ECO-FEMINIS, DAN PERJUANGAN MEREBUT KEADILAN EKOLOGI

22 April 2007 yang baru saja berlalu, hampir di
seluruh penjuru dunia memperingati International Earth
Day atau Hari Bumi, sebuah momen penting untuk
menyuarakan penyelamatan bumi. Di Indonesia,
peringatan Hari Bumi juga dilakukan oleh organisasi
yang memperjuangkan lingkungan hidup dan rakyat
seperti yang dilakukan secara nasional oleh Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Peringatan Hari
Bumi di Indonesia, bukan saja untuk menyuarakan
penyelamatan bumi, melainkan juga sebagai sebuah
sinyal untuk menabuhkan genderang perlawanan terhadap
korporasi dan negara, yang selama ini telah salah
didalam mengurus negara, sehingga Indonesia saat ini
bukan hanya terus duhantui oleh bencana ekologis,
tetapi juga dibayangi-bayangi oleh kebangkrutan
nasional. Kita dapat menyaksikan bagaimana daerah yang
memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah,
kantong-kantong kemiskinannya begitu tinggi seperti di
Papua, Aceh, Riau dan Kalimantan Timur.

Mainstream pembangunan yang bertumpu pada kepentingan
modal dengan jargon pertumbuhan ekonomi, menjadi
pemicu utama dari kehancuran ekologi dan kebangkrutan
yang terjadi di Indonesia. Sistem kapitalisme telah
menempatkan sumber daya alam sebagai sebuah komoditi
yang bisa dieksploitasi sebebas-bebasnya, tanpa pernah
mempertimbangkan daya dukung alam di dalamnya. Selain
potret kehancuran ekologi, sistem kapitalisme juga
telah melanggengkan sebuah model penjajahan yang
dinamakan oleh Hira Jhamtani sebagai eco-kolonialisme,
yakni sebuah penjajahan yang dilakukan oleh
negara-negara Utara melakukan penjajahan ekonomi dan
politik dengan sejumlah kebijakan ekonomi dan
politiknya, untuk lepas tanggungjawab terhadap utang
ekologi, yang ditimbulkan oleh industri yang meraka
kembangkan di negara miskin dan berkembang. Isu
climate change misalnya, justru menjadi skema baru
bagi negara-negara utara untuk melakukan penjajahannya
dengan melepaskan diri dari tanggungjawab ekologinya
akibat gaya hidup mereka yang begitu merusak, dengan
agenda trade carbon atau perdagangan karbon yang
dipaksakan kepada negara-negara di Selatan untuk
menyelamatkan bumi dari ancaman climate change,
padahal merekalah yang menjadi kontributor terbesar
dari dampak perubahan iklim ini. Inilah yang
dimaksudkan dengan ketidakadilan ekologi, yang
dirasakan oleh negara miskin dan berkembang seperti
Indonesia.

Sistem kapitalisme yang menggunakan alat-alat
kekuatannya seperti TNC’s/MNC’s dan lembaga keuangan
internasional, bukan saja melakukan kejahatan
lingkungan dengan agenda eco-kolonialismenya, tetapi
juga melakukan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, khususnya kelompok rentan seperti masyarakat
adat, perempuan dan anak-anak. Perempuan dan anak-anak
menjadi korban yang paling besar harus mengalami
dampak dari ketidakadilan ekologi ini. Perempuan bukan
saja dihadapkan pada sistem kapitalisme, tetapi juga
budaya patriarki dan feodalisme yang menempatkan
perempuan sebagai kelas dua, kondisi inilah yang
semakin memperburuk posisi perempuan di dalam kelas
masyarakat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan
dimulai dari pekarangan rumahnya, sampai kekerasan
yang dilakukan oleh negara. Bukan saja kekerasan fisik
dan psikis, tetapi juga kekerasan ekonomi yang
diakibatkan oleh sebuah sistem pasar yang tidak adil
bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.


Eco-feminis dan Perjuangan Keadilan Ekologi

Meskipun eco-kolonialisme telah menancapkan
antek-anteknya di bumi ini, Perjuangan untuk
menegakkan keadilan ekologi di hampir seluruh dunia
telah dilakukan di mana-mana terutama oleh negara
miskin dan berkembang. Sejumlah perlawanan telah
dilakukan oleh kelompok perempuan di dunia untuk
menyelamatkan bumi, seperti yang dilakukan oleh
Vandana Shiva di India yang terkenal dengan gerakan
ibu-ibu yang memeluk pohon untuk menyelamatkan hutan
mereka dari ancaman eksploitasi industri. Di dalam
bukunya, jelas ditegaskan bahwa pembangunan telah
menyebabkan perempuan yang telah berada dalam kondisi
miskin, semakin dimiskinkan karena sejumlah kebijakan
ekonomi dan politik negara maju untuk menjajah negara
miskin dan berkembang dengan menjual jargon
globalisasi sebagai sebuah mitos pembangunan yang
tidak akan pernah memikirkan keselamatan, apalagi
memikirkan kesejahteraan rakyat yang hidup di negara
miskin dan berkembang.

Eco-feminis lahir juga didasari atas sebuah kondisi di
mana bumi yang digambarkan sebagai ibu telah
dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem
kapitalisme yang melanggengkan budaya patriarki dan
feodalisme di dalam praktek-praktek penjajahan yang
dilakukan. Eco-feminis lahir untuk menjawab sebuah
kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada
kekhasan perempuan yang selama ini memiliki
pengetahuan untuk melestarikan lingkungan hidup dan
mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Bagi
perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan
dari ancaman kerusakan yang telah dilakukan oleh
korporasi dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan
pertama yang bersentuhan dengan air, tanah dan
seluruh. Karena itulah perempuan juga menjadi kelompok
pertama dan yang paling rentan terhadap resiko dampak
kerusakan bumi akibat eksploitasi sumber daya alam
yang dilakukan oleh industri, seperti yang dialami
oleh banyak perempuan dan anak yang tercemar oleh
limbah dari perusahaan-perusahaan pertambangan
Internasional seperti yang dilakukan oleh PT. Newmont
Minahasa Raya terhadap ruang hidup rakyat di tanah
Buyat.

Di Indonesia, nama-nama perempuan telah berpeluh
keringat dan darah untuk memperjuangkan hak mereka
atas lingkungan hidup dan sumbert daya alamnya,
mungkin tidak banyak yang mengenal. Padahal
perempuan-perempuan inilah yang berada dibarisan utama
didalam menghadapi kekuatan modal (korporasi) dan
penguasa, yang telah mengorbankan banyak hal di dalam
hidupnya. Mama Yosepha yang begitu militan menghadapi
kekuatan PT. Freeport, ibu-ibu Sugapa di Sumatera
Utara yang mempertahankan hutan ecoliptusnya yang akan
dirampok oleh PT. Inti Indorayon untuk kebutuhan bahan
pulp dan papernya, Ibu Naomi yang tidak pernah
menyerah menghadapi PT. Inco yang telah merampas tanah
ulayat masyarakat adat Soroako Sulawesi Selatan,
ibu-ibu di Buyat Sulawesi Utara yang harus berjuang
dengan penyakitnya akibat limbah buangan PT. Newmont
Minahasa Raya, meskipun harus selalu mengalami
kekalahan demi kekalahan. Masih banyak lagi rentetan
nama perempuan yang mungkin masih sedikit tercatat
dalam sejarah gerakan perjuangan rakyat, namun tiada
henti dan pernah takut para perempuan ini berjuang
dengan sebuah landasan nilai filosofis bahwa yang
diperjuangkan adalah sebuah nilai-nilai kebenaran
terhadap sumber-sumber kehidupan mereka dan untuk
keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.

Tangan-tangan perempuan yang begitu kuat dan berani
inilah yang bersedia menjadi martir bagi sebuah
perjuangan rakyat atas mewujudkan keadilan ekologi,
yang selama ini telah tergadaikan oleh pengurus
negaranya sendiri. Sejumlah pelanggaran terhadap hak
asasi perempuan di sektor sumber daya alam telah
terjadi, yang dilakukan justru oleh negara yang
seharusnya menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak tersebut, dan korporasi serta lembaga keuangan
internasional. Kekerasan baik fisik maupun psikis
telah dialami oleh perempuan yang begitu gigih
memperjuangkan hak-haknya. Selain itu, kekerasan
ekonomi juga harus mereka alami, sehingga perempuan
selalu menjadi kelompok yang paling miskin karena
ketiadaan akses dan kontrolnya di dalam pengelolaan
sumber daya alam.

Komitmen 22 April

Hari bumi yang jatuh di setiap tanggal 22 April, bukan
hanya sebatas diperingati untuk menyuarakan
penyelamatan bumi. Di sinilah sesungguhnya menjadi
sebuah kesempatan bagi seluruh gerakan rakyat untuk
mengkonsolidasikan dirinya dari kehancuran bumi dan
ketidakadilan ekologi yang terjadi. Jika kelompok
eco-feminis telah sekian lama menyuarakan perjuangan
perempuan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran,
maka pada tanggal 22 April 2007 sudah waktunya menjadi
titik tolak bagi kelompok yang mengusung ideologi
eco-feminis, untuk terus mengobarkan perlawanan
terhadap agenda eco-kolonialisme yang dilakukan oleh
negara-negara maju lewat industri dan lembaga keuangan
Internasional

Kelompok yang mengusung eco-feminis harus mulai
memperluas gerakannya, bukan hanya di gerakan pro
demokrasi yang memperjuangkan hal yang sama untuk
menghadapi kekuatan modal, melainkan juga kepada
publik secara lebih luas dan massif. Strategi ini
menjadi sebuah kebutuhan mendesak, karena banyak
perempuan di belahan bumi lain yang tidak mengetahui
bahwa pasar telah menciptakan sebuah rekayasa gaya
hidup yang menciptakan sebuah gaya hidup konsumtif
yang banyak diamini oleh perempuan mapan perkotaan.
Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dia
menjadi korban sekaligus pelaku dari sebuah sistem
pasar dan sistem eco-kolonialisme, perempuan yang
hidup di perkotaan banyak yang tidak mengetahui, bahwa
penggunaan tissue yang banyak digunakan, telah
menyebabkan perempuan pedesaan di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi harus mengalami sejumlah
pelanggaran terhadap hak-haknya hidupnya oleh industri
pulp and paper. Gerakan perempuan bersolidaritas
terhadap perempuan menjadi penting, untuk membangun
kekuatan politik bagi perempuan untuk merebut keadilan
ekologi bagi semua orang, untuk menyelamatkan
kehancuran bumi dari ancaman kapitalisme global.

Dalam momen peringatan hari Bumi yang jatuh pada
tanggal 22 April ini, sudah waktunya kelompok
eco-feminis memperbesar gerakannya untuk mendesak
kepada negara agar segera memenuhi hak asasi perempuan
atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan,
dengan memberikan akses dan kontrol kepada perempuan
untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan
hidupnya berdasarkan kekhasan perempuan. Sebagaimana
yang telah menjadi amanat bagi pengurus Negara yang
telah meratifikasi konvensi CEDAW dan konvenan Ekosob
dan Sipol untuk mempercepat langkah-langkah dan
tindakan dalam kerangka melakukan pemenuhan terhadap
hak asasi perempuan, terutama kepada perempuan
pedesaan dan perempuan miskin perkotaan sebagai sebuah
kewajiban bagi negara untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak warga negaranya. Negara juga sudah
harus segera menghentikan kekerasan pada perempuan di
sektor pengelolaan sumber daya alam yang sampai saat
ini terus terjadi, dan mendorong agar negara berani
melakukan perlawanan terhadap TNC’s/MNC’s dan lembaga
keuangan Internasional.

Baca selengkapnya...

Banjir dan Pentingnya Desakan Payung Hukum Pengelolaan Sampah

Meskipun prediksi banjir masih akan terjadi di Jakarta dan sekitarnya dengan fakta-fakta damagenya yang begitu besar dan diluar dugaan banyak orang, serta bertumpuknya masalah penanganan tanggap darurat banjir yang sampai saat ini belum bisa memenuhi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat korban banjir oleh Pemerintah. Sejumlah persoalan baru kemudian muncul sebagai sebuah kondisi turunan atau menjadi dampak dari bencana banjir yang melanda Ibukota dan sekitarnya, antara lain mengenai persoalan pengelolaan sampah pasca banjir dan wabah penyakit yang banyak melanda anak-anak sebagai akibat dari buruknya penanganan bencana dan menggambarkan bagaimana potret ketidakmampuan dan ketidaksiapan negara yang memiliki tingkat kerentanan bencana banjir yang cukup tinggi. Pemerintah kemudian tergagap-gagap begitu melihat menumpuknya sampah, karena selama ini hanya terfokus pada penanganan yang sifatnya reaksioner dengan memberikan solusi penanganan banjir yang lebih menekankan pada pendekatan pembangunan infrastruktur, dan tidak mempertimbangkan pengelolaan sampah pasca banjir sebagai bagian dari penanganan dalam fase recovery, sebuah fase penanganan bencana yang memang banyak luput dari perhatian banyak pihak.

Sampah, kemudian menjadi persoalan yang mencuat ketika penumpukan volume sampah pasca banjir meningkat, baik di pemukiman-pemukiman maupun disepanjang jalan yang akan menjadi pemicu wabah penyakit yang lebih besar. Konon Pemerintah sudah mengelurkan seluruh potensi yang dimiliki untuk melakukan ”kerja bakti” membersihkan sampah-sampah, dan sudah menyiapkan TPA Bantar Gebang seluas kurang lebih 2,3 hektar untuk mengolah sampah pasca banjir Jakarta. Selain itu, sampah juga telah menimbulkan konflik dengan daerah lainnya seperti Bogor karena didapati secara diam-diam membuang sampahnya di kawasan hijau di daerah Jonggol, dengan dalih yang cukup mengejutkan karena Pemerintah mengatakan bahwa mobil yang membuang sampah adalah mobil bantuan banjir dari berbagai masayarakat, padahal secara jelas mobil yang digunakan adalah milik Pemerintah yang dalam penanganan bencana banjir tergabung dalam Satkorlak.

Sampah, sebelum terjadinya banjir saja sudah menimbulkan banyak persoalan. Tidak kurang dari 6500 ton setiap harinya, dan telah menimbulkan bencana longsor sampah baik di berbagai daerah. Ironisnya sampai saat ini tidak ada regulasi yang mengatur pengelolaan sampah, termasuk pengelolaan sampah pasca bencana seperti banjir yang pastinya akan menjadi persoalan yang besar dan harus diselesaikan secara cepat. Pemerintah Provinsi Jakarta juga tidak memiliki model pengelolaan sampah yang mempertimbangkan kerentanan Jakarta dengan bencana banjir, ini dapat dilihat dari review master plan pengelolaan sampah DKI Jakarta sampai tahun 2015 yang tidak memuat bagaimana strategi pengelolaan sampah pasca banjir yang seharusnya sudah dapat diprediksi peningkatan volumenya dan ancaman bagi kesehatan masyarakat.

Ketidaksiapan Pemerintah untuk mengatasi persoalan penumpukan sampah sebenarnya sudah terjadi bencana gempa dan tsunami di NAD dan Nias, namun ternyata bencana ini tidak pernah dijadikan sebuah pembelajaran yang penting, sebagai bagian dari kesiapsiagaan terhadap bencana, terlebih bencana yang bisa diprediksikan jauh-jauh hari.

Dari bencana banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, dan persoalan sampah yang mengikutinya akibat kebingungan Pemerintah untuk membawa kemana sampah yang mengalir mengikuti aliran sebaran luasan banjir, sesungguhnya dapat menjadi moment penting bagi semua pihak khususnya kepada institusi negara untuk sesegera mungkin menyelesaikan RUU pengelolaan sampah yang saat ini masih jalan ditempat. Payung hukum pengelolaan sampah menjadi urgent untuk segera diselesaikan, karena ini menjadi kebutuhan yang mendesak untuk melakukan penanganan bencana secara komprhensif oleh Pemerintah. Baik penanganan tanggap darurat sebagai langkah emergency response, maupun penanganan recovery pasca bencana yang memang membutuhkan proses waktu yang lebih lama.

Dari payung hukum ini, diharapkan paling tidak ada struktur kelembagaan yang memang bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan sampah yang sampai saat ini baru dilakukan oleh dinas kebersihan yang pastinya tidak akan mampu menyelesaikan persoalan sampah yang begitu menggunung, dan bagaimana keterlibatan masyarakat dioptimalkan secara penuh untuk mengolah sampah pasca bencana. Pemerintah selama ini terlalu menghambakan pada kekuatan teknologi, sehingga inisiatif masyarakat selalu diabaikan. Padahal pemerintah sudah mengetahui bahwa bicara soal sampah baik dalam kehidupan sehari-hari, terlebih sampah yang dihasilkan setelah bencana banjir sesungguhnya

Agenda mendorong Pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan dan mengesahkan RUU sampah di Republik bencana ini, sudah waktunya masyarakat luas juga harus memberikan desakan penuh kepada Pemerintah untuk mengesahkan payung hukum sebagai landasan pijakan pengelolaan sampah. Kebutuhan mendesak ini bukan hanya diperuntukkan baagi masyarakat yang rentan terkena dampak bencana, tetapi juga bagi masyarakat yang secara tidak langsung terkena dampak dari bencana yang terjadi. Tanpa adanya payung hukum ini, pengelolaan sampah pasca bencana hanya menjadi polemik baru yang terus akan terjadi dimanapun. Ini menjadi sebuah agenda yang penting untuk terus menerus disuarakan secara lebih besar dan massif oleh publik, bukan hanya karena Pemerintah tidak cukup peka dan tidak memiliki kemauan politik yang cukup tinggi untuk melihat persoalan bencana dan pengelolaan sampah, tapi Pemerintah juga tidak pernah menempatkan payung hukum ini menjadi agenda politik rakyat yang harus diprioritaskan.

Moment desakan kepada institusi negara juga menjadi penting bagi masyarakat Jakarta yang saat ini menjadi korban banjir akibat kesalahurusan negara dalam pengelolaan lingkungan hidup, juga menjadi moment yang tepat ketika masyarakat Jakarta sebentar lagi akan memasuki pemilihan langsung kepala daerahnya. Desakan terhadap lahirnya payung hukum pengelolaan sampah, harus menjadi agenda politik yang diperjuangkan secara jelas oleh para calon Pemimpin DKI Jakarta. Jika tidak, lagi-lagi rakyat hanya menjadi korban dari proses pembangunan yang tidak pernah menghitung keselamatan warganya dalam proses pembangunan dan khususnya dalam penanganan bencana yang terjadi. Ini menjadi penting untuk secara lebih keras disuarakan oleh masyarakat Jakarta, karena bagaimanapun sampai saat ini, Jakarta masih menjadi sentra pengambilan kebijakan dan politik bangsa ini.


Baca selengkapnya...

Apakah Tuhan Ada

Tuhan, apakah Kau ada??? hanya itu kata-kata yang menyeruak begitu saja dalam hatiku. aku tidak tau, apakah dugaanku salah jika Kau ada dan selalu menemani langkah orang-orang miskin, jika hari ini Kau membiarkan kembali air mata dan darah mengalir dari petani-petani yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan sumber-sumber kehidupannya. entahlah, hari ini aku tiba-tiba meragukan kalau Kau ada. Kau boleh menyebutku kafir, murtad atau apapun untuk menggambarkan bagaimana takdirmu begitu banyak memainkan nasib petani, lewat tangan-tangan TNI AU yang begitu mudahnya. Tapi jangan bilang ini takdir-Mu, bagaimana bisa Kau mempercayakan tentara itu, militer itu, perampok itu, penjambret itu dan entah apalagi gambaran yang bisa melukiskan mereka, menjadi malakul maut yang merampas keselamatan, ketenangan, keamanan hidup manusia lain di bumi ini.

atau bagaimana mungkin, Kau percayakan tentara itu, militer itu, perampok itu, penjambret itu atau entah gambaran apalagi yang bisa melukiskan mereka, menjadi malakul maut atas tanah-tanah, benih-benih hidup petani dan anak-anaknya. hari ini dan seterusnya.

Tuhan, lebih baik aku tidak percaya pada-Mu, jika terlalu sering kau kirim malakul mautmu berbaju loreng dan berbekal bedil senjata yang moncongnya selalu siap menghampiri petani, nelayan, miskin kota dan orang-orang yang hidup diantara lorong-lorong gelap di bumi yang bernama Indonesia.

jika Kau kirimkan tentara itu, militer itu, perampok itu, penjambret itu atau entah gambaran apalagi yang bisa melukiskan mereka, kepada kami. lebih baik aku tidak percaya lagi pada-Mu.

Baca selengkapnya...

Perlu Kekuatan Politik Alternatif Rakyat

Perlu Kekuatan Politik Alternatif Rakyat

untuk Memperbaiki Kondisi Lingkungan Hidup di Jakarta

(sebuah catatan menjelang PILKADA DKI Jakarta)

oleh: Khalisah Khalid


Lingkungan Hidup, Krisis yang Tak Terpulihkan

Tahun 2006, kondisi lingkungan hidup di Jakarta semakin mengalami penurunan kualitasnya. Bencana ekologis datang silih berganti menghampiri, mulai dari krisis air, persoalan sampah yang tak pernah terselesaikan, ancaman banjir dan lain-lain. Sebagai Ibukota yang sekaligus menjadi sentral pengambilan kebijakan dan perrtumbuhan ekonomi Indonesia, Jakarta memiliki berbagai persoalan lingkungan hidup dan persoalan rakyat lainnya yang disebabkan oleh sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi semata. Jargon kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi rakyat, selalu dijual untuk melanggengkan sistem kapitalisme tersebut dengan melupakan aspek keselamatan rakyat yang seharusnya diprioritaskan oleh Pemerintah.


Kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini semakin diskriminatif, antara lain penataan ruang kota yang menutup akses rakyat miskin untuk dapat berdaulat atas tanah, air dan udaranya, serta akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonominya. Padahal prasyarat utama dari penataan ruang adalah bagaimana tata ruang dapat menjamin fungsi pelayanan alam dan keselamatan rakyat (ekologis), menjamin keberlanjutan hidup rakyat (ekonomis), dan menjamin fungsi-fungsi sosial dan budaya.


Politik pembangunan kota Jakarta juga masih berpola pendekatan ekonomi kapitalistik dan tentunya banyak mengabaikan aspek keadilan kota bagi semua orang, terutama terkait dengan perbedaan kelas didalamnya. Pembangunan infrastruktur di Jakarta menggambarkan, bagaimana politik pembangunan kota ini memang ditujukan bagi kelas-kelas tertentu seperti pembangunan jalan-jalan yang notabene memberikan fasilitas yang berlebih pada orang-orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, dan membiarkan rakyat miskin terus bergelayut didalam kendaraan umum yang sudah tidak layak.


Sepanjang tahun 2006 inipun kita dapat melihat bahwa proses demokrasi untuk menyampaikan pendapat masih mengalami tekanan-tekanan, yang biasanya dengan menggunakan organisasi massa yang berbasis agama dan etnis, selain itu juga disepanjang tahun 2006 ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) masih sangat jelas dipertontonkan secara vulgar. Berbagai persoalan urban ini justru dihadapi dengan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi rakyat yang dilakukan oleh state dan juga non state sebagai aktor yang secara kasat mata telah memainkan pola-pola kekerasan untuk berhadapan dengan rakyat yang sedang menuntut hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sumber-sumber kehidupan rakyat.


PILKADA DKI Jakarta, bukan Sebuah Jaminan

Melihat begitu horornya persoalan lingkungan hidup di Jakarta, dan bagaimana kita mencoba untuk melihat persoalan lingkungan hidup menjadi sebuah persoalan yang penting untuk diprioritaskan dalam program pembangunan di DKI Jakarta. Dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang dapat merubah seluruh paradigma usang dan keliru dalam politik pembangunan kota metropolitan ini, selain tentu saja sebuah arah politik pembangunan yang berpihak kepada lingkungan hidup dan rakyat, terutama kelompok rentan. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah pemilihan kepala daerah (Gubernur) DKI Jakarta dapat memberikan jawaban atas berbagai persoalan lingkungan hidup dan persoalan urban lainnya.


Sampai sejauh ini saya melihat bahwa proses demokrasi dengan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) DKI Jakarta di tahun ini, juga belum memberikan jaminan atau kepastian politik bagi perbaikan kualitas lingkungan hidup di DKI Jakarta. Eskalasi politik di tahun 2007 ini, hanya menjadi pertarungan elit untuk mendapatkan kekuasaan semata dengan banyak mengabaikan hak-hak rakyat. Dari beberapa nama yang muncul untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta, belum ada satupun yang memiliki perspektif lingkungan hidup yang jelas. Demikian juga dengan partai-partai politik besar yang belum menempatkan persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam, sebagai akar persoalan dari multi krisis yang terjadi di ibu kota ini.


Sehingga kondisi lingkungan hidup tidak akan lebih baik pada tahun ini, jika arah politik pembangunan kota masih mengabdi pada kepentingan modal dan meminggirkan keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan. dalam mainstraiming kebijakan politiknya yang akan diambil kedepannya.


Green Political, sebagai Sebuah Alternatif

Kondisi Jakarta yang sudah mengalami ”kebangkrutan” ini, dibutuhkan sebuah perubahan pandangan politik pembangunan di DKI Jakarta, dan dibutuhkan sebuah kekuatan politik alternatif rakyat yang bisa menentukan arah pembangunan yang berpihak kepada lingkungan hidup dan rakyat, terutama bagi kelompok rentan yang selama ini termarginalkan. Dengan sebuah landasan pemikiran yang sederhana bahwa personal is political dan green is political, setiap pikir, ucap dan tindakmu untuk merawat kelangsungan hidup manusia dan alam adalah sikap politikmu, menuju the future is green.


Pertanyaannya kemudian, kekuatan politik alternatif rakyat yang bagaimana yang dapat merebut kedaulatan rakyat yang selama ini telah tergadaikan oleh sebuah entitas baru yang bernama kapitalisme dan apakah bisa melahirkan sebuah kekuatan rakyat yang dapat berpikir kritis dan maju untuk merebut kekuasaan, ditengah ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik yang sering menjual kemiskinan rakyat dalam kampanyenya.


Jawabannya sangat mungkin, karena sesungguhnya kita terlalu sering mengabaikan suara-suara rakyat yang kritis, yang selama ini dibungkam oleh system birokrasi politik dan kekuasaan partai-partai politik besar yang berpikir konvensional dalam mendidik massanya, seperti yang banyak dicontohkan oleh partai-partai besar selama ini. Membuat kantor DPP, kemudian DPC dan terus sampai ke ranting, rakyat sebagai pemegang konstitusi selalu dilupakan untuk diikutsertakan, nanti dalam pemilu barulah rakyat dilibatkan hanya untuk mendapatkan suaranya. Kampanye-kampanye yang dilakukan oleh partai politik tidak bertujuan untuk membangun massa rakyat yang kritis, melainkan hanya sebatas memobilisasi massa.


Kekuatan politik alternatif rakyat harus dibangun dengan dengan pra syarat utama yang harus dipenuhi lewat pendidikan kader rakyat, dan mengerahkan pehatian utamanya kepada penguatan organisasi kerakyatan dan komunitas dari bawah atas dasar kepentingan umum bersama dalam hubungannya dengan politik dan negara sebagai tulang punggung gerakan. Pendidikan kader rakyat yang kritis menjadi pra syarat utama untuk melahirkan sebuah kekuatan tersebut. Meletakkan pendidikan kader rakyat bukan hanya sebatas temu kader, tapi bagaimana kader-kader terdidik tersebut dibangun kesadaran kolektifnya secara utuh dengan bacaan analisis geo politik yang lengkap mengenai kepentingan rakyat untuk merebut kedaulatannya atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.


Gerakan lingkungan hidup di Jakarta saat ini, sudah waktunya tidak hanya bermain pada ranah advokasi, tetapi sudah harus memikirkan secara serius dan programatik memfasilitasi lahirnya kader rakyat yang menempatkan akar persoalan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, sebagai akar persoalan yang harus diselesaikan secara politik oleh rakyat kritis yang secara kolektif dapat memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya, dengan mengusung tiga nilai yakni memperjuangkan keberlanjutan lingkungan hidup, keadilan sosial dan ekologi serta demokrasi kerakyatan.



[1] Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta

Baca selengkapnya...

catatan akhir tahun WALHI Jakarta

Langit Mendung, Wajah Politik Pembangunan Kota Jakarta


Pulau Jawa, khususnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia, hari ini masih dijadikan sebagai sentral semua proses pengambilan kebijakan nasional, yang mempengaruhi penentuan arah kebijakan pemerintah di daerah lain. Sebagai daerah sentral kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, tentu saja beban resiko yang dialami kawasan ini luar biasa beratnya. Ditambah dengan model pembangunan yang menggunakan konsep sentralistik dan kapitalistik, dengan seringkali mengabaikan daya dukung alam yang sangat terbatas. Dengan kondisi faktual hari ini, dimana kurang lebih 10 juta jumlah penduduk padat Jakarta, yang mendiami daerah yang hanya memiliki ruas areal mempunyai luas 650 Km2/65.000 ha, yang terbagi dalam 5 Wilayah Kota yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.

Kepadatan jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan luas Kota Jakarta telah membuat kondisi bertambah buruk dengan suramnya potret kehidupan pinggiran Jakarta yang rawan dengan persoalan-persoalan sosial. Jargon globalisasi telah menciptakan sebuah entitas baru masyarakat yang sangat konsumtif dan sengaja diciptakan oleh sistem kapitalisme yang mereduksi pola pikir masyarakat lewat tayangan iklan-iklan yang menjejal nilai-nilai konsumeristik, sehingga provinsi ini kemudian menjadi beban ekologi baru bagi wilayah-wilayah sanggahannya, antara lain Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang biasanya wilayah-wilayah tersebut dijadikan sebagai daerah tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) atau tempat pembuangan sampah akhir (TPA).

Tahun 2006, kondisi lingkungan hidup di Jakarta semakin mengalami penurunan kualitasnya. Sebagai Ibukota yang sekaligus menjadi sentral pengambilan kebijakan dan perrtumbuhan ekonomi Indonesia, Jakarta memiliki berbagai persoalan lingkungan hidup dan persoalan rakyat lainnya yang disebabkan oleh sistem pembangunan yang bertumpu pada kepentingan ekonomi semata. Jargon kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi rakyat, selalu dijual untuk melanggengkan sistem kapitalisme tersebut dengan melupakan aspek keselamatan rakyat yang seharusnya diprioritaskan oleh Pemerintah.

Jika kita melihat sepanjang perjalanan tahun 2006 ini, persoalan urban terus menerus menghantui dinamika kehidupan kota besar ini. Antara lain persoalan tingkat pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemiskinan yang memang disebabkan oleh tidak adanya ruang lain yang bisa diakses oleh rakyat didesa-desa, sehingga pilihan menjadi pengungsi pembangunan di kota-kota besar seperti Jakarta sebagai sebuah keputusan yang harus diambil, meskipun terpksa harus hidup diemperan toko atau di kolong-kolong jembatan dalam kondisi hidup yang benar-benar tidak manusiawi.

Kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini semakin diskriminatif, antara lain penataan ruang kota yang menutup akses rakyat miskin untuk dapat berdaulat atas tanah, air dan udaranya serta akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonominya. Padahal prasyarat utama dari penataan ruang adalah bagaimana tata ruang dapat menjamin fungsi pelayanan alam dan keselamatan rakyat (ekologis), menjamin keberlanjutan hidup rakyat (ekonomis), dan menjamin fungsi-fungsi sosial pembangunan. Pra syarat penataan ruang ini seharusnya dapat membalikkan pandangan yang keliru dari Pemerintah yang banyak menggusur pedagang kaki lima atau rakyat miskin lainnya, dengan alasan untuk kepentingan ruang terbuka hijau (RTH).

Politik pembangunan kota Jakarta juga masih berpola pendekatan ekonomi kapitalistik dan tentunya banyak mengabaikan aspek keadilan kota bagi semua orang, terutama terkait dengan perbedaan kelas didalamnya. Pembangunan infrastruktur di Jakarta menggambarkan, bagaimana politik pembangunan kota ini memang ditujukan bagi kelas-kelas tertentu seperti pembangunan jalan-jalan yang notabene memberikan fasilitas yang berlebih pada orang-orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, dan membiarkan rakyat miskin terus bergelayut didalam kendaraan umum yang sudah tidak layak.

