Sepuluh hari ini, saya diberi kesempatan berjumpa dengan calon penulis-penulis hebat di Kalimantan Timur. Saya menyebutnya calon penulis hebat, karena banyak dari teman-teman yang hadir disini baru pertama kali terjun dalam dunia "tulis menulis". Namun ada yang membuat keberadaan saya disini berkesan, sebagai penulis "pemula",
teman-teman dapat memberikan begitu banyak pengetahuan yang bisa saya dapatkan.
Sebagai pendatang baru di kota Samarinda ini, saya seperti diajak berwisata oleh teman-teman, mengenali wilayah ini lebih jauh lagi. bukan hanya cerita-cerita yang biasa dan bisa saya surfing dengan mudah melalui internet, namun lebih dari itu. penulis-penulis ini mengajak saya mengenali kalimantan timur dalam sudut pandang yang berbeda.
sebut saja wisata kuliner yang tersedia di samarinda, bukan hanya bercerita tempat dimana saja kita bisa menjumpai aneka makanan atau jajanan. Marcel, salah seorang peserta yang memiliki senyum manis ini, mengenalkan saya bagaimana kuliner dapat dilihat dalam sudut pandang historis, sosiologis dan ekonomi.
kuliner di samarinda tidak bisa dilepaskan dari sebuah pertarungan ekonomi antar etnik yang bisa dianalisis dari aneka makanan yang "dikuasai" produksinya oleh etnis tertentu. misalnya orang-orang Lamongan yang menguasai makanan sari laut atau soto yang dikuasai oleh orang makassar. penguasaan terhadap produksi makanan ini, tidak lepas dari asal muasal jenis makanan itu sendiri. Marcel menyebutnya dengan masakan yang berbasis "kompetensi" dari asal daerah.
dalam perjalanannya, wisata kuliner di Samarinda mengalami pergeseran dimana terjadi apa yang disebut dengan diversifikasi kuliner. Misalnya orang-orang buton yang banyak menguasai warung "DJenggo", yang menjual aneka makanan dari berbagai daerah dan anehnya justru tidak ada makanan yang berasal dari buton.
dalam pandangan saya, apa yang disampaikan oleh Marcel dalam tulisannya terkait dengan wisata kuliner Samarinda ini, sarat dengan analisis ekonomi politik. dimana salah satu entitas dapat mempertahankan kehidupannya termasuk didalamnya kehidupan berekonominya, jika dia berada dalam satu komunitas etnisnya.
dan analisis ini sungguh luar biasa menariknya, karena dalam hampir semua program wisata kuliner yang semakin marak di berbagai media massa, wisata kuliner direduksi hanya seolah-olah urusannya hanya terkait dengan pengolahan resep-resep masakan, dan miskin dari berbagai "warna" yang sesungguhnya tidak bisa dihilangkan dari pengetahuan tentang seluk beluk kuliner itu sendiri.
Meskipun saya belum pernah berkunjung ke warung Djenggo, paling tidak dari sini saya mengerti bagaimana sistem berjualan warung ini yang biasanya dibuka dari mulai jam 20.00 hingga jam 03.00 pagi. unik, karena warung ini punya sistem "penghitungan" pembayaran yang berbeda dari warung-warung makan lainnya.
Posted by khalisah khalid at 10:40 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Wah. Mbak ini bener-bener keliling daerah yak. Kerja di Walhi kah mbak?
maaf baru merespon, sesekali keliling daerah. ya, saya dimandatkan untuk menjadi pengurus Walhi sampai 2 tahun kedepan.
trims telah berkunjung ke blog ini
tuh kan bener, mbak dari walhi. Saya dari kaltim mbak. tapi di bagian utara, tideng pale.
kenapa walhi jarang ke utara mbak?
Di sini banyak masalah lingkungan yang musti dikawal oleh masyarakat.
andai walhi bisa menyemai gagasan pengawalan teresbut pada masyrakat, tentu daerah utara akan sedikit lebih maju dalam pengelolaan lingkungan.
Atau sudah sering ke sini mbak?
di kaltim ada pengurus walhi daerahnya. bukan tidak hendak mengurus soal lingkungan di bagian utara, kemungkinan karena sumber daya teman2 disana memang terbatas, sementara persoalannya begitu kompleks.
suami saya orang samarinda, jadi bolak-balik jkt-samarinda.
salam
Post a Comment