instrumen tentang perubahan iklim yang berperspektif keadilan iklim dan keadilan jender, serta memastikan adanya standar perlindungan hak-hak perempuan dalam pendanaan, kebijakan dan proyek-proyek iklim<br /><br />5. ASEAN mendesak negara-negara industri untuk memenuhi tanggung jawabnya menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis serta menyediakan dukungan teknologi dan pendanaan bagi negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif, sensitif, dan responsif jender.<br /><br />6. Negara-negara anggota ASEAN segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta menghapuskan kebijakan pemutusan kontrak dan deportasi atas dasar kehamilan dan penyakit menular, khususnya HIV/AIDS, dan menyediakan jaminan perlindungan sosial termasuk ketentuan untuk pelayanan kesehatan dan asuransi medis, serta mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi buruh migran dan anggota keluarganya.<br /><br />7. ASEAN segera melahirkan Instrumen ASEAN tentang Promosi dan Perlindungan hak-hak buruh migran pada tahun 2011 sebagai instrumen yang mengikat secara hukum, mencakup perlindungan bagi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya tanpa memperhatikan status hukum mereka, mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, diskriminasi dan segala bentuk stigmatisasi terhadap buruh migran perempuan dan anggota keluarganya, serta harus sentisitif jender di dalam proses dan praktik migrasi, termasuk mengimplementasikan rekomendasi umum No. 26 dari CEDAW tentang pengakuan atas buruh migran perempuan.<br /><br />8. ASEAN membangun instrumen untuk melindungi keragaman masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berkeyakinan dan keragaman budaya, serta perlindungan hak otonomi tubuh dan seksualitas perempuan.<br /><br /> <br /><br />Jakarta, 5 Mei 2011<br /><br /> <br /><br />Risma Umar<br /><br />Ketua Badan Eksekutif Nasional<br /><br />Solidaritas Perempuan<br /><br /> <br /><br /> <br />Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan<br /><br />Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh<br /><br />Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan<br /><br />Solidaritas Perempuan Kinasih Jogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta<br /><br />Solidaritas Perempuan Kayangan Api Bojonegoro, Jawa Timur<br /><br />Solidaritas Perempuan Jabodetabek, DKI Jakarta<br /><br />Solidaritas Perempuan Mataram, Nusa Tenggara Barat<br /><br />Solidaritas Perempuan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat<br /><br />Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar, Sulawesi Selatan<br /><br />Solidaritas Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara<br /><br />Solidaritas Perempuan Palu, Sulawesi Tengah<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-20522197493473181512011-04-07T11:58:00.000+07:002011-04-07T11:59:35.648+07:00Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan LingkunganPerempuan memiliki kedekatan emosional dengan alam, terutama perempuan yang tinggal di pedesaan. Para perempuan pedesaan sangat menggantungkan hidup mereka pada lingkungan atau alam sekitar untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, dewasa ini banyak terjadi ekploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Indonesia. Hal ini berdampak pada semakin hilangnya akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya alam.<br /><br />Buku ini memberi gambaran bagaimana perempuan dalam mengelola sumber daya alam di sekitarnya, dan juga memaparkan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di pedesaan saat perusahaan dan industri ekstraktif, seperti perkebunan besar kelapa sawit, dan pertambangan masuk ke wilayah mereka.<br /><br />Data Buku :<br /><br />ISBN : 978-979-8071-76-8<br /><br />Penerbit:<br /><br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - 2011<br /><br />Jl. Tegal Parang Utara No. 14<br /><br />Jakarta 12790<br /><br />Telp. : (021) 791933, 7941672<br /><br />E-mail : informasi[at]walhi.or.id<br /><br />Website : www.walhi.or.id<br /><br />Untuk mendapatkan buku ini baik versi cetak maupun e-book, silahkan menghubungi email jumi[at]walhi.or.id (Sdr. Jumi Rahayu)<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-59870863385837460812011-04-07T11:47:00.002+07:002011-04-07T11:50:35.892+07:00Keadilan Gender dalam Keadilan IklimPerubahan iklim tidak bisa dilihat sebagai sebuah proses yang netral gender. Saat Negara absen menangani krisis akibat dampak perubahan iklim, maka perempuan menjadi korban ketidakadilan berganda. Dokumen ini menuliskan berbagai fakta lapang dampak perubahan iklim terhadap perempuan dari berbagai daerah di Indonesia; beragam latar belakang sosial, budaya dan ekonomi sertan upaya adaptasi mereka. Ia menyajikan argumentasi, mengapa Negara harus mengakui perempuan mengalami dampak berbeda dari lelaki. Mengakui perempuan memiliki peranan, pengetahuan dan pengalaman penting merancang dan menerapkan solusi terhadap perubahan iklim. Serta apa implikasinya jika Negara tidak mengindahkan hal itu.<br /><br /><br />selengkapnya di http://www.csoforum.net/multimedia/media-publikasi/248-keadilan-gender.html<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-26844948841422527242011-03-22T10:22:00.000+07:002011-03-22T10:23:21.772+07:00Firms overlook the hands that feedAdianto P. Simamora, The Jakarta Post, Jakarta | Sun, 03/20/2011 2:24 AM |<br />Headlines<br /><br /><br />Limbuk, a housewife and farmer in Sepaso Induk village in East Kutai, East<br />Kalimantan, works 13 hours a day tending to her family’s rice paddy and<br />corn fields. She protects her crops from pests, mostly monkeys and wild<br />boars.<br /><br />Her husband and four children, have something else to do.<br /><br />Limbuk also plaits baskets to sell and prepares the meals for the family.<br />When it comes to family business, she takes most of the responsibility.<br /><br />However, she, like other women in her village, is left out of any<br />decisions regarding the future.<br /><br />Her house sits two kilometers away from a giant coal mine. The mine<br />operator is excavating large pits, one of them to be located in the<br />village.<br /><br />The firm, however, only invited male villagers to discuss their pending<br />relocation. It also brought some of the men to Jakarta. Upon their return,<br />the men did not share what they discussed in Jakarta.<br /><br />Limbuk’s story is recounted in a chapter of Women in natural resources and<br />environment management.<br /><br />Bogor Agricultural University (IPB) of gender, food security and nutrient<br />division expert Ikeu Tanzih said women were increasingly marginalized in<br />the presence of extractive companies, from mining to palm oil plantations.<br /><br />“Extractive industries are not friendly to women. The companies limit<br />women’s access to land for farming,” she said.<br /><br />The firms also impede their access to clean water, she added.<br /><br />She said the women also received unfair treatment from their husbands,<br />particularly those hired by the company.<br /><br />A study by Ikeu found housewives from low-income families were more<br />responsible for food, education and housing compared to the husbands.