"Teruslah menulis tentang apa yang kamu rasakan, apa yang kamu pikirkan dan apa yang kamu mimpikan. Menuliskan air yang mengalir, menuliskan daun yang gugur, menuliskan jingga yang tak pernah beranjak dari mendung". Itulah pesan singkat (sms) yang diterima Khalisah Khalid dari seorang sahabat, selepas pemuatan artikelnya "Panasnya Batu Bara" di Kompas. Karena kehangatannya dan pilihan katanya yang puitis, pesan singkat ini kuat melekat di ingatan gadis yang ramah dan supel ini.
Baginya sms-sms yang kerap menyapanya dengan simpatik, seperti alunan doa untuk setiap langkah yang dilaluinya. "Aku senang dengan pujian mereka", katanya lugas, sambil pandangnya menerawang jauh dan raut wajahnya mengeras. Seperti ada beban berat yang ia tanggung, perjalanan penuh aral dan kelokan tajam, kesakitan. Tapi itu tak lama, wajahnya kembali menjadi lembut, cerah dengan senyumnya yang hangat.
Khalisah yang akrab di sapa Alien ini kemudian bercerita tentang Banda Aceh yang membuka jalan sekaligus nyaris menutup kembali jalannya untuk menekuni dunia tulis menulis. Tulisan pertamanya yang dimuat di koran komersial adalah artikel opininya soal RUU Pemerintahan Aceh dan pengeloaan sumber daya alam. Baginya pembahasan RUU Pemerintahan Aceh masih miskin soal perspektif keberlanjutan pengelolaan sumber daya alamdan lingkungan hidup. . Keperduliannya itu tak lepas dari perannya sebagai juru kampanye Walhi Aceh.
Hanya sekali itu saja opininya dimuat di koran lokal, setelah itu Alien kembali tenggelam dalam kesibukannya, rutinitas, pergulatan batinnya dan kemudian menulis bukan lagi prioritas. Bahkan katanya dunia tulis menulis bukan dunia yang menarik baginya.
Sampai kemudian bak disambar petir Alien dikejutkan diagnosa dokter, bahwa sakit luar biasa di kepalanya diakibatkan oleh pembekuan darah di kepala. Bahkan kemudian dokter ahli syaraf yang melakukan diagnosa, dengan nada yang cukup halus mengatakan kemampuan berpikirnya dibawah rata-rata orang dewasa normal.
Prak, diagnosa dokter itu kemudian mengoncangkan kembali batinnya. "Aku merasa tidak ada artinya menjadi manusia" ujarnya getir.
Ironis memang, kepergiannya ke Banda Aceh yang diniatkan untuk memulihkan dirinya, kini memberinya lagi pukulan yang keras. "Aku tinggalkan Banda Aceh, tempat dimana aku sempat menemukan titik balik dalam proses hidup yang aku jalani. Membangun kehidupan baru setelah aku merasakan layar hidupku karam".
Alien tak larut dalam duka dan kekecewaannya, segera setelah kembali ke kota kelahirannya Jakarta ia segera meneguhkan tekadnya untuk menulis kembali. Menguji kemampuan berpikirnya yang dianggap dokter di bawah rata-rata orang dewasa, sekaligus ingin menunjukkan pada dokter syaraf itu bahwa apa yang disampaikannya salah.
Tidak sia-sia berkat kerja kerasnya artikel opininya yang kedua, dimuat di harian Kompas edisi Jawa Barat. Sejak itulah tulisannya terus mengalir dan di muat di harian Kompas edisi Nasional dan Koran Tempo, selain beberapa media yang dikelola NGO. Bahkan kemudian atas permintaan salah satu pengasuh rubrik Swara di harian Kompas, Alien sempat menulis untuk Kompas soal jender dan lingkungan hidup.
Walau dunia tulis menulis telah membuka jalan baginya untuk memulihkan dirinya, untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, ia msih terus menanggung derita kesakitan di kepalanya. "Aku harus merasakan sakit kepala, selepas menulis", katanya sambil menghela nafas. "Namun semua itu aku anggap bagian dari proses terapi yang kubangun sendiri. Membangun kepercayaan diri", ujarnya penuh keyakinan.
Sekedar ingin membuktikan aku tidak bodoh, kemampuanku sama dengan orang-orang lainnya", kemudian ujarnya merendah.
Kabar dari Kawan
Posted by khalisah khalid at 4:29 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment