Perempuan dan Jejak Perubahan Iklim

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03145931/perempuan.dan.jejak.perubahan.iklim

Perempuan dan Jejak Perubahan Iklim

Kamis, 17 Desember 2009 | 03:14 WIB

Oleh Khalisah Khalid

Dalam studi lapangan di Desa Ilir, Indramayu, Jawa Barat, terungkap, sebagai buruh tani, Ibu Wati hanya bisa membawa pulang upah Rp 700.000 dalam 25 hari kerja saat masa panen dari pemilik lahan. Beberapa tahun belakangan, masa panen hanya bisa dinikmati satu tahun sekali dari semula dua kali akibat banjir dan kekeringan yang datang bergantian. Padahal, itulah penghasilan yang bisa didapat karena pendapatan suami sebagai nelayan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Kisah perempuan ini sekaligus memaparkan fakta perubahan iklim bukanlah proses yang netral jender. Meski perubahan iklim dirasakan semua orang, pengaruhnya bisa berbeda pada laki-laki dan perempuan karena perbedaan pengalaman yang dikonstruksikan kepada keduanya

Perubahan

Karena itu, perubahan iklim kemudian melahirkan bentuk ketidakadilan lain kepada perempuan, selain warisan bentuk ketidakadilan dari model pembangunan yang melakukan pendekatan patriarkhis. Salah satunya berupa beban ganda akibat dampak perubahan iklim. Pada 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan 40 miliar jam waktu dihabiskan perempuan di seluruh dunia untuk mencari air.

Bentuk ketidakadilan lain adalah pengabaian semua pengalaman pribadi, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas dan pengetahuan perempuan tentang relasi tubuhnya dengan kekayaan alam, baik individu maupun kolektif, yang dipengaruhi kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup yang membuat perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi dalam mengelola kekayaan alamnya. Revolusi Hijau menjadi satu bukti pembangunan dunia berwajah patriarkhal, menjauhkan akses dan kontrol perempuan terhadap tanah dan alamnya.

Negosiasi

Putaran negosiasi perubahan iklim terus berjalan dengan alot dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Desember. Delegasi Indonesia dalam pertemuan climate hearing menyatakan pesimistis proses negosiasi bisa menguntungkan Indonesia di tengah negara industri, khususnya Amerika Serikat, yang terus bersiasat menghindar dari tanggung jawab dan pembahasan soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang luar negeri, termasuk mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Pertanyaannya, bagaimana perundingan perubahan iklim jika ditarik pada entitas makhluk bumi bernama perempuan? Putaran negosiasi dalam COP-15 iklim lebih banyak berdebat soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang daripada membahas bagaimana seluruh makhluk bumi harus diselamatkan dari dampak perubahan iklim.

Perundingan tersebut jauh dari pembahasan mengenai kebutuhan spesifik perempuan. Tidak heran jika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tidak melihat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai institusi negara yang penting untuk dilibatkan dalam upaya penanganan perubahan iklim. Akibatnya, hampir seluruh perumusan peta jalan perubahan iklim tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya, proses yang dibangun jauh dari kebutuhan spesifik perempuan dan tidak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai obyek kebijakan.

Dalam sarasehan perubahan iklim yang dilaksanakan Civil Society Forum untuk keadilan iklim terungkap bahwa di banyak tempat, seperti di Nusa Tenggara Timur, perempuanlah yang lebih mengetahui kebutuhan pangan atau konsumsi keluarganya karena perannya sebagai pengelola bibit dan benih.

Maria Hartiningsih dalam Fokus, ”Jejak Samar Chico Mendes” (Kompas, 20 November 2009), menuliskan, pasar karbon tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati hutan. Bahkan, pasar karbon juga tidak menyentuh nilai jejak pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam hutannya. Pasar karbon menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan hutannya, antara lain dengan mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.

Kontrol

Selain akses dan kontrol yang dihilangkan, pasar juga tidak menghitung nilai kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aktivitas ritual keseharian perempuan dan beragam bentuk solidaritas antarperempuan. Sesederhana apa pun, ritual dan solidaritas itu merupakan bagian dari kelembagaan perempuan, bagian dari cara bertahan hidup di tengah krisis.

Karena itu, menjadi sangat relevan jika perempuan aktivis dunia menyerukan menolak mekanisme REDD sebagai jalan penanganan perubahan iklim karena REDD sangat jauh dari pemenuhan keadilan bagi perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya.

Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia; Gender Working Group Friends of the Earth International

Baca selengkapnya...

Kemunduran Perspektif Gender COP 15 UNFCCC

Media Rilis CSF, 15 Desember 2009

Kabarnya, salah satu mandat delegasi Indonesia adalah memperjuangkan subtansi Bali Action Plan yang dilahirkan COP 13, dimana Indonesia menjadi penyelenggaranya, sekaligus menjabat Presiden COP 13. Sayangnya, delegasi Indonesia tak konsisten, terbukti pelan tapi pasti gender tak lagi menjadi bagian yang muncul dalam teks shared vision AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Agreements).

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang berbeda pada tiap level masyarakat, bergantung wilayah tertentu, generasi, umur, kelas, tingkat pendapatan, pekerjaan, dan gender. Pada masyarakat yang secara dominan masih hidup dengan nilai-nilai patriarki, maka dampak perubahan iklim dengan sendirinya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hidup perempuan, ketimbang laki-laki.

Bagaimanapun, meski perempuan seringkali dianggap sebagai korban, tapi sesungguhnya peran mereka signifikan sebagai agen perubahan dan pengetahuan kehidupan sahari-hari merupakan jawaban menghadapi dampak perubahan iklim. Perempuan adat memiliki pengetahuan tentang hubungan paling baik dengan alam. Mereka paham pentingnya hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, dan sebagai gantinya, mereka menjaga alam agar dapat terus menyokong kehidupan keluarga mereka. Naluri untuk senantiasa menjaga kehidupan merupakan spirit yang feminine. Tak heran, jika kita selalu menyebut Ibu Pertiwi, atau Mother Nature. Inilah kebijaksanaan yang dimiliki oleh perempuan timur, terutama Indonesia. Pengetahuan ini adalah satu dari beberapa gelintir solusi nyata perubahan iklim yang dapat menyelamatkan generasi kita.

Bali Action Plan yang muncul pada COP 13 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dan social dan penghapusan kemiskinan adalah prioritas global, dan menekankan bahwa sebuah visi bersama (shared vision) mesti memperhatikan “kondisi social dan ekonomi atau factor relevan lainnya;”[iii] Gender equality— including equal participation of women and men as well as accounting for the differentiated impacts on women and men from climate change and its response measures— should be included in UNFCCC agreements in alignment with various international agreements including but not limited to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), the Beijing Platform for Action, and ECOSOC Resolution.

Komite CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) merekomendasikan perlunya segera melakukan upaya pencegahan resiko perubahan iklim dan bencana yang peka gender, sensitif terhadap sistem pengetahuan adat dan menghormati Hak Asasi Manusia. Hak perempuan untuk berpartisipasi pada semua tingkat pengambilan keputusan terkait perubahan iklim dan programnya, harus dijamin. Data yang terpisah berdasar jenis kelamin dan panduan program untuk membantu pemerintah merupakan salah satu yang penting untuk melindungi hak-hak perempuan. Kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, akan meningkatkan kemampuan Negara mengurangi dampak bencana, serta mitigasi adaptasi perubahan iklim.

Celakanya, negara-negara industri yang kerap disebut negara maju, ternyata terbelakang dalam prespektif gender. Australia menyatakan menolak shared vision pada sidang hari pertama AWG LCA, 7 Desember 2009 . Alasan mereka, upaya-upaya nyata yang berprespektif gender lebih baik dilakukan langsung ke dalam teks, misalnya tentang mitigasi dan adaptasi. Padahal, yang dibutuhkan memasukkan persektif gender sebagai prinsip konvensi, sehingga di dalam teks manapun kemudian prinsip ini dapat menjadi panduan. Selain Australia, negara lain yang menunjukkan resistensinya terhadap teks shared vision adalah Amerika Serikat dan Canada.

Sementara delegasi RI sendiri belum menunjukkan posisinya terhadap pentingnya shared vision sebagai teks bersama yang memuat prinsip-prinsip dasar dokumen LCA. Posisi ini sebetulnya membahayakan Indonesia, sebab shared vision akan memuat prinsip nyata ke depan, yang harapannya dapat menjamin nilai-nilai keadilan yang disepakati bersama. Shared vision adalah dokumen yang paling mungkin disepakati bersama diantara kesepakatan LCA lainnya.

Dengan adanya kesadaran bahwa percepatan perubahan iklim yang terjadi selama ini diakibatkan pembangunan yang tidak sensitif gender, maka Solidaritas Perempuan, CSF bersama Gender Climate Caucus mendesak pemerintah Indonesia mengusung klausul yang peka gender terkait dampak perubahan iklim pada Shared Vision AWG-LCA.

Usulan tersebut meliputi paragraph 7 dan 16.

Paragraph 7 (bis)

Recalling the international commitments to gender equality and participation, the full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Paragraph 16:

The full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Shared vision atau visi bersama atas prinsip-prinsip dalam menghadapi perubahan iklim sifatnya mendesak, baik di tingkat internasional hingga nasional. Linda Gumelar, Menteri pemberdayaan perempuan Indonesia yang baru beberapa bulan menjabat, mestinya cepat tanggap dengan shared vision terkait perubahan iklim.

Apalagi, delegasi Indonesia yang dikirim ke COP 15 UNFCCC diragukan memiliki prespektif gender. “memangnya perempuan itu penting ya terlibat dalam perubahan iklim?, tanggap salah satu delegasi RI yang ditanyakan mengapa Dewan Nasional Perubahan Iklim tidak melibatkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan ().

Baca selengkapnya...

Arsitektur Cahaya dan Warna, Pada Embun, Pada Bunga

derit roda-roda besi kereta naga
mengerek malam makin dalam

ibu-ibu bakul
ingin rasanya mencium, memelukmun hingga tumpas
merasakan jiwa dan desah nafas
ibu-ibu pekerja tak hilang asa
bunga kebak wangi yang semestinya dipetik dan disunting jadi lagu
Indonesia Raya


kado untukmu IBU-IBU BAKUL KERETA NAGA

juga untuk kaum ibu dalam sajak Hartojo Andangdjaja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

juga untuk keteguhan Prita Mulyasari

lihat di www.lenteradiatasbukit.blogspot.com

Baca selengkapnya...

Manyanggar: Membersihkan Bumi dari Bahaya Bencana

Jalan Lain bagi Masyarakat Lokal dalam Menyelamatkan Kehidupan

Manyanggar atau ruwatan bumi dan atau manenga lewu biasa dilakukan oleh suku Dayak Ngaju sebagai masyarakat local yang bermukim di wilayah hutan – lahan gambut Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Upacara adat ini salah satu bagian terpenting bagi suku dayak ngaju dalam memberikan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta (Tuhan) dan Penghuni Alam Semesta atau alam gaib. Upacara ini di persembahkan karena Sang Pencipta dan penghuni alam semesta telah memberikan rejeki dan keselamatan selama masyarakat bekerja, berusaha di suatu wilayah yang diyakini sebagai sumber-sumber kehidupan generasi saat ini dan generasi mendatang. Untuk mewujudkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta dan penghuni alam semesta, maka, komunikasi terpenting bagi suku Dayak Ngaju di sampaikan dengan menyelenggarakan upacara adat Manyanggar (ruatan bumi). Thema Manyanggar (ruwatan bumi) tahun 2009 ini adalah: Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global.



Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, pemerintah orde baru mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan bagi kebutuhan nasional. Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukannya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan. Akibatnya, lebih 82.000 jiwa penduduk lokal kehilangan mata pencaharian. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi pengangguran karena kebun dan tanahnya tergusur.



Proyek ini salah satu dampak dari serangkaian pembangunan yang eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo.



Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut. Kini, kawasan-kawasan gambut sejak transisi ke orde reformasi terancam menjadi konversi areal perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan. Selain itu, solusi iklim gambut untuk penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel).



Upaya lain yang dilakukan masyarakat local di areal gambut yang mendapat pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah, dengan cara; penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan beserta tanaman hutan rambatan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.



Belajar dari pengalaman dan penderitaan bersama, masyarakat local, yayasan Petak Danum, dan mitra kerja di tingkat basis menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009, Bangkok International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 dan rangkaian Copenhagen Desember 2009. Tetapi, semua skema-skema penyelesaian krisis iklim akibat dampak gagalnya pembangunan global, menawarkan skema-skema REDD, CDM, Energy Bersih. Skema ini pada dasarnya tidak pernah mengakui hak-hak dan pengetahuan masyarakat local dalam pengelolaan lahan dan hutan gambut berbasis kearifan tradisional yang sudah teruji puluhan dan bahkan ratusan tahun lamanya.



Dalam arena forum UNFCCC COP 15 di Denmark, tetap saja keberadaan masyarakat local tidak mendapat pengakuan atas sumbangannya untuk solusi krisis iklim global melalui praktek penyelamatan gambut secaratradisional. Sehigga, upaya lain bagi masyarakat local akan dilakukan melalui upacara adat “MANYANGGAR” (ruatan bumi). Ini bentuk jalan lain bagi masyarakat dalam memgkomunikasikan kepada Sang Pencipta, Semesta Alam, ketika komunikasi masyarakat local kepada pemerintah, dunia international tidak mendapat pengakuan. “MANYANGGAR” adalah pilihan tepat bagi masyarakat local untuk memberikan seruan kepada semua penghuni bumi dan pencipta alam semesta, bahwa, masyarakat telah menyumbang solusi krisis iklim global akibat kegagalan Negara maju membangun peradaban di muka bumi ini.



Manyanggar bertujuan untuk: 1) Mengkomunikasikan hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan sesama manusia. 2) Mengkonsolidasikan masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama dalam penyelamatan Gambut untuk keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan. 3) Menyerukan kepada semua pihak dari tingkat local, nasional dan International agar mengakui hak-hak masyarakat local tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim dunia yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC bulan Desember 2009.



Diharapkan agenda manyanggar akan memiliki dampak pada: 1) Terbukanya komunikasi hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan Sesama Manusia, 2) Terkonsolidasikannya masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama untuk menyelamatkan gambut dan keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan, 3) Semua pihak dapat mendengar seruan masyarakat local dari tingkat local, nasional dan International untuk pengakuan tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim global yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC Desember 2009)



Pelaksanaan kegiatan manyanggar dilakukan selama 3 (tiga) hari, dimulai tanggal 10 s/d 12 Desember 2009. Hari H manyanggar tanggal 12 Desember 2009. Rangkaian kegiatan lainnya : 1) Pertemuan antar Lembaga Adat/ Tetua kampung (10 Desember 2009), 2) Rehabilitasi Hutan Adat melalui penanaman pohon kehidupan (11 Desember 2009), 3) Musyawarah ARPAG (11 Desember 2009), 4) Manyanggar (Ruatan Bumi) hari H. 10,11 dan 12 Desember 2009, 4) Pendidikan Kader Management Pengelola Gambut (8 – 9 Desember 2009)Tempat penyelanggaraan manyanggar bumi ini di lakukan di sebuah desa antara Pulau Kaladan dan Tarantang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.



Peserta kegiatan manyanggar (ruwatan bumi) akan diikuti oleh sebanyak 5.000 – 10.000 warga, terdiri dari; 40 orang ARPAG, 40 wakil dari Lembaga Adat, 200 orang peserta upacara manyanggar dan 5.000 – 10.000 orang warga mengikuti manyanggar hari akhir. Desa-desa yang terlibat sekitar 52 Desa. Peserta wakil dari desa-desa sekitar eks PLG dan sekitarnya dari Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Kegiatan ini juga mengundang peserta yang berminat hadir, misalkan dari: Jakarta, Bogor, Banjarmasin, Sampit, Muara Teweh, dan sekitarnya. Pelaksanaan manyanggar dilaksanakan dengan biaya swadaya masyarakat desa-desa, lembaga, organisasi local yang menyumbang berupa natura (beras, ikan, sayuran, gula, kopi, dan perlengkapan manyanggar lainnya yang dibutuhkan). Sedangkan biaya lainnya akan diperoleh dari para pihak baik Instansi pemerintah local, lembaga swadaya masyarakat, personil yang peduli atas pelaksanaan manyanggar ini.



Demikianlah gambaran umum penyelenggaraan upacara adat “MANYANGGAR” dilakukan, agar mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Diselenggarakan oleh: Petak Danum, ARPAG, SHI, Kelompok Pengrajin Rotan, Petani Karet, Koperasi Hinje Simpei, CSF, WALHI, FoEI.


Panitia Pelaksana “MANYANGGAR”

Penanggungjawab: MULIADI. SE

Sekretariat Kerja Panitia: Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kel.Selat Dalam Kec.Selat 73516

Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA Telpon/Fax: 0513-22352

Baca selengkapnya...

Jejak Samar Chico Mendes

Oleh Maria Hartiningsih

".. Hanya satu hal yang saya inginkan: kematian saya akan
menghentikan impunitas terhadap para pembunuh yang dilindungi oleh
Polisi Acre.. Seperti saya, para tokoh penyadap karet telah bekerja
menyelamatkan hutan hujan Amazon, dan membuktikan, kemajuan tanpa
penghancuran adalah mungkin."


Chico Mendes menyatakan hal itu dalam seminar mengenai Amazon yang
diselenggarakan di Universitas Sao Pablo, Brasil, tanggal 6 Desember
1988, atau setahun setelah ia berpidato pada Sidang Parlemen Acre.
Acre terletak di bagian timurlaut Brasil, di sebelah utara Negara
Bagian Amazonas, yang sebagian besar wilayahnya dilingkupi hutan hujan
Amazon. Negara bagian itu dikenal sebagai penghasil dan pengekspor
karet.

Hanya seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-44, Chico Mendes
ditembak mati kelompok yang menentang perjuangannya, di rumahnya di
Xapuri, petang, tanggal 22 Desember. Peristiwa itu menjadi headlines
di media terkemuka dunia, termasuk The New York Times. Kematiannya
adalah tragedi, sekaligus api yang menghidupi perjuangan para aktivis
lingkungan.

Inilah pernyataannya yang paling terkenal: "Awalnya saya kira
perjuangan saya hanyauntuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya
mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini,
saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan."

Berisiko
Isu hutan sangat penting baik secara politik maupun geostrategik.
Di banyak negara, tak hanya negara yang demokratis, wartawan dan
aktivis yang melakukan investigasi terkait dengan isu hutan dan
lingkungan berada di garis depan medan pertempuran baru. Ada daftar
panjang konflik antara wartawan dan aktivis dengan para penjahat
lingkungan.

Hutan hujan tropis seluas 6,7 juta kilometer persegi, yang 60-65
persennya berada di Brasil itu adalah separuh paru-paru dunia, "rumah"
ribuan spesies dan keragaman hayati yang sangat penting bagi
keberlanjutan kehidupan.

Amazon adalah sumber penghidupan sekitar 191,2 juta penduduk
Brasil, dan menghasilkan 8.295 dollar AS produk domestik bruto per
kapita per tahun-yang berarti masuk kelompok pendapatan menengah-pada
2008. Namun, hutan itu juga menyimpan sejarah perusakan yang panjang.
Seperti di banyak negara di mana kekuatan global berkawin dengan
pemerintahan diktator militer, dua dekade pemerintahan militer di
Brasil (1964-1985) telah membuahkan kebijakan yang menuju pada
penggundulan dan penghancuran hutan.

Menjelang tahun 1970, Presiden Emilio Medici mulai melakukan
pembangunan besar-besaran dengan membangun jalan raya Transamazonia
(BR 364) sepanjang 5.000 kilometer. Ia tidak peduli tanah itu subur,
dan menjadi tempat bermukim suku asli, orang sungai, para penyadap
karet dan mereka yang tinggal dan merawat hutan. Pembangunan itu
berdampak pada 96 suku di Acre. Diperkirakan 838 dari 1.000 anak
diAcre meninggal sebelum berusia setahun.

Penghancuran terus berlanjut "atas nama pembangunan", sampai
Presiden Luiz Inacio "Lula" da Silva bertekad menghentikan deforestasi
secara serius sejak lima tahun lalu. Namun, meski pertumbuhan ekonomi
mengesankan, kemiskinan di pedalaman belum banyak tersentuh. Gap kaya-
miskin belum terjembatani.

Isu panas
Isu hutan menjadi isu politik terpanas. Potensinya menyerap emisi
telah mereduksi hutan sebagai subyek dagang para saudagar karbon.
Pembahasan pengurangan emisi yang membahayakan kehidupan semakin
terkesan seperti negosiasi dagang di forum-forum internasional.

Padahal, hutan bukan sekadar bank karbon. Seperti diingatkan
Laporan Pembangunan Manusia tahun 2007, pasar karbon tak akan menekan
deforestasi. Banyak fungsi ekologis hutan yang tidak dapat dipasarkan.
Pasar tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman
hayati di Amazon Brasil, ataupun di berbagai hutan hujan tropis lain
di dunia. Harga nol selalu disetarakan dengan nilai nol, padahal harga
dan nilai adalah dua hal yang berbeda.

Ketidaksetaraan kekuatan politik adalah sumber deforestasi yang
tak bisa dikoreksi lewat pasar. Merangseknya pertanian dan peternakan
komersial, pembangunan infrastruktur, pembalakan, penambangan di hutan
Amazon senantiasa terkait pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran
serupa terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia. Semua mekanisme
perdagangan karbon hutan berpotensi memperbesar pelanggaran.

Perjalanan kami tak sampai Acre, bahkan menyentuh hutan pun tidak.
Akan tetapi, bayangan Chico Mendes sempat tertangkap, hilang dan
timbul, melalui catatan para aktivis yang berjuang menyelamatkan hutan
hujan, menyelamatkan kemanusiaan...

Baca Juga
Fokus tentang
Amazon

HAL 45-48

Baca selengkapnya...

Menyemai Perjuangan di Perkebunan

“Sebuah inisiatif perempuan melawan pemiskinan”
Oleh: Khalisah Khalid

“Entah, berapa babak mereka melakoni derita hidupnya disana, di perkebunan Pagilaran, lereng pegunungan Kemuylan, sebelah utara pegunungan Dieng. Derita itu berbabak-babak, dari generasi ke generasi, berubah pelakunya, namun tetap saja sama korbannya. Perempuan pemetik teh. Anak beranak perempuan menjadi buruh harian lepas, jika anaknya tidak mau meneruskan jejak orang tuanya, siap-siaplah untuk hengkang dari rumah yang ada di area perkebunan ini”. (Sya V)

Kolonialisasi Perkebunan
Penggalangan kalimat diatas, merupakan sebuah gambaran kecil dari cerita yang bisa kita sebut sebagai bentuk kolonialisasi perkebunan. Ini hanya sekelumit gambaran bagaimana nasib perempuan di perkebunan skala besar seperti perkebunan teh yang telah menjalani kehidupannya berbabak-babak dengan berbagai peristiwa, lapis-lapis kekerasan dan juga kemiskinan yang dialami sepanjang sejarah hidupnya yang artinya juga sepanjang sejarah perkebunan teh itu sendiri.

Buruh perkebunan teh secara turun temurun tetap menjadi buruh, tanpa jaminan hidup yang jelas dan jauh dari jangkauan perlindungan, yang sesungguhnya lebih mirip disebut dengan perbudakan. Kebanyakan buruh perempuan adalah buruh pemetik daun teh yang ditempatkan sebagai buruh harian lepas (BHL). Walau di beberapa tempat upah buruh baik laki-laki maupun perempuan sama, pada kenyataannya buruh laki-laki mendapatkan upah yang lebih banyak dari buruh perempuan karena system pembayaran upah pada buruh harian lepas didasarkan pada berat perkilo daun the yang berhasil di kumpulkan.

Di tempat yang lain, cerita nasib perempuan di perkebunan tidak jauh lebih baik yakni perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini menjadi salah satu primadona pembangunan kebijakan ekonomi yang berbasiskan pada industry ekstraktif dan industry kotor. Seperti kebanyakan lagu pembangunan, yang dijual adalah kesejahteraan bagi masyarakatnya. Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif pertanian; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya. Berbagai fakta penghancuran inilah yang menjadi indikator bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu basis produksi kotor yang diandalkan Indonesia, setelah industri tambang.

Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan dan bentuk-bentuk pemiskinan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.


Meskipun mungkin kurun waktunya tidak sepanjang perkebunan teh, apa yang terjadi pada perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit juga tengah mengalami lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.
Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk paling tidak sejak tahun 1985 di Kalimantan Barat, perempuan telah kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Bentuk ketidakadilan yang lain adalah ketika perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang lemah dan tidak berdaya, dan mengabaikan semua pengalaman pribadi termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas, dan pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan.

Inisiatif Perempuan
Pemiskinan memang menjadi realitas yang begitu rupa telanjang bentuknya, bahkan ditengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Peristiwa pemiskinan dan penderitaan perempuan memang tidak akan habis untuk terus dibicarakan sampai bisa terwujudnya keadilan, namun yang juga menjadi penting untuk dicatat adalah bagaimana perempuan sebagai sebuah entitas dengan dirinya yang juga menjadi bagian penting dari komunitas dan negaranya telah melakukan berbagai inisiatif untuk melawan pemiskinan atau agar dapat mempertahkan kehidupannya, meskipun dengan kualitas hidup yang berada dibawah standar kesehatan sebagaimana yang termaktub dalam Konstitusi Negara.

Dalam temuan awal yang berjudul meretas jejak jejak kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, ditemui beberapa inisiatif yang dilakukan oleh perempuan menghadapi pemiskinan yang dialaminya. Inisiatif ini dibangun oleh perempuan di kawasan perkebunan yang biasanya didasari atas pengalaman dirinya, dan kemudian bisa disebut sebagai sebuah pengetahuan. Inisiatif ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi survival yang dilakukan oleh perempuan untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya yang terus menerus dimiskinkan.

Di beberapa daerah, dimana masyarakatnya berhadapan dengan ekspansi industry perkebunan sawit skala besar seperti di Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Riau, perempuan yang menjadi korban dampak perkebunan sawit terlibat dalam perjuangan advokasi bersama dengan masyarakat yang lainnya untuk merebut kembali akses dan control terhadap sumber-sumber kehidupannya. Namun sering kali inisiatif perjuangan ini, dihadapkan pada upaya kriminalisasi dari pengurus negara dan perusahaan seperti yang dialami oleh ibu Nursiah di Sumatera Selatan. Di Sanggau, meskipun belum menjadi pemimpin organisasi, perempuan justru menjadi penggerak kelompok perempuan dan masyarakat di kampungnya seperti yang dilakukan oleh ibu Rini.

Pengalaman perempuan di perkebunan sawit di Sanggau Kalimantan Barat yang dilakukan dengan mencari pendapatan tambahan untuk keluarganya bahkan pekerjaan perempuan tersebut justru menjadi sumber pendapatan yang menopang keberlanjutan hidup keluarga. Bagi perempuan yang tidak memiliki lahan, biasanya perempuan bekerja menjadi berondol sawit, dan perempuan petani biasanya mereka alih profesi menjadi penoreh karet di kebun orang lain atau menjadi buruh tani.
Berdasarkan pengalaman buruk dengan perusahaan sawit, membuat mereka berpikir panjang untuk menyerahkan tanahnya. Kini, perempuan disana juga menanam jenis tanaman lain di tanahnya seperti jeruk yang juga bisa memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga.

Hal lain yang menjadi inisiatif perjuangan perempuan selain dengan cara merebut akses dan control terhadap kekayaan alam, juga dilakukan dengan membangun organisasi atau kelembagaan. Organisasi dan kelembagaan yang dimaksudkan disini bukan hanya bergabung dengan organisasi rakyat atau organisasi yang terlembagakan secara struktural, aktivitas ritual keseharian dua perempuan, dan beragam bentuk solidaritas antar perempuan (sederhana apapun) merupakan bagian dari kelembagaan perempuan sebagai bagian dari cara bertahan hidup perempuan ditengah krisis. Seperti perempuan berondol yang didalam aktifitasnya secara bersama-sama atau berkelompok setiap harinya untuk membicarakan berbagai permasalahan kehidupan yang dialami oleh perempuan, terlebih perempuan berondol sawit dihadapkan pada resiko kekerasan lain, seperti ancaman ditangkap oleh mandor-mandor perkebunan karena memungut buah sawit yang jatuh dianggap sama dengan mencuri.

Inisiatif-inisiatif (baca, strategi surviva) perempuan yang dilakukan mungkin jauh dari harapan untuk membuat hidup mereka sejahtera, namun yang pasti inisiatif ini merupakan cara mereka bertahan hidup ditengah absennya pengurus negara didalam memenuhi hak-hak dasar warganya.

Bagian gerakan social, menjadi penting untuk tidak hanya mengkampanyekan nasib-nasib ketertindasan perempuan, namun juga terus mempromosikan inisiatif-inisiatif perempuan yang selama ini telah dilakukan sebagai sebuah “iuran” besar warga negara yang harusnya diakui.

Baca selengkapnya...

Tiga Hari Itu

Oleh: Khalisah Khalid

Aku hampir lupa, kalau kesehatanku belum pulih benar. Rasa senang memuncak begitu menginjak kaki di Banda Aceh untuk ketiga kalinya. Sambil menyusuri jalan, terlintas kopi Aceh yang begitu masyhur nikmatnya, bertambah lezat bila ditemani kue timpan yang sangat kusuka. Aaaah, sayangnya aku belum bisa menikmatinya sesegera mungkin. Semoga Aceh menjadi obat, paling tidak dalam tiga hari ini. Begitu harapku dalam bisik sambil memasuki penginapan yang berada di daerah Neusu.


Selain bahagia bisa kembali ke Banda Aceh walaupun hanya tiga hari, yang lainnya karena aku dipertemukan dengan sekitar 20 orang perempuan luar biasa dan 1 orang lelaki yang bertahan berada diantara kumpulan perempuan. Jarang loh ada lelaki yang mau bergabung belajar dengan kelompok perempuan, tanpa ada rasa diskriminasi dan juga dominasi.

Bagaimana tidak hebat, 20 orang perempuan ini mencurahkan hidup dan waktunya untuk pemajuan hak asasi manusia termasuk hak atas lingkungan di desanya masing-masing. Maklumlah, kebanyakan ibu-ibu yang usianya diatas saya dan beberapa ada yang lebih muda dari saya merupakan paralegal dan fasilitator di desanya masing-masing. Saya sangat yakin, proses membangun ini tidak segampang membalik telapak tangan, dan perempuan-perempuan yang hadir disini telah menunjukkan bagaimana perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang begitu istimewa dan berbeda, dan itu merupakan bagian dari kerja keras Solidaritas Perempuan Aceh.

3 hari ini kami melalui proses belajar bersama, aku asik menyimak bagaimana ibu-ibu mulai berdiskusi dan berdebat seru tentang peran gender yang mereka alami dalam kehidupannya sehari-hari. Bu Maryati misalnya, dia menceritakan kepada kita semua bahwa di keluarganya ada hari ayah. Waw, satu hari di setiap hari Jum’at, semua pekerjaan rumah tangga dilakoni oleh sang ayah. Senang bukan??? Tidak sampai disitu, ibu yang ceria ini juga telah menanamkan pembagian peran gender kepada anak-anaknya, termasuk anak laki-lakinya yang mulai dikenalkan dengan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak.

Nah, hal lain diungkapkan oleh kak Uti. Kakak yang heboh kalau bicara ini, menceritakan perasaannya yang malu sekali jika suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. “Apa nanti kata tetangga”, itu alasan singkatnya. Meskipun dia memahami bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak berjenis kelamin, bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Yang menarik awal proses belajar kami ini, paling tidak bagi saya semakin memperjelas bahwa memang peran gender, termasuk relasi didalamnya dipengaruhi dengan sangat kuat oleh sebuah system social dan budaya yang ada dalam masyarakat, termasuk agama didalamnya.

Sebenarnya diskusi masih berlangsung “panas”, namun waktu telah beranjak naik dan kini waktunya bagiku untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman advokasi yang selama ini aku lakukan. Meskipun aku bukan ahli hukum, materi belajar kami kali ini mengupas tentang hukum dan hak atas lingkungan. Aku ingat apa yang dikatakan oleh salah satu peserta, bahwa selama ini justru hukum yang membuat masyarakat tidak berdaya.

Belajar kita dimulai dengan mengulik kasus demi kasus yang dihadapi oleh peserta di masing-masing desanya dalam sebuah diskusi kelompok, mulai dari berhadapan dengan industri semen yang bernama PT. SAI dan turunan masalahnya seperti pembangunan PLTU untuk kepentingan pelanggengan bisnisnya, hingga berhadapan dengan pemilik usaha perabot. Satu demi satu peserta mengurai apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat dan bagaimana pilihan-pilihan yang telah dilakukan oleh paralegal ini bersama dengan komunitasnya.

Disinilah saya mulai masuk untuk menyampaikan informasi yang selama ini selalu diputar-balikkan untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak sesekali bersentuhan dengan hukum, jika tidak mau berhadapan dengan aparat hukum. Padahal hakikat kebaradaan hukum adalah sebagai alat untuk mencapai nilai keadilan dan memanfaatkan hukum untuk memperkuat posisi tawar mereka dan sebagai alat untuk mempertahankan dan melindungi serta mendorong dipenuhinya hak-hak asasi masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi dalam berbangsa. Peserta disini sudah mengerti isi Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara keseluruhan. selama ini, UUD 1945 juga belum digunakan sebagai pijakan untuk melihat sejauhamana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya bertentangan atau sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan produk hukum yang lebih tinggi.

Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kerusakan lingkungan hidup telah mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia dan penurunan kualitas hidup manusia, mungkin itu salah satu alasan mengapa hak atas lingkungan juga menjadi salah satu materi yang menarik untuk didiskusikan. Kami pun mulai saling berbagi cerita, ibu-ibu ini sedikit banyak telah mengetahui bagaimana pentingnya arti lingkungan hidup, meskipun diakui bahwa urusan perut menjadi kebutuhan yang lebih utama. Makanya ada diantara keluarga mereka yang bekerja mencari nafkah di PT. SAI, yang ibu-ibu juga telah ketahui telah mencemari lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan mereka seperti pertanian.

Diantara peserta ada yang merasa bahwa diantara paralegal ini belum melakukan apa-apa, tapi ada juga yang mengatakan bahwa meskipun sedikit dan kecil, paralegal ini telah berjuang meskipun belum maksimal hasilnya. Dari sinilah aku mulai mengenalkan strategi dan pernak-pernik advokasi dan komunikasi, sebagai salah satu keahlian yang akan sangat baik jika dimiliki oleh seorang paralegal lingkungan.
Kami mencoba “berkomunikasi” dengan sebuah permainan singkat, bisik kata. Meskipun permainan ini sederhana, ternyata ada juga kelompok yang salah menyebutkan sesuai permintaan fasilitator. Kami tertawa terbahak-bahak ketika kelompok tiga salah menyebutkan kata, dari kata hak lingkungan, menjadi hai lingkungan.....

Dari permainan singkat ini kami dapat mengambil pembelajaran, bahwa meskipun setiap hari dilakukan, berkomunikasi tidak semudah yang kita bayangkan. Karena itulah strategi komunikasi menjadi penting untuk diketahui oleh seorang paralegal, dan kata-kata kepercayaan menjadi keharusan dalam kerja-kerja advokasi, apalagi bagi seorang paralegal atau fasilitator desa yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dengan segala dinamikanya.

“Takut di-Pritakan, mbak”, yang lain menyahut “takut seperti pak Munir, mbak”, itu ungkapan dari ibu-ibu yang tidak lepas membayangi mereka, ketika mereka harus berhadapan dengan kerja-kerja advokasi di lapangan. Manusiawi dan bahkan teramat sangat manusiawi, apalagi bagi perempuan-perempuan yang daerahnya baru lepas dari operasi militer seperti di Aceh.

Menggunakan hukum sebagai alat perjuangan memang seperti berjalan di hutan belantara, karena hukum di Indonesia masih korup, tidak independen dan belum berpihak kepada keadilan bagi rakyat miskin. Namun bagaimanapun situasinya, masyarakat harus tetap mengerti tentang hukum termasuk bagaimana membedakan antara hukum pidana dan perdata. Yang terpenting tidak takut lagi dengan kata-kata hukum dan bahkan menggunakan instrument hukum untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.

Kak Khairani, yang memang jago di bidang hukum mengajak kita semua untuk mulai belajar mengelompokkan criteria hukum pidana dan perdata. Lagi-lagi saya terkagum-kagum, dengan pemaparan ibu-ibu di depan kelas selepas membedah kasus di desanya masing-masing. Wuih, ibu-ibu ini sudah bisa mengidentifikasi kasus-kasus mereka berdasarkan kriteria hukum perdata dan pidana, meskipun mereka bukan ahli hukum.
Bukan itu saja, termasuk pada strategi atau pilihan apakah akan menggunakan jalur hukum atau diluar jalur hukum seperti lobby, mediasi dan lain-lain. Apalagi saya percaya bahwa pada dasarnya perempuan merupakan seorang pelobby yang ulung, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman melakukan lobby dalam kesehariannya.

Lewat bermain peran, peserta ini mulai mempraktekkan bagaimana melakukan lobby-lobby dengan para actor-aktor yang dianggap penting untuk dipengaruhi dalam kasus-kasus yang terjadi di desanya, mulai dari pak Keucik sampai Bupati. Meskipun hanya bermain peran, peserta mencoba untuk mendalami karakter aktor-aktor yang mau dipengaruhi. Sekali-dua kali-tiga sampai empat kali, hampir semua peserta kebagian peran dan belajar bagaimana cara melobby.

“We are the best”, itu teriakan kami bersama setelah kita semua sukses belaajar bagaimana proses melobby. Tentu tidak berhenti hanya sampai disini, karena semua yang dipelajari akan dipraktekkan secara langsung di desanya. Paling tidak, pertemuan ini sudah berhasil merancang kerja-kerja yang akan dilakukan secara realistis.

Jam 17.30, pesawatku meninggalkan Banda Aceh. Meskipun terlalu cepat berada di Banda Aceh, paling tidak dalam tiga hari ini aku bisa berada diantara perempuan-perempuan hebat sampai doa dan harap mengakhiri perjumpaan kami. Semoga perjuangan membela hak-hak masyarakat dan hak perempuan ini dapat menuai keberhasilan, dan kami masih bisa terus belajar bersama.

Aaaah,perempuan memang punya segudang pengetahuan dan pengalaman berjuang mempertahankan kehidupannya. Sayangnya, inilah yang tidak pernah dilihat dan diakui oleh negara dan komunita social lainnya. Selain hanya melulu menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya.

Baca selengkapnya...

Dua Puluh Lima Agustus

Khalisah Khalid

Aku suka tanggal Dua Puluh Lima Agustus, sangat suka. Karena di hari itu, selalu ada banyak makanan, kado dan doa tentunya, yang selalu mengalir untukku tanpa syarat. Kecupan di pagi hari, biasanya meluncur di keningku tanda syukur dari ibu yang melahirkan aku di tanggal itu. Pikir-pikir, romantis juga ibuku. Hihihi….. Aku senang di tanggal itu, terlebih saat membuka kado, kakek selalu dan selalu memberikan aku kado walaupun terlalu sering kadonya barang-barang yang tidak aku sukai, tetap saja aku senang.

Nasi uduk, selalu dengan setia menemaniku di tanggal itu. Teman-temanku suka “meledek”, orang Betawi mengganti kue ulang tahunnya dengan nasi uduk. Ibuku berpikir sederhana, kalau nasi uduk bisa dimakan banyak orang dan mengenyangkan, iya kan? hehehe,…. Selalu dan hampir selalu ibuku membuatkan nasi uduk untuk bersama-sama kumakan dengan teman-teman. Aaah, ibuku memang paling top sedunia. Nasi uduknya, hmmmm, eunak tenaaan.

Pernah ada satu kali, kue ulang tahun menemani di tanggal itu yang disiapkan teman-temanku, dan sudah bisa diduga kue ulang tahun berubah jadi bahan untuk saling melempar kue. Pun demikian, aku tetap bahagia dan kami semua tertawa. Dua puluh lima Agustus, selalu indah bagiku.

Semua kebaikan, kesehatan dan kebahagiaan menjadi doa yang mengalir untukku tanpa syarat dan tak pernah kurang sedikitpun, tak pernah dari orang-orang terdekat dan teman-teman. Rasanya seluruh kebaikan isi bumi, seperti kata temanku memelukku dengan erat. Sungguh, dihari yang kusuka ini aku ingin membagi semua kebaikan yang ada di bumi bagi seluruh ummat manusia.

Kini, waktu itu kembali lagi dan aku menantikannya sejak beberapa hari sebelumnya. Kala semua kebaikan seluruh bumi mendekapku dalam damai. Bagiku, bertambah usia itu indah, seperti tumbuhnya benih padi yang menguning dan memberikan harapan hidup bagi banyak orang. Setiap tahun selalu ada yang istimewa, meskipun juga kehilangan beberapa hal yang istimewa. Kado kakek sudah dua tahun ini tidak menyambangiku, sejak Beliau pergi menghadap penciptanya. Juga sempat merasa sendiri di dua puluh lima agustus tahun 2006 di Bali, namun lagi-lagi teman-teman menyemarakkan hari itu dengan doa, tawa dan lagu dan meyakinkan bahwa aku tidak akan pernah sendiri dan sepi.

Tahun ini, aku menjumpai lagi tanggal itu bersama dengan seseorang yang telah masuk dan menemani hari-hariku, dan mulai tahun ini aku mendapatkan kado kecupan darinya dan doa yang tak pernah habis. Semoga, kata yang tak pernah lepas dari harap.

Dunia virtual pun begitu adanya di tahun ini, teman-teman mengirimkan doa yang terus menerus lewat facebook, email dan sms. Terima kasih, doa yang tak pernah habis selalu menemani hari-hariku selama ini dan sepanjang tahun-tahun mendatang. Aaah, aku selalu menantikan dua puluh lima Agustus itu datang lagi dan masih bersama orang-orang yang kucintai. Amiiin…..

Baca selengkapnya...

The Green Space Area's Policy and Eviction Urban Poor in Jakarta

by: Khalisah Khalid


As a big city with the increasingly worsen sanitasy, Jakarta needs the way to recover the condition of environment. The one of ways is allocates area of green space area (RTH). The next problem is the government implements the policy of its RTH construction by making the policy that put away city poor citizen from their life space. The research purpose of seeing importance conflict between the environmental importance and the basic right of city poor and how the accses and the control authority toward life space of citizen in Jakarta. The government’s consistence of DKI Jakarta in implementing RTH policy also will be analyzed. The taken case`study is the eviction toward poor citizen’s settlement in park “clean, Humane and Prestigious” (BMW) which was held on August, 24, 2008.

From this study, can be seen the policy unconsistence of government of DKI for implementing RTH. The importance struggle also seen by the domination of capitalist groups toward space structure, including RTH.

The conclusion is eviction of poor citizen for RTH importance is not a solution that can answer all of environmental and urban affairs’ problems. The access and the control of citizen supposed to be opened toward life sources, including the land as fair as possible. And, the urban affairs’ environmental problem also can not seen as simple as citizen growth that always become justificasy for evicting the poor citizen with the outsider label “illegal”. The paradigm and the economical policy that are chosen by the government is exploitative that support consumption level in the city, and take place the capitalists as power holder has supposed to be changed.

The supporting things migration rate from the village to the city suppose to be finished by national policy. As the consequence, the urban affairs’ problem supposed to be finished together with the crisis finishing that happened in the rural. Also including agrarian conflict finishing, that has caused the citizenry lost the access and the control of life.


please see the attach: www.walhi.or.id

Baca selengkapnya...

Bengkel Menulis 13.13

Oleh: Khalisah Khalid[1]


Bengkel Menulis 13.13? Mungkin rasa penasaran yang terbesit dibenak kita semua, ketika membaca judul tulisan ini. Bengkel menulis meluncur dari sebuah perbincangan singkat untuk menemukan ruang kreatifitas lain bagi teman-teman di SMK Tehnologi Informasi Airlangga, diantara banyaknya kreatifitas lain yang telah ada.

Bengkel menulis 13.13, meluncur begitu saja sebagai sebuah nama aktifitas baru ini. Nama Bengkel Menulis ini terinspirasi dari gagasan seorang kawan di Jakarta, dan dipercantik dengan angka 13.13, karena mimpi untuk menjadi penulis andalan dimulai pada tanggal 13 Agustus jam 13. Walaupun kebanyakan orang angka 13 itu angka sial, namun bagi kami angka 13 adalah angka manis yang akan membawa angin segar bagi sekolah ini dan tentunya bagi teman-teman yang setiap harinya berkutat dengan dunia tehnologi informasi yang akan semakin mendukung dunia tulis menulis.

Geliat keresahan untuk menulis dimulai di ruang laboratorium, bersama dengan 15 orang pelajar dan ditemani guru Bahasa Indonesia. Inspirasi dan kreatifitas teman-teman untuk menulis, melampaui “kotak pintar” yang bernama komputer, bahkan melampaui ukuran ruangan kurang lebih 4x6 meter persegi yang disulap menjadi bengkel menulis. Dengan bermodalkan semangat SMK BISA, saya begitu yakin teman-teman di sekolah ini dapat menciptakan sebuah dunia baru yang bernama tulis menulis.

Bengkel ini dibuka dengan harapan agar teman-teman punya kemauan untuk menulis, menulis apa saja yang ada di hati dan pikiran. Sekedar mengingat apa yang disampaikan oleh Pramodya Ananta Toer, “Menulislah, Kalau Tidak Menulis, maka Kau akan Ditinggalkan Sejarah”. Sejarah buat kita sendiri, keluarga, teman, komunitas dan sejarah besar bagi bangsa ini.

Bengkel menulis ini dimulai dengan membuka ruang berbagi bagi semua yang terlibat disini, berbagi cerita, berbagi pengalaman hidup yang setiap orang sedikit banyak berbeda dari yang lainnya dengan dua cara yakni menulis dan bercerita. Menariknya, dalam durasi waktu yang sama yakni 3 menit, kebanyakan teman-teman lebih “jago” memperkenalkan dirinya dengan bercerita, dibandingkan dengan menulis. Kenapa ya?

Ini satu signal, bahwa “bercerita” lebih banyak mewarnai proses kehidupan kita, daripada menulis. Alasannya beragam, tapi kebanyakan anggota Bengkel Menulis mengatakan kalau menulis itu menjadi lebih sulit, karena orang harus berpikir lama terlebih dahulu apa yang ingin dituliskan. Padahal justru kita bisa menuliskan apa yang kita pikirkan. Mudah bukan? Sebenarnya tidak perlu takut salah, karena kalaupun salah, justru disanalah proses menulis yang mengasyikkan itu dapat ditemukan.

Ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan seorang kawan wartawan yang “mengintip” bengkel ini, “apakah menulis itu bakat”? Menulis itu adalah proses, baik orang yang punya bakat maupun tidak, karena penulis terkenal duniapun memulainya dari proses. Meskipun dia punya bakat menulis, kalau tidak dilalui dengan proses belajar, tulisannya ditolak oleh redaksi majalah, koran atau penerbit buku, tentu dia tidak akan menjadi penulis besar.

Stttt, ternyata kemahiran siswa-siswa sekolah ini luar biasa loh. Patria misalnya, cowok keren ini, ternyata sudah menulis novel sewaktu di Berau. Sayangnya novelnya masih belum bisa kita nikmati. “Masih tersimpan di Berau”, akunya dengan malu-malu. Padahal bagi penulis, yang paling penting adalah kesediaan untuk saling berbagi bukan?

Lain lagi dengan Adi, dia sudah membuat 3 komik. Wuih hebat ya, bagaimana bisa memadukan kreatifitas gambar dengan cerita. Adi bilang, kalau dia baru bisa merampungkan ceritanya dan masih menemui kesulitan dengan gambarnya yang “pas-pasan”. Padahal, tidak perlu menunggu sempurna kan untuk dapat disuguhkan kepada orang banyak ide-ide yang kita tuangkan.

Kesediaan untuk berbagi dan tidak perlu menunggu sempurna untuk dapat menyuguhkan ide-ide kita kepada banyak orang, karena darisanalah kita akan banyak mendapatkan masukan dari orang-orang yang membaca tulisan kita. Suka, tidak suka, bagus, tidak bagus, biasa aja, tidak bermutu, itu merupakan bentuk respon dari orang lain ketika membaca tulisan kita. Lagi-lagi disanalah muncul kepuasan menulis.

Patria dan Adi, merupakan bukti bahwa SMK TI Airlangga memiliki penulis muda yang handal. Bagaimana dengan siswa yang lainnya? Jangan takut, teman-teman yang lain akan mengikuti jejak dua temannya ini, dan minggu depan Bengkel Menulis akan kembali dibuka untuk membuktikan kehebatan penulis lain yang sudah siap berbagi tulisannya kepada kita semua. Apalagi ada yang gemar menulis puisi, pidato dan cerita-cerita ringan.

Aha, senang rasanya menjadi kawan belajar di bengkel menulis ini. Suatu saat, sekolah ini akan dicatat oleh sejarah, lahirnya penulis-penulis muda berbakat di Indonesia yang dimiliki oleh kota Samarinda Kalimantan Timur. Ayo terus menulis, agar kita tidak ditinggalkan sejarah, punya banyak teman dan bisa dapat tambahan uang saku juga. Hmmmm, yang terakhir itu bonusnya.

Baca selengkapnya...

Babi, Orang Utan dan Kita

Oleh: Khalisah Khalid

Saya dan teman satu sore asik ngegosipin babi dan orang utan, “apa yang diomongin”? Pasti begitu yang terbesit, sambil cekikan karena membayangkan raut mukanya si Babi dan Orang Utan, apalagi membayangkan muka kami berdua yang menggosipkannya ya??. Hehehe….. Ini obrolan serius, meskipun sambil makan siang menjelang sore di pusat perbelanjaan. Entah juga mengapa dia tiba-tiba jadi topic yang asik untuk dibahas, dengan runtutan pertanyaan yang muncul satu demi satu.

Makhluk yang satu ini memang unik, paling tidak begitulah penilaian saya terhadap Babi. Bagi umat muslim seperti saya, si Babi ini akan dipicingkan sebelah mata. Dilihat aja ndak boleh, apalagi dimakan. Kyai kampung saya bilang babi itu haram, jadi jangan coba-coba makan babi. Ada teman saya muslim lainnya, “makan babi itu halal kalau dipotongnya baca Bismillah”. Ini joke tentu saja, daripada tulisan ini nantinya digugat oleh MUI dan dengan serta merta akan difatwa sebagai tulisan haram. Hehehe…. Tapi apapun alasannya, konon daging babi itu eunak, melebihi daging sapi. Percaya nggak percaya, karena aku sendiri belum mau mencoba memakannya.

Any way, obrolan saya tidak hanya berhenti pada babi halal atau haram, juga tidak berhenti pada enak mana daging babi dibandingkan dengan daging yang lain. Soalnya kita mencoba membandingkan juga dengan cerita orang utan, yang sempat dibandingkan dengan babi sebagai binatang yang lebih “baik” dibandingkan dengan orang utan.

Walaupun jarang, dan saya sendiri belum pernah menemukan atau paling tidak berniat menemukan bahwa ada juga orang yang mau meneliti tentang babi. Kebanyakan orang meneliti tentang orang utan, dan salah satu kepentingannya adalah ketika dalam penelitian itu dihasilkan konservasi orang utan sebagai satu keharusan dalam sebuah ekosistem, salah satu argumentasinya adalah ketika orang utan sebagai “mesin” penabur biji yang baik karena dia pemakan tumbuhan dan banyak karena luas jangkauannya yang jauh.

Disinilah obrolan pertama dimulai, pertanyaan saya mungkin agak iseng bagi para peneliti satwa. Tapi sebagai orang dari “dunia” lain, pertanyaan saya serius sungguh serius karena saya ingin mencoba merasionalisasikan mengapa orang utan menjadi penting untuk dikonservasi, jika dia punah apakah akan secara serius mengganggu rantai makanan yang kemudian akan kita sebut sebagai sebuah satuan ekosistem semua makhluk, termasuk manusia tentu saja. Anggaplah pertanyaan saya ini mewakili egoisme makhluk yang bernama manusia, meskipun menurut sang peneliti orang utan memiliki perbedaan genetis dengan kita itu tipiiis sekali, hanya 3 koma sekian persen, itu menurut penelitian ilmiah loh, itu sama artinya prilaku kita dan orang utan itu beda-beda tipislah.

Harusnya kalau persamaan antara kita dan orang utan begitu dekat, hidup berdampingan akan baik-baik saja kan? Tapi kok anehnya banyak konflik di kawasan konservasi, mengusir masyarakat lokal yang menduduki lahan tersebut sejak lama untuk kepentingan langgengnya kawasan konservasi orang utan. Mungkin ini yang disebut dengan politik satwa, mengatasnamakan orang utan. Duuuuh, teganya orang utan masih dipolitisisasi. Sayangnya, sang peneliti itu tidak mampu atau mungkin tidak mau menjawab pertanyaan sederhana tersebut.

Kembali ke pertanyaan saya, “selain orang utan tidak adakah binatang lain yang memiliki fungsi dan peran yang sama”? disinilah kemudian kita beralih membicarakan sang babi. Teman saya menjawab, ada makhluk lain yang bisa menggantikan orang utan, manusia salah satunya. Kalau binatang, peran tersebut bisa tergantikan oleh babi. “Lalu mengapa babi tidak pernah menjadi sebuah diskursus konservasi”, tanyaku dengan keheranan tentu saja. Mau tau jawabannya, ternyata menurut teman saya sungguh langka orang yang mau meneliti babi, sehingga kita bisa mengetahui daya jangkaunya dan seberapa banyak atau besar dia dapat menjadi penebar benih tumbuhan seperti orang utan. Dari yang sedikit langka, ada satu peneliti prilaku babi yang pernah ditemui temanku.

Tapi mari kita simak temuan peneliti babi, ternyata ditemukan bahwa lambung babi itu besar, mungkin seukuran dengan ember besar penampung air di kamar mandi kami. Apa aja isinya, tanyaku berentetan kaya’ petasan rentet. Macam-macam, mulai dari jenis binatang lainnya yang dimakan sampai kertas dan kresek. Wadaw, bisa begitu? Ya, bisa karena babi itu binatang pemakan segala atau kita menyebutnya babi itu sebagai binatang “pembersih” yang baik.

Temanku juga mengajak untuk mengingat lagi cerita sejarah masa lalu. Babi itu ditakdirkan (baca; ditugaskan oleh Sang Maha Kuasa) sebagai binatang pembersih, dalam cerita sejarah perbabian disebutkan bahwa babi diciptakan pada jaman nabi Nuh ketika Tuhan memerintahkan Nabi Nuh untuk berlayar ketika terjadi banjir besar. Semua makhluk termasuk binatang masuk kedalam perahu nabi Nuh, semuanya. Terbayang bagaimana baunya kapal tersebut dengan kotoran binatang yang beraneka macam jenisnnya. Disinilah Tuhan dengan kekuasaannya menciptakan Babi, dan seluruh kotoran binatang tersebut dimakan oleh babi. Aaah, yang bener?? Begitukan akal sehat kita bertanya, karena sungguh aku belum menemukan dalil agama dan satu periwayat hadits yang menceritakan ini. “Wah, kalau begitu Babi sangat baik dan berjasa ya”…..

Lalu kenapa babi diharamkan bagi umat muslim? Saya mencoba untuk merasionalisasikan antara haramnya makan babi dalam sebuah pengetahuan lain yang bernama kesehatan salah satunya. Ini satu alasan yang mungkin bisa merasionalisasikan “haram”nya mengkonsumsi babi, paling tidak urusannya bukan hanya pokoknya haram dan halal titik. “Karena babi itu binatang yang tidak memiliki leher, dan binatang yang tidak memiliki leher ketika dia di”bunuh” tidak mengalirkan darah. Nah, ketika dia tidak mengalirkan darah, itu akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Kenapa, karena babi itu pemakan segala dan makanan yang dicernanya masuk kedalam darah. Jika darahnya tidak mengalir waktu disembelih, itu sama artinya darahnya membeku dan yang akan ikut kita makan bersama dengan dagingnya yang mengandung banyak sekali jenis-jenis yang dimakannya, termasuk kresek dan kertas”.

Paling tidak itulah penjelasan singkat dari teman saya seputar babi, orang utan dan kita yang sedang memperbincangkannya. Masih penasaran tentu saja, karena aku belum lagi sempat untuk memeriksa yang dikatakan bahwa babi itu tidak punya leher. Termasuk untuk mengetahui lebih jauh, apa sih perbedaan 3 koma sekian persen manusia dengan orang utan tersebut, apakah pada daya indra pengedusannya yang bisa melampaui manusia. Salah satunya orang utan yang dapat mengetahui kandungan minyak dan gas dalam satu kawasan, benar nggak ya?

Tapi yang pasti, semoga Babi dan Orang Utan tidak marah telah digosipin. hmmm, jadi ingat dengan kesetaraan species yang jadi salah satu nilainya WALHI dulu kala.

Baca selengkapnya...

Sya V

Sya,
Desaumu samar menggelegar angkasa, lewat pucuk-pucuk kesetiaan yang dibungkus dalam nilai kebenaran. Kisahmu, seperti nyanyian kehidupan yang kau senandungkan dalam bait-bait peristiwa. Jemarimu mulai legam dan keruput dimakan usia, tapi tidak pada keyakinanmu.

Aku ingin menjadi engkau, lembut penuh ketegaran, sesempurna semburat jingga. Entah, mengapa aku menuliskanmu dalam ketukan-ketukan jemariku. Mengenalmu, tidak begitu. Aku hanya ingin kau tau, meriwayatkan kisahmu tak ubahnya seperti aku menyusuri bening mata air, semakin kususuri semakin haus aku akan sebuah nilai yang jika diakumulasikan entah setinggi apa. Setinggi gunung, setinggi bintang di angkasa atau setinggi imajinasi yang tak dibatasi ruang dan waktu.

Aku menutup jendela rapat-rapat, menghidupkan penghangat ruangan agar tak kaku tubuhku didekap dingin yang perlahan masuk. Secangkir teh panas menjadi teman diskusi untuk sekedar saling menyapa. “apa kabar”, pada sejumput daun yang telah diekstrak menjadi teman cemilanku di sore ini. Terbayang perempuan pemetik teh berseliweran, memetik pucuk-pucuknya. Kita asyik menikmatinya, sementara perempuan pemetik teh terus berjibaku dengan mandor-mandor.

Entah, berapa babak mereka melakoni derita hidupnya disana, di perkebunan Pagilaran, lereng pegunungan Kemuylan, sebelah utara pegunungan Dieng. Derita itu berbabak-babak, dari generasi ke generasi, berubah pelakunya, namun tetap saja sama korbannya. Perempuan pemetik teh. Anak beranak perempuan menjadi buruh harian lepas, jika anaknya tidak mau meneruskan jejak orang tuanya, siap-siaplah untuk hengkang dari rumah yang ada di area perkebunan ini.

Perempuan pemetik teh, luar biasa jasa mereka bagiku dan tentunya bagi penikmat the sedunia. Tanpa mereka, rasanya terlalu berat membayangkah makanan camilan kita termenung sendiri. “Ndak nendang”, begitu temanku selalu bilang kalau ada suasana yang kurang lengkap. Jari-jari pemetik teh begitu lincah dari satu pucuk ke pucuk yang lain, mencari-cari sambil berharap periuk nasinya tetap mengepul. Anak-anak bisa sekolah? Sebaiknya nanti dulu bicara itu, karena pucuk teh masih muda, belum waktunya dipetik dan artinya belum waktunya juga mandor-mandor, juragan-juragan itu mau berbaik hati memberikan pilihan hidup bagimu.

Belum lagi jika kau harus berlomba-lomba dengan buruh pemetik teh laki-laki, semakin kecil kesempatanmu untuk bisa menikmati lauk pauk lebih baik dari hari kemarin. Upahmu akan dihitung dari seberapa banyak pucuk-pucuk tersedia di bakul yang setia menemanimu, sementara kau abaikan lelahmu, tetap saja tenagamu tak sebanding dengan buruh laki-laki.

Mbah terlalu sempurna mengisahkan babak-babak derita perkebunan Pagilaran, dari mulai jaman Londo, digempur Jepang sampai hari ini. Rp. 400 kilo dihargai setiap kilo hasil petikan tehnya, sambil setiap mengambil gaji tak lupa harus memberikan nasi bungkus dan rokok untuk bos mandor. Aha, itu baru dari satu buruh pemetik teh dan hitunglah berapa banyak yang didapatkan oleh mandor, dengan modal wajah garang?
Menghitungnya rasanya malas, bikin sakit hati soalnya. Rasanya marah, muak dan entah apalagi. Ya, kalau sudah begitu minum teh rasanya seperti minum jamu. Minuman satu ini memang yang tidak kusukai, meskipun hasiatnya jempolan, begitu kira-kira kalau ibuku merayuku untuk minum jamu.

Sya,
Mungkin sedikit orang yang tahu bagaimana mbah, anak cucu bercucu ini menapaki babak demi babak deritanya, menghadapi mandor yang jahil memainkan jarinya di pantat si mbah yang masih belia kala itu, sambil mencekiknya dengan potongan-potongan upah untuk kretek si mandor. Perkebunan teh itu lebih kesohor dengan bisnis agrowisatanya, ada outboundnya juga yang membuat perkebunan ini tak henti-henti disanjung oleh penikmat wisata dalam situs-situs mereka. Aaaah, semoga kesabaran si mbah masih tersedia banyak dalam hatinya, jika dia tau itu. Pesohor-pesohor itu tidak pernah mau jauh lagi berjalan dan belajar memasuki nafas-nafas sesak, dihela perkebunan teh untuk pasokan ekspor.

Sya,
Matahari terus menenggelamkan dirinya, dan mungkin di dunia sana dia masih malu-malu beranjak menyapa penghuni bumi. Di pojok ruangan lain, masih di dataran dieng tak pernah habis kuteguk beningnya mata air. Disinilah perjumpaanku dengan jingga lainnya dimulai, seolah jingga itu berderet-deret membentuk satu rantai panjang bernama alur hidup kebenaran. Aku masih ingat, bersamamu menapaki satu desa, Wadas Lintang Namanya yang harus kutempuh dengan perahu tradisional meskipun dag dig dug dadaku bergemuruh mengikuti bunyi mesinnya. Hanya butuh 5.000 perak yang buatku ndak seberapa jumlahnya, tapi belum tentu untuk yang lainnya. Aku sering salah Sya, menilai bahwa penilaianku akan sama dengan penilaian yang lain, meskipun sebuah penilaian harga. Kita sering menilai pekerja seks komersil itu tidak berharga, sampah masyarakat dan seterusnya dan seterusnya.

Orang tuaku juga begitu Sya, karena itulah orang tuaku melarang adikku meneruskan pencarian identitas dirinya bareng komunitas belajarnya dengan PSK. Tapi tahukah Sya, mereka mencari rupiah demi rupiah untuk dikirim ke kampung, membiayai anak sekolah, memplester rumah biar agak bagus dan status social keluarganya naik sedikit saja. Bagiku, disanalah nilainya, sebuah harga yang mungkin aku sendiri tidak bisa melakukannya. Memangnya enak apa Sya, bercinta dengan laki-laki yang tidak kita kenal. Lagian, kata temanku yang lain, kita ini juga pekerja seks loh Sya, walaupun ndak komersial. Mikir toh?

Bisa ndak ya Sya, suatu saat “pelacur-pelacur” juga memiliki sendiri tubuhnya dan menentukan dia ingin bertransaksi dengan siapa dan itu semua atas pilihan dirinya secara sadar, bukan ditentukan oleh mucikarinya. Bisa Sya?? Jika bisa, aku ingin menceritakannya kelak pada anakku, anakmu dan anak-anak yang lahir dari kebanyakan orang tidak menghendakinya.

Aku membayangkan bisa minum teh sembari menyeruput semangkuk bubur putih. aaaah kenapa tiba-tiba aku teringat dengan jenis penganan yang satu ini ya?? Terbayang lezatnya menyerumput teh hangat bersama bubur kesukaanku waktu kecil, bertambah sempurna jika ditambah candil didalamnya. Hmmm, yummy. Glek glek glek, air liur hampir saja menetes kedalam cangkirku.

Aku ingat, Jajanan pasar ini kutemui di pagi buta, ketika bus mengantarkan aku di alun-alun kota Wonosobo. Sengaja kupilih berjalan kaki, sekalian olah raga pikirku karena jika disengaja akan menjadi kemustahilan. Aku tidak suka bangun pagi, apalagi olah raga pagi. Karena itulah aku menolak tawaran ojek motor, dan memilih berjalan kaki melalui Pasar tradisional yang menawarkan keharuman yang berbeda, dan paling tidak aroma bubur yang sudah ada di tanganku. Perlahan tapi pasti, terlewati sudah sampai ke perutku. Eunaaak tenan, aku menikmatinya sendok demi sendok.

Sya,
Kamu tau kan dinginnya Wonosobo, dataran tinggi itu kurang lebih sama dinginnya dengan The Haque. Eh, lebay nggak ya membandingkannya? Ini julukan dari kawanku Sya, kalau aku sudah bergurau melampaui batas nalarnya. Hehehe…. Siapa suruh sering-sering pake nalar ya Sya, lah wong pejabat aja nggak pernah menggunakan nalar kalau mau menggusur orang miskin.

Ya… berkali-kali, petani yang tinggal di dataran tinggi ini digusur oleh pemerintah. Alasannya buanyak banget. Mulai dari cara yang halus, dengan meminta kerelaan masyarakat berkorban untuk pembangunan, sampai yang ditangkepin, ditembakin karena menganggap petani merambah hutan negara, tepatnya tanah “milik” Perhutani. Alah mak, duluan mana sih hidupnya petani sama perhutani yang baru dapat “kerajaan” hutannya dari kolonial.

Ups, berarti Perhutani mewarisi kolonial toh? Untuk menjawab ini, aku mesti putar-putar otak dulu, soalnya banyak orang yang marah loh kalau disamakan dengan kolonial. Paling tidak salah satu pengusaha jalan tol yang kujuluki Daendels, dia langsung bilang “jangan begitu dik, masa’ saya disamakan dengan Daendels”. Hahaha….. tiba-tiba aku jadi ikut cekikan. Gendeng opo yo aku ini, ndak pa-palah toh ndak merugikan kas negara.

Akhirnya, aku berhasil juga menginjakkan kaki ditempat ini. Waktu itu umurku dua puluh lima tahun, tapi aku ingat di umurku yang belum lagi genap 15 tahun, ayah pernah mengajak kami berwisata ke kota ini. Hai, senyumku sumringah, karena tak kuduga, ibu Mulatinah datang menjemputku. Ibu ini memang luar biasa dahsyatnya, dia kutemui waktu di Jakarta bersama warga kampungnya yang lain untuk mengadukan nasibnya dan orang-orang dikampungnya yang ditenggalamkan oleh Asian Development Bank, lembaga keuangan internasional yang punya banyak proyek infrastruktur. Untuk apa?? Ternyata untuk memenuhi kebutuhanku dan orang-orang kota di Jawa dan Bali. Jahat ya Sya, kebutuhan listrikku untuk chatting-an dengan kamu, selama ini disuguhi diatas penderitaan kampungnya bu Mulatinah.

Untuk mendapatkan air bersih mereka hampir tidak memakai sumur karena letak pemukiman mereka lebih tinggi dari lokasi air yang ada, mereka menyalurkan air dari sumber air atau membuat penampungan air, untuk keperluan MCK mereka menggunakan air yang sama, yang tidak ada perbedaannya antara untuk mencuci atau memasak. Hampir lupa kukasih tau, aliran listrik yang sampai ke rumah dan kantorku dan pastinya rumah kalian juga orang-orang Jakarta, malah ndak sampai ke menerangi kampung mereka sendiri. Apa ya ndak ndablek mikirnya pemerintah. Kalau gini jadi malas bayar listrik ya Sya, hehehe....

Esok sore, aku kembali berjalan-jalan menyusuri dinginnya wadas lintang. Aku lihat, nenek tua sedang memancing ikan ditepian waduk. Kuhampiri dengan penuh semangat, siapa tau aku bisa juga belajar mancing.
“dapat banyak mbah”???, tanyaku agak ragu-ragu karena takut beliau tidak mengerti bahasa Indonesia. “Ya, seperti biasa nduk hanya cukup untuk dimakan keluarga saja”, ternyata beliau bisa juga bahasa Indonesia walau agak samar-samar. ”Memang keluarganya ada berapa orang mbah ??? tanyaku agak cerewet, mungkin karena aku gemas juga kenapa sudah nenek-nenek begini masih mencari nafkah untuk keluarganya. “kulo sama dua orang cucu nduk”, jelasnya padaku. “loh, memang orang tuanya kemana mbah”?, tanyaku memburu. “ibunya sudah meninggal waktu melahirkan anak yang kedua karena pendarahan dan ndak ada biaya ke bidan, kalo bapaknya merantau entah kemana, sudah 5 tahun nggak ada kabar ke kampung”.

Aku tak habis pikir. Harusnya perempuan setua ini sudah berisitirahat dengan damai bersama keluarganya. Tapi karena lagi-lagi kemiskinan, telah menyebabkan istirahatnya terganggu oleh “rasa perut lapar”. Dan ternyata, beliau masih bisa berjuang untuk hidup, meskipun dengan keringat bercucuran dan masih selalu berharap, Tuhan mau berbaik hati padanya. Mengirimkan malaikat penolong, yang dapat memberikan rejeki berlebih pada cucunya. Dia cuma khawatir, cucunya tidak bisa hidup lagi bersamaan dengan jasadnya yang akan terbaring kaku.

“apa lagi yang bisa kita buat selain pasrah mbak, yang penting sekarang bagaimana kita bisa makan, anak-anak bisa sekolah walaupun sampai SMP aja. ”Itu sudah cukup buat kami kok”, ucap bu Mulatinah dengan penuh harap sambil sesekali matanya menatap waduk.
Bahagia?, tanyaku dalam hening, ”jawabnya ada disini mbak, dalam hati kita dan tidak mencuri” apa yang tidak ada pada kita”. Disana letak kebahagiaan kami. Dia mengajariku falsafah hidup yang tiada habisnya.

”Tuhan ….. aku menghadap pada-Mu dalam ketidakberdayaan manusia, jika kebenaran itu memang mutlak datang dari-Mu, mengapa tak pernah Kau hadiahkan cuma-cuma pada orang-orang miskin. Jika kebenaran adalah kepunyaan-Mu, mengapa harus begitu susah orang-orang miskin ”menghamba” pada makhluk-Mu yang derajatnya tak lebih tinggi dari binatang ciptaan-Mu”.

Menjelang semua makhluk sibuk dengan ritual agamanya, menyembah pada sang pemilik kehidupan. Terdengar dengan samar-samar tanpa pengeras suara alunan adzan dari surau diujung kampung sana, yang membangunkan orang dari tidur lelapnya bersamaan dengan kokok ayam jantan yang ceria setelah persengamaannya semalam dengan sang betinanya. Di ujung sana, kala dua jingga bertemu di dataran tinggi yang sama di Jawa tengah.
Dan aku masih disini, di tempat ini. Suatu sore, dalam rinai hujan. Geliat keresahan palingkan realitas jiwa. Sayang, hujan tak cukup mampu basahi kekeringan.

JIngga, mungkin mewarisi keberanian perempuan-perempuan yang berinteraksi dengan Pram dalam karya-karyanya Midah si gadis bergigi emas atau si gadis pantai, Nyai Ontosoroh, kisah yang tak habis-habis menguras air mataku saat mengecap alur kisahnya. Aaaah, perempuan-perempuan itu begitu rupa menafsirkan dirinya ditengah budaya patriarkal yang mengungkungnya sepajang jaman.

Siapapun engkau, aku merasa tak habis-habis kekuatanmu memancar dengan caramu sendiri lewat lakon-lakonmu dan sedikit demi sedikit mengalirkannya padaku, padamu mungkin Sya dan entah pada siapa lagi yang telah mengalami perjumpaan denganmu. Kuhabiskan the yang tinggal segaris lagi di gelas, memejamkan mata, sekejap saja. Sambil berharap, esok pagi masih ada keyakinan itu dalam hatiku.

Baca selengkapnya...

Industrialisasi Konservasi

Pendapat; Koran Tempo
Sabtu, 16 Mei 2009


Industrialisasi Konservasi

Oleh : Khalisah Khalid[1]



Ada pertanyaan yang menganggu, mengapa suara masyarakat sipil tidak diberikan ruang dalam forum internasional sebesar world ocean conference (WOC), dan ketika masyarakat sipil membuat forum “tandingan” dihadapkan pada tindakan repressif Negara dengan atas nama menganggu ketertiban umum dan lain-lain dan bahkan dituding akan menggagalkan pertemuan WOC.

Jika melihat dari temanya yakni "Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change", WOC merupakan forum penting dan strategis dan memberikan manfaat bagi Negara dan rakyat khususnya dapat berkontribusi bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Namun benarkah tujuan yang akan dicapai melalui deklarasi Manado ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dapat menjawab krisis iklim dan krisis rakyat?



Dalam pandangan yang paling sederhana saja, jika konferensi dunia ini tidak menyediakan ruang bagi nelayan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis yang dialaminya, maka sangat jauh kemungkinannya forum ini menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada nelayan atau lebih jauh negara. Terlebih, konferensi ini diselenggarakan dengan berbagai tindakan repressif dengan membungkam suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dengan penangkapan aktifis dan lain-lain, padahal kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan cara melakukan tindakan represif.

Hal lebih jauh untuk mengatakan bahwa WOC ini jauh dari krisis rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir di Negara-negara kelauatan adalah dengan melihat agenda penting yang dibahas dalam WOC adalah Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan inisiatif untuk laut dan perubahan iklim di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle initiative). CTI merupakan design wilayah konservasi yang melintasi territorial enam Negara yakni Malaysia, Indonesia, Kepulauan Solomon, Timor Leste, Papua Nugini dan Filipina dengan luas keseluruhan mencapai 75.000 km2 dan menyimpan 3 ribu atau 53 persen jenis terumbu karang dunia dan 6 ribu jenis ikan karang.

Disinilah hal penting yang dikritisi oleh masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan dan nelayan bahwa CTI tidak lebih sebagai sebuah inistiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan Negara kepulauan seperti Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC - CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi. Terakhir, terbukti dari perluasan konservasi laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektar, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerjasama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu tradisonal paus sejak April 2009, ini menjadi indikator untuk menjelaskan nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka. Bahwa CTI berpotensi besar mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Dalam media publikasi Sisi Gelap dan Bahaya CTI yang dikeluarkan oleh masyarakat sipil yang mengkritisi WOC-CTI, bahwa ada prinsip dasar yang diabaikan dalam CTI antara lain keselamatan warga, utang ekologis, hak atas kelola dan kedaulatan pangan, serta abai dalam penyelesaian-penyelesaian persoalan mendasar kelautan antara lain pencemaran yang berasal dari buangan limbah industry tambang (TNC/MNC).

Rezim

Lalu siapa yang diuntungkan dari pertemyan ini? Jika melihat ulasan diatas, jelas bahwa yang diuntungkan dari seluruh cerita penyelenggaraan WOC adalah rezim industri konservasi yang menempatkan wilayah kelola konservasi dengan menggunakan pendekatan atau faham ekofasis dimana kawasan ini dikelola dengan menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting dari persoalan manusia. Sehingga dimana kawasan konservasi itu ditetapkan, maka disanalah ruang hidup rakyat digusur karena dianggap manusia akan merusak lingkungan.

Jika kembali kepada agenda CTI sebagaimana yang dijelaskan diatas, bahwa rezim konservasi berwujud organisasi konservasi internasional yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB yang membiayai industry tambak modern yang menghancurkan mangrove, negara-negara industry dan industry migas seperti Shell, Rio Tinto, Newmont dan Anglo yang selama ini menguasai jalur migas seperti Amerika dan Australia ini tengah memainkan ruang pasar bebas konservasi atau bisa juga disebut dengan industrialisasi wilayah konservasi atau taman nasional, yang dapat dilihat dari pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Program. Program ini menjadi pemakluman pembongkaran konservasi menjadi kawasan pengerukan sumber daya alam melalui skema kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset).

CTI tidak lebih merupakan langkah awal dari peta jalan menuju eksploitasi tambang migas dengan mengintegrasikan data, mekanisme, hukum kesepakatan-kesepakatan negara-negara yang memiliki kekayaan tambang dan keanekaragaman. Negara maju dan industri tambang yang memiliki daya rusak tinggi itu boleh beroperasi, asalkan membayar kompensasi biodiversity.

Hal lain yang mesti dlihat dalam tema besar WOC itu terkait dengan peran laut dalam mengatasi dampak perubahan iklim, ternyata malah semakin melenggengkan rezim karbon. WOC tidak membahas akar persoalan perubahan iklim, bahwa masalah iklim disebabkan oleh rezim karbon yang dipimpin oleh negara-negara maju dengan emisi karbonnya. Seharusnya WOC membicarakan kewajiban bagi negara maju untuk menurunkan emisi karbonnya, bukan dengan melalui skema perdagangan karbon.

Dari sinilah nampak jelas argumentasi penolakan organisasi lingkungan yang mengusung ideology ecological justice terhadap agenda WOC, bahwa skema biodiversity offset menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya dan mengancam keselamatan rakyat, khususnya nelayan tradisional. Penyelamatan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan krisis iklim seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya.

Baca selengkapnya...

Top Ten "Lagu" Pemerintahan SBY - JK

Oleh Khalisah Khalid

Menjelang pemilu 2009, berlomba-lomba partai-partai politik terutama partai politik yang telah berkuasa mengkampanyekan dirinya sebagai partai yang telah berhasil membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin di segala bidang, mulai dari isu penurunan harga BBM sampai isu pendidikan yang dinilai telah berhasil, sembari memasang angka target capaian sebagai indikator dari keberhasilan pemerintahan saat ini.

Namun sebuah tayangan di Metro TV membuat tercengang, yang menampilkan sejumlah kebijakan pemerintahan SBY -- JK yang dinilai "menyebalkan" oleh rakyat. Cukup mencengangkan, karena justru kebijakan-kebijakan inilah yang diklaim sebagai sebuah keberhasilan bagi pemerintah saat ini. Berikut ini top ten tangga "lagu" yang dikeluarkan selama satu periode kepengurusan rezim SBY -- JK, yang bernada sumbang bagi rakyat miskin di desa dan kota.

