Meskipun prediksi banjir masih akan terjadi di Jakarta dan sekitarnya dengan fakta-fakta damagenya yang begitu besar dan diluar dugaan banyak orang, serta bertumpuknya masalah penanganan tanggap darurat banjir yang sampai saat ini belum bisa memenuhi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat korban banjir oleh Pemerintah. Sejumlah persoalan baru kemudian muncul sebagai sebuah kondisi turunan atau menjadi dampak dari bencana banjir yang melanda Ibukota dan sekitarnya, antara lain mengenai persoalan pengelolaan sampah pasca banjir dan wabah penyakit yang banyak melanda anak-anak sebagai akibat dari buruknya penanganan bencana dan menggambarkan bagaimana potret ketidakmampuan dan ketidaksiapan negara yang memiliki tingkat kerentanan bencana banjir yang cukup tinggi. Pemerintah kemudian tergagap-gagap begitu melihat menumpuknya sampah, karena selama ini hanya terfokus pada penanganan yang sifatnya reaksioner dengan memberikan solusi penanganan banjir yang lebih menekankan pada pendekatan pembangunan infrastruktur, dan tidak mempertimbangkan pengelolaan sampah pasca banjir sebagai bagian dari penanganan dalam fase recovery, sebuah fase penanganan bencana yang memang banyak luput dari perhatian banyak pihak.
Sampah, kemudian menjadi persoalan yang mencuat ketika penumpukan volume sampah pasca banjir meningkat, baik di pemukiman-pemukiman maupun disepanjang jalan yang akan menjadi pemicu wabah penyakit yang lebih besar. Konon Pemerintah sudah mengelurkan seluruh potensi yang dimiliki untuk melakukan ”kerja bakti” membersihkan sampah-sampah, dan sudah menyiapkan TPA Bantar Gebang seluas kurang lebih 2,3 hektar untuk mengolah sampah pasca banjir Jakarta. Selain itu, sampah juga telah menimbulkan konflik dengan daerah lainnya seperti Bogor karena didapati secara diam-diam membuang sampahnya di kawasan hijau di daerah Jonggol, dengan dalih yang cukup mengejutkan karena Pemerintah mengatakan bahwa mobil yang membuang sampah adalah mobil bantuan banjir dari berbagai masayarakat, padahal secara jelas mobil yang digunakan adalah milik Pemerintah yang dalam penanganan bencana banjir tergabung dalam Satkorlak.
Sampah, sebelum terjadinya banjir saja sudah menimbulkan banyak persoalan. Tidak kurang dari 6500 ton setiap harinya, dan telah menimbulkan bencana longsor sampah baik di berbagai daerah. Ironisnya sampai saat ini tidak ada regulasi yang mengatur pengelolaan sampah, termasuk pengelolaan sampah pasca bencana seperti banjir yang pastinya akan menjadi persoalan yang besar dan harus diselesaikan secara cepat. Pemerintah Provinsi Jakarta juga tidak memiliki model pengelolaan sampah yang mempertimbangkan kerentanan Jakarta dengan bencana banjir, ini dapat dilihat dari review master plan pengelolaan sampah DKI Jakarta sampai tahun 2015 yang tidak memuat bagaimana strategi pengelolaan sampah pasca banjir yang seharusnya sudah dapat diprediksi peningkatan volumenya dan ancaman bagi kesehatan masyarakat.
Ketidaksiapan Pemerintah untuk mengatasi persoalan penumpukan sampah sebenarnya sudah terjadi bencana gempa dan tsunami di NAD dan Nias, namun ternyata bencana ini tidak pernah dijadikan sebuah pembelajaran yang penting, sebagai bagian dari kesiapsiagaan terhadap bencana, terlebih bencana yang bisa diprediksikan jauh-jauh hari.
Dari bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, dan persoalan sampah yang mengikutinya akibat kebingungan Pemerintah untuk membawa kemana sampah yang mengalir mengikuti aliran sebaran luasan banjir, sesungguhnya dapat menjadi moment penting bagi semua pihak khususnya kepada institusi negara untuk sesegera mungkin menyelesaikan RUU pengelolaan sampah yang saat ini masih jalan ditempat. Payung hukum pengelolaan sampah menjadi urgent untuk segera diselesaikan, karena ini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk melakukan penanganan bencana secara komprhensif oleh Pemerintah. Baik penanganan tanggap darurat sebagai langkah emergency response, maupun penanganan recovery pasca bencana yang memang membutuhkan proses waktu yang lebih lama.
Dari payung hukum ini, diharapkan paling tidak ada struktur kelembagaan yang memang bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan sampah yang sampai saat ini baru dilakukan oleh dinas kebersihan yang pastinya tidak akan mampu menyelesaikan persoalan sampah yang begitu menggunung, dan bagaimana keterlibatan masyarakat dioptimalkan secara penuh untuk mengolah sampah pasca bencana. Pemerintah selama ini terlalu menghambakan pada kekuatan teknologi, sehingga inisiatif masyarakat selalu diabaikan. Padahal pemerintah sudah mengetahui bahwa bicara soal sampah baik dalam kehidupan sehari-hari, terlebih sampah yang dihasilkan setelah bencana banjir sesungguhnya
Agenda mendorong Pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan dan mengesahkan RUU sampah di Republik bencana ini, sudah waktunya masyarakat luas juga harus memberikan desakan penuh kepada Pemerintah untuk mengesahkan payung hukum sebagai landasan pijakan pengelolaan sampah. Kebutuhan mendesak ini bukan hanya diperuntukkan baagi masyarakat yang rentan terkena dampak bencana, tetapi juga bagi masyarakat yang secara tidak langsung terkena dampak dari bencana yang terjadi. Tanpa adanya payung hukum ini, pengelolaan sampah pasca bencana hanya menjadi polemik baru yang terus akan terjadi dimanapun. Ini menjadi sebuah agenda yang penting untuk terus menerus disuarakan secara lebih besar dan massif oleh publik, bukan hanya karena Pemerintah tidak cukup peka dan tidak memiliki kemauan politik yang cukup tinggi untuk melihat persoalan bencana dan pengelolaan sampah, tapi Pemerintah juga tidak pernah menempatkan payung hukum ini menjadi agenda politik rakyat yang harus diprioritaskan.
Moment desakan kepada institusi negara juga menjadi penting bagi masyarakat Jakarta yang saat ini menjadi korban banjir akibat kesalahurusan negara dalam pengelolaan lingkungan hidup, juga menjadi moment yang tepat ketika masyarakat Jakarta sebentar lagi akan memasuki pemilihan langsung kepala daerahnya. Desakan terhadap lahirnya payung hukum pengelolaan sampah, harus menjadi agenda politik yang diperjuangkan secara jelas oleh para calon Pemimpin DKI Jakarta. Jika tidak, lagi-lagi rakyat hanya menjadi korban dari proses pembangunan yang tidak pernah menghitung keselamatan warganya dalam proses pembangunan dan khususnya dalam penanganan bencana yang terjadi. Ini menjadi penting untuk secara lebih keras disuarakan oleh masyarakat Jakarta, karena bagaimanapun sampai saat ini, Jakarta masih menjadi sentra pengambilan kebijakan dan politik bangsa ini.
0 comments:
Post a Comment