Jum’at dini hari tiba-tiba saya dikejutkan kabar dari seorang kawan wartawan, TPA. Bantar Gebang longsor. Sedikitnya 3 orang tewas dan seorang diantaranya ibu hamil, serta beberapa orang lainnya dirawat di rumah sakit. Seketika ingatan saya menerawang pada peristiwa Leuwigajah Bandung-Jawa Barat yang terjadi beberapa waktu lalu, yang menewaskan ratusan orang. Akhirnya, bencana itu terjadi lagi disini. Meskipun dengan jumlah korban yang lebih sedikit, tapi bukankah nyawa satu orang, sama artinya dengan nyawa ratusan orang. Sudah dapat ditebak jalan cerita dari peristiwa longsornya TPA Bantar Gebang, Pemerintah yang cuci tangan, dan pihak swasta dalam hal ini PT. Patriot Bangkit Bekasi (PT.PBB) yang sibuk membela diri, dan pihak Kepolisian yang tidak bisa menangkap dan mengadili pihak pemerintah baik Pemprov. DKI Jakarta maupun Pemerintah Kota Bekasi, dan PT. PBB yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan dari system pembuangan sampah sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Meskipun terasa pahit untuk diucapkan, entah kenapa saya begitu yakin bahwa peristiwa bencana yang betul-betul diakibatkan oleh kesalahan manusia ini akan terjadi lagi, dan perkiraaan kuat saya akan terjadi di Jakarta. Dugaan ini bukan sekedar ramalan atau feeling saja, karena saya bukan seorang peramal yang bisa menebak rentetan peristiwa bencana yang akan terjadi. Bacaan saya merupakan prediksi lingkungan hidup dari aktifitas keseharian yang saya jalani. Prediksi daerah-daerah rawan bencana yang disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, sebenarnya menyangkut bencana ekologis yakni sebuah bencana yang diakibatkan oleh murni kesalahan manusia didalamnya. Bencana longsor di TPA Bantar Gebang sama dengan bencana longsor yang terjadi di TPA Leuwigajah, dimana bencana ini terjadi akibat dari kelalaian pemerintah yang hingga hari ini tidak memiliki manajemen pengelolaan sampah yang baik. Rakyat miskin seperti pemulung yang seharusnya dilindungi hak asasinya oleh Negara, justru menjadi korban dari buruknya pengelolaan sampah.
Negeri ini memang selalu memproduksi bencana, sayangnya bencana itu bukan bencana alam. Melainkan sebuah bencana yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena berbagai pengalaman seharusnya menjadi pembelajaran untuk pengurus negeri ini. Tapi nampaknya harapan seperti jauh api dari panggang, karena negeri ini memang tidak pernah becus mengurus persoalan rakyat. Longsornya TPA Bantar Gebang hanyalah salah satu dari rangkaian berbagai peristiwa bencana dari kesalahurusan pengelolaan lingkungan hidup.
Akibat Manajemen Sampah yang Buruk
Persoalan sampah bukanlah persoalan baru di DKI Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 6000 ton dihasilkan setiap harinya oleh ibukota provinsi ini, dan hampir sebagian besar dibuang di kawasan sanggahan Jakarta. TPA Bantar Gebang adalah salah satu kawasan yang selama 17 tahun dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah DKI Jakarta, sekitar 4000 ton sampah dibuang ke tempat ini. Sehingga seharusnya pemerintah sudah bisa memprediksi bahwa ini akan sangat berbahaya dan mengancam keselamatan rakyat yang hidup di area Bantar Gebang.
Zona III A yang longsor ini, ketinggian sampahnya sudah mencapai 20 Meter, yang artinya memang pengelolaan di zona ini menggunakan model open dumping, meskipun PT. Patriot Bangkit Bekasi (PT. PBB) sebagai pihak swasta yang ditunjuk oleh Pemerintah membantahnya, dengan mengatakan bahwa mereka menggunakan model sanitary landfill.
Hingga saat ini, pemerintah tidak memiliki model pengelolaan sampah yang baik. Paradigma membuang sampah, bukan hanya ada di masyarakat awam, paradigma ini justru masih bercokol dibenak pejabat pemerintah. Jika melihat dari master plan pengelolaan sampah sampai tahun 2015, kita dapat menilai bahwa paradigma pemerintah dalam mengelola sampah tidak berubah. Pemerintah sudah seharusnya mereduksi model pembuangan sampah, apalagi biasanya lahan yang digunakan sebagai TPA/TPST adalah lahan-lahan produktif masyarakat.
Pemerintah selalu bertumpu pada teknologi yang canggih, padahal teknologi saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan sampah. Karena bicara soal pengelolaan sampah, sebenarnya kita sedang bicara 85% soal gaya hidup masyarakat kota yang cenderung konsumtif. Pola konsumtif yang memang dirangsang oleh pertumbuhan pasar (kapitalisme), yang menempatkan konsumen hanya sebagai objek dari produk-produk yang dihasilkan. Tengoklah, apakah pihak produsen yang menghasilkan banyak sampah dan turut serta berkontribusi dalam menumpuknya sampah, telah ikut bertanggungjawab terhadap sampah kemasan produksinya??, jawabannya tidak ada.
Pemerintah sudah seharusnya tegas kepada pihak produsen yang tidak mempunyai system pengelolaan kemasan dari produk yang dihasilkan. Dipihak masayarakat sebagai konsumen juga harus membangun kekuatannya sebagai konsumen untuk menuntut dan mendesak pihak produsen bertanggungjawab terhadap emasan produknya. Bukankah konsumen ketika memilih produk (sabun, shampo dan lain-lain), sebenarnya sedang membeli isinya, bukan kemasannya. Sehingga kemasannya harus diserahkan kembali kepada pihak produsen, karena jumlahnya cuku signifikan untuk menghasilkan sampah di kota-kota besar.
Dibeberapa komunitas sebenarnya sudah mencoba untuk melakukan inisiatif pengelolaan sampah untuk membantu meringankan beban tugas pemerintah, misalnya dengan melakukan pemilahan sampah dari rumah tangga. Tapi tampaknya upaya masyarakat tersebut tidak cukup mendapat respon yang positif dari pihak pemerintah, misalnya petugas kebersihan yang system mengangkut sampahnya tetap dicampur, sehingga masyarakat beranggapan percuma. Selain itu juga system birokrasi pemerintah yang tidak bisa menjadi panutan untuk mengelola sampah dari kantornya masing-masing. Cobalah diperiksa, apakah kantor-kantor instansi pemerintah sudah mengelola gaya hidupnya untuk tidak boros memakai penggunaan kertas.
Menantikan Payung Hukum Pengelolaan Sampah
Meskipun korban jiwa yang ditimbulkan akibat buruknya pengelolaan sampah oleh Pemerintah telah berjatuhan, selain itu juga konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah yang menolak kawasannya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah atau tempat pengelolaan sampah, seperti peristiwa bentrokan yang terjadi ketika warga menolak TPST Bojong. Kita melihat bahwa Negara masih menganggap bahwa persoalan sampah bukan menjadi prioritas utama dari persoalan negeri ini. Mungkin persoalan sampah dianggap tidak politis, padahal pengelolaan sampah telah menjadi komoditas bisnis elit yang menghasilkan proyek-proyek yang tidak sedikit nilainya.selain itu, persoalan sampah juga telah menimbulkan konflik social yang besar di masyarakat dan juga telah mengakibatkan banyak nyawa rakyat miskin yang harus melayang tertimbun sampah.
Bukti dari ketidakseriusan Negara mengurus soal sampah adalah masih terkatung-katungnya rancangan undang-undang (RUU) pengelolaan sampah, dan konon sampai sekarang masih ada di Departemen Hukum dan HAM. Padahal rancangan ini sudah 3 tahun ini menantikan untuk segera disahkan menjadi undang-undang, dan dapat segera menjadi landasan hokum dalam pengelolaan sampah secara nasional terutama bagi kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.
5 (lima) aspek yang harus ditinjau dalam pengelolaan sampah, tidak menjadi sebuah acuan dalam kerangka pengelolaan sampah yang baik. 5 (lima) aspek tersebut antara lain menyangkut perangkat undang-undangnya, kelembagaannya, aspek pembiayaan, aspek teknologi dan aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut, jika dijalankan secara baik dan konsisten, sesungguhnya cukup signifikan menjawab persoalan sampah.
Undang-undang ini sekaligus juga dapat secara jelas membagi tugas dan kewenangan setiap orang didalam pengelolaan sampah, selain Pemerintah dan pihak swasta, peran serta masyarakat juga bisa mengacu pada undang-undang ini.
Undang-undang ini sekaligus juga dalam rangka penegakan hukum bagi pihak swasta yang selama ini dipercaya untuk mengolah sampah, tapi tidak konsisten dalam menjalankan kerjasama yang dibuat dengan alasan dana. Seperti yang terjadi di Bantar Gebang, jika pihak perusahaan benar-benar menggunakan system sanitary landfill, maka peristiwa longsor ini tidak akan terjadi. Jadi jelas, PT. PBB telah melakukan kebohongan public, dan undang-undang pengelolaan sampah harusnya bisa menjadi alat hukum untuk menyeret PT. PBB ke Pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan.
Bencana longsornya TPA untuk yang kedua kalinya, harus bisa menjadi pelajaran berharga buat pemerintah, sehingga tidak akan dicap pemerintah tak ubahnya seperti keledai yang sudah dua kali jatuh dalam lubang yang sama. Persoalan sampah yang harus diperbaikin diantaranya manajemen (pengelolaan sampah), serta payung hukum pengelolaan sampah yang harus segera disahkan. Sudah waktunya, Rancangan Undang-Undang pengelolaan sampah segera dibahas dan disahkan, agar rakyat tidak lagi menjadi korban dari longsoran sampah yang bisa terjadi di daerah lainnya (selesai).
1 comments:
penguasa negeri ini gak cuma tak becus urus sampah,tapi semuanya gak keurus. Rezim ini lebih suka bermain simbol, mengukur kinerja dari polling, mengatasi masalah dgn cara karitatif...negeri ini memang sudah rusak..
Post a Comment