cahaya

Dan lihatlah,
Tiang-tiang yang berlarian dijendelamu
Kita diam dalam hakikat gerak
Benar,
Tujuan kita adalah cahaya (ES)

Dan aku terhenyak dalam kesendirian
Ditempat ini
Ketika cahaya menjadi sebuah keniscayaan
Yang tak pernah dapat kugapai (lien)

Baca selengkapnya...

Perempuan dan Sumber Daya Alam

Kamis, 31 Agustus 2006 merupakan hari terakhir dari pertemuan nasional aktivis Perempuan Indonesia yang berlangsung selama empat hari. Pertemuan yang mengusung tema merajut kebersamaan untuk membangun kembali format gerakan perempuan sebagai gerakan sosial ini, mengusung 12 pembahasan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan, antara lain perempuan dan politik, perempuan dan sumber daya alam (SDA), perempuan dan pendidikan, perempuan dan globalisasi, perempuan dan kemiskinan, perempuan dan fundamentalisme, perempuan dan teknologi, perempuan dan media, perempuan dan seksualitas, perempuan dan budaya, perempuan dan hukum, serta perempuan dan bencana.

Kebetulan saya diberi mandat oleh kelompok pembahas perempuan dan sumber daya alam (SDA) untuk masuk menjadi salah satu tim perumus untuk merencanakan agenda bersama gerakan perempuan Indonesia serta manifesto gerakan perempuan Indonesia. Tema perempuan dan sumber daya alam ternyata masih menjadi tema yang "baru" familiar oleh sekitar 350 orang peserta dari 28 provinsi di Indonesia. Selama ini gerakan perempuan Indonesia masih melihat persoalan sumber daya alam, hanya sebagai objek (korban) dari eksploitasi sumber daya alam.

Sesungguhnya jika melihat persoalan sumber daya alam, yang perlu dilihat adalah aktor dari sistem kapitalisme yang masuk melalui jargon globalisasi, yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia lewat lembaga keuangan internasional, TNC's/MNC's dan didukung penuh oleh negara sebagai pembuat kebijakan yang telah menjarah sumber daya alam dan melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya perempuan. Sehingga selalu menempatkan
perempuan tidak memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber daya alamnya. Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk marginalisasi terhadap perempuan, karena alat-alat produksi
di pertanian misalnya, tidak dapat diakses oleh perempuan.

Untuk itu, ada beberapa agenda bersama yang diusulkan oleh kelompok perempuan dan sumber daya alam, sebagai sebuah agenda bersama bagi seluruh gerakan perempuan Indonesia, antara lain:

1. Mempromosikan hak asasi perempuan dalam sumber daya alam (SDA)
2. Mengintegrasikan isu SDA dan perempuan dalam gerakan sosial
3. Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam
4. Pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang responsif gender, antara lain
dengan melakukan penguatan kelembagaan tani perempuan, nelayan perempuan, buruh
tani perempuan, buru perkebunan perempuan
5. Menuntut tanggung-jawab negara dan corporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup
dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya perempuan dan adat
6. Advokasi kebijakan dan kasus-kasus sumber daya alam

Dalam manifesto gerakan perempuan Indonesia, butir-butir yang menjadi tuntutan kepada negara, dalam sektor sumber daya alam antara lain:
1. Negara memberikan jaminan perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak asasi warga
negara baik individu maupun kelompok, terutama kelompok perempuan dan masyarakat
adat dalam mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat
2. Menolak privatisasi seluruh sektor-sektor strategis, yang didorong oleh lembaga keuangan
Internasional maupun TNC's/MNC's

manifesto dan agenda bersama gerakan perempuan Indonesia ini, diharapkan akan mampu berkontribusi bagi perwujudan keadilan rakyat tanpa diksriminasi dan penindasan, bersama dengan seluruh gerakan sosial yang ada di Indonesia.

Baca selengkapnya...

green student movement

Sabtu-Minggu kemarin, aku memfasilitasi sekumpulan anak-anak muda Jakarta dari berbagai kampus yang mengikuti pendidikan environmentalist muda. sekumpulan anak-anak kota yang ternyata masih memiliki minat dan kepedulian luar biasa terhadap perbaikan kondisi lingkungan hidup Jakarta dan sekitarnya. lagu, joged dan musik mengiringi proses pendidikan ini, warna-warni kelas layaknya ada pesta ulang tahun membuat pendidikan lingkungan ini berbeda dari pendidikan lingkungan kebanyakan. vibrant habis man................. begitu komentar salah seorang kawan. tak perlu takut salah, tak perlu ragu, tak perlu malu karena disini setiap orang boleh berimajinasi dan bertindak bebas untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik.

Segenap keresahan terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup di jabodetabek diungkapkan dengan sangat manis lewat lagu terajana yang digubah liriknya. polusi, semrawut, sumpek, bikin sesak nafas (apalagi ada juga peserta yang punya asma), kotor dan pemerintah DKI yang nggak becus ngurusin persoalan lingkungan hidup mengalir seperti aliran kali ciliwung yang hitam pekat, "begitu komentar salah satu peserta".

yang menarik adalah, ketika mereka tidak hanya curhat lingkungan. tapi mereka juga coba membangun mimpi dan harapan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup Jabodetabek ini. haiiiii, mereka bahkan bisa membuat konsep Jakarta sebagai kota yang betul-betul sejuk, nyaman, ada sarana transportasi massal yang baik dan bahkan ada transportasi sungainya loch..... mereka menuangkan ide-idenya lewat imajinasi yang disampaikan dalam alur yang menarik pada sebuah pictogram.

Seandainya bang Gubernur DKI Jakarta tahu, bahwa ada sekumpulan anak-anak muda gaul yang mempunyai konsep dan visi pembangunan kota Jakarta yang luar biasa. pasti sang Gubernur ini akan datang di kegiatan pendidikan environmentalist muda ini.

Bagi mereka tak ada yang mustahil, karena mimpi-mimpi ini akan mereka sampaikan pada semua orang yang juga punya kepedulian untuk merubah Jakarta menjadi kota yang nyaman dan sehat untuk semua orang. ide-ide dan gagasan ini akan mereka promosikan lewat sebuah kreatifitas mereka dimasing-masing komunitas, entah itu komunitas seni, komunitas anak mall, komunitas pencinta alam, dan komunitas lainnya.

Walhi Jakarta sebagai organisasi yang melaksanakan training ini memang berharap gerakan lingkungan hidup di Jakarta akan didukung oleh seluruh publik. kita percaya bahwa ide-ide dan gagasan cemerlang akan lahir dari kelompok muda, selain itu kita juga percaya bahwa kelompok muda adalah motor gerakan yang bisa bekerja pada semua tingkatan komunitas dengan baik. kita mengharapkan, kelompok muda inilah yang akan menjadi jembatan antara kelas atas dan kelas bawah dalam strata sosial di Jakarta.

Pangkalan environmentalist (Pun-E) menjadi sebuah ruang baru kedepannya bagi kelompok muda di Jabodetabek yang akan menuangkan semua kreatifitasnya, tempat diskusi, ada punk green shop, internet pangkalan, pangakalan green cafe, tempat belajar, tumbuh dan berkembang anak muda dalam gerakan lingkungan hidup di Jakarta untuk mempromosikan sebuah gagasan Jakarta Ecocity Initiative Progam for the Future, untuk menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang berkeadilan lingkungan (eco justice) bagi semua orang yang hidup didalamnya.

Pokoknya, menarik dech. Memang yang muda, yang punya semangat!!!!

Baca selengkapnya...

serunya temu nasional aktifis perempuan

Hari ini (28 Agustus 2006), aku harus berangkat lebih pagi dibandingkan dengan hari-hari biasanya. maklum, hari ini sampai tiga hari kedepan aku menjadi peserta temu nasional aktifis perempuan, setelah sebelumnya membuat sebuah tulisan tentang bagaimana membangun mainstraming gender dalam gerakan lingkungan hidup yang selama ini aku lakukan. senang sekali rasanya, bisa bergabung dengan ratusan aktifis perempuan lainnya dan juga ada aktifis laki-laki (30% dari jumlah peserta yang hadir) dari 28 provinsi di Indonesia.

Dijadwal acara, panitia mencantumkan bahwa kegiatan ini akan dibuka oleh mas SBY, dan juga akan hadir Menteri Pemberdayaar Perempuan. sehingga, banyak peserta yang antusias karena
kepingin bertemu dengan mas SBY yang sudah punya inistaif menaikkan harga BBM yang semakin memarginalkan kelompok perempuan. hmm........ tapi sayang, sepertinya banyak peserta yang jadi ikut latah kena program tayangan tv, mimpi kali ye ............................ mas SBY ternyata tidak jadi datang, sang pembantunyapun si mbak Mutia Hatta tak menampakkan diri. ada beberapa kemungkinan kenapa mereka tidak datang. pertama, mereka memang tidak sensitif gender. kedua, mereka menganggap isu perempuan tidak seksi. ketiga, mungkin mas SBY malu bertemu dengan aktifis perempuan yang cantik-cantik dari berbagai daerah.

Tapi sudahlah, ternyata acara tetap berlangsung dengan baik kok, meskipun yang membuka acara ini bukan mas SBY, toh aktifis perempuan ini cukup berani untuk membuka acara secara bersama-sama dengan membacakan sikap perempuan Indonesia.

Tak lama kemudian, aku sedikit terperangah dengan ketika sosok perempuan tua renta berjalan tertatih-tatih naik ke atas pentas. ya... sosok ibu Hartini, aktifis perempuan 65 yang tergabung dalam perjuangan Gerwani yang melakukan perjuangannya untuk memperbaiki kondisi perempuan Indonesia. berbagai deraan dan siksa harus dilalui, sebagai konsekuensi perjuangannya. aku begitu kagum dan tertunduk hormat, untuk sebuah nilai-nilai yang dia yakini sampai hari ini, bahwa nasib kaum perempuan Indonesia harus berubah dan perubahan itu hanya bisa didapatkan dengan perjuangan keras dari semua orang. tanpa kenal berhenti dan menyerah, terus menggalang kekuatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi gerakan para anggota Gerwani.

Aku bahkan malu, ketika aku melihat kembali lagi diriku yang sudah mengalami keputusasaan, dihinggapi rasa jenuh dan bosan pada gerakan membangun sebuah perjuangan yang memanusiakaan perempuan. aku yang masih muda, yang seharusnya masih berenergik untuk berjuang memperbaiki nasib kaum perempuan dan rakyat tertindas lainnya, ternyata begitu mudah menyerah pada realitas yang sesungguhnya perwujudannya adalah dari kata-kata yang kita rangkai sendiri.

Selepas ibu Hartini membuatku merasa begitu kerdil, aku coba tanamkan kembali sebuah keinginan baru untuk membangun mimpi-mimpi itu lewat gerakan kaukus perempuan dalam gerakan lingkungan hidup, yang hari ini dipercayakan oleh organisasiku untuk aku yang komandoi.

Suasana menjadi riuh ketika sessi seminar dimulai, berbagai tema menarik disuguhkan antara lain perempuan dan politi, perempuan dan globalisasi, perempuan dan seumber daya alam sampai perempuan dan kebudayaan. Suasana riuh tak ubahnya seperti diterminal mewarnai proses komentar dan waktu tanya jawab untuk peserta. banyak peserta yang mengajukan tangannya tinggi dan teriak asal daerah, supaya moderator mendengar dan memberinya kesempatan untuk berkomentar atau bertanya. akupun salah seorang yang berteriak-teriak, Jakarta-Jakarta-Jakarta, sayangnya moderator tidak menunjukku sebagai komentator. tapi menarik dan aku suka, begitulah kalau aktifis perempuan berkumpul, "pikirku dalam hati".

ya, tidak terasa. waktu terus bergulir hingga sore dan acara seminarpun berakhir. tapi sejuta tanda tanya besar yang masih ingin dilontarkan peserta, terpaksa harus dibawa dulu dalam mimpi, sampai bisa diungkapkan dalam acara workshop esok harinya. harapan terbesarnya, kita akan merumuskan secara bersama-sama, manifesto gerakan perempuan Indonesia. tentu saja mimpiku juga ada yang akan kuungkapkan esok hari, bagaimana agar dalam pertemuan nasional aktifis perempuan keluar sebuah sikap tegas bahwa corporasi, lembaga keuangan internasional, dan negara bukan hanya sedang melakukan kejahatan lingkungan hidup, tetapi juga sedang melakukan kejahatan kemanusiaan. atas dasar itulah, para aktor tersebut harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak atas lingkungan dan hak asasi perempuan.

Baca selengkapnya...

cerita nelayan dari muara kamal

beberapa waktu yang lalu, bersama crew's sctv menyambangi salah satu perkampungan nelayan. kami mendatangi kampung muara kamal, perkampungan yang sedang merasakan geliat keresahan. ya ..... keresahan kehilangan mata pencaharian, kehilangan kampung, bahkan kehilangan identitas diri mereka sebagai manusia. eksistensi mereka sebagai nelayan, akan segera hilang, seiring dengan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi jakarta untuk proyek reklamasi pantura.

cerita-cerita kesedihan nasib kaum nelayan, tani, buruh, miskin kota dan kelompok terpinggirkan lainnya sudah biasa aku dengar dari hampir sebagian besar ujung barat hingga ujung timur Indonesia. tapi sungguh, sejak kembalinya aku dari tanah serambi Mekkah yang juga menurutku masih belum bisa menikmati kemerdekaan sesungguhnya, meskipun MoU perdamaian Helsinki telah ditandatangani, namun tetap saja rakyat aceh tidak bisa memeliki kewenangan untuk mengelola kekayaan alamnya. ternyata kesedihan orang-orang yang hidup dipinggiran jakarta terus saja terjadi, terlebih ditengah maraknya kampanye pergantian rezim daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, politik dan pengambil-keputusan kebijakan nasional.

cerita sedih nelayan muara kamal menjadi titik awal dari kembalinya aku bergabung bersama gerakan lingkungan hidup di Jakarta. kembali aku harus menyaksikan satu persatu lembaran perjuangan hidup kaum nelayan yang memang sejak lama telah terpinggirkan dari pembangunan yang tidak adil ini. para nelayan yang berjuang untuk mempertahankan keluarganya dari kemiskinan dan kebodohan. ketika alat-alat produksi nelayan seperti bagan-bagan nelayan digusur oleh pemerintah, nelayan di muara kamal hanya mengandalkan mata pencahariannya dari budidaya kerang. semula nelayan bisa mendapatkan hasil dari jerih payahnya sebesar Rp. 200.000-300.000/hari, kini mengalami penurunan yang sangat drastis yakni Rp. 50.000-70.000. bayangkan, uang tersebut untuk menghidupi keluarganya, belum lagi untuk mengeluarkan ongkos mereka melaut seperti membeli solar yang harganya melangit pasca kenaikan BBM.

ibu-ibu yang dengan jelas nampak guratan tangannya menggambarkan bagaimana mereka harus berpeluh keringat mengumpulkan setiap lembaran uang ribuan, dari mengupas kerang. satu ember yang dihasilkan, mendapatkan imbalan upah hanya Rp. 1000, dan paling banyak mereka hanya bisa mengumpulkan sepuluh ember. bagaimana dengan uang Rp. 5000/hari, mereka bisa memberi makan anaknya dengan penuh gizi, apalagi sampai menyekolahkan anak-anaknya.

aku hanya terdiam, sambil memandang lepas ke tengah laut. Tuhan ....... aku merasa tidak mampu berdiri disini, diantara sejuta kesedihan dan kedukaan di negeri antah berantah ini. tangan-tangan ini terlalu kecil untuk menghadapi seorang pemimpin yang menggunakan gaya dan kebiasaan militer untuk membangun daerah kekuasaannya. rasanya tidak ada yang sanggup, teman-teman miskin kota bahkan berkali-kali harus mengalami
kegagalan berbenturan dengan temgbok-tembok kekuasaan ini.

dan yang menambah aku muak, ketika mata ini tertuju pada sebuah news cyber, yang menuliskan kisah pemimpin provinsi yang menjadi ibukota ini. "saya orangnya tidak tegaan", begitu nada santun yang dilontarkan oleh sutiyoso. tiba-tiba tawa sinis saya meluncur indah dari bibir ini, jika dia orang yang tidak tegaan, lalu siapa yang memerintahkan untuk menggusur sekian ratus ribu rakyat miskin kota di Jakarta ini?? dengan alasan bahwa rakyat miskin kota yang tinggal di emperan, di bantaran sungai, di kolong jembatan adalah warga gelap yang tidak punya identitas diri atau surat formal legal lainnya. sebuah pembenaran yang sangat terlihat bodoh dan ngaco. karena negara ini sudah meratifikasi konvenan HAM dibidang sekonomi, sosial dan budaya (ekosob), serta sipil dan politik. jadi seharusnya, siapapun yang menjadi pengurus negara, maka dia berkewajiban untuk menjamin, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap rakyatnya. tidak ada urusan, apakah dia punya karti identitas diri atau lainnya. ayam saja bisa menjadi pelindung bagi pitik-pitiknya, kenapa penguasa kita tidak pernah belajar dari kehidupan ayam ini??

ah .................. mudah-mudahan tangan kecil ini tak lelah untuk terus berada dan bisa membantu orang-orang
miskin yang hari ini terus menerus menjadi sapi perahan dan korban kepongahan serta kebegoaan pemerintah
mengurus negeri ini. sehingga mimpi-mimpi para kaum miskin kota untuk hanya sekedar bisa punya tempat tinggal yang mungil, bisa mencari nafkah dengan aman dan tidak dikejar-kejar pol PP, dapat menjadi realitas hidup yang nyata adanya.


Baca selengkapnya...

Reklamasi Pantura

Proyek Mercusuar yang Menghancurkan Lingkungan dan Memiskinkan Nelayan

Oleh : Khalisah Khalid

Secara geografis, Teluk Jakarta terletak disebelah Utara kota Jakarta, adalah perairan dangkal (kedalaman rata-rata 15M), dengan luas sekitar 514 KM2. Di teluk ini bermuara 13 sungai yang melintasi Kawasan Metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Kepulauan Seribu, terdiri atas 108 pulau, adalah gugusan kepulauan yang terletak di Teluk Jakarta. Pulau-pulau kecil ini tersebar di atas kawasan dengan jarak 80 km Barat Laut - Tenggara dan 30 km Barat-Timur, dengan luas rata-rata kurang dar 10 ha dan elevasi rata- rata dari muka laut kurang dari 3M. Dengan perkembangan Kawasan Metropolitan Jakarta selama setengah abad terakhir, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu menerima tekanan yang besar sebagai akibat dari aktivitas manusia, anatara lain berupa: pencemaran, perubahan ekosistem alami menjadi buatan, dan eksploitasi sumberdaya pesisir secara berlebihan. Dari sudut pandang lingkungan hidup, Kepulauan Seribu merupakan kasus khusus. Pulau-pulau ini sangat rawan dan sensitif, 3 diantara 108 pulau telah hilang selama 15 tahun terakhir. Ukurannya yang kecil, sumberdayanya yang terbatas dan posisi geoigrafisnya yang terpencar-pencar dan terisolasi dari pasar, membuat pulau-pulau ini tidak menguntungkan secara ekonomi.

Kondisi Teluk Jakarta, semakin hari semakin berada pada titik kronis. Berbagai dampak telah dirasakan, terutama terkait dengan pencemarannya yang semakin meluas, pada tahun 2004 kembali muncul berita di surat kabar bahwa pencemaran Teluk Jakarta telah mengakibatkan matinya ikan-ikan dan budidaya nelayan lainnya. Selain itu, proyek reklamasi Pantura yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta menambah daftar panjang dari proses-proses menuju bencana ekologis di Jakarta.

Reklamasi Pantura: Proyek yang Memicu Bencana Ekologis Jakarta

Salah satu permasalahan yang terbesar dihadapi dan akan menjadi titik pemicu dari bencana ekologis di Jakarta adalah rencana proyek reklamasi Pantura, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta, yang bekerjasama dengan perusahaan antara lain dengan PT. Kapuk Naga Indah (PT. KNI) pada bulan Oktober 2006. Sejak lama WALHI bersama dengan lembaga-lembaga yang concern dengan lingkungan menyatakan penolakan terhadap proyek mercusuar Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi Pantura dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan pemukiman dengan membangun pusat bisnis, perkantoran perdagangan dan industri serta pemukiman. Rencana pembangunan reklamasi Pantura dengan mengurug pantai sedalam 8M dan selebar 2 KM dari garis pantai dan sepanjang 30 KM dari sebelah Timur perbatasan Cilincing dengan Kabupaten Bekasi sampai dengan sebalah Barat perbatasan Penjaringan yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

Penolakan WALHI bersama lembaga lingkungan yang lain secara tegas disebutkan biaya lingkungan (environmental cost) yang akan dihasilkan dari proyek ini jauh lebih besar, daripada keuntungan ekonomis yang didapat. Dari hitungan antara biaya dan manfaat yang dikeluarkan oleh Pemerintah didapatkan hasil bahwa reklamasi Pantura hanya menyisakan kerugian sebesar Rp. 2,927 Trilyun, yang tentu saja tidak sebanding dengan pemulihan ekologi sebagai dampak dari proyek reklamasi tersebut.

Berdasarkan hitungan ekonomis dari sudut pandang lingkungan ini juga menyebutkan bahwa melakukan reklamasi Pantura dengan perencanaan yang ada akan semakin memarginalkan kaum miskin perkotaan yang telah lama bermukim disepanjang wilayah yang akan terkena proyek reklamasi, serta yang terpenting akan mengancam kelangsungan ekosistem Jakarta seperti ekosistem mangrove yang dapat menjadi penangkal abrasi, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem lainnya. Reklamasi Pantura akan berpotensi besar menghilangkan cagar alam Muara Angke yang hari ini menjadi satu-satunya kawasan yang berfungsi ekologis. Selain itu, reklamasi Pantura juga akan mengancam pulau-pulau Mikro yang ada di sepanjang Kepulauan Seribu.

Reklamasi memang bukan barang yang haram, seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Tetapi reklamasi yang dilakukan tanpa memperbaiki kondisi lingkungan hidup dari hulu, seperti sistem drainase dalam kota, maka reklamasi hanya menyisakan persoalan baru, baik yang menyangkut persoalan lingkungan hidup dan persoalan sosial lainnya. Pemerintah Provinsi Jakarta melihat persoalan lingkungan hidup masih secara parsial dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk menyelesaikan persolan lingkungan hidup cenderung bersifat mikro, dan justru menimbulkan persoalan baru di daerah hilirnya.

Reklamasi akan menjadi pemicu dari bencana ekologis di Jakarta, antara lain dampak (1) banjir, yang dikarenakan 13 aliran sungai yang mengalir dan bermuara ke Teluk jakarta, akan mengalami kelambatan karena jalur yang ditempuh semakin panjang dan dan kecepatan aliran sungai berkurang, laju sedimentasi di muara meningkat. (2) merusak sistem tata air dikarenakan ketiga belas sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta akan bertambah panjang 1,5 KM, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter. Air sungai akan sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, diperkirakan akan terjadi kerusakan sistem tata air pada radius 8-10 Km dari bibir pantai lama (Dr. Arwin Sabar, Teknik Lingkungan ITB).

Reklamasi Pantura: Memiskinkan Nelayan

Asumsi yang digunakan oleh pemerintah Provinsi Jakarta, bahwa reklamasi Pantura akan memberikan kesejahteraan kepada nelayan yang hidup di sepanjang kawasan Teluk Jakarta, merupakan salah satu asumsi yang berbanding terbalik dengan kondisi nasib nelayan hari ini.

Fakta di perkampungan nelayan yang tinggal dan hidup dari manfaat Teluk Jakarta, justru semakin terpinggirkan. Proyek reklamasi Pantura ini, paling tidak telah menggusur alat-alat produksi nelayan yang berada di Muara Angke, Kamal Muara dan Dadap. Akibat dari penggusuran alat-alat produksinya, para nelayan ini mengalami penurunan mata pencaharian yang cukup drastis. Sebelumnya, nelayan bisa menghasilkan Rp. 200.000-300.000 ribu/hari, setelah alat-alat produksinya digusur, para nelayan kini hanya mengandalkan dari budidaya kerang yang setiap harinya mendapatkan hasil Rp. 50.000-70.000/hari, dan tentu saja ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain itu, para nelayan juga mendapatkan intimidasi dan ancaman-ancaman penggusuran setiap harinya. Dari sini jelas terlihat bahwa Pemerintah Provinsi Jakarta telah melakukan pengabaian dan pelanggaran terhadap hak asasi manusian (HAM) yang seharusnya justru kewajiban pemenuhannya melekat kepada Negara.

Dari sini jelas membuktikan bahwa alasan Pemerintah Provinsi Jakarta untuk hanya merupakan upaya-upaya untuk membohongi publik. Dengan reklamasi Pantura ini, sesungguhnya nelayan justru menjadi korban dari kebijakan Pemerintah ini. Bukan hanya digusur atau mendapatkan intimidasi, tetapi juga akan dipindahkan ke lokasi lain yang artinya berarti juga akan merusak tatanan sosial dan budaya nelayan setempat yang telah hidup turun temurun disini.

Proyek reklamasi Pantura ini memang bukan ditujukan bagi kesejahteraan kelompok nelayan yang selama ini telah termarginalkan oleh sistem pembangunan kota Jakarta, melainkan untuk kelompok pemodal yang akan menggunakan Pantura sebagai areal bisnis dan orang-orang kaya yang akan menjadi penghuni di areal pemukiman yang juga akan dibangun disana.

Baca selengkapnya...

Opini

Menyoal RUU PA dalam Agenda Pengelolaan Sumber Daya Alam

Oleh : Khalisah Khalid

Nasib RUU Pemerintahan Aceh yang saat ini sudah sampai pada pemerintah pusat, merupakan sebuah komitmen kedua belah pihak baik pemerintah RI maupun Gerakan Aceh Merdeka pasca MoU Perdamaian, untuk memberikan harapan baru bagi sebuah negeri yang telah mengalami sejarah konflik yang tak berkesudahan. Tentu saja kita semua berharap, agar gerbang perdamaian yang telah terbuka di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat menjadi tonggak baru sebuah kehidupan berbangsa.

Kita menyadari, bahwa selama ini kekayaan Aceh telah semakin menipis dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, harus menjadi tanggungan rakyat Aceh. Bukan hanya soal kedaulatan rakyat yang tercerabut, kemiskinan, ketertinggalan, dan banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia mewarnai ladang perusahaan-perusahaan besar. Realitas yang terjadi hampir 30 tahun ini, rakyat yang hidup di sekitar perusahaan pertambangan migas, 40-60% adalah penduduk miskin.

Sayangnya, harapan untuk mendapatkan kedaulatan Aceh sepenuhnya yang tertuang dalam pasal yang diusulkan rakyat Aceh, telah di”manipulasi” lewat pemangkasan pasal-pasal yan dianggap krusial yang diusulkan oleh rakyat Aceh, antara lain yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), kita masih berharap ruang-ruang untuk memberikan bacaan secara imparsial masih terbuka ditengah waktu yang tinggal sedikit lagi, sebelum ketuk palu dijatuhkan untuk mensahkan RUU Pemerintahan Aceh yang sangat dinantikan oleh rakyat Aceh khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya sebagai preseden baik untuk sebuah penyelesaian konflik.

RUU PA, Sebuah Kewenangan Pengelolaan SDA Aceh yang Dikebiri?

Ditengah banyaknya elemen masyarakat sipil yang mencoba mengawal proses berjalannya RUU PA dari daerah hingga ke pusat, hanya sedikit yang mencoba melihat RUU PA sebagai sebuah agenda besar bagi pengelolaan sumber daya alam dan upaya pelestarian lingkungan hidup di Aceh. Kekayaan alam Aceh yang melimpah ruah, hutan, tambang, pesisir laut, dan energi dan gas (hidrokarbon), seharusnya menjadi modal utama dalam sebuah kebijakan pengelolaan perekonomian rakyat Aceh, yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Aceh dan keberlanjutan hidup antar generasi didalamnya.

Didalam nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), disebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yan ada saat ini dan dimasa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

Saya mencoba mengajak kita semua untuk melihat kembali pasal-pasal dalam RUU PA, terutama mengenai beberapa pasal yang kita nilai terlalu berani untuk dipangkas oleh departemen dalam negeri karena akan berkibat buruk bagi kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang selama ini telah banyak mengeruk dan mengintervensi kedaulatan rakyat Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. Bab dan Pasal yang coba kita lihat saat ini adalah masalah perekonomian, dimana pengelolaan sumber daya alam (PSDA) menjadi bagian dalam laju perekonomian Aceh dalam bab XXIII yang terbagi dalam beberapa pasal dan mengatur tentang prinsip dasar perkonomian dan arah perekonomian Aceh serta pengelolaan sumber daya alam (PSDA), pesisir dan laut.


Pertama, kita melihat yang terpenting adalah soal kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya bahwa ada kesan pemerintah setengah hati memberikan hak pengelolaan perekonomian yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam kepada Aceh, padahal dalam MoU secara jelas menyebutkan bahwa prosentase perekonomian adalah sebesar 70% bagi Aceh. Harusnya dari sana pemerintah berpijak bahwa prosentase tersebut dapat terpenuhi, jika kewenangan Aceh diberikan secara penuh dalam mengelola sumber daya alamnya tanpa perlu membatasinya dengan peraturan dalam perundang-undangan lainnya sebagaimana yang diatur secara nasional, yang bersifat sektoral seperti undang-undang pertambangan, undang-undang Migas, undang-undang kehutanan dan lain-lain, yang justru akan menjadi benturan bagi pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya alamnya.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, seharusnya Aceh sebagai bagian dari kesatuan republik Indonesia menjadi penentu perekonomian nasional dan menjadi bagian dari perekonomian global dengan dibukanya kerjasama secara langsung dengan internasional. Pemangkasan kata perekonomian Aceh merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global menunjukkan bahwa ada ketakutan-ketakutan dari pemerintah terhadap otoritas yang akan dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk melakukan hubungan kerjasama dengan pihak luar, dan tidak perlu melalui pemerintah pusat.

Asumsi ketakutan yang muncul dari pemerintah ddasari atas sebuah kondisi yang tengah berlangsung bahwa hari ini, dengan kekayaan sumber daya alamnya, Aceh dari hasil minyak dan gasnya telah menyumbang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 10,6 Trilyun atau 43% setiap tahunnya. Asumsinya, jika itu langsung dilakukan oleh pemerintah aceh, praktis pemerintah pusat akan kehilangan penyokong dana terbesarnya. Dari sumbangan pendapatan yang sebesar itu, rakyat Aceh hanya mendapatkan alokasi dana dari pusat sebesar Rp. 153 miliar, tentu saja angka yang tidak berimbang dan tidak adil bagi rakyat Aceh selama ini.

Dalam pasal 130 tentang pengelolaan sumber daya alam yang berbunyi :”pemerintah aceh berwenang mengatur penyediaan, pengaturan, dan pengelolaan minyak bumi dan gas serta sumber daya alam lainnya di wilayah Aceh baik di darat maupun di laut teritorial perairan nusantara, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen”. Penegasan wewenang untuk penyediaan, pengaturan dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, lagi-lagi menyiratkan bahwa ada ketidakrelaan pemerintah terhadap Aceh. Padahal kita tahu bahwa sumber daya alam dari hidrokarbon (energi dan gas) sebagai sumber pendapatan utama Aceh dan sumber daya alam lainnya, banyak terdapat di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yakni sepanjang 12 Mil dari pulau terluar. Kita dapat melihat bahwa eksplorasi gas dan energi berada disepanjang lepas pantai ZEE, sumber daya alam minerba lainnya seperti emas, uranium atau galian c. Sumber-sumber kekayaan alam inilah yang kemudian didorong untuk menguatkan kewenangan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya.

Agenda mendesak (sebuah usulan) terhadap pengelolaan SDA

Idealnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa soal pengelolaan sumber daya alam yang masuk kedalam bab XXIII perekonomian, sangat rentan terhadap eksploitasi yang dilakukan secara beras-besaran tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi didalamnya. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam lainnya yang harus diatur secara tegas kedepannya adalah sektor kehutanan dengan melihat hutan dan kawasan hutan, Ini didasari atas kekhawatiran akan pengalaman paradigma pembangunan yang selama ini berorientasi ekonomi sentris. Untuk itu, beberapa agenda penting yang harus didesak antara lain:

  1. Sambil menunggu proses pembahasan dan pengesahan RUU PA yang saat ini sedang berlangsung, pemerintah harus melakukan moratorium terhadap pemberian ijin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan selama ini. Ini menjadi penting, agar kedepannya sumber daya alam di Aceh benar-benar dikelola oleh pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangannya. Terlebih ditahun ini, pejabat Gubernur Aceh mencanangkan bahwa tahun 2006 menjadi tahun investasi di Aceh.
  2. Dalam setiap ijin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam terutama sumber daya minerba, pemerintah segera menetapkan kewajiban untuk melakukan kebijakan mine closure sebagai sebuah kewajiban perusahaan atas sumber daya alam yang telah diambilnya, bukan hanya untuk mengembalikan/pemulihan lingkungan, tapi juga pemulihan kondisi sosial masyarakat, terutama bagi pemulihan bagi masyarakat korban pelanggaran HAM.
  3. Dalam pengelolaan sumber daya alam kedepan, hendaknya secara kelembagaan, ada lembaga tersendiri yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Aceh dan tidak bersifat sektoral. Kelembagaan ini bertanggungjawab secara penuh untuk mengkoordiasikan dan mengoptimalkan departemen-departemen terkait seperti departeman ESDM (energi dan sumber daya mineral), departemen kehutanan, departemen perkebunan, departemen perikanan dan kelautan.
  4. Dalam pengeloalaan sumber daya alam sebagai modal utama dari perekonomian daerah, hendaknya tetap mengacu pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek mitigasi bencana. Ini didasari atas sebuah pemikiran, bahwa kondisi Aceh sebagai daerah yang sangat rentan terhadap bencana, selain memang faktor kehancuran ekologis sebagai akibat dari maraknya eksploitasi sumber daya alam tanpa melihat daya dukung alam didalamnya.
  5. Pemerintah hendaknya juga berhati-hati atau meminimalisir penerimaan bantuan utang luar negeri, ini menjadi penting untuk menghindari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam demi kepentingan pembayaran utang luar negeri.

Kita berharap bahwa pengelolaan sumber daya alam (PSDA) bukan hanya menjadi konsesi politik bagi sekelompok elit, sehingga sejarah perlawanan untuk mendapatkan kesejahteraan bagi rakyat tak lagi berulang. Kita juga berharap, agar RUU PA tidak mengalami distorsi maknanya bagi kepentingan rakyat Aceh, terutama yang selama ini hak-haknya telah terabaikan oleh pemerintah pusat. Selagi palu belum diketuk, selagi masih banyak do’a dari rakyat yang memberikan amanah bagi wakil rakyat untuk melanjutkan komitmen bagi perdamaian di Aceh, akan sangat baik jika kita membuat keberanian politik untuk tidak menempatkan sumber daya alam hanya sebagai ladang eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata, melainkan juga untuk keberlajutan generasi Aceh kedepan. Serta memberikan ruang kemerdekaan sepenuhnya bagi Aceh untuk menangani pengelolaan sumber daya alam mulai dari perencanaan, pengurusan izin sampai proses monitoringnya.

Baca selengkapnya...

suatu sore
dalam rinai hujan,
geliat keresahan palingkan
semua realitas jiwa

sayang,
hujan tak cukup mampu
basahi kekeringan

[180304:14.17]

Baca selengkapnya...

Percakapan sang Perempuan


“kau menangis, Naya?” mata beningmu telah banyak bicara

“menangislah, karena itu bagian dari proses penyembuhan diri”


“Selma al-faritsi, aku tau kau begitu mengangung-agungkan cinta”

“kau juga rela mati, demi kekasih hatimu”

“sebuah cerita, yang dituliskan filosof cinta”

“dalam keabadian cintamu”

“tapi katakan padaku, apakah cinta juga bagian dari takdir Tuhan”?


Cinta dan kematian, dia takdir Tuhan

Kehendak-Nya, menjadi sebuah janji dan keniscayaan


“Tapi kematian cintaku bukan takdir-Nya, Selma”

‘Ini kejahatan, yang dia lakukan kepadaku’

‘Dia mengoyakkan layar yang telah terpasang”

“Ditengah gelombang”

“Dia ingin menenggelamkan aku dalam kematian”

“Dan ini bukan takdir Tuhan, ini kejahatan”


Selma,

“aku tidak mampu berlayar sendiri”

“aku tidak bisa lagi menatap kehidupan yang ada didepan sana”

“aku takut, Selma” sungguh aku takut

“aku tidak mau tenggelam dan mati”

“aku ingin lepaskan tirai belenggu ini”

“aku tak mau, ini menjadi hijabku”


Naya,

“kau tidak akan tenggelam dengan kekuatan cintamu”

“Menepilah Naya”,

“Jika layarmu telah terkoyak’

‘Kayuhlah perahumu, sekuat hatimu”

“Tuhan akan selalu jaga dan temani kamu”

‘Dalam setiap tarikan nafasmu”

“Kesendirianmu akan membawamu pada cahaya kemuliaan”

“Kesendirianmu tak akan membuatmu sepi”


“Tengoklah ditepi sana”,

“Janda-janda korban konflik yang mengungsi”

“Telah banyak kehilangan orang-orang yang dikasihinya”

“Tapi mereka tak pernah kehilangan cintanya”

“Kekuatan cinta membuat mereka terus hidup”

“Sampai hari ini ……

“kekuatan cinta mereka, justru menjadi bara api

“perempuan yang tegar dan bangga”

“suami dan anak-anaknya harus mati”

“ditimpa logam panas tentara”


“Pandanglah matamu ke ujung sana”,

“Anak-anak korban bencana yang menari indah”

“Meskipun hentakan gempa dan gelombang”

“Menghancurkan keluarga pelindungnya”

“Tapi kekuatan cinta, tak akan pernah”

“Menenggelamkan hari-hari depannya”

kau bisa ada ditengah-tengah mereka

dengan tatapan dan sentuhan cinta

karena hanya itu yang kita punya


Naya,….

“Jika kekasih hatimu meninggalkan kelukaan yang dalam”

“Jangan menambahnya dengan kesendirian”

“yang akan membuat sepi dan selalu membuatmu merasa lemah”

“Dan tak berdaya”


“Cintamu, akan menguatkan hatimu”

“Kekuatanmu, akan meneguhkan keyakinanmu”

“Akan sebuah keniscayaan”

“Bernama cinta dan kehidupan”


“tapi, kau memilih mati untuk cintamu, Selma??”

“iya, karena aku yakin, cintaku akan membuatku hidup

dialam kematianku”

“bukan kematian, yang semakin menenggelamkan hidupku”


”bagaimana dengan arti kesetiaan, selma”??

”Seperti yang selalu dia nyanyikan”

”Ketika kerinduan telah mencapai puncaknya”

”Apakah kesetiaan seperti secangkir kopi”

”Yang hilang aromanya”

”Sampai pada tegukan terakhirnya”


Naya,
”Kesetiaan seperti matahari”

”Yang datang disetiap ufuk timur dan barat”

”Seperti petani, yang selalu menabur benih”

”Untuk kehidupan anak-anaknya”

”Seperti nelayan yang menyebar jalanya”

”Disetiap angin bersahabat dengannya”

”Kesetiaan seperti labirin”

”Yang terus bergelayut dengan kekhusyu’annya”


dan tiba-tiba aku terperangah ditempat ini

di jalan-jalan yang pernah kulalui

seperti katamu, Selma

Sendirinya aku disini, janganlah menjadi sepi

Biarkan dapatkan cahaya kekuatan

Sebagaimana Tuhan menjanjikan

“Kau takkan pernah sendiri, Naya”

Terlalu banyak kasih-Nya yang sempurna

Menjaga dan menemanimu

Dalam setiap tarikan nafasmu



27 Mei 2006,


khalisah khalid
masih di banda

Baca selengkapnya...

feminisme vs neoliberalisme

Dari Perbincangan Feminisme VS Neoliberalisme

Oleh: Khalisah Khalid


Feminisme dan neoliberalisme adalah dua faham atau isme yang antara satu dan lainnya sangat bertolak belakang, tapi keduanya diyakini mampu mempengaruhi kehidupan manusia terlepas apakah dari kedua faham atau ajaran tersebut membawa manfaat atau mudharat baik untuk segelintir orang didunia ini yang menikmati neoliberalisme maupun kebanyakan orang di dunia ini yang mayoritas adalah manusia yang berada di negara-negara berkembang dan negara miskin.

Neoliberalisme dengan jargonnya globalisasi menebarkan banyak sekali mitos yang mengatakan bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan datang, jika tidak hari ini, besok atau lusa tapi yang pasti kerana globalisasi adalah keniscayaan maka seolah-olah atau seakan-akan dia adalah keharusan yang mau tidak mau, suka atau tidak suka pasti akan menjadi jargon dan kemudian perlahan-lahan namun pasti akan merasuk kedalam seluruh sendi-sendi kehidupan manusia baik disadari atau tidak (seperti darah yang mengalir dalam kehidupan kita), selain itu mitos keseragaman yang juga telah menghancurkan sendi-sendi bahkan kekhasan pada sebuah komunitas.

Globalisasi sebagai jargon yang telah dihembuskan oleh neoliberalisme paling tidak telah menggunakan perangkat-perangkat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir negara-negara maju yang konon katanya “sudah” mengalami masa “tradisional” sehingga saat ini sudah harus bergerak pada arus yang mengglobal dengan cara menggenggam dunia dengan hukum pasar dan dikarenakan globalisasi dimainkan oleh kekuatan pemilik modal hingga untuk masuk kedalam satu negara, tidak segan-segan mengebiri kekuatan negara lewat perusahaan trans nasional corporates (TNc’s) dan Multinasional Corporates (MNcs). Lewat agenda privatisasi, kekuatan negara perlahan telah diambil alih oleh kekuatan kapitalis.

Serangkaian dengan hal itu, neo liberalisme telah menancapkan kekuatannya lewat infra struktur yang luar biasa dahsyatnya, globalisasi sudah masuk pada tatanan isu good governance, mainstraim keadilan gender bahkan pada mainstraim kemiskinan yang dislurkan dalam agenda dana UKM. Globalisasi laksana gurita yang siap menghisap dan meremukkan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Disadari bahwa kekuatan neo liberalisme telah mengancam kehidupan mayoritas manusia di dunia, perlu kekuatan-kekuatan yang dibangun untuk menghadapi kekuatan “isme” tersebut dengan isme lain yang juga diyakini mampu melakukan perlawanan-perlawanan terhadap “isme” lain (neo liberalisme).

Feminisme adalah salah satu dari sebuah faham yang lahir dan disuarakan oleh perempuan atas kondisi ketidakadilan, kemiskinan dan marginalisasi pada perempuan yang diakibatkan oleh sebuah system patriarki yang melanggengkan penindasan. Meskipun demikian feminisme tidak secara sempit melihat struktur penindasan, karenanya feminisme berpihak pada mereka yang dilemahkan, dimarginalkan, dinomorduakan oleh sebuah system yang bernama kultur dan budaya. Singkatnya feminisme sangat jauh dengan penilaian laki-laki dan perempuan (Seksisme).

Apapun aliran yang disuarakan oleh feminis (perempuan dan laki-laki) seperti feminisme liberal, radikal, marxis, anarkis sampai eco feminis, yang terpenting dan harus digarisbawahi adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam nilai-nilai feminisme yakni anti dikotomi (antara private dan publik), anti keseragaman karena dasarnya adalah pluralitas dan sangat menghargai keberagaman, anti dikotomi (antara rasionalitas dan perasaan) dan prinsip yang terpenting melawan segala bentuk penindasan dan kekerasan.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menjadi irisan antara neoliberalisme dan feminsme sehingga jika ditarik garis dia sangat berlawanan (neo liberalisme VS feminisme). Selama ini dalam isu perlawanan terhadap neoliberalisme yang disuarakan oleh orang-orang kebanyakan, isu perempuan sebagai (kaum yang dinomorduakan) hanya menjadi isu tempelan saja. Dia hanya dilihat sebagai sebuah dampak dari sekian parahnya dampak yang diarasakan akibat dari neoliberalisme. Padahal, kalau kita mau melihatnya secara lebih jelas, ada persoalan-persoalan yang sangat substansi dari akar permasalahan neo liberalisme terhadap perempuan.

Neolib jika kita nilai ternyata merupakan rezim patriarki baru yang antara lain warnanya dapat dilihat pada proses dimana neolib secara structural telah membawa kehancuran secara massif sehingga kerap kali neolib mematikan “kekhasan” (kekuasaan personality) pada perempuan misalnya kemampuan perempuan untuk menenun, meracik makanan bahkan sampai pola pertanian yang digunakan oleh perempuan, selain itu neolib ternyata berkontribusi besar terhadap pelanggengan pekerjaan berdasarkan seksual. Ini dapat dilihat dari beban pekerjaan perempuan (memasak, mengasuh anak dan pekerjaan rumah lainnya) dialihkan oleh perempuan dinegara-negara maju kepada perempuan-perempuan di negara miskin dengan mengimport TKW dengan harga yang sangat murah dan bahkan sering kali tidak manusiawi.

Globalisasi secara sistemik telah menghancurkan kehidupan perempuan sebagai kelas yang telah ditindas oleh system dan struktur social semakin bertambah terpinggirkan, globalisasi secara terorganisir telah melanggengkan penindasan, hegemoni , kekerasan terhadap perempuan. Untuk konteks lingkungan hidup, hancurnya sumber daya alam akibat eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing telah berdampak pada beban berlebih pada perempuan.

Sebagai sebuah faham anti penindasan, melihat akar persoalan neoliberalisme yang begitu refressif dan massif, feminisme mencoba menjawab dengan sebuah sikap perlawanan terhadap globalisasi. Feminisme bukan hanya sebuah sudut pandang (wacana) tapi feminisme juga merupakan sebuah ideology bagaimana cara bersikap, berprilaku untuk melawan hegemoni neoliberalisme. Karena selama ini kritik terhadap feminis adalah masih asyiknya para feminis tersebut “terjebak” dalam sebuah kehidupan konsumtif yang menghalalkan proses neoliberalisme terus masuk kedalam aliran darah manusia. Secara sadar maupun tidak, pola hidup yang dijalani oleh para “feminis” tersebut justru menenggelamkan mereka dalam sebuah kegamangan berideologi sebagaimana ideologi feminisme yang diyakininya.

Adapun strategi atau model perlawanan feminisme terhadap globalisasi memang bukanlah sebuah bentuk yang baku, karena prinsip dasar feminisme salah satunya adalah menghargai keberagaman, maka apapun model atau bentuk selama dia bertujuan mengikis penindasan terhadap kaum yang termarginalkan terutama perempuan, maka strategi itu adalah suatu keabsahan. Selain itu, strategi yang digunakan juga akan terus berdialektika dengan prularitas, apakah itu lewat pendidikan kritis, advokasi kebijakan, bahkan sampai aksi perlawanan yang militan, karena yang terpenting adalah strategi itu dirumuskan dan melibatkan kaum perempuan sebagai kaum yang memang secara struktur adalah kaum yang paling terpinggirkan dan semua yang dilakukan memang berbasis pada pengalaman perempuan.

Baca selengkapnya...