<br /><br />The study said women played a role as the family’s breadwinners, managing<br />natural resources and creating income. The study also showed 74 percent of<br />households relied on the women for their meals.<br /><br />“Low-income families are prone to food crises if agricultural policies<br />continue to ignore gender issues.”<br /><br />A report by the UN’s Food and Agriculture Organization in 1995 said women<br />produced more than 50 percent of the food for the world.<br /><br />Indonesian Forum for the Environment (Walhi) activist Khalisah Khalid said<br />women had a wealth of local knowledge in preparing food for families, but<br />their roles were never acknowledged in the community.<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-18664712126724962682011-03-15T12:35:00.000+07:002011-03-15T12:37:47.567+07:00Pernyataan MANUSIA dan SHI atas Bencana Nuklir di JepangKontak media:<br /><br />Dian Abraham (0815-9487094)<br /><br />dianabraham@yahoo.com<br /> <br /><br />MANUSIA dan SHI menyampaikan rasa duka dan prihatin yang mendalam kepada seluruh masyarakat Jepang atas bencana alam maupun teknologi yang sedang berlangsung di sana. Sebagai masyarakat yang pernah mengalami gempa dan tsunami yang juga merenggut nyawa ribuan orang, kami dapat ikut merasakan kehilangan yang dialami saudara-saudara kami di Jepang saat ini. Demikian pula, kami sangat khawatir atas perkembangan situasi yang terkait dengan fasilitas nuklir Jepang yang telah menimbulkan korban terhadap masyarakat awam. Apalagi mengingat Indonesia pun terletak di kawasan ”ring of fire” yang sama dan bahkan berencana membangun PLTN.<br /><br />Di Indonesia, dengan rasa menyesal pula kami menyaksikan sikap angkuh berbagai pejabat dan pakar lokal yang berlomba-lomba memberi penilaian yang masih bersifat dini kepada publik dengan rasa puas berlebihan. Padahal, keadaan darurat nuklir masih terus berlangsung dan keadaan di PLTN Fukushima Daiichi maupun PLTN Fukushima Daini masih dapat memburuk. Begitu pula, belum ada kabar jelas mengenai nasib PLTN Onagawa di prefektur Miyagi yang ibukotanya, Sendai, dilanda tsunami hebat.<br /><br />Tidak hanya karena analisis yang dikemukakan umumnya sepotong-sepotong, tetapi juga kami meragukan kelengkapan data yang dimiliki mereka. Berdasarkan pengalaman berbagai kecelakaan nuklir dunia, terlihat jelas bahwa baik pemerintah demokratis maupun diktator, seperti Inggris, AS hingga Uni Soviet selalu membuat pernyataan yang meremehkan kecelakaan nuklir yang sedang dialaminya pada hari-hari pertama dan tidak memberikan data yang lengkap perihal fakta-fakta yang sedang berlangsung. Terlepas dari rasa hormat kami terhadap pemerintah (dan masyarakat) Jepang yang memiliki kesigapan dan kedisiplinan dalam menangani bencana konvensional, pemerintah Jepang tidak terbukti berbeda dari pemerintah-pemerintah tersebut di atas dalam masalah nuklir. Bahkan pada tahun 2002 lalu terungkap skandal penipuan data PLTN – yang tak lain dari PLTN yang bermasalah sekarang, Fukushima – oleh operator PLTNnya (TEPCO) untuk menutup-nutupi malapraktek mereka.<br /><br />Karena itu, tanpa bermaksud merendahkan pengetahuan para pakar lokal, kami yakin tak seorang ahlipun tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di PLTN Fukushima Daiichi. Mereka hanya bisa mereka-reka dan berteori. Hanya pihak operator (yakni TEPCO) berikut pekerja reaktornya, badan pengawas Jepang, dan pemerintah Jepang yang paling mengetahui apa yang sedang terjadi di sana.<br /><br />Oleh karenanya, demi kepentingan publik, kami memperingatkan para pejabat atau pakar untuk tidak menjejali masyakat awam dengan opini, komentar, atau analisis sepotong-sepotong yang tak dapat dipertanggungjawabkan yang bersifat memperdaya masyarakat hanya karena memiliki agenda tersembunyi terkait rencana PLTN di Indonesia. Adalah hal yang menggelikan sekaligus membodohi masyarakat mendengar suatu kecelakaan yang saat ini dikategorikan level 4 (dari tujuh level skala INES) disebut oleh “pakar nuklir” sebagai “tidak terjadi apa-apa”.<br /><br />Kami mengecam pernyataan Menristek Sabtu lalu yang masih menegaskan rencana PLTN Indonesia. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan arogan pejabat IAEA beberapa waktu setelah kecelakaan Chernobyl bahwa “dunia sanggup menghadapi kecelakaan seperti Chernobyl setiap tahun”. Faktanya, hingga tahun ke-25, korban Chernobyl masih berjatuhan. Bahkan publikasi terbaru yang diterbitkan di AS mengungkap angka terbaru yakni korban meninggal yang mencapai nyaris satu juta orang.<br /><br />Demikian pula, seperti halnya di Chernobyl, pengkambinghitaman juga mulai terasa dengan adanya pernyataan bahwa PLTN Fukushima seharusnya sudah harus ditutup karena sudah 40 tahun. Padahal, bukan rahasia lagi bahwa pihak yang sama pula yang bersikeras bahwa umur suatu PLTN adalah hingga 60 tahun. Dan industri nuklir pula yang saat ini memaksa berbagai pemerintah, mulai dari Jerman hingga AS, untuk memperpanjang masa pakai PLTN yang semula 30-40 tahun menjadi 60 tahun tanpa mempedulikan keselamatan publik.<br /><br />Dan kami pun menyesalkan pernyataan menyesatkan bahwa PLTN dianggap sukses bila mampu mati otomatis atau dimatikan operasinya saat gempa. PLTN bukanlah obyek percobaan dalam suatu laboratorium yang patut dipuji hanya karena dianggap tidak lagi membahayakan manusia. PLTN adalah alat produksi yang berharga triliunan rupiah. PLTN yang mati otomatis setelah bencana gempa tidak berarti dapat dihidupkan kembali. Apalagi dalam hal reaktor di PLTN Fukushima yang mengalami ledakan. Hampir dapat dipastikan bahwa reaktor yang rusak sudah tidak dapat dipakai sama sekali. Setelah itu, PLTN tersebut masih harus ditangani secara khusus. Hilangnya investasi sedikitnya puluhan triliun rupiah, hilangnya jutaan kilowatt listrik yang dihasilkannya, dan bertambahnya biaya ekstra penanganan PLTN yang hancur tersebut sama sekali tidak menggambarkan keunggulan PLTN. Belum lagi jika beban itu ditanggung publik. Maka, jelas sekali bahwa itu adalah investasi yang sangat buruk yang sekaligus juga mempertaruhkan nyawa manusia.<br /><br />Oleh karena itu kami menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan seluruh rencana PLTN dan mengalihkan seluruh dana publik tersebut untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan. Masyarakat Indonesia sudah kenyang dengan berbagai jenis bencana baik yang berawal dari peristiwa alam maupun kecerobohan manusia. Kami tidak butuh diperkenalkan lagi dengan jenis bencana baru seperti bencana nuklir.<br /><br />Kepada pemerintah Jepang maupun seluruh pihak asing lainnya, kami menuntut penghentian total rencana ekspor PLTN ke Indonesia, termasuk berbagai bantuan finansial dan teknis kepada pemerintah Indonesia.<br /> <br />Akhirnya, kami menghimbau masyarakat luas untuk berdoa agar keadaan tidak bertambah buruk dan menambah berat beban masyarakat Jepang yang sedang berduka.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />***<br /><br /> <br /><br />MANUSIA (Masyarakat Antinuklir Indonesia) <br /><br />SHI (Sarekat Hijau Indonesia) http://sarekathijauindonesia.org/<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-19177350870699148922011-01-27T12:59:00.001+07:002011-01-27T13:02:01.946+07:00Sya VIISya ….