22 April 2007 yang baru saja berlalu, hampir di
seluruh penjuru dunia memperingati International Earth
Day atau Hari Bumi, sebuah momen penting untuk
menyuarakan penyelamatan bumi. Di Indonesia,
peringatan Hari Bumi juga dilakukan oleh organisasi
yang memperjuangkan lingkungan hidup dan rakyat
seperti yang dilakukan secara nasional oleh Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Peringatan Hari
Bumi di Indonesia, bukan saja untuk menyuarakan
penyelamatan bumi, melainkan juga sebagai sebuah
sinyal untuk menabuhkan genderang perlawanan terhadap
korporasi dan negara, yang selama ini telah salah
didalam mengurus negara, sehingga Indonesia saat ini
bukan hanya terus duhantui oleh bencana ekologis,
tetapi juga dibayangi-bayangi oleh kebangkrutan
nasional. Kita dapat menyaksikan bagaimana daerah yang
memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah,
kantong-kantong kemiskinannya begitu tinggi seperti di
Papua, Aceh, Riau dan Kalimantan Timur.
Mainstream pembangunan yang bertumpu pada kepentingan
modal dengan jargon pertumbuhan ekonomi, menjadi
pemicu utama dari kehancuran ekologi dan kebangkrutan
yang terjadi di Indonesia. Sistem kapitalisme telah
menempatkan sumber daya alam sebagai sebuah komoditi
yang bisa dieksploitasi sebebas-bebasnya, tanpa pernah
mempertimbangkan daya dukung alam di dalamnya. Selain
potret kehancuran ekologi, sistem kapitalisme juga
telah melanggengkan sebuah model penjajahan yang
dinamakan oleh Hira Jhamtani sebagai eco-kolonialisme,
yakni sebuah penjajahan yang dilakukan oleh
negara-negara Utara melakukan penjajahan ekonomi dan
politik dengan sejumlah kebijakan ekonomi dan
politiknya, untuk lepas tanggungjawab terhadap utang
ekologi, yang ditimbulkan oleh industri yang meraka
kembangkan di negara miskin dan berkembang. Isu
climate change misalnya, justru menjadi skema baru
bagi negara-negara utara untuk melakukan penjajahannya
dengan melepaskan diri dari tanggungjawab ekologinya
akibat gaya hidup mereka yang begitu merusak, dengan
agenda trade carbon atau perdagangan karbon yang
dipaksakan kepada negara-negara di Selatan untuk
menyelamatkan bumi dari ancaman climate change,
padahal merekalah yang menjadi kontributor terbesar
dari dampak perubahan iklim ini. Inilah yang
dimaksudkan dengan ketidakadilan ekologi, yang
dirasakan oleh negara miskin dan berkembang seperti
Indonesia.
Sistem kapitalisme yang menggunakan alat-alat
kekuatannya seperti TNC’s/MNC’s dan lembaga keuangan
internasional, bukan saja melakukan kejahatan
lingkungan dengan agenda eco-kolonialismenya, tetapi
juga melakukan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, khususnya kelompok rentan seperti masyarakat
adat, perempuan dan anak-anak. Perempuan dan anak-anak
menjadi korban yang paling besar harus mengalami
dampak dari ketidakadilan ekologi ini. Perempuan bukan
saja dihadapkan pada sistem kapitalisme, tetapi juga
budaya patriarki dan feodalisme yang menempatkan
perempuan sebagai kelas dua, kondisi inilah yang
semakin memperburuk posisi perempuan di dalam kelas
masyarakat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan
dimulai dari pekarangan rumahnya, sampai kekerasan
yang dilakukan oleh negara. Bukan saja kekerasan fisik
dan psikis, tetapi juga kekerasan ekonomi yang
diakibatkan oleh sebuah sistem pasar yang tidak adil
bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Eco-feminis dan Perjuangan Keadilan Ekologi
Meskipun eco-kolonialisme telah menancapkan
antek-anteknya di bumi ini, Perjuangan untuk
menegakkan keadilan ekologi di hampir seluruh dunia
telah dilakukan di mana-mana terutama oleh negara
miskin dan berkembang. Sejumlah perlawanan telah
dilakukan oleh kelompok perempuan di dunia untuk
menyelamatkan bumi, seperti yang dilakukan oleh
Vandana Shiva di India yang terkenal dengan gerakan
ibu-ibu yang memeluk pohon untuk menyelamatkan hutan
mereka dari ancaman eksploitasi industri. Di dalam
bukunya, jelas ditegaskan bahwa pembangunan telah
menyebabkan perempuan yang telah berada dalam kondisi
miskin, semakin dimiskinkan karena sejumlah kebijakan
ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara
miskin dan berkembang dengan menjual jargon
globalisasi sebagai sebuah mitos pembangunan yang
tidak akan pernah memikirkan keselamatan, apalagi
memikirkan kesejahteraan rakyat yang hidup di negara
miskin dan berkembang.
Eco-feminis lahir juga didasari atas sebuah kondisi di
mana bumi yang digambarkan sebagai ibu telah
dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem
kapitalisme yang melanggengkan budaya patriarki dan
feodalisme di dalam praktek-praktek penjajahan yang
dilakukan. Eco-feminis lahir untuk menjawab sebuah
kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada
kekhasan perempuan yang selama ini memiliki
pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan
mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Bagi
perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan
dari ancaman kerusakan yang telah dilakukan oleh
korporasi dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan
pertama yang bersentuhan dengan air, tanah dan
seluruh. Karena itulah perempuan juga menjadi kelompok
pertama dan yang paling rentan terhadap resiko dampak
kerusakan bumi akibat eksploitasi sumber daya alam
yang dilakukan oleh industri, seperti yang dialami
oleh banyak perempuan dan anak yang tercemar oleh
limbah dari perusahaan-perusahaan pertambangan
Internasional seperti yang dilakukan oleh PT. Newmont
Minahasa Raya terhadap ruang hidup rakyat di tanah
Buyat.
Di Indonesia, nama-nama perempuan telah berpeluh
keringat dan darah untuk memperjuangkan hak mereka
atas lingkungan hidup dan sumbert daya alamnya,
mungkin tidak banyak yang mengenal. Padahal
perempuan-perempuan inilah yang berada dibarisan utama
didalam menghadapi kekuatan modal (korporasi) dan
penguasa, yang telah mengorbankan banyak hal di dalam
hidupnya. Mama Yosepha yang begitu militan menghadapi
kekuatan PT. Freeport, ibu-ibu Sugapa di Sumatera
Utara yang mempertahankan hutan ecoliptusnya yang akan
dirampok oleh PT. Inti Indorayon untuk kebutuhan bahan
pulp dan papernya, Ibu Naomi yang tidak pernah
menyerah menghadapi PT. Inco yang telah merampas tanah
ulayat masyarakat adat Soroako Sulawesi Selatan,
ibu-ibu di Buyat Sulawesi Utara yang harus berjuang
dengan penyakitnya akibat limbah buangan PT. Newmont
Minahasa Raya, meskipun harus selalu mengalami
kekalahan demi kekalahan. Masih banyak lagi rentetan
nama perempuan yang mungkin masih sedikit tercatat
dalam sejarah gerakan perjuangan rakyat, namun tiada
henti dan pernah takut para perempuan ini berjuang
dengan sebuah landasan nilai filosofis bahwa yang
diperjuangkan adalah sebuah nilai-nilai kebenaran
terhadap sumber-sumber kehidupan mereka dan untuk
keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.
Tangan-tangan perempuan yang begitu kuat dan berani
inilah yang bersedia menjadi martir bagi sebuah
perjuangan rakyat atas mewujudkan keadilan ekologi,
yang selama ini telah tergadaikan oleh pengurus
negaranya sendiri. Sejumlah pelanggaran terhadap hak
asasi perempuan di sektor sumber daya alam telah
terjadi, yang dilakukan justru oleh negara yang
seharusnya menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak tersebut, dan korporasi serta lembaga keuangan
internasional. Kekerasan baik fisik maupun psikis
telah dialami oleh perempuan yang begitu gigih
memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, kekerasan
ekonomi juga harus mereka alami, sehingga perempuan
selalu menjadi kelompok yang paling miskin karena
ketiadaan akses dan kontrolnya di dalam pengelolaan
sumber daya alam.
Komitmen 22 April
Hari bumi yang jatuh di setiap tanggal 22 April, bukan
hanya sebatas diperingati untuk menyuarakan
penyelamatan bumi. Di sinilah sesungguhnya menjadi
sebuah kesempatan bagi seluruh gerakan rakyat untuk
mengkonsolidasikan dirinya dari kehancuran bumi dan
ketidakadilan ekologi yang terjadi. Jika kelompok
eco-feminis telah sekian lama menyuarakan perjuangan
perempuan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran,
maka pada tanggal 22 April 2007 sudah waktunya menjadi
titik tolak bagi kelompok yang mengusung ideologi
eco-feminis, untuk terus mengobarkan perlawanan
terhadap agenda eco-kolonialisme yang dilakukan oleh
negara-negara maju lewat industri dan lembaga keuangan
Internasional
Kelompok yang mengusung eco-feminis harus mulai
memperluas gerakannya, bukan hanya di gerakan pro
demokrasi yang memperjuangkan hal yang sama untuk
menghadapi kekuatan modal, melainkan juga kepada
publik secara lebih luas dan massif. Strategi ini
menjadi sebuah kebutuhan mendesak, karena banyak
perempuan di belahan bumi lain yang tidak mengetahui
bahwa pasar telah menciptakan sebuah rekayasa gaya
hidup yang menciptakan sebuah gaya hidup konsumtif
yang banyak diamini oleh perempuan mapan perkotaan.
Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dia
menjadi korban sekaligus pelaku dari sebuah sistem
pasar dan sistem eco-kolonialisme, perempuan yang
hidup di perkotaan banyak yang tidak mengetahui, bahwa
penggunaan tissue yang banyak digunakan, telah
menyebabkan perempuan pedesaan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi harus mengalami sejumlah
pelanggaran terhadap hak-haknya hidupnya oleh industri
pulp and paper. Gerakan perempuan bersolidaritas
terhadap perempuan menjadi penting, untuk membangun
kekuatan politik bagi perempuan untuk merebut keadilan
ekologi bagi semua orang, untuk menyelamatkan
kehancuran bumi dari ancaman kapitalisme global.
Dalam momen peringatan hari Bumi yang jatuh pada
tanggal 22 April ini, sudah waktunya kelompok
eco-feminis memperbesar gerakannya untuk mendesak
kepada negara agar segera memenuhi hak asasi perempuan
atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan,
dengan memberikan akses dan kontrol kepada perempuan
untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan
hidupnya berdasarkan kekhasan perempuan. Sebagaimana
yang telah menjadi amanat bagi pengurus Negara yang
telah meratifikasi konvensi CEDAW dan konvenan Ekosob
dan Sipol untuk mempercepat langkah-langkah dan
tindakan dalam kerangka melakukan pemenuhan terhadap
hak asasi perempuan, terutama kepada perempuan
pedesaan dan perempuan miskin perkotaan sebagai sebuah
kewajiban bagi negara untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak warga negaranya. Negara juga sudah
harus segera menghentikan kekerasan pada perempuan di
sektor pengelolaan sumber daya alam yang sampai saat
ini terus terjadi, dan mendorong agar negara berani
melakukan perlawanan terhadap TNC’s/MNC’s dan lembaga
keuangan Internasional.
