“Negara Telah gagal dalam Memenuhi, Melindungi dan Menghormati Hak Pangan Perempuan”

Pernyataan sikap Solidaritas Perempuan

Pada Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2010


Sejak dicanangkan konsep ketahanan pangan 14 tahun yang lalu dalam Resolusi Badan Pangan PBB tahun 1996 pada World Food Summit, ternyata kelaparan masih tetap mengancam warga dunia, termasuk Indonesia. Konsep pemenuhan pangan yang lebih diserahkan pada mekanisme pasar justru menambah angka kelaparan dunia yang pada tahun 2010 ini mencapai 925 juta, disbanding tahun 1996 yang hanya 850 juta jiwa. Sementara di Indonesia sendiri pada tahun 2010 ini angka kelaparan masih cukup tinggi yaitu 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007) dan 23,2 jiwa di pedesaan masih hidup di bawah standar kemiskinan (FAO). Data ini dikuatkan dengan berbagai berita tentang kasus kelaparan, kurang gizi dan gizi buruk yang secara sporadis masih terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dari Aceh, Riau, Lampung, Jawa Barat, Jatim, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat. Fakta ini jelas merupakan indikasi nyata dari kegagalan negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi hak pangan rakyat.


Fenomena yang lebih memprihatinkan adalah bawah korban kelaparan yang paling rentan dan meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan yang masih diskriminatif dan belum mengacu pada Convention on Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW). Situasi ini diperparah dengan kulture masyarakat patriarkhi masyarakat yang memposisikan perempuan sebagai pelayan keluarga yang lebih mendahulukan angggota keluarganya dalam konsumsi. Hal ini sungguh ironis sementara perempuan adalah yang mengandung dan melahirkan generasi justru paling akhir dalam mendapatkan kecukupan gizi.

UU Pangan NO.7 tahun 1996 ternyata belum mampu memberi jaminan dalam pemenuhan pangan rakyat. Dalam undang-undang ini belum ada ketegasan tentang tanggung jawab negara dalam memenuhi (fulfill), melindungi (protect), dan menghormati (respect) hak pangan rakyatnya. Akibatnya indikator pemenuhan pangan seperti ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), penerimaan(acceptibility) dan mutu(quality) masih jauh dari harapan bagi masyarakat yang hidup dibawah kemiskinan.

Solusi yang diambil pemerintah dalam mengatasi kasus-kasus kelaparan atau kelangkaan pangan hanya bersifat sementara bahkan berpotensi menambah persoalan baru, seperti impor beras dan program raskin. Pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dan tidak berusaha memperbaiki sistem secara mendasar seperti mekanisme distribusi dan produksi pangan yang secara menyeluruh akan mempebaiki ketersediaan, keterjangkauan, kesesuaian pangan lokal setempat, dan kualitas pangan rakyat. Sebaliknya, kebijakan pasar bebas yang disepakati lewat WTO dan FTA juga telah menguras sumber pangan rakyat dengan berbagai kegiatan perdagangan seperti ekspor hasil laut dan perkebunan. Sungguh tidak masuk akal sementara banyak rakyat yang menderita gizi buruk dan kurang gizi justru mengeskpor pangan berkualitas yang sangat dibutuhkan oleh rakyat sendiri.

Selain itu, perubahan iklim juga menambah ancaman pengurangan ketersediaan pangan baik langusng maupun tidak langsung. Iklim yang tidak menentu seperti curah hujan berlebihan atau sebaliknya kekeringan dan munculnya hama mengncam stok pangan. Ironisnya, anggaran pemerintah terkait dana ikli lebih terkonsentrasi pada dana mitigasi, bukannya adaptasi terhadap dampak iklim. Lebih para lagi, kebijakan iklim dalam program mitigasi juga berpotensi mengancam alat-alat produksi pangan seperti konversi lahan dari pertanian dan hutan produksi menjadi perkebuna n industris seperti sawit, tebu, jagung, dan jarak.

Fakta lain yang terjadi di negara ini adalah ’ketidakberdayaan’ pemerintah dalam mengontrol harga pangan pokok rakyatnya yang sangat ditentukan oleh pasar. Kenaikan harga pangan yang sering terjadi ini tidak akan berpengaruh bagi masyarakat kelas atas, tetapi sangat berdampak bagi rakyat miskin. Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang memberi sangsi tegas dan serius bagi piha-pihak yang telah meresahkan rakyat banyak dengan mencari keutungan pribadi. Lebih memprihatinkan kenaikan harga pangan ini, selain merugikan masyarakat banyak sebagai konsumen, sama sekali juga tidak dinikmati oleh petani sebagai produsen pangan. Ini juga merupakan bentuk kegagalan negara dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak pangan rakyat.

Untuk itu, melihat berbagai akar persoalan pangan di berbagai wilayah seperti di Palembang, Jateng, Jatim, NTT, NTB, dan Sulawesi, maka yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah bagaimana rakyat bisa mengakses sumber-sumber produksi seperti tanah dan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, kredit) sehingga mampu memproduksi pangannya sendiri. Memberikan rakyat alat-alat produksi akan memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk memproduksi pangannya sendiri sesuai dengan sosial budaya dan memutus rantai ketergantungan pada pangan impor. Seharusnya bangsa ini malu mengaku sebagai bangsa agraris bila rakyatnya yang bermata pencaharian sebagai petani sebagai produsen petani justru menerima beras miskin yang berasal dari beras impor!

Melihat situasi dan kondisi di atas, amka pada Hari Pangan Sedunia ini, Solidaritas Perempuan menyerukan dan mendesak kepada negara untuk:

1. Segera melaksanakan pembaharuan agraria yang melibatkan dan memberi akses perempuan dalam pelaksanaanya.

2. Segera merevisi UU Pangan No. 7 tahun 1996 baik segara ideologis, dasar filosofis, maupun materi untuk lebih meneka nkan tanggung jawab negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak pangan rakyat

3. Segera menghentikan program bantuan beras miskin dan menghentikan ketergantunga pada pangan impor, serta lebih memberdayakan petani dengan memberikan akses alat-alat produksi sehingga merka bisa berdaulat atas pangnnya sendiri

4. Menata ulang kembali kebijakan pangan secara keseluruhan, seperti sistem distribusi pangan dan kebijakan pasar bebas untuk melindungi produk pangan dalam negeri.



Jakarta, 16 Oktober 2010


Sekretariat Nasional

Jl. Siaga II No.36 Pejaten Barat – Pasar Minggu

Jakarta Selatan

Email : soliper@centrin.net.id, Telp: 021-7918308. Fax: 021-79831479

Baca selengkapnya...

Politik Banjir

Politik Banjir
Oleh: Khalisah Khalid

Pembelokan Kepentingan
Menarik, apa yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla bahwa banjir merupakan imbas dari kerusakan lingkungan. Kalla juga mengatakan, tata kota di Jakarta dan sekitarnya harus dibenahi. ”Pembenahan kawasan hijau wajib segera dilakukan untuk penyerapan air. Sungai-sungai harus diperlebar, dikeruk, dilestarikan.” (Kompas, 15 Februari 2010).

Saya setuju, salah satu penyelesaian banjir adalah dengan pembenahan tata kelola kota yang saat ini sudah amburadul. Tapi yang menjadi kekhawatiran berikutnya adalah ketika solusi ini ditelan mentah-mentah oleh pemerintah tanpa pernah melihat akar persoalan secara kebih struktural. Yang terjadi adalah persis paska banjir tahun 2007, pembenahan kota dilakukan secara besar-besaran. Penggusuran marak terjadi dimana-mana, dan yang disasar adalah permukiman warga miskin dengan mengatasnamakan pembangunan kawasan hijau dan pengendalian banjir.

Inilah yang mesti dilihat secara lebih jauh, bahwa melihat persoalan lingkungan tidak bisa hanya dari aspek teknis lingkungan. pendekatan ekologi politik digunakan untuk mengkaji aspek politik, ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan dan kekayaan alam (Blaikie and Brookfield, 1987). Bahkan selain menggunakan analisis structural, ekologi politik kontemporer juga menggunakan keterkaitan antara pengetahuan, kekuasaan, dan wacana.

Ruang terbuka hijau (RTH), memang menjadi kebutuhan mendesak bagi kota Jakarta yang memiliki laju kerusakan lingkungan hidup begitu tinggi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dalam study cepat yang dilakukan dengan wawancara terhadap 1000 orang warga krisis di Jakarta, mendapatkan hasil bahwa kualitas hidup di Jakarta memang semakin buruk. Tingkat polusi udara yang begitu tinggi, persoalan sampah dan banjir yang setiap tahunnya mendatangi kawasan padat huni ini.
Jakarta dan kota-kota besar lainnya juga mengalami fragmentasi ruang publik yang begitu besar, akibat konversi untuk kepentingan kawasan komersil, ruang interaksi sosial warga Jakarta, yang sekaligus memiliki fungsi ekologis, telah beralih menjadi pusat perbelanjaan yang kemudian didefinisikan sebagai ruang publik.

Nampaknya, ini bukan lagi persoalan perbedaan interpretasi. Ini sudah menyangkut persoalan perbedaan kepentingan, dan pemerintah dalam hal ini lagi-lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan warga miskin, sehingga kepentingan warga miskin dapat dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yakni kepentingan modal.

Wacana tentang lingkungan hidup kini diadopsi oleh pemegang kekuasaan dan pasar, dengan bungkusan modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism), tujuannya jerlas yakni untuk kepentingan politik dan pasar, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik.

Bahkan dengan mengusung pendekatan Green Developmentalism, isu lingkungan kemudian bergeser menjadi komoditas baru diantaranya bisnis perumahan yang kini semakin marak diiklankan lewat media massa. Sebagai komoditas ekonomi, sasarannya juga jelas yakni kelas menengah keatas yang tingkat konsumsinya melampaui daya dukung lingkungan. Bukan dalam rangka memenuhi hak atas lingkungan yang hidup dan sehat sebagaimana yang diamanahkan dalam Konstitusi yang menjadi hak semua warga negara.

Mengelola Kota
Kepentingan ekonomi memang jauh mendominasi kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan isu keberlanjutan kehidupan bagi rakyat dan lingkungan. Perebutan kue pembangunan, selalu dimenangkan oleh pasar dan industri yang menguasai tata konsumsi dan tata produksi masyarakat. Penegakan hukum untuk mengimplementasikan peruntukan perencanaan ata ruang wilayah sebagai ruang terbuka hijau, hanya berlaku untuk warga miskin, tidak berlaku untuk investasi.

Karenanya, pengurus negara harus merubah solusi dalam menangani problem perkotaan, dan hal pertama yang mesti dilakukan adalah bagaimana merubah kebijakan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang dipilih. Persoalannya bukan pada seberapa tinggi populasi penduduk di kota-kota besar, tapi seberapa jauh distribusi lahan dan tingkat konsumsi masyarakat dapat dikelola secara adil dan berkelanjutan.

Pengelolaan tata kota tidak hanya dengan melihat aspek teknisnya semata, meskipun itu memang lebih menarik karena putaran uang untuk proyek akan sangat besar. Terlebih, dalam kurun waktu 10-15 tahun kedepan, kota akan menjadi tempat pengungsian terakhir ketika desa tidak lagi dinilai bisa memberikan jaminan atas kesejahteraan dan produktifitasnya, sementara kota memiliki daya dukung ruang yang terbatas. Artinya, yang dibutuhkan adalah kebijakan pengelolaan kota dan tata ruang yang berkeadilan, baik untuk lingkungan maupun keberlanjutan kehidupan rakyat, terutama kelompok rentan seperti miskin kota.

Baca selengkapnya...