<br />Di pojok ruangan aku menangis, aku merasa tiba-tiba takut kehilangan hidupku. Aku takut mati Sya, pergi disaat aku ingin memeluk cintanya dengan kesetiaan. Ketakutanku memuncak entah dari mana asalnya, tapi kurasa yang dikatakan laki-laki di rumah sakit itu telah membuat temperatur badanku naik tidak menentu, dan pengharapan hidupku seperti sedang diletakkan pada gelas yang retak. Aku telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan kali ini sungguh kekalahan ini sulit kulalui. <br /><span class="fullpost"><br />Sya ….<br />Aku tau dia juga merasakan resah yang sama, takut yang membuatnya menatapku dalam keheningan gelap. Aku menuliskan keresahanmu dalam lemari hatiku agar aku bisa terus membukanya. Mengapa takut pada kematian, bukankah kematian adalah sebuah keniscayaan yang menghampiri setiap makhluk yang bernyawa. Jadi mengapa mesti takut menghadapinya, ikhlas menjalani semua ujian hidup karena semua yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya. <br /><br />Sya…<br />Ajari aku tentang kehidupan, bagaimana memahami nilai-nilainya dan mampu menunjukkanku padaku bagaimana menghargainya. Yakinkan aku, bahwa Tuhan hanya mengujiku dalam sakit lahiriah, namun tetap menjagaku dalam kepanjangan kesetiaan keyakinan nilai kehidupan yang hakiki. sungguh aku ingin terus hidup dalam jiwa. Ada dalam sebuah pengharapan, meski tanganku sulit menggapainya. <br /><br />Menjelang semua makhluk sibuk dengan ritual agamanya, menyembah pada sang pemilik kehidupan. Terdengar dengan samar-samar tanpa pengeras suara alunan adzan dari surau diujung kampung sana, yang membangunkan orang dari tidur lelapnya bersamaan dengan kokok ayam jantan yang ceria setelah persengamaannya semalam dengan sang betinanya. Di ujung sana, kala dua jingga bertemu di dataran tinggi yang sama. <br /><br />Pagi-Mu sungguh indah, puji-puji syukur mengalir dalam bait-bait doa<br />berlomba dengan embun yang satu satu turun ke bumi, dan Kau masih menggenggam hatiku dengan cinta dan pengharapan.<br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-46097817868737044802011-01-24T17:27:00.003+07:002011-01-24T17:29:46.963+07:00Pusaran Modal dan Tubuh PerempuanOleh: Khalisah Khalid<br /><br />“Saya menggunakan cream pemutih, biar bisa lebih cantik”. Itu ungkapan seorang perempuan yang tinggal di salah satu daerah miskin di Jakarta. Bagi banyak orang, mungkin itu hal yang biasa karena memang banyak dilakukan oleh perempuan untuk mempercantik dirinya sesuai dengan definisi cantik versi iklan-iklan produk kosmetik bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Tubuh perempuan dijadikan sebagai objek yang paling “empuk” untuk pasar industri ekstraktif, tingkat konsumsi pada perempuan dibangun oleh sebuah pusaran modal. Dari sini kita dapat menilai bagaimana pusaran modal telah mampu merubah pola konsumsi perempuan dan keluarganya, bahkan dalam menilai tubuhnya sendiri. <br /><br />Sistem ekonomi politik kapitalistik yang menempatkan sumber daya alam sebagai onggokan komoditas, menggunakan perempuan sebagai “alat” untuk melanggengkan alir sistem kapitalisme yang dibangun oleh berbagai industri ekstraktif seperti industri tambang dan perkebunan skala besar. Peran perempuan ditempatkan sebagai objek pekerja yang kebanyakan adalah buruh kontrak atau buruh harian lepas, dengan upah murah dan bahkan seringkali buruh perempuan ini tidak mengetahui berapa penghasilan yang bisa mereka dapatkan dari keringatnya sebagai buruh perkebunan besar.<br /> <br />Ketika perempuan kehilangan sumber produksinya, dan bekerja di industry ekstraktif, perempuan ditempatkan di bagian penyemaian, pembibitan dan panen dengan alasan perempuan lebih teliti dan lebih sabar, semua itu khas dilekatkan pada pekerja perempuan. Sementara justru disanalah tingkat resiko tinggi dialami oleh buruh perempuan, yang setiap harinya bergelut racun yang bersumber dari pestisida tanpa alat pengaman yang cukup untuk melindungi kesehatan perempuan. <br /><br />Sayangnya selama ini, persoalan pengelolaan kekayaan alam belum dipandang dalam sudut pandang perempuan. Yang dibicarakan oleh pengurus negara hanya berurusan dengan harga, supply, demand, dan transaksi politik. Sangat jauh dari krisis dan seolah-olah tidak ada relasinya dengan apa yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya. <br /><br />Bahkan ketika terjadi bencana ekologis, cerita perempuan tidak pernah ada. Dalam kasus lumpur Lapindo misalnya, urusannya seolah-olah bergeser pada isu “jual beli” tanah yang lagi-lagi berurusan dengan laki-laki. Sementara hak-hak dasar perempuan yang tercerabut dari ruang hidupnya diabaikan. Padahal, hilangnya sumber-sumber kehidupan, mengakibatkan berkurang atau hilangnya esensi hidup perempuan itu sendiri sebagai manusia. <br /><br />Pertarungan pada tubuh perempuan dalam isu lingkungan hidup dan pengelolaan kekayaan alam paling tidak bisa dilepaskan dari peta geo politik dunia dengan berbagai Forum Internasional, mulai dari deklarasi Stockholm pada tahun 1972, KTT Nairobi, KTT Bumi Rio de Janeiro sampai KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg yang diniatkan untuk membahas problem pokok global yakni lingkungan dan kemiskinan, dalam perjalanannya semakin bergeser. <br /><br />Isu pembangunan bergulir semakin kuat dan mendominasi dinamika ekonomi politik global dan nasional. Namun dalam perjalanannya, gambaran pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan, semakin jauh dari harapan. Kuatnya intervensi modal transnasional dan multinasional lebih mendominasi, untuk membatasi peran negara hanya sebatas pada ruang regulator dan fasilitator. <br /><br />Ide pembangunan berkelanjutan justru banyak menjauhkan perempuan dari akses dan kontrolnya terhadap kekayaan alam. Isu pembangunan berkelanjutan yang dipraktekkan saat ini jelas mereduksi akar masalah yang dialami oleh perempuan, ketika pengatahuan sebagai eksistensinya yang khas sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat bernegara tergantikan oleh peran-peran teknologi. Revolusi Hijau menjadi contoh yang paling nyata, atas intervensi kapital atau pasar yang telah mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya. <br /><br />Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada tahun 2007 paling tidak ada 52 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan terkait dengan isu pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Angka ini dapat menjadi sebuah petunjuk bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan mulai dari rumah hingga pekarangan dan negaranya, tidak lepas dari apa pertarungan perebutan pengelolaan kekayaan alam. <br /><br />Sebuah potret kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup. Potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah.<br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-29360802847762604092010-11-28T10:27:00.001+07:002010-11-28T10:29:54.967+07:00Jejak Utang di KonsevasiOleh: Khalisah Khalid <br /><br />Politik Utang<br />Debt for Nature Swap (DNS) yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dengan melibatkan salah satunya lembaga konservasi intrernasional sebagai partner swapnya terus bergulir, ditengah kritik publik yang keras terhadap utang luar negeri. Tidak kurang dari 21,6 juta US dollar utang Indonesia kepada Amerika Serikat yang dikonversi untuk membiayai program konservasi di 3 (tiga) kawasan hutan di Sumatera. <br /><span class="full post"><br /><br />Dalam konteks utang luar negeri, mekanisme DNS merupakan sebuah skenario dari kreditor untuk “memaksa” negara pengutang tetap membayar utang mereka, karena mereka takut apabila negara pengutang gagal membayar utangnya. Skema ini merupakan sebuah cara untuk mengurangi utang luar negeri yang dipilih sebagai skema yang dianggap paling aman bagi negara pemberi utang dalam hal ini Amerika Serikat. Kepentingannya jelas, Indonesia terus membayar utangnya kepada USA, dengan memberikan fasilitas kemudahan. <br /><br />Hal lain yang mesti dikritisi adalah syarat-syarat yang menyertai mekanisme swap tersebut. Selama ini setiap upaya mengkonversi utang luar negeri tidak disertai dengan menyebutkan syarat-syaratnya secara transparan kepada publik. Dalam konteks DNS, sejauhmana transparansi syarat-syarat tersebut diketahui oleh public, khususnya bagi masyarakat yang ditetapkan kawasannya sebagai wilayah penerapan konservasi di Sumatera yang dibiayai dari DNS. <br /><br />Politik Konservasi<br />Dari pengalaman praktek-praktek kebijakan perluasan konservasi tersebut yang berlangsung sampai saat ini, konservasi diperuntukkan bagi kepentingan investasi baik melalui bisnis dengan menjual taman nasional atau mengalihkannya menjadi industri tambang dengan atas nama lingkungan dan berlindung dibalik kedok konservasi. <br /><br />DNS tidak lebih merupakan sebuah alat untuk melahirkan multy effect player dalam bidang ekonomi, yakni pengusaaan kekayaan alam. DNS sebagai “pembuka jalan” menuju pengerukan sumber daya alam, khususnya pertambangan karena disanalah letak cadangan mineral dan gas. Paling tidak itulah yang terekam dalam jejak sejarah penetapan kawasan lindung oleh kolonial Belanda sebagai kawasan cadangan minyak dan gas. <br />Yang mesti diingat, masalah pokok konservasi dan lingkungan hidup di Indonesia bukan terletak pada pembiayaannya, melainkan pada kebijakan pengelolaannya. Selama ini praktek konservasi justru menjauhkan akses dan kontrol rakyat dari ruang hidupnya. <br /><br />Ecological Debt<br />Mekanisme konversi utang luar negeri untuk lingkungan hidup, justru tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan restorasi lingkungan hidup, dalam hal ini manajemen pengelolaan kekayaan alam yang demokratis dan menempatkan masyarakat, paling tidak itulah pengalaman dari berbagai negara seperti Filipna, Kosta Rika, Guatemala dan hasil seminar yang dilaksanakan oleh Brasilian Institute for Economic dan Social Analysis pada tahun 1991. Lalu apa solusinya, pasti itulah yang menjadi pertanyaan yang selalu muncul ketika bicara soal pembiayaan pemulihan lingkungan. <br /><br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sejak tahun 2001 telah mengkampenyekan tuntutan pembayaran utang ekologi oleh negara-negara kreditor, sebagai sebuah tawaran alternative untuk merespon DNS. Selama ini kita mengetahui bahwa aliran dana utang dalam sejarahnya telah digunakan untuk membiayai industry ekstraktif negara industry seperti tambang yang telah mengeruk habis kekayaan alam dan menyisakan kerusakan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. <br /><br />Dalam kondisi seperti ini, pemerintah Indonesia harusnya berposisi menuntut pembayaran utang ekologi terhadap negara-negara maju dengan pilihan penghapusan utang luar negeri dan tidak lagi mengambil utang luar negeri sebagai pilihan membiayai pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara lainnya, dan hal ini telah dilakukan oleh Bolivia dalam setiap perundingan dunia menangani perubahan iklim. <br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-36420677099119614972010-11-11T11:55:00.003+07:002010-11-11T12:01:21.390+07:00Perempuan, Tambang dan Negara yang AbaiPerempuan, Tambang dan Negara yang Abai<br />Oleh: Khalisah Khalid<br /><br />Industri Maskulin<br />Industry tambang terus mengeruk isi bumi tiada henti, dibarengi dengan terus menerus berbagai krisis yang mengikutinya. Marjinalisasi fungsi alam dan ekosistem bagi kehidupan bersama, mengorbankan kepentingan kehidupan perempuan, penggunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan system yang meminggirkan perempuan, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, dan kerap kali menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam. Inilah praktek industry patriarkis yang kini diwakili oleh berbagai industry ekstraktif, tambang salah satunya. <br /><span class="fullpost"> <br /><br />Galuh Wandita menyebut industry tambang sebagai bentuk industry yang maskulin dimana secara fisik dalam industry tambang menggunakan penetrasi alat berat untuk mengeruk isi bumi dan sifat pekerjaannya yang menggunakan dan sifat pekerjaannya yang membutuhkan teknologi canggih, ‘keperkasaan’, dan kekuatan penghancur yang kesemuanya bercirikan maskulin. Maskulinitas memang menjadi salah satu ciri yang melekat dalam pengelolaan sumber daya alam di berbagai belahan dunia, dengan menempatkan perempuan sebagai korban akibat dari praktek industry ekstraktif tersebut. <br /><br />Pengucilan dan Pengabaian<br />Hampir dapat dipastikan, rentang kekerasan yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang, dimulai sejak masuknya industry tambang di wilayahnya. Pada tahun 2002 Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) Kalimantan telah mencatat, bahwa Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan khususnya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan akibat dari beroperasinya industry tambang antara lain kekerasan berbasiskan seksualitas perempuan seperti pelecehan seksual, perkosaan dan kawin lelang yang dialami oleh perempuan yang hidup di lingkar tambang. Kesehatan reproduksi perempuan yang hidup di sekitar wilayah tambang juga terancam akibat tercemarnya sumber air dari limbah tambang.<br /><br />Fenomena munculnya lokalisasi prostitusi yang terjadi di hampir seluruh kawasan industry ekstraktif terutama tambang, memandang tubuh perempuan sebagai property yang bisa dijadikan komoditas untuk mengontrol mulai dari tatanan keluarga hingga komunitas yang hidup di lingkar tambang. Nampaknya industry tambang juga menyadari bahwa tubuh dan seksualitas perempuan dapat dijadikan sebagai alat atau menjadi sebuah medan pertarungan yang kritis untuk mendapatkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik mulai dari pekarangan rumah hingga level negara. <br /> <br /> <br />Pengabaian dan pengucilan terhadap pengetahuan perempuan dalam berupaya menyelamatkan sumber-sumber kehidupan mereka, yang berbasis berbasis pada pengalaman dan kekhasan perempuan itu sendiri, termasuk bagaimana pengetahuan Ilmu-ilmu pengobatan banyak dikuasai perempuan dan pengetahuan menyadap aren menjadi gula merah seperti yang dialami oleh perempuan yang tinggal di lingkar tambang di Kalimantan Timur. <br /><br />Setelah dijauhkan aksesnya, perempuan juga dibatasi kontrolnya terhadap sumber-sumber kehidupannya. Sehingga ketika bicara soal industry tambang, urusannya direduksi seolah-olah hanya terkait dengan pembebasan lahan, kompensasi dan ganti rugi, padahal di ruang itulah perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap tanahnya. <br /><br />Yang memprihatinkan tentu saja ketika perempuan kehilangan wilayah kelolanya dengan bertani, berkebun, membuat arang dan dan membuat gula merah, sehingga banyak perempuan yang tergantung hidupnya dari laki-laki baik suami, ayah, maupun anak laki-laki. Seperti yang disampaikan oleh seorang ibu yang tinggal di Kutai Timur “perempuan tidak bisa makan kalau laki-laki tidak pergi bekerja senso kayu atau kerja lain yang dapat uang, karena semua sekarang harus dibeli, sungguh susah hidup sekarang.”<br /><br />Dimana Negara?<br />Salah satu program Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan dan pemenuhan hak anak melalui evaluasi pelaksanaan kebijakan peningkatan kualitas hidup perempuan.<br /><br />Didalam Konstitusi, jelas disebutkan berbagai hak warga negara untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupannya dan pengurus negara berkewajiban untuk menjalankan mandat Konstitusinya. Sayangnya, apa yang tertera dalam Konstitusi tidak dijadikan sebagai landasan atau referensi untuk memenuhi kewajibannya. Hendri Saparani menyebutkan apa yang dilakukan oleh negara saat ini merupakan sebuah proses mengaburkan jalan untuk memenuhi kewajiban Konstitusinya, dan terus mereduksi peran-perannya melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya. <br /><br />Negara terus membiarkan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam, yang masuk melalui rantai yang bernama pelanggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan terhadap perempuan berbasis jender dalam sebuah relasi personal, dalam komunitas dan dalam lingkup negara yang terkait dengan agresi pasar dan alir kapital yang berdasarkan pada produksi kotor, ketamakan dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.<br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-64944266661114252312010-10-16T18:38:00.002+07:002010-10-16T18:52:24.965+07:00“Negara Telah gagal dalam Memenuhi, Melindungi dan Menghormati Hak Pangan Perempuan”Pernyataan sikap Solidaritas Perempuan<br /><br />Pada Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2010<br /><br /><br />Sejak dicanangkan konsep ketahanan pangan 14 tahun yang lalu dalam Resolusi Badan Pangan PBB tahun 1996 pada World Food Summit, ternyata kelaparan masih tetap mengancam warga dunia, termasuk Indonesia. Konsep pemenuhan pangan yang lebih diserahkan pada mekanisme pasar justru menambah angka kelaparan dunia yang pada tahun 2010 ini mencapai 925 juta, disbanding tahun 1996 yang hanya 850 juta jiwa. Sementara di Indonesia sendiri pada tahun 2010 ini angka kelaparan masih cukup tinggi yaitu 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007) dan 23,2 jiwa di pedesaan masih hidup di bawah standar kemiskinan (FAO). Data ini dikuatkan dengan berbagai berita tentang kasus kelaparan, kurang gizi dan gizi buruk yang secara sporadis masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dari Aceh, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jatim, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat. Fakta ini jelas merupakan indikasi nyata dari kegagalan negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi hak pangan rakyat.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Fenomena yang lebih memprihatinkan adalah bawah korban kelaparan yang paling rentan dan meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan yang masih diskriminatif dan belum mengacu pada Convention on Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW). Situasi ini diperparah dengan kulture masyarakat patriarkhi masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai pelayan keluarga yang lebih mendahulukan angggota keluarganya dalam konsumsi. Hal ini sungguh ironis sementara perempuan adalah yang mengandung dan melahirkan generasi justru paling akhir dalam mendapatkan kecukupan gizi.<br /><br />UU Pangan NO.7 tahun 1996 ternyata belum mampu memberi jaminan dalam pemenuhan pangan rakyat. Dalam undang-undang ini belum ada ketegasan tentang tanggung jawab negara dalam memenuhi (fulfill), melindungi (protect), dan menghormati (respect) hak pangan rakyatnya. Akibatnya indikator pemenuhan pangan seperti ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), penerimaan(acceptibility) dan mutu(quality) masih jauh dari harapan bagi masyarakat yang hidup dibawah kemiskinan.<br /><br />Solusi yang diambil pemerintah dalam mengatasi kasus-kasus kelaparan atau kelangkaan pangan hanya bersifat sementara bahkan berpotensi menambah persoalan baru, seperti impor beras dan program raskin. Pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dan tidak berusaha memperbaiki sistem secara mendasar seperti mekanisme distribusi dan produksi pangan yang secara menyeluruh akan mempebaiki ketersediaan, keterjangkauan, kesesuaian pangan lokal setempat, dan kualitas pangan rakyat. Sebaliknya, kebijakan pasar bebas yang disepakati lewat WTO dan FTA juga telah menguras sumber pangan rakyat dengan berbagai kegiatan perdagangan seperti ekspor hasil laut dan perkebunan. Sungguh tidak masuk akal sementara banyak rakyat yang menderita gizi buruk dan kurang gizi justru mengeskpor pangan berkualitas yang sangat dibutuhkan oleh rakyat sendiri.<br /><br />Selain itu, perubahan iklim juga menambah ancaman pengurangan ketersediaan pangan baik langusng maupun tidak langsung. Iklim yang tidak menentu seperti curah hujan berlebihan atau sebaliknya kekeringan dan munculnya hama mengncam stok pangan. Ironisnya, anggaran pemerintah terkait dana ikli lebih terkonsentrasi pada dana mitigasi, bukannya adaptasi terhadap dampak iklim. Lebih para lagi, kebijakan iklim dalam program mitigasi juga berpotensi mengancam alat-alat produksi pangan seperti konversi lahan dari pertanian dan hutan produksi menjadi perkebuna n industris seperti sawit, tebu, jagung, dan jarak.<br /><br />Fakta lain yang terjadi di negara ini adalah ’ketidakberdayaan’ pemerintah dalam mengontrol harga pangan pokok rakyatnya yang sangat ditentukan oleh pasar. Kenaikan harga pangan yang sering terjadi ini tidak akan berpengaruh bagi masyarakat kelas atas, tetapi sangat berdampak bagi rakyat miskin. Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang memberi sangsi tegas dan serius bagi piha-pihak yang telah meresahkan rakyat banyak dengan mencari keutungan pribadi. Lebih memprihatinkan kenaikan harga pangan ini, selain merugikan masyarakat banyak sebagai konsumen, sama sekali juga tidak dinikmati oleh petani sebagai produsen pangan. Ini juga merupakan bentuk kegagalan negara dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak pangan rakyat.<br /><br />Untuk itu, melihat berbagai akar persoalan pangan di berbagai wilayah seperti di Palembang, Jateng, Jatim, NTT, NTB, dan Sulawesi, maka yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah bagaimana rakyat bisa mengakses sumber-sumber produksi seperti tanah dan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, kredit) sehingga mampu memproduksi pangannya sendiri. Memberikan rakyat alat-alat produksi akan memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk memproduksi pangannya sendiri sesuai dengan sosial budaya dan memutus rantai ketergantungan pada pangan impor. Seharusnya bangsa ini malu mengaku sebagai bangsa agraris bila rakyatnya yang bermata pencaharian sebagai petani sebagai produsen petani justru menerima beras miskin yang berasal dari beras impor!<br /><br />Melihat situasi dan kondisi di atas, amka pada Hari Pangan Sedunia ini, Solidaritas Perempuan menyerukan dan mendesak kepada negara untuk:<br /><br />1. Segera melaksanakan pembaharuan agraria yang melibatkan dan memberi akses perempuan dalam pelaksanaanya.<br /><br />2. Segera merevisi UU Pangan No. 7 tahun 1996 baik segara ideologis, dasar filosofis, maupun materi untuk lebih meneka nkan tanggung jawab negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak pangan rakyat<br /><br />3. Segera menghentikan program bantuan beras miskin dan menghentikan ketergantunga pada pangan impor, serta lebih memberdayakan petani dengan memberikan akses alat-alat produksi sehingga merka bisa berdaulat atas pangnnya sendiri<br /><br />4. Menata ulang kembali kebijakan pangan secara keseluruhan, seperti sistem distribusi pangan dan kebijakan pasar bebas untuk melindungi produk pangan dalam negeri.<br /><br /><br /><br />Jakarta, 16 Oktober 2010<br /><br /><br />Sekretariat Nasional<br /><br />Jl. Siaga II No.36 Pejaten Barat – Pasar Minggu<br /><br />Jakarta Selatan<br /><br />Email : soliper@centrin.net.id, Telp: 021-7918308. Fax: 021-79831479 <br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-49850430240852665172010-10-08T10:38:00.005+07:002010-10-11T10:58:48.534+07:00Politik BanjirPolitik Banjir<br />Oleh: Khalisah Khalid <br /><br />Pembelokan Kepentingan<br />Menarik, apa yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla bahwa banjir merupakan imbas dari kerusakan lingkungan. Kalla juga mengatakan, tata kota di Jakarta dan sekitarnya harus dibenahi. ”Pembenahan kawasan hijau wajib segera dilakukan untuk penyerapan air. Sungai-sungai harus diperlebar, dikeruk, dilestarikan.” (Kompas, 15 Februari 2010).<br /><br />Saya setuju, salah satu penyelesaian banjir adalah dengan pembenahan tata kelola kota yang saat ini sudah amburadul. Tapi yang menjadi kekhawatiran berikutnya adalah ketika solusi ini ditelan mentah-mentah oleh pemerintah tanpa pernah melihat akar persoalan secara kebih struktural. Yang terjadi adalah persis paska banjir tahun 2007, pembenahan kota dilakukan secara besar-besaran. Penggusuran marak terjadi dimana-mana, dan yang disasar adalah permukiman warga miskin dengan mengatasnamakan pembangunan kawasan hijau dan pengendalian banjir. <br /><br />Inilah yang mesti dilihat secara lebih jauh, bahwa melihat persoalan lingkungan tidak bisa hanya dari aspek teknis lingkungan. pendekatan ekologi politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam (Blaikie and Brookfield, 1987). Bahkan selain menggunakan analisis structural, ekologi politik kontemporer juga menggunakan keterkaitan antara pengetahuan, kekuasaan, dan wacana.<br /><br />Ruang terbuka hijau (RTH), memang menjadi kebutuhan mendesak bagi kota Jakarta yang memiliki laju kerusakan lingkungan hidup begitu tinggi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dalam study cepat yang dilakukan dengan wawancara terhadap 1000 orang warga krisis di Jakarta, mendapatkan hasil bahwa kualitas hidup di Jakarta memang semakin buruk. Tingkat polusi udara yang begitu tinggi, persoalan sampah dan banjir yang setiap tahunnya mendatangi kawasan padat huni ini. <br />Jakarta dan kota-kota besar lainnya juga mengalami fragmentasi ruang publik yang begitu besar, akibat konversi untuk kepentingan kawasan komersil, ruang interaksi sosial warga Jakarta, yang sekaligus memiliki fungsi ekologis, telah beralih menjadi pusat perbelanjaan yang kemudian didefinisikan sebagai ruang publik. <br /><br />Nampaknya, ini bukan lagi persoalan perbedaan interpretasi. Ini sudah menyangkut persoalan perbedaan kepentingan, dan pemerintah dalam hal ini lagi-lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan warga miskin, sehingga kepentingan warga miskin dapat dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yakni kepentingan modal. <br /><br />Wacana tentang lingkungan hidup kini diadopsi oleh pemegang kekuasaan dan pasar, dengan bungkusan modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism), tujuannya jerlas yakni untuk kepentingan politik dan pasar, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik. <br /><br />Bahkan dengan mengusung pendekatan Green Developmentalism, isu lingkungan kemudian bergeser menjadi komoditas baru diantaranya bisnis perumahan yang kini semakin marak diiklankan lewat media massa. Sebagai komoditas ekonomi, sasarannya juga jelas yakni kelas menengah keatas yang tingkat konsumsinya melampaui daya dukung lingkungan. Bukan dalam rangka memenuhi hak atas lingkungan yang hidup dan sehat sebagaimana yang diamanahkan dalam Konstitusi yang menjadi hak semua warga negara.<br /><br />Mengelola Kota <br />Kepentingan ekonomi memang jauh mendominasi kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan isu keberlanjutan kehidupan bagi rakyat dan lingkungan. Perebutan kue pembangunan, selalu dimenangkan oleh pasar dan industri yang menguasai tata konsumsi dan tata produksi masyarakat. Penegakan hukum untuk mengimplementasikan peruntukan perencanaan ata ruang wilayah sebagai ruang terbuka hijau, hanya berlaku untuk warga miskin, tidak berlaku untuk investasi. <br /><br />Karenanya, pengurus negara harus merubah solusi dalam menangani problem perkotaan, dan hal pertama yang mesti dilakukan adalah bagaimana merubah kebijakan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang dipilih. Persoalannya bukan pada seberapa tinggi populasi penduduk di kota-kota besar, tapi seberapa jauh distribusi lahan dan tingkat konsumsi masyarakat dapat dikelola secara adil dan berkelanjutan. <br /><br />Pengelolaan tata kota tidak hanya dengan melihat aspek teknisnya semata, meskipun itu memang lebih menarik karena putaran uang untuk proyek akan sangat besar. Terlebih, dalam kurun waktu 10-15 tahun kedepan, kota akan menjadi tempat pengungsian terakhir ketika desa tidak lagi dinilai bisa memberikan jaminan atas kesejahteraan dan produktifitasnya, sementara kota memiliki daya dukung ruang yang terbatas. Artinya, yang dibutuhkan adalah kebijakan pengelolaan kota dan tata ruang yang berkeadilan, baik untuk lingkungan maupun keberlanjutan kehidupan rakyat, terutama kelompok rentan seperti miskin kota.<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-7184268393139091622010-05-22T19:41:00.002+07:002010-05-22T19:46:40.584+07:00cintaku mati muda<br />asaku mati muda<br />nuraniku mati muda<br />entah .............<br />apakah masih ada<br />waktu untuk sebuah<br />cita reformasi<br />yang kematiannya<br />menghentakkan keyakinan kita<br />karena<br />tak seharusnya<br />dia mati muda juga<br /><br />(lie 0403)<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-15115845529623710142010-05-08T11:54:00.000+07:002010-05-08T11:55:40.456+07:00Marsinah - Puisi Linda ChristantyAku tidak tahu bagaimana menari dan memainkan gitar dengan benar<br />Jari-jariku ini terasa kasar karena bekerja<br />Dan lagu yang kudengar adalah perintah dan bising mesin setiap hari<br />Tak bisa mengiringi aku menari<br /><br />Aku tidak sendirian tapi kami tak boleh bicara<br />Tentang upah yang rendah, kontrakan yang pengap<br />Dan mengapa kami tak pernah bisa membeli<br />Baju atau sepatu yang kami buat sendiri<br /><br />Kami tak boleh menjadi teman<br />meski bersama-sama setiap hari<br />Suatu hari kami mulai bicara dan berteman<br />Dan aku benar-benar tidak sendirian<br /><br />Kami menamai hari baru yang tak ada dalam kalender: pemogokan<br />Hari itu juga beberapa temanku tak pulang kerumah,<br />Orang-orang berseragam membawa mereka pergi<br />Aku mencari mereka dan akhirnya tak pernah pulang<br /><br />Tapi jangan mengenang hari ini dengan sedih<br />Nyanyikan lagu gembira berirama cepat<br />Dan mengajak semua orang menari<br />Biar keringat kita yang menetes hari ini<br />Terbit dari rasa kebebasan<br />Karena keringat kita setiap hari mengalir dipabrik-pabrik<br />Dalam perintah dan bising mesin<br /><br />jakarta, 6 mei 2010<br />diminta dengan sangat cepat oleh Wilson dan John Tobing<br /><br /><br />sumber : indoprogress.blogspot.com<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-67043710380316447492010-05-07T11:09:00.001+07:002010-05-07T11:12:06.367+07:00Partai Hijau, Terobosan Pembaruan Politik (usang) Indonesiaoleh: Andreas Iswinarto<br /><br />Partai Hijau? Terobosan politik di tengah politik kebangsaan Indonesia yang makin usang, bebal dan busuk? Demokrasi tanpa Demos, Politik Representatif tanpa Representasi.<br /><br />Anda tentunya tahu perkakas bernama pengungkit. Perkakas kecil, sederhana dan cerdas. Dengan mendayagunakan energi yang kecil tapi mampu mengungkit benda yang berat. Saya berpikir Partai Hijau dapat dianalogikan dengan perkakas ini. Atau menjadi ‘tipping point’ (meminjam Malcom Gladwell) pembaruan politik kita. Atau ‘the turning point” (titik balik peradaban) meminjam Fritjof Capra.<br /><br />Small is Beautiful, Small is Powerful.<br /><br />Apa pandangan dan komentar anda? Menurut anda bagaimana menjadikan itu mungkin? Lebih jauh lagi apa yang bisa kita lakukan bersama untuk menjadikan itu mungkin?<br />(silah menuliskan gagasan cemerlang anda di kolom komenter dibawah artikel ini atau bisa juga ke email kerja.pembebasan[ad] gmail.com)<br /><br />Akhir kata tidakkah inspiratif bagian penutup global green charter (piagam kaum hijau sedunia) “greens will support each other personally and politically with friendship, optimism anda good humour and not foget to enjoy ourselves in the process!”<br /><br />selengkapnya di http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2010/05/partai-hijau-terobosan-pembaruan.html<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-633416171486792192010-04-18T09:51:00.001+07:002010-04-18T09:53:37.764+07:00beli ikan di pasar Jum’at<br />Mancing dulu di pinggir kali<br />aye ame rombongan datang dengan segala hormat<br />mohon diterime dengan seneng hati<br /><br />Rombongan calon mempelai laki-laki akan dicegat di depan pekarangan rumah, “eh, bang. Jangan asal nyelonong dong, main masuk-masuk aje ente nggak pake permisi”. “emang ada syaratnye bang”, dijawab “eh, ente boleh masuk kalau udah penuhi syarat-syaratnye”.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Berbalas pantun seperti penggalan pantun di atas, merupakan satu syarat pembuka yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki dan keluarganya sebelum diterima masuk ke dalam pekarangan rumah, selain 2 (dua) syarat lainnya yang tidak kalah beratnya.<br /><br />Syarat berikutnya adalah saling “adu pukul” alias main silat, yang menang baru boleh masuk. Sudah bisa ditebak, pastinya jagoan dari pihak laki-laki yang menang. Sepukul dua pukul, jagoan dari pihak laki-laki dan perempuan menunjukkan kebolehannya bermain silat.<br /><br />Eit, biarpun sudah menang jagoan calon mempelai laki main silatnya. Palang pintu belum bisa dibuka sebelum syarat terakhir dipenuhi yakni baca syair Sike yang berbahasa arab yang berisi pujian dan doa-doa agar kedua mempelai bisa bahagia. Nah, setelah semua dipenuhi, barulah calon mempelai laki-laki bersama rombongan dipersilahkan masuk.<br /><br />Buka palang pintu merupakan prosesi yang satu sama lain seperti menjadi jalan cerita (alur) sebuah peristiwa, dan dari proses kawinan orang Betawi ini kita bisa melihat berbagai budaya menjadi satu kesatuan yang indah. Mulai dari arakan-arakan calon pengantin dengan iringan hadrah dan marawis yang jika boleh dibilang berasal dari budaya arab, mercon alias petasan yang konon merupakan kebudayaan Cina dimana saban acara-acara besar di Betawi tidak pernah ketinggalan. Sampai berbalas pantun dan silat yang banyak ditemui pada kebudayaan Melayu.<br /><br />Rasanya belum cukup afdol, jika prosesi buka palang pintu ini tidak dilengkapi dengan aneka makanan dan minuman betawi seperti asinan betawi, kue selendang mayan dan bir pletok. Kue selendang mayang dan bir pletok merupakan jenis makanan dan minuman yang sudah jarang ditemui, dan menariknya keduanya memiliki sejarah namanya masing-masing. Konon keduanya juga punya rasa yang enak, hmmmm yummy (hanya bisa membayangkan) karena saya juga tidak bisa mencicipinya. Kami berdua masih harus duduk manis di pelaminan yang berbentuk teras rumah adat Betawi. Teman-teman kami yang kebetulan berasal dari luar Jakarta menyebut ini rumahnya si Doel, mungkin karena mereka penggemar si Doel Anak Sekolahan. Hehehe….<br /><br />Arakan bersama sepasang roti buaya dibawah pohon kembang kelapa yang bertabur duit recehan, berbalas pantun, berpencak silat, membaca sike menjadi satu cerita yang menarik dan sangat berbekas dalam perjalanan kehidupan kami berdua. Dibumbui sedikit cerita kumpeni di sela-sela waktunya. Semula mau dicut, tapi untuk apa juga menipu sejarah bahwa kumpeni sedikit banyak juga mempengaruhi peristiwa atau kehidupan orang Betawi, pun juga budayanya. Misalnya di waktu-waktu yang lalu, pengatin juga ada sessi menggunakan pakaian bergaya eropa. Juga bir pletok sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang Belanda atau orang Betawi menyebutnya dengan kumpeni.<br /><br />18 April 2010, satu tahun usia perkawinan yang telah terlalui, melihat kembali rekaman proses perkawinan kami (karena waktu itu saya yang menjadi “tuan putrinya”), saya seperti sedang menyaksikan sebuah percampuran berbagai budaya yang mengalir dan hidup bersama di sebuah entitas yang bernama Betawi. Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di Betawi, sungguh saya mensyukuri dilahirkan dari sebuah perpaduan kebudayaan yang sangat kaya. Disini saya mengamini apa yang dituliskan oleh Lance Castle dalam Melting Pot, di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia.<br /><br />Aaaaah, akhirnya satu pintu telah kami buka dan lalui bahkan dengan dua perpaduan budaya Betawi dan Banjar. Semoga kami masih bisa terus melangkah bersama, karena kami meyakini cinta dapat membebaskan.<br /><br />(kk, 18 april 2010)<br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-2694161521495805152010-04-15T21:51:00.001+07:002010-04-15T21:53:42.247+07:00Kekerasan, Wajah Pengurus Negara dalam Politik RuangKasus yang terjadi di Koja Tanjung Priok Jakarta Utara (Rabu, 14 April 2010), merupakan satu dari sekian banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia dengan berbagai politik kepentingannya. Sebelum peristiwa yang terjadi di Priok, berbagai kasus penggusuran dengan menggunakan kekerasan kerap terjadi di berbagai kota di Indonesia, dan korbannya kebanyakan adalah orang-orang miskin yang selama ini tidak memiliki akses dan control terhadap ruang hidupnya (ruang ekonomi, ruang social maupun ruang budaya) masyarakat dengan mengatasnamakan penataan ruang.