seluruh penjuru dunia memperingati International Earth
Day atau Hari Bumi, sebuah momen penting untuk
menyuarakan penyelamatan bumi. Di Indonesia,
peringatan Hari Bumi juga dilakukan oleh organisasi
yang memperjuangkan lingkungan hidup dan rakyat
seperti yang dilakukan secara nasional oleh Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Peringatan Hari
Bumi di Indonesia, bukan saja untuk menyuarakan
penyelamatan bumi, melainkan juga sebagai sebuah
sinyal untuk menabuhkan genderang perlawanan terhadap
korporasi dan negara, yang selama ini telah salah
didalam mengurus negara, sehingga Indonesia saat ini
bukan hanya terus duhantui oleh bencana ekologis,
tetapi juga dibayangi-bayangi oleh kebangkrutan
nasional. Kita dapat menyaksikan bagaimana daerah yang
memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah,
kantong-kantong kemiskinannya begitu tinggi seperti di
Papua, Aceh, Riau dan Kalimantan Timur.
Mainstream pembangunan yang bertumpu pada kepentingan
modal dengan jargon pertumbuhan ekonomi, menjadi
pemicu utama dari kehancuran ekologi dan kebangkrutan
yang terjadi di Indonesia. Sistem kapitalisme telah
menempatkan sumber daya alam sebagai sebuah komoditi
yang bisa dieksploitasi sebebas-bebasnya, tanpa pernah
mempertimbangkan daya dukung alam di dalamnya. Selain
potret kehancuran ekologi, sistem kapitalisme juga
telah melanggengkan sebuah model penjajahan yang
dinamakan oleh Hira Jhamtani sebagai eco-kolonialisme,
yakni sebuah penjajahan yang dilakukan oleh
negara-negara Utara melakukan penjajahan ekonomi dan
politik dengan sejumlah kebijakan ekonomi dan
politiknya, untuk lepas tanggungjawab terhadap utang
ekologi, yang ditimbulkan oleh industri yang meraka
kembangkan di negara miskin dan berkembang. Isu
climate change misalnya, justru menjadi skema baru
bagi negara-negara utara untuk melakukan penjajahannya
dengan melepaskan diri dari tanggungjawab ekologinya
akibat gaya hidup mereka yang begitu merusak, dengan
agenda trade carbon atau perdagangan karbon yang
dipaksakan kepada negara-negara di Selatan untuk
menyelamatkan bumi dari ancaman climate change,
padahal merekalah yang menjadi kontributor terbesar
dari dampak perubahan iklim ini. Inilah yang
dimaksudkan dengan ketidakadilan ekologi, yang
dirasakan oleh negara miskin dan berkembang seperti
Indonesia.
Sistem kapitalisme yang menggunakan alat-alat
kekuatannya seperti TNC’s/MNC’s dan lembaga keuangan
internasional, bukan saja melakukan kejahatan
lingkungan dengan agenda eco-kolonialismenya, tetapi
juga melakukan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, khususnya kelompok rentan seperti masyarakat
adat, perempuan dan anak-anak. Perempuan dan anak-anak
menjadi korban yang paling besar harus mengalami
dampak dari ketidakadilan ekologi ini. Perempuan bukan
saja dihadapkan pada sistem kapitalisme, tetapi juga
budaya patriarki dan feodalisme yang menempatkan
perempuan sebagai kelas dua, kondisi inilah yang
semakin memperburuk posisi perempuan di dalam kelas
masyarakat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan
dimulai dari pekarangan rumahnya, sampai kekerasan
yang dilakukan oleh negara. Bukan saja kekerasan fisik
dan psikis, tetapi juga kekerasan ekonomi yang
diakibatkan oleh sebuah sistem pasar yang tidak adil
bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Eco-feminis dan Perjuangan Keadilan Ekologi
Meskipun eco-kolonialisme telah menancapkan
antek-anteknya di bumi ini, Perjuangan untuk
menegakkan keadilan ekologi di hampir seluruh dunia
telah dilakukan di mana-mana terutama oleh negara
miskin dan berkembang. Sejumlah perlawanan telah
dilakukan oleh kelompok perempuan di dunia untuk
menyelamatkan bumi, seperti yang dilakukan oleh
Vandana Shiva di India yang terkenal dengan gerakan
ibu-ibu yang memeluk pohon untuk menyelamatkan hutan
mereka dari ancaman eksploitasi industri. Di dalam
bukunya, jelas ditegaskan bahwa pembangunan telah
menyebabkan perempuan yang telah berada dalam kondisi
miskin, semakin dimiskinkan karena sejumlah kebijakan
ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara
miskin dan berkembang dengan menjual jargon
globalisasi sebagai sebuah mitos pembangunan yang
tidak akan pernah memikirkan keselamatan, apalagi
memikirkan kesejahteraan rakyat yang hidup di negara
miskin dan berkembang.
Eco-feminis lahir juga didasari atas sebuah kondisi di
mana bumi yang digambarkan sebagai ibu telah
dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem
kapitalisme yang melanggengkan budaya patriarki dan
feodalisme di dalam praktek-praktek penjajahan yang
dilakukan. Eco-feminis lahir untuk menjawab sebuah
kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada
kekhasan perempuan yang selama ini memiliki
pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan
mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Bagi
perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan
dari ancaman kerusakan yang telah dilakukan oleh
korporasi dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan
pertama yang bersentuhan dengan air, tanah dan
seluruh. Karena itulah perempuan juga menjadi kelompok
pertama dan yang paling rentan terhadap resiko dampak
kerusakan bumi akibat eksploitasi sumber daya alam
yang dilakukan oleh industri, seperti yang dialami
oleh banyak perempuan dan anak yang tercemar oleh
limbah dari perusahaan-perusahaan pertambangan
Internasional seperti yang dilakukan oleh PT. Newmont
Minahasa Raya terhadap ruang hidup rakyat di tanah
Buyat.
Di Indonesia, nama-nama perempuan telah berpeluh
keringat dan darah untuk memperjuangkan hak mereka
atas lingkungan hidup dan sumbert daya alamnya,
mungkin tidak banyak yang mengenal. Padahal
perempuan-perempuan inilah yang berada dibarisan utama
didalam menghadapi kekuatan modal (korporasi) dan
penguasa, yang telah mengorbankan banyak hal di dalam
hidupnya. Mama Yosepha yang begitu militan menghadapi
kekuatan PT. Freeport, ibu-ibu Sugapa di Sumatera
Utara yang mempertahankan hutan ecoliptusnya yang akan
dirampok oleh PT. Inti Indorayon untuk kebutuhan bahan
pulp dan papernya, Ibu Naomi yang tidak pernah
menyerah menghadapi PT. Inco yang telah merampas tanah
ulayat masyarakat adat Soroako Sulawesi Selatan,
ibu-ibu di Buyat Sulawesi Utara yang harus berjuang
dengan penyakitnya akibat limbah buangan PT. Newmont
Minahasa Raya, meskipun harus selalu mengalami
kekalahan demi kekalahan. Masih banyak lagi rentetan
nama perempuan yang mungkin masih sedikit tercatat
dalam sejarah gerakan perjuangan rakyat, namun tiada
henti dan pernah takut para perempuan ini berjuang
dengan sebuah landasan nilai filosofis bahwa yang
diperjuangkan adalah sebuah nilai-nilai kebenaran
terhadap sumber-sumber kehidupan mereka dan untuk
keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.
Tangan-tangan perempuan yang begitu kuat dan berani
inilah yang bersedia menjadi martir bagi sebuah
perjuangan rakyat atas mewujudkan keadilan ekologi,
yang selama ini telah tergadaikan oleh pengurus
negaranya sendiri. Sejumlah pelanggaran terhadap hak
asasi perempuan di sektor sumber daya alam telah
terjadi, yang dilakukan justru oleh negara yang
seharusnya menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak tersebut, dan korporasi serta lembaga keuangan
internasional. Kekerasan baik fisik maupun psikis
telah dialami oleh perempuan yang begitu gigih
memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, kekerasan
ekonomi juga harus mereka alami, sehingga perempuan
selalu menjadi kelompok yang paling miskin karena
ketiadaan akses dan kontrolnya di dalam pengelolaan
sumber daya alam.
Komitmen 22 April
Hari bumi yang jatuh di setiap tanggal 22 April, bukan
hanya sebatas diperingati untuk menyuarakan
penyelamatan bumi. Di sinilah sesungguhnya menjadi
sebuah kesempatan bagi seluruh gerakan rakyat untuk
mengkonsolidasikan dirinya dari kehancuran bumi dan
ketidakadilan ekologi yang terjadi. Jika kelompok
eco-feminis telah sekian lama menyuarakan perjuangan
perempuan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran,
maka pada tanggal 22 April 2007 sudah waktunya menjadi
titik tolak bagi kelompok yang mengusung ideologi
eco-feminis, untuk terus mengobarkan perlawanan
terhadap agenda eco-kolonialisme yang dilakukan oleh
negara-negara maju lewat industri dan lembaga keuangan
Internasional
Kelompok yang mengusung eco-feminis harus mulai
memperluas gerakannya, bukan hanya di gerakan pro
demokrasi yang memperjuangkan hal yang sama untuk
menghadapi kekuatan modal, melainkan juga kepada
publik secara lebih luas dan massif. Strategi ini
menjadi sebuah kebutuhan mendesak, karena banyak
perempuan di belahan bumi lain yang tidak mengetahui
bahwa pasar telah menciptakan sebuah rekayasa gaya
hidup yang menciptakan sebuah gaya hidup konsumtif
yang banyak diamini oleh perempuan mapan perkotaan.
Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dia
menjadi korban sekaligus pelaku dari sebuah sistem
pasar dan sistem eco-kolonialisme, perempuan yang
hidup di perkotaan banyak yang tidak mengetahui, bahwa
penggunaan tissue yang banyak digunakan, telah
menyebabkan perempuan pedesaan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi harus mengalami sejumlah
pelanggaran terhadap hak-haknya hidupnya oleh industri
pulp and paper. Gerakan perempuan bersolidaritas
terhadap perempuan menjadi penting, untuk membangun
kekuatan politik bagi perempuan untuk merebut keadilan
ekologi bagi semua orang, untuk menyelamatkan
kehancuran bumi dari ancaman kapitalisme global.
Dalam momen peringatan hari Bumi yang jatuh pada
tanggal 22 April ini, sudah waktunya kelompok
eco-feminis memperbesar gerakannya untuk mendesak
kepada negara agar segera memenuhi hak asasi perempuan
atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan,
dengan memberikan akses dan kontrol kepada perempuan
untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan
hidupnya berdasarkan kekhasan perempuan. Sebagaimana
yang telah menjadi amanat bagi pengurus Negara yang
telah meratifikasi konvensi CEDAW dan konvenan Ekosob
dan Sipol untuk mempercepat langkah-langkah dan
tindakan dalam kerangka melakukan pemenuhan terhadap
hak asasi perempuan, terutama kepada perempuan
pedesaan dan perempuan miskin perkotaan sebagai sebuah
kewajiban bagi negara untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak warga negaranya. Negara juga sudah
harus segera menghentikan kekerasan pada perempuan di
sektor pengelolaan sumber daya alam yang sampai saat
ini terus terjadi, dan mendorong agar negara berani
melakukan perlawanan terhadap TNC’s/MNC’s dan lembaga
keuangan Internasional.
1 comments:
Artikel yang bagus..Terima kasih untuk inspirasinya.
Post a Comment