Industrialisasi Konservasi

Pendapat; Koran Tempo
Sabtu, 16 Mei 2009


Industrialisasi Konservasi

Oleh : Khalisah Khalid[1]



Ada pertanyaan yang menganggu, mengapa suara masyarakat sipil tidak diberikan ruang dalam forum internasional sebesar world ocean conference (WOC), dan ketika masyarakat sipil membuat forum “tandingan” dihadapkan pada tindakan repressif Negara dengan atas nama menganggu ketertiban umum dan lain-lain dan bahkan dituding akan menggagalkan pertemuan WOC.

Jika melihat dari temanya yakni "Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change", WOC merupakan forum penting dan strategis dan memberikan manfaat bagi Negara dan rakyat khususnya dapat berkontribusi bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Namun benarkah tujuan yang akan dicapai melalui deklarasi Manado ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dapat menjawab krisis iklim dan krisis rakyat?



Dalam pandangan yang paling sederhana saja, jika konferensi dunia ini tidak menyediakan ruang bagi nelayan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis yang dialaminya, maka sangat jauh kemungkinannya forum ini menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada nelayan atau lebih jauh negara. Terlebih, konferensi ini diselenggarakan dengan berbagai tindakan repressif dengan membungkam suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dengan penangkapan aktifis dan lain-lain, padahal kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan cara melakukan tindakan represif.

Hal lebih jauh untuk mengatakan bahwa WOC ini jauh dari krisis rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir di Negara-negara kelauatan adalah dengan melihat agenda penting yang dibahas dalam WOC adalah Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan inisiatif untuk laut dan perubahan iklim di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle initiative). CTI merupakan design wilayah konservasi yang melintasi territorial enam Negara yakni Malaysia, Indonesia, Kepulauan Solomon, Timor Leste, Papua Nugini dan Filipina dengan luas keseluruhan mencapai 75.000 km2 dan menyimpan 3 ribu atau 53 persen jenis terumbu karang dunia dan 6 ribu jenis ikan karang.

Disinilah hal penting yang dikritisi oleh masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan dan nelayan bahwa CTI tidak lebih sebagai sebuah inistiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan Negara kepulauan seperti Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC - CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi. Terakhir, terbukti dari perluasan konservasi laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektar, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerjasama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu tradisonal paus sejak April 2009, ini menjadi indikator untuk menjelaskan nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka. Bahwa CTI berpotensi besar mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Dalam media publikasi Sisi Gelap dan Bahaya CTI yang dikeluarkan oleh masyarakat sipil yang mengkritisi WOC-CTI, bahwa ada prinsip dasar yang diabaikan dalam CTI antara lain keselamatan warga, utang ekologis, hak atas kelola dan kedaulatan pangan, serta abai dalam penyelesaian-penyelesaian persoalan mendasar kelautan antara lain pencemaran yang berasal dari buangan limbah industry tambang (TNC/MNC).

Rezim

Lalu siapa yang diuntungkan dari pertemyan ini? Jika melihat ulasan diatas, jelas bahwa yang diuntungkan dari seluruh cerita penyelenggaraan WOC adalah rezim industri konservasi yang menempatkan wilayah kelola konservasi dengan menggunakan pendekatan atau faham ekofasis dimana kawasan ini dikelola dengan menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting dari persoalan manusia. Sehingga dimana kawasan konservasi itu ditetapkan, maka disanalah ruang hidup rakyat digusur karena dianggap manusia akan merusak lingkungan.

Jika kembali kepada agenda CTI sebagaimana yang dijelaskan diatas, bahwa rezim konservasi berwujud organisasi konservasi internasional yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB yang membiayai industry tambak modern yang menghancurkan mangrove, negara-negara industry dan industry migas seperti Shell, Rio Tinto, Newmont dan Anglo yang selama ini menguasai jalur migas seperti Amerika dan Australia ini tengah memainkan ruang pasar bebas konservasi atau bisa juga disebut dengan industrialisasi wilayah konservasi atau taman nasional, yang dapat dilihat dari pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Program. Program ini menjadi pemakluman pembongkaran konservasi menjadi kawasan pengerukan sumber daya alam melalui skema kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset).

CTI tidak lebih merupakan langkah awal dari peta jalan menuju eksploitasi tambang migas dengan mengintegrasikan data, mekanisme, hukum kesepakatan-kesepakatan negara-negara yang memiliki kekayaan tambang dan keanekaragaman. Negara maju dan industri tambang yang memiliki daya rusak tinggi itu boleh beroperasi, asalkan membayar kompensasi biodiversity.

Hal lain yang mesti dlihat dalam tema besar WOC itu terkait dengan peran laut dalam mengatasi dampak perubahan iklim, ternyata malah semakin melenggengkan rezim karbon. WOC tidak membahas akar persoalan perubahan iklim, bahwa masalah iklim disebabkan oleh rezim karbon yang dipimpin oleh negara-negara maju dengan emisi karbonnya. Seharusnya WOC membicarakan kewajiban bagi negara maju untuk menurunkan emisi karbonnya, bukan dengan melalui skema perdagangan karbon.

Dari sinilah nampak jelas argumentasi penolakan organisasi lingkungan yang mengusung ideology ecological justice terhadap agenda WOC, bahwa skema biodiