Kurang lebih satu minggu pasca umat muslim merayakan hari raya Iedul Fitri, para pemudik sudah kembali berdatangan untuk memulai kembali kehidupannya di
Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Fenomena yang sudah dapat kita baca kembali menjadi perbincangan, dan bahkan mungkin menjadi pembahasan penting dalam rapat-rapat pejabat Pemerintahan. Apalagi kalau bukan masalah membludaknya jumlah orang yang kembali ke kota, bertambah membludak karena sudah menjadi tradisi kalau pemudik yang kembali ke kota membawa sanak saudara atau kerabatnya di kampung, baik karena memang sebelumnya sudah dititip oleh tetangga atau teman kerja yang membutuhkan tenaga pembantu rumah tangga atau pekerja informal lainnya atau berspekulasi bisa mendapatkan pekerjaan setibanya di kota. Dan sudah menjadi tradisi pula respon Pemerintah untuk menghadapi serbuan orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, razia kartu tanda penduduk dan biasanya akan dibarengi dengan “penangkapan” dan mengembalikan orang-orang tersebut ke kampung halamannya masing-masing.
Sebuah solusi dan respon yang biasa-biasa saja, karena sampai hari ini Pemerintah belum memiliki solusi atas berbagai masalah social ini, sehingga penanganannya selalu bersifat responsive. Pemerintah dan bahkan mungkin kita juga seringkali melupakan akar persoalan sebenarnya, ketika pengungsi pembangunan ini menjadi sebuah fenomena dari serangkaian persoalan urban yang terjadi di Indonesia.
Pengungsi Pembangunan, Tak Pernah Diimpikan
Saya menamakan orang-orang yang mencoba mengadu nasib ini di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, sebagai pengungsi pembangunan. Sebuah predikat yang mungkin tidak pernah diimpikan oleh setiap orang, karena kata-kata pengungsi seringkali identik dengan sebuah kondisi keterpaksaan ketika daerah/tempat tinggalnya tidak lagi bisa memberikan jaminan rasa keamanan dan keberlanjutan kehidupan keluarganya. Pengungsi biasanya identik dengan bencana alam dan bencana kemanusiaan lainnya, namun nampaknya selama beberapa tahun belakangan ini predikat pengungsi juga dilekatkan kepada sebuah bencana yang diakibatkan oleh pembangunan yang tidak adil dan meminggirkan masyarakat local yang berujung pada kemiskinan yang memang dibuat secara structural dan sistematis dilakukan oleh negara.
Tengoklah, ketika banyak dari orang yang mengadu nasib ke Jakarta ini sebelumnya adalah petani/buruh tani yang kehilangan alat-alat produksinya, orang-orang desa yang tinggal di lahan-lahan yang tandus dan selalu didera kekeringan panjang. Hampir semua permasalahan tersebut diakibatkan oleh system pembangunan yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi semata, sementara subsidi terhadap petani terus dikurangi atas desakan lembaga-lembaga pemberi dana utang. Kondisi kemiskinan yang terus mencekik leher rakyat inilah, yang kemudian mendorong mereka untuk mencoba peruntungan lainnya di kota, tentu saja dengan modal tenaga yang bisa dijual dengan imbalan upah yang pastinya rendah karena skill lainnya tentu tidak dimiliki.
Seperti nasib pengungsi kebanyakan, nasib pengungsi pembangunan mungkin malah lebih buruk. Selain tidak adanya perhatian dari Pemerintah untuk diberikan jatah hidup (jadup) seperti pengungsi korban bencana, seringkali stigma buruk dilekatkan pada pengungsi pembangunan ini. Sebagai orang-orang yang menambah persoalan, bikin sumpek, dan bahkan penyebab meningkatnya pelaku criminal di kota-kota besar.
Jika ada lirik lagu, “siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh datang Jakarta”. Mungkin para pengungsi pembangunan ini akan menjawab, “mimpipun kami tidak berani untuk datang ke Jakarta sebagai pengungsi pembangunan”. Karena kondisi keterpurukan ekonomi dan kemiskinanlah yang memaksa orang-orang yang sebelumnya sejahtera tinggal di desa ini, memilih menyandang predikat sebagai pengungsi pembangunan.
Memindahkan Gula dari Kota-Kota, sebagai Sebuah Alternatif
Menyalahkan mereka, tentu bukanlah hal yang bijak karena memang justru seharusnya Negara bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak pengungsi pembangunan ini, terutama yang menyangkut hak ekonomi, social dan budaya (ekosob), ini merupakan sebuah kewajiban Negara terhadap rakyatnya, terlebih Indonesia sudah meratifikasi kovenan hak ekosob ini.
Pemerintah sudah tidak waktunya lagi menyelesaikan persoalan ini secara responsive, yang dibutuhkan adalah menjawab akar persoalannya. Mungkin tidak sesederhana yang dibayangkan, tapi paling tidak langkah-langkah alternative harus mulai dilakukan sehingga kedepannya kita tidak lagi menemui nasib pengungsi yang mengenaskan.
Kalau sering ada istilah yang menyebutkan Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebagai gula yang sangat manis, dan selalu mengundang banyak orang menikmatinya karena disinilah pusat perputaran ekonomi dan kekuasaan di jalankan, maka gula tersebut juga harus dibuat di daerah-daerah. Tapi jangan lupa bahwa selama ini pembangunan selalu bertumpu pada kepentingan ekonomi dengan jargon globalisasinya, sehingga pembangunan selalu saja mengorbankan masyarakat local.
Pembangunan yang dimaksudkan disini tentu saja pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat, memberikan akses dan control seluas-luasnya kepada rakyat dipedesaan untuk mengelola sumber daya alamnya berdasarkan kearifan local yang dimiliki. Melindungi nasib petani, nelayan tradisonal dan masyarakat adapt yang hidup di pedesaan lewat regulasi yang akan menjamin keberlanjutan hak hidup mereka. Jika rakyat telah mampu membangun kemandirian ekonominya, maka dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi akan berjalan dan rakyat yang hidup di pedesaan tidak perlu lagi menjadi pengungsi pembangunan.
0 comments:
Post a Comment