Reklamasi Pantura
Proyek Mercusuar yang Menghancurkan Lingkungan dan Memiskinkan Nelayan
Oleh : Khalisah Khalid
Secara geografis, Teluk Jakarta terletak disebelah Utara kota Jakarta, adalah perairan dangkal (kedalaman rata-rata 15M), dengan luas sekitar 514 KM2. Di teluk ini bermuara 13 sungai yang melintasi Kawasan Metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Kepulauan Seribu, terdiri atas 108 pulau, adalah gugusan kepulauan yang terletak di Teluk Jakarta. Pulau-pulau kecil ini tersebar di atas kawasan dengan jarak 80 km Barat Laut - Tenggara dan 30 km Barat-Timur, dengan luas rata-rata kurang dar 10 ha dan elevasi rata- rata dari muka laut kurang dari 3M. Dengan perkembangan Kawasan Metropolitan Jakarta selama setengah abad terakhir, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu menerima tekanan yang besar sebagai akibat dari aktivitas manusia, anatara lain berupa: pencemaran, perubahan ekosistem alami menjadi buatan, dan eksploitasi sumberdaya pesisir secara berlebihan. Dari sudut pandang lingkungan hidup, Kepulauan Seribu merupakan kasus khusus. Pulau-pulau ini sangat rawan dan sensitif, 3 diantara 108 pulau telah hilang selama 15 tahun terakhir. Ukurannya yang kecil, sumberdayanya yang terbatas dan posisi geoigrafisnya yang terpencar-pencar dan terisolasi dari pasar, membuat pulau-pulau ini tidak menguntungkan secara ekonomi.
Kondisi Teluk Jakarta, semakin hari semakin berada pada titik kronis. Berbagai dampak telah dirasakan, terutama terkait dengan pencemarannya yang semakin meluas, pada tahun 2004 kembali muncul berita di surat kabar bahwa pencemaran Teluk Jakarta telah mengakibatkan matinya ikan-ikan dan budidaya nelayan lainnya. Selain itu, proyek reklamasi Pantura yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta menambah daftar panjang dari proses-proses menuju bencana ekologis di Jakarta.
Reklamasi Pantura: Proyek yang Memicu Bencana Ekologis Jakarta
Salah satu permasalahan yang terbesar dihadapi dan akan menjadi titik pemicu dari bencana ekologis di Jakarta adalah rencana proyek reklamasi Pantura, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta, yang bekerjasama dengan perusahaan antara lain dengan PT. Kapuk Naga Indah (PT. KNI) pada bulan Oktober 2006. Sejak lama WALHI bersama dengan lembaga-lembaga yang concern dengan lingkungan menyatakan penolakan terhadap proyek mercusuar Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi Pantura dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan pemukiman dengan membangun pusat bisnis, perkantoran perdagangan dan industri serta pemukiman. Rencana pembangunan reklamasi Pantura dengan mengurug pantai sedalam 8M dan selebar 2 KM dari garis pantai dan sepanjang 30 KM dari sebelah Timur perbatasan Cilincing dengan Kabupaten Bekasi sampai dengan sebalah Barat perbatasan Penjaringan yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Penolakan WALHI bersama lembaga lingkungan yang lain secara tegas disebutkan biaya lingkungan (environmental cost) yang akan dihasilkan dari proyek ini jauh lebih besar, daripada keuntungan ekonomis yang didapat. Dari hitungan antara biaya dan manfaat yang dikeluarkan oleh Pemerintah didapatkan hasil bahwa reklamasi Pantura hanya menyisakan kerugian sebesar Rp. 2,927 Trilyun, yang tentu saja tidak sebanding dengan pemulihan ekologi sebagai dampak dari proyek reklamasi tersebut.
Berdasarkan hitungan ekonomis dari sudut pandang lingkungan ini juga menyebutkan bahwa melakukan reklamasi Pantura dengan perencanaan yang ada akan semakin memarginalkan kaum miskin perkotaan yang telah lama bermukim disepanjang wilayah yang akan terkena proyek reklamasi, serta yang terpenting akan mengancam kelangsungan ekosistem Jakarta seperti ekosistem mangrove yang dapat menjadi penangkal abrasi, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem lainnya. Reklamasi Pantura akan berpotensi besar menghilangkan cagar alam Muara Angke yang hari ini menjadi satu-satunya kawasan yang berfungsi ekologis. Selain itu, reklamasi Pantura juga akan mengancam pulau-pulau Mikro yang ada di sepanjang Kepulauan Seribu.
Reklamasi memang bukan barang yang haram, seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Tetapi reklamasi yang dilakukan tanpa memperbaiki kondisi lingkungan hidup dari hulu, seperti sistem drainase dalam kota, maka reklamasi hanya menyisakan persoalan baru, baik yang menyangkut persoalan lingkungan hidup dan persoalan sosial lainnya. Pemerintah Provinsi Jakarta melihat persoalan lingkungan hidup masih secara parsial dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk menyelesaikan persolan lingkungan hidup cenderung bersifat mikro, dan justru menimbulkan persoalan baru di daerah hilirnya.
Reklamasi akan menjadi pemicu dari bencana ekologis di Jakarta, antara lain dampak (1) banjir, yang dikarenakan 13 aliran sungai yang mengalir dan bermuara ke Teluk jakarta, akan mengalami kelambatan karena jalur yang ditempuh semakin panjang dan dan kecepatan aliran sungai berkurang, laju sedimentasi di muara meningkat. (2) merusak sistem tata air dikarenakan ketiga belas sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta akan bertambah panjang 1,5 KM, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter. Air sungai akan sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, diperkirakan akan terjadi kerusakan sistem tata air pada radius 8-10 Km dari bibir pantai lama (Dr. Arwin Sabar, Teknik Lingkungan ITB).
Reklamasi Pantura: Memiskinkan Nelayan
Asumsi yang digunakan oleh pemerintah Provinsi Jakarta, bahwa reklamasi Pantura akan memberikan kesejahteraan kepada nelayan yang hidup di sepanjang kawasan Teluk Jakarta, merupakan salah satu asumsi yang berbanding terbalik dengan kondisi nasib nelayan hari ini.
Fakta di perkampungan nelayan yang tinggal dan hidup dari manfaat Teluk Jakarta, justru semakin terpinggirkan. Proyek reklamasi Pantura ini, paling tidak telah menggusur alat-alat produksi nelayan yang berada di Muara Angke, Kamal Muara dan Dadap. Akibat dari penggusuran alat-alat produksinya, para nelayan ini mengalami penurunan mata pencaharian yang cukup drastis. Sebelumnya, nelayan bisa menghasilkan Rp. 200.000-300.000 ribu/hari, setelah alat-alat produksinya digusur, para nelayan kini hanya mengandalkan dari budidaya kerang yang setiap harinya mendapatkan hasil Rp. 50.000-70.000/hari, dan tentu saja ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain itu, para nelayan juga mendapatkan intimidasi dan ancaman-ancaman penggusuran setiap harinya. Dari sini jelas terlihat bahwa Pemerintah Provinsi Jakarta telah melakukan pengabaian dan pelanggaran terhadap hak asasi manusian (HAM) yang seharusnya justru kewajiban pemenuhannya melekat kepada Negara.
Dari sini jelas membuktikan bahwa alasan Pemerintah Provinsi Jakarta untuk hanya merupakan upaya-upaya untuk membohongi publik. Dengan reklamasi Pantura ini, sesungguhnya nelayan justru menjadi korban dari kebijakan Pemerintah ini. Bukan hanya digusur atau mendapatkan intimidasi, tetapi juga akan dipindahkan ke lokasi lain yang artinya berarti juga akan merusak tatanan sosial dan budaya nelayan setempat yang telah hidup turun temurun disini.
Proyek reklamasi Pantura ini memang bukan ditujukan bagi kesejahteraan kelompok nelayan yang selama ini telah termarginalkan oleh sistem pembangunan kota Jakarta, melainkan untuk kelompok pemodal yang akan menggunakan Pantura sebagai areal bisnis dan orang-orang kaya yang akan menjadi penghuni di areal pemukiman yang juga akan dibangun disana.
0 comments:
Post a Comment