Selengkapnya:
http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Buletin%20SADAR/SADAR%20190%20tahun%20V%202009.html

Baca selengkapnya...

Sya IV

Sejarah, akan dibuat oleh siapa yang sedang dan atau ingin berkuasa di belahan bumi manapun. tapi jangan pernah ingin melupakan sejarah, meskipun ada yang kelam disana. dan aku kembali mengingat-ingat apa yang kau ucapkan padaku Jingga, disaat alunan maghrib menyapa kita dalam sebuah geliat asa, yang mengintip malu-malu sambil sesekali tangannya mengusap wajahku. "ibu sudah memaafkan, namun tidak untuk dilupakan, karena kebenaran akan sejarah tidak boleh dihapus dan dihilangkan dalam memori otak dan hati anak bangsa".

ya... tentu aku ingat kata-katamu dan sambil menembus malam aku menelusuri jalan ini yang dirangkai dari berbagai peristiwa.

"selamat ulang tahun Sya", aku mengetik surat elektronik ini padamu. entahlah, mengapa aku sangat suka dengan kata-kata ini, seperti air yang masuk menggenangi tenggorokanku yang kering dikelabui waktu. mungkin juga itu yang dirasakan oleh putrimu yang cantik Jingga, setiap kali hari kelahirannya diketuk pada pukul 00.00 waktu indonesia bagian timur, meskipun jauh suara lembut yang menuliskan kebenaran didalam sel itu berbisik lirih "selamat ulang tahun sayang", dan esoknya bungkusan kado itu terus menerus menemuinya setiap tahun, sambil tak lupa dengan sapaan hangatnya diujung telpon. sampai satu masa memaksamu tunduk pada titik sejarah baru dalam hidupmu, untuk memahami bahwa begitu mahal kebenaran itu dirampas oleh kelompok yang menjadi hakim untuk menilai bahwa merekalah yang paling benar.

ya... akhirnya putrimu tahu juga Jingga, saat pelajaran sekolahnya sudah mengajarkan bagaimana kewajiban negara melindungi rakyatnya, justru disaat itu dia tahu ayahnya tak mungkin lagi akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya, kebenaran telah dikebumikan, kebenaran telah dirampas.disini, ditanah ini yang jaraknya setengah dari putaran bola dunia. di kamarku, nomor satu yang paling luas dibandingkan dengan kamar-kamar lainnya di asrama kampusku.

mataku terbuka, saat waktu sudah menarikku pada rutinitas anak sekolahan yang dibayari pemerintah Belanda. hari ini cuaca lebih dingin dari biasanya, mungkin sekitar 12 derajat celcius. jaket tebalku memenjaraku begitu kuat, dan hari ini aku berjanji ketemu dengan mentorku yang sering mengkritik tulisanku yang dianggap tidak memenuhi standar ejaan yang disempurnakan.

lucu ya Sya, rasanya aku yang dari kecil diajarkan pelajaran bahasa Indonesia. "Ini Budi, ini Bapak Budi". Bapak Budi pergi ke kantor, ibu Budi memasak di dapur". aiiih, mungkin karena pelajaran ini tidak berubah mengikuti dinamika jaman, hingga aku malas mengikuti pelajaran ini. nah, kalau karena ini ejaan EYD ku tidak bagus, aku tidak akan protes ke mentorku yang lebih mengenal sejarah Indonesia yang penuh manipulasi, dari pada aku yang dilahirkan di bumi Batavia.

sungguh Sya, Jingga sudah mengenalkanku pada banyak sejarah yang dimanipulasi. bukan dengan dokumen berlembar-lembar buku sejarah atau tontonan wajib di televisi. dia mengenalkan sejarah, dari pengalaman hidupnya sebagai perempuan dengan penuturan yang tidak pernah mau diungkap oleh sejarah, apalagi untuk meminta maaf. tidak seperti dirimu, maafku begitu luas bagai samudera.

Baca selengkapnya...

Pemilu 2009, Mengukuhkan Jalan Rente Ekonomi dan Kekuasaan Politik Modal

Tahun 2009, menjadi sebuah pertarungan baru bagi elit oligarki politik untuk semakin kreatif. Sayangnya, kreatifitas tersebut bukan bertujuan untuk kebaikan bagi rakyat dan lingkungan, tetapi justru kreatifitas yang menghancurkan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Pemilu langsung 2009 sebagai salah satu bentuk demokrasi prosedural, memang bisa terwujud. Demokrasi melalui pemilu dapat menjadi pintu besar untuk memasuki ruang-ruang kuasa, bukan hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum (electoral democracy), tidak lebih hanya sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara.

Kekuatan korporatokrasi telah mampu mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres. Caranya melalui dukungan finansial pada kandidat-kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal. Harapan pembaruan terhadap Pemilu 2009 masih berupa mimpi, kenyataannya proses yang akan terjadi masih hampir sama dengan Pemilu 2004.

Sarekat Hijau Indonesia memandang bahwa secara substansi pemilu 2009 masih belum beranjak maju untuk mencapai sebuah cita-cita besar bagi perwujudan demokrasi kerakyatan, keadilan sosial, kedaulatan dan kemandirian ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Ini dapat dicermati dari diabaikannya agenda "hijau" sebagai sebuah agenda utama dalam kebijakan partai-partai politik baik dalam visi misinya, platform maupun program partai. Agenda hijau tentu bukan hanya melihat lingkungan hidup sebagai sebuah wacana, melainkan juga sebagai sebuah ideologi yang menjadi arah gerak dari sebuah perubahan yang mendasar atas tatanan ekonomi Indonesia dan global yang kental bercorak kapitalistik.

Karenanya, Sarekat Hijau Indonesia mendorong untuk membangun kekuatan politik alternatif rakyat, tugas utamanya adalah mendesakkan diadopsi agenda-agenda rakyat untuk melawan bercokolnya kekuatan-kekuatan imperialis dan feodal di dalam tubuh kekuasaan. Serta meletakkan landasan bagi model ekonomi-politik pada tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi sumber-sumber kehidupan bukan hanya dalam level negara, melainkan harus mampu diturunkan oleh kekuatan komunitas lokal yang berorientasi kepada kemandirian ekonomi, keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Sarekat Hijau Indonesia juga meyakini bahwa demokrasi politik yang diterjemahkan dalam kotak suara pemilu tidak membawa manfaat bagi rakyat, jika tidak diikuti dengan ekonomi kerakyatan yakni dengan menyerahkan alat-alat produksi ke tangan rakyat sebagaimana yang dimandatkan dalam konstitusi negara.

kunjungi: www.sarekathijauindonesia.org

Baca selengkapnya...

Rokok Haram, Freeport Bagaimana?

Oleh : Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia.

JUDUL di atas tiba-tiba menggelitik saya, ketika melihat siaran di sebuah stasiun televisi (3 Desember 2008) di mana Menteri Perindustrian menjadi salah satu pembicaranya. Isu yang dibahas seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haram merokok dan dampak ikutannya. Saya tidak hendak ikut-ikutan setuju atau tidak dengan fatwa MUI, tetapi saya mencoba melihat sisi lain yang mungkin luput dari pandangan kita.

Saya tertegun atas pernyataan atau tepatnya hitung-hitungan Menteri Perindustrian tentang kisaran angka yang diperoleh negara dari cukai rokok, yakni Rp 53 triliun. Angka yang cukup besar untuk menambah pundi-pundi negara. Karena itulah fatwa MUI itu kemudian tampaknya menempatkan pemerintah seperti berada di simpang jalan: setuju dengan alasan melindungi warga negara dari kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak; tidak setuju karena nasib sekitar 10 juta orang bergantung pada industri bernama “Tuhan sembilan senti”, seperti diistilahkan Taufik Ismail, baik yang bersentuhan langsung di pabrik maupun orang-orang yang tidak secara langsung bergelut dengan mesin pabrik.


Bukan Rp 53 triliun itu yang membuat saya tertegun, melainkan hitungan berikutnya. Jika angka tersebut dibandingkan dengan royalti yang didapatkan dari perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia, yang lagi-lagi mengutip pernyataan Bapak Menteri itu, angka royaltinya paling tinggi mencapai Rp 20 triliun. Itu pun sudah mendapatkan bonus dengan menyandang sebagai perusahaan pembayar royalti terbaik dari majalah tambang pada tahun 2008. Artinya, segitulah pundi-pundi kas negara yang masuk dari perusahaan emas yang sudah tiga dasawarsa menguras isi perut Papua, meskipun tidak pernah dihitung ongkos lain yang ditimbulkan akibat praktik industri pertambangan baik berupa kerusakan lingkungan maupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang semuanya difasilitasi dengan baik oleh negara.

Dalam logika saya yang paling sederhana muncul pikiran, jika begitu angkanya, seharusnya pengurus negara ini berpikir ulang untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai sumber pendapatan ekonomi bangsa. Pun sudah ditempatkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi, toh keuntungannya jauh lebih besar dari industri rokok yang sekarang difatwakan haram. Namun lagi-lagi saya juga tidak hendak hitung-menghitung angka keuntungan baik yang bersumber dari cukai rokok maupun dari royalti PT Freeport Indonesia.

Yang menarik bagi saya untuk dipertanyakan lebih jauh adalah ketika pengharaman rokok dihubungkan dengan sebuah nilai kemaslahatan dan kemudaratan. Ditafsirkan bahwa merokok lebih banyak mudaratnya, khususnya bagi warga negara tertentu, dibandingkan dengan maslahatnya, sehingga demi kesehatan masyarakat maka MUI mengeluarkan fatwa haram tersebut. Nah, saya juga ingin menariknya pada satu kondisi dari nilai yang sama yang dijadikan sebagai alat tafsir, yakni maslahat dan mudarat dalam industri ekstraktif seperti tambang emas yang antara lain dikerjakan oleh PT Freeport. Jika dinilai, sungguh kemudaratannya jauh lebih besar ketimbang kemaslahatannya bagi umat manusia. Kemaslahatan (itu pun jika ada) yang paling mungkin dirasakan oleh segelintir elite baik pusat maupun lokal, tapi kemudaratannya paling tidak dicatat oleh organisasi yang concern bekerja untuk isu lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang, di mana PT Freeport Indonesia yang konon memberikan kontribusi pendapatan negara, sesungguhnya lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan lingkungan. Angka tertinggi Rp 20 triliun royaltinya harus dibayar dengan harga yang juga sangat tinggi oleh rakyat akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup yang tidak terpulihkan.

Jika Taufik Ismail yang menyebut Indonesia sebagai surga luar biasa ramah bagi para perokok, negeri ini juga menjadi surga bagi industri tambang. Datang, gali, dan pergi, semuanya difasilitasi negara. Jasa keamanannya, undang-undangnya, bahkan berkali-kali dengan iklan-iklannya. Apa itu bukan surga?

Saya menilai fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjadi satire didengar. Sebab, sebelum-sebelumnya lembaga ini hampir absen mengeluarkan fatwa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jika merokok haram bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak demi kemaslahatan, mengapa MUI tidak sekalian saja mengeluarkan fatwa haram terhadap perusahaan industri tambang seperti PT Freeport, untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap limbah industri tambang?

Artikel ini juga dimuat di www.vhrmedia.com

Baca selengkapnya...