Bencana ekologis datang silih berganti dan telah menimbulkan banyak korban dan kerugian, antara lain longsornya TPA Bantar Gebang yang telah menelan korban jiwa yang diakibatkan oleh buruknya sistem atau manajemen sampah yang sampai hari ini belum memiliki undang-undang pengelolaan sampah secara nasional, krisis air yang terjadi di beberapa wilayah di DKI Jakarta, selain disebabkan oleh pencemaran air tanah di Jakarta dari limbah industri dan domestik, kelangkaan air bersih juga disebabkan oleh komersialisasi air lewat privatisasi air, yang juga memiliki kualitas yang buruk, bencana banjir sebagai bencana ritual yang selalu mengancam keselamatan rakyat dan tahun ini diprediksikan merupakan siklus 5 (lima) tahunan banjir besar seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002 yang telah menjadikan collapsenya sistem kehidupan masyarakat di Jakarta.

Sepanjang tahun 2006 inipun kita dapat melihat bahwa proses demokrasi untuk menyampaikan pendapat masih mengalami tekanan-tekanan, yang biasanya dengan menggunakan organisasi massa yang berbasis agama dan etnis, selain itu juga disepanjang tahun 2006 ini, pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) masih sangat jelas dipertontonkan secara vulgar. Berbagai persoalan urban ini justru dihadapi dengan sejumlah pelanggaran terhadap hak asasi rakyat yang dilakukan oleh state dan juga non state sebagai aktor yang secara kasat mata telah memainkan pola-pola kekerasan untuk berhadapan dengan rakyat yang sedang menuntut hak-haknya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Disini kita melihat, negara terbukti tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi seluruh warga negaranya, baik terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), maupun hak sipil dan politik (sipol).

Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvenan hak ekosob dan sipil pada bulan September 2005 yang berbunyi ”Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar hidup yang memadai untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang mencukupi dan memperoleh perbaikan terus-menerus mengenai kondisi-kondisi kehidupan”. Kekerasan dan penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mewarnai perjalanan satu tahun ini, tragisnya ini banyak dilakukan dengan menggunakaan PERDA No. 11/1988 sebagai alat legitimasi penggusuran dan mengatasnamakan kepentingan lingkungan hidup dan ketertiban umum.

WALHI Jakarta, mencoba mengajak kita semua untuk melihat kembali potret kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah banyak melanggar hak rakyat Jakarta untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk semua warga negaranya, dan melihat kecendrungan arah politik pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup di DKI Jakarta. Terlebih ditahun 2007 ini, seluruh warga Jakarta akan mencoba melahirkan proses demokrasi baru dengan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) DKI Jakarta secara langsung. Meskipun sampai sejauh ini, kita belum melihat adanya calon Gubernur DKI Jakarta yang memiliki komitmen politik yang jelas terhadap masa depan pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta, dan juga komitmen politik terhadap persoalan-persoalan yang selalu menemani keseharian rakyat miskin kota.

Dalam catatan akhir tahun 2006 ini, kami membagi laporan ini kedalam beberapa isu penting terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan politik pembangunan kota yakni terkait dengan isu polusi udara, krisis air, persoalan sampah/pencemaran, lemahnya penegakan hukum dan HAM yang dilihat dari berbagai kasus ancaman kerusakan lingkungan hidup dan ancaman terhadap keberlanjutan hidup rakyat, terutama bagi kelompok-kelompok rentan yang selama ini selalu menjadi korban pembangunan seperti kelompok miskin kota, kelompok perempuan dan anak-anak.

Laporan akhir tahun WALHI Jakarta ini diharapkan menjadi sebuah catatan penting dalam sejarah politik pembangunan kota Jakarta, harapan besar tentu saja agar catatan akhir tahun ini dapat menjadi alat penekan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merubah arah politik pembangunan, dengan memberikan penghormatan sepenuhnya terhadaap hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat dan pemenuhan hak asasi rakyat lainnya, demi terwujudnya pembangunan kota yang adil dan manusiawi untuk semua rakyat Jakarta, tanpa membedakan struktur kelas.

I. Selamat Datang di Kota Polusi

”Selamat Datang di Kota Polusi”, merupakan kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana buruknya kualitas udara di Jakarta. Saat ini, DKI Jakarta menempati urutan ke-3 setelah Meksiko dan Thailand, sebagai kota yang tingkat polusi udaranya sangat tinggi dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kesehatan rakyat terutama rakyat miskin kota yang selama ini sangat rentan terhadap bahaya polusi udara karena setiap harinya mereka harus bergelut dengan pekatnya udara kota Jakarta di sepanjang jalan-jalan dan trotoar-trotoar.

Bahwa udara yang bersih dan sehat adalah hak asasi rakyat tanpa membedakan jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat. Bahkan kerentanan rakyat miskin kota yang sehari-harinya harus bergelut dengan pekatnya polusi udara, harusnya menjadi prioritas utama bagi upaya pengendalian pencemaran udara. Dampak polusi udara terhadap kesehatan rakyat juga belum mendapatkan perhatian utama, anggaran untuk pengobatan yang disebabkan oleh penyakit yang ditimbulkan oleh polusi udara yang harus dikeluarkan oleh masyarakat Jakarta, yakni mencapai Rp. 1, 8 triliun pada tahun 1998 dan angka ini akan meningkat menjadi sekitar Rp. 4.3 triliun pada tahun 2015 apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan, padahal pengobatan di Jakarta sangat mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin kota. Sehingga ungkapan orang miskin dilarang sakit, menjadi hal yang benar adanya.

Dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, Jakarta merupakan wilayah yang memiliki karakteristik kota yang diidentifikasikan pencemaran udaranya disumbangkan oleh persoalan sistem transportasinya yang buruk. Sebagai catatan, sebesar 70% polusi udara berasal dari asap kendaraan bermotor, angka ini cukup menunjukkan kepada kita semua bahwa jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang baik, maka polusi udara sampai kapanpun akan melekat pada kota besar yang konon sebentar lagi akan mengkalim dirinya dengan sebutan megapolitan.

Untuk mengatasi persoalan polusi udara ini, berbagai komponen civil society peduli udara bersih dan mendorong pemenuhan atas hak udara yang bersih dan sehat di Jakarta, mendorong lahirnya sebuah kebijakan yang dapat mengendalikan tingkat polusi udara di Jakarta, yang kemudian secara politik PERDA No. 2/2005 tentang pengendalian pencemaran udara disahkan pada bulan Februari 2006. Kebijakan Pemerintah yang seharusnya menjadi sebuah amunisi baru untuk memberikan hak rakyat atas udara yang bersih dan sehat, justru hanya seperti kertas kosong, karena Peraturan Gubernur yang menjadi turunan dari pelaksanaan PERDA No. 2/2005 tersebut, baru satu PERGUB yakni PERGUB NO. 75/2005 tentang kawasan larangan merokok yang diterapkan, sementara 15 PERGUB yang lain masih jalan ditempat.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh WALHI Jakarta dan Kaukus Lingkungan Hidup, dan juga berdasarkan pengaduan yang disampaikan melalui posko pengaduan implementasi yang dibuka melalui telp/fax/sms ke kantor WALHI Jakarta, didapatkan hasil bahwa Pemerintah tidak serius melakukan upaya pengendalian pencemaran udara dan memenuhi hak rakyatnya atas udara yang bersih dan sehat. Dengan indikator tidak adanya koordinasi yang jelas antar instansi terkait, lemahnya penegakan hukum dan tidak siapnya infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan PERDA No. 2/2005, termasuk lemahnya sosialisasi dan mengajak peran aktif masyarakat terhadap upaya pengendalian pencemaran udara.


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga setengah hati untuk menerapkan PERDA tersebut, dengan berbagai kebijakan baru yang kontraproduktif dengan upaya pengendalian pencemaran udara di Jakarta. Kebijakan yang kontroversial tersebut diduga kuat untuk kepentingan industri, terutama industri otomotif yang merupakan penyumbang terbesar dari tingkat polusi udara di Jakarta, antara lain pemangkasan 33 pohon disepanjang jalan Sudirman-Thamrin untuk perluasan jalan dan rencana pembangunan 6 (enam) ruas jalan TOL.

Dipenghujung tahun, Pemerintah mengajukan sebuah program yang cukup mengejutkan. Program dalam rangka perbaikan kualitas udara perkotaan, dalam pertemuan Batter Air Quality (BAQ) yang sedang berlangsung di Yogyakarta dari tanggal 11-15 Desember 2006. Program yang bernama Strategi dan Rencana Aksi Nasional (National Strategy and Action Plan – NSAP) ini dipersiapkan di bawah payung dari Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i SDP). Program ini dikoordinasikan oleh Bappenas sebagai Executing Agency, dibiayai oleh pinjaman dari Asian Development Bank (ADB), dan diimplementasikan oleh konsorsium konsultan internasional dan nasional. Program tersebut dinilai cukup baik sebagai upaya pengendalian pencemaran udara di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi kemudian menjadi tanda tanya besar ada skenario besar apa dibalik skema utang tersebut, dimana Jepang merupakan negara yang pengimpor kendaraan bermotor, sekaligus sebagai pemiliki saham terbesar di lembaga keuangan Internasional ini, dengan mengatasnamakan perbaikan kualitas udara dan lingkungan hidup di kota-kota besar di Indonesia.

WALHI Jakarta bersama Koalisi Anti Utang (KAU) menilai bahwa pinjaman ADB sama sekali tidak menyelesaikan masalah dasar pencemaran udara di perkotaan, yakni persoalan tata ruang dan buruknya system transportasi makro di kota-kota besar di Indonesia. pembatasan jumlah kendaraan pribadi yang menjadi sebab dari kemacetan dan polusi udara (JICA, 1996). Proyek utang ADB dan lembaga kredior lain berbasis teknologi padat modal jelas tidak berbanding lurus dengan komitmen peningkatan kualitas udara bersih. Bahkan, pengalaman membuktikan, pembelian stasiun pemantau udara sebagai instrumen standarisasi penilaian kualitas udara di 10 kota besar di Indonesia cenderung mubazir dan tidak dapat digunakan. Walaupun rakyat tetap harus menanggung pembayaran utang tersebut.

Tahun ini juga warga Jakarta harus kembali menelan pil pahit, karena Gubernur DKI Jakarta yang selama ini tidak memiliki political will yang baik untuk memberikan perlindungan terhadap warga Jakartanya atas udara yang bersih dan sehat, justru mendapatkan penghargaan atas upayanya melakukan pengendalian pencemaran udara di Jakarta. WALHI Jakarta bersama beberapa element lainnya secara tegas menolak pemberian penghargaan tersebut, karena justru berbanding terbalik dengan tidak adanya komitmen politik Gubernur DKI Jakarta dan sejumlah pelanggaran terhadap perundang-undangan yang telah dilakukan, yang justru akan memicu bencana ekologis yang lebih tinggi di DKI Jakarta.

Baca selengkapnya...