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Politik tata ruang di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta sarat dengan pertarungan kepentingan. Selama ini penataan ruang di Indonesia didominasi oleh kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan rakyat lainnya, apalagi kalau bukan kepentingan yang memiliki kekuatan baik secara ekonomi yang diwakili oleh pemilik modal maupun kekuatan politik yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah melalui alat-alat kekuasannya seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Belakangan di banyak tempat dalam kasus penertiban dan penggusuran permukiman dan tempat mencari makan warga miskin, Satpol PP menjadi aktor utama dan menampilkan watak dan prilaku yang bercorak militeristik.<br /><br />Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup warga negaranya, orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan.<br /><br />Kekerasan dan premanisme bahkan tidak dibenarkan dengan alasan apapun, karena ketika kekerasan digunakan sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan kota, maka jarak antara pengurus negara dan rakyat yang mengalami krisis akan semakin jauh, bahkan berada di ruang yang saling berbeda.<br /><br />Melihat Fakta-Fakta tersebut, Sarekat Hijau Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:<br /><br /> 1. Negara menghentikan praktek-praktek kekerasan dan tindakan diskriminatif dalam politik penataan ruangnya<br /> 2. Menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara atas ruang hidupnya secara ekonomi, politik, social dan budaya yang mengedepankan demokrasi dan hak asasi manusia<br /> 3. Membubarkan Satuan Polisi Pamong Praja yang selama ini selama ini hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan pemilik modal<br /><br />Contact person:<br /><br /> 1. Koesnadi Wirasapoetra (Sekretaris Jendral) : 081288044608<br /> 2. Khalisah Khalid (Biro Politik & Ekonomi): 0813 111 87498<br /><br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-79379147845198992282010-03-22T09:46:00.003+07:002010-03-22T13:12:47.176+07:00Karya Luar Biasa Bengkel Menulis 13.13Buatku, pagi ini sungguh indah. bumi bermandikan hujan, setelah panas lama "menyetubuhinya". Aku memilih duduk disamping jendela kamar, sembari membuka kembali kumpulan file-file yang bersemayam lama di lemari otakku. Mengingat lagi, bahwa ada teman-temanku yang lama tak kusinggahi dan aku pernah menautkan janji untuk kembali menemui mereka di bengkel menulis yang pernah kami ciptakan bersama. <br /><br />Sungguh, buatku itu janji yang hendak kurajut bersama dengan teman-teman muda belia, yang telah memahatkan karya luar biasa lewat goresan tangannya. Ijinkan aku kembali menuangkan maha karya Dwi dalam Gadis Itu Amira, Mita dalam Arti Sebuah Tangisan Firsa dan dan Eka dalam Sampaikanlah Walau Satu Ayat. Karya ketiganya, sungguh menjadi inspirasi buatku.<div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-32399579.post-8112125960831841252010-03-22T09:40:00.002+07:002010-03-22T09:46:22.702+07:00Sampaikanlah Walau Satu AyatOleh: Eka<br />Siswi SMK TI Airlangga-Samarinda<br /><br /><br />Berawal dari memperbaiki sebuah computer dirumah seorang sahabat …..<br />Hari itu melelahkan memank apalagi ne kan bulan pwsa Puaaanassnya Bisa dibayangkan ,tapi bingun mw gman lagi ne computer kok gak baik2 yeah …..<br /><span class="fullpost"><br />Huft …..pusink aq ….<br /> Siti : duch nur qw pusink nah dari tadi kok tetep kagak bisa baik yea ne computer padahal dah dibongkar berapa kali juga ….<br /> Nur ; ough ….gitu yeah , yea dah qt break dulu smbil siap2 menunggu waktu buka . . .( dengan nada sedikit kecewa )<br /> Siti : wah …qw lum smpat minta jemput neah …gmna dunk qw bka pWsa disini yah Sob ( sambil merangkul pundak Nur )<br /> Nur : ia dech ….boleh ..<br />Saat itu memank siti & nur sedang menjalani ibadah pwsa …..namun siti sedikit bingun neah saat siti sholat ashar tadi …..hemmm ??? alaaaaahhh …ntar zadech saya certain qt liat lanjutannya dulu ….<br /> Nur : ti …bwa makannya ke mja makan sana ,qw mw bwt minum dulu …<br /> Siti : ia ….ia , ..<br /> Nur : nah dah siap ….<br />Suara bedug pun terdengar dari sebuah stasiun televise sawsta ….<br /> Siti : nah dah buka ,gmn kalau qw yang pimpin doa …<br /> Nur : terserah muw ti ….<br />Siti pun memulai berbuka …mereka menyantap dengan lahapnya …Nyam …Nyam …<br />Mungkin begitu bunyinya ….heheheh<br /> Siti : Nur makanya jagn terlalu banyak ntar kmu kekenyangan & susah sholat magrib loch ….(heran)<br /> Nur : Aaalah …egp pentink qw kenyang …(sambil melanjutkan makan )<br />Siti hanya geleng” kepala ….sesaat kemudian mereka telah selesai berbuka ….siti dan nur pun mulai beres-beres ….<br /> Siti …Sholat berjamaah dulu yuks ….cuci piringnya ntar za …<br /> Nur : kmu duluan za deach….tanggung neah ..<br /> Siti : yea udah qw duluan za ..<br />Setelah selesai sholat siti langsung ngabur kedapur untuk ngantiin nur cucian …<br />Siti : Udah sini qw za yang cucian gentian sekarang kamu yang sholat (sambil memegang piring kotor yang dicuci nur )<br />Nur : males ach …mw cucian za …<br />Siti : loch kok gitu …tadi kan dah pwsa sekarang wajib ntuk sholat ….kan sma2 wajibnya ….<br />Nur : Ti ..biar 1000 orang nyuruh qw sholat tapi kalau qw gag mw yea gag mw …<br />Qw mw yadar ntar klo dah dpet hidayah ..(sambil menjelasakan panjang lebar)<br />Siti : heh …yah sekarang neah hidayanya dah datang …hidayah tuch datangnya dari mana za …makanya qw yg ngingetin kamu biar sholat ….hemm pantas za tadi gag sholat ashar ….<br />Nur : Ti …qw tuch bnr2 malas jadi mw gmn lgi ….<br />Siti :hehmm ….jadi kalau di tempat kerja gmana temen2 kamu pa gag ngingetin …pa???<br />Nur : kalau di tempat kerja kan sholatnya sama-sama ….jadi ngikut za …<br />Siti : astagfirullah ,jadi selam ini sholatnya cma ikut-ikutan za …kalau sendirian dirumah gimana ….kamu sholat dimasjid …???<br />Nur : gag jg …<br />Siti : ya Ampun ….yea dah dech qw cma mau ngingetin za …semoga lain kali kamu bisa dapat hidayah yang pamungkas ….<br />Nur : amien dech …kamu tungguin za qw imsyak …Aaalaah isyaf jeng …<br />Siti : is ..is …ya dah qt siap-siap sholat tarawih dulu yok …di masjid kan rame tuch jadi kamu bisa ikut …<br />Nur : ustad mudanya ada gag kalau ada baru ku ikut ..lagiankan sunah jga …<br />Siti : hiiiih (kesal),banyak semuanya ada dari ustad dadakan mpe ustad beneran …semuanya ada bu …<br />Nur : key dech qw ikutan …biar kmuw gag marah ..<br />Siti : yea dah ayo …v biz ntu antr qw pulang yeah …<br />Nur : lah …trus computer ku gmn ??? <br />Siti : qt bawa ke service za ya bu …qw malas baikin …hehehehe<br />Nur : huh , dasar (sambil nunjul kepala siti )<br />Mereka pun bergegas sholat tarawih di masjid ….yah walau nur tetap gag mw sholat magrib v dah mw sholat tarawih ,semoga za permualan yang baik ….nah kalau kita punya temen model ginian …qt kudu ngingetin sobat ….kan Sampaikanlah walau satu ayat ….<br /></span><div class="blogger-post-footer"><br />-----<br />
kunjungi: http://sangperempuan.blogspot.com</div>khalisah khalidhttp://www.blogger.com/profile/06588908078801963117noreply@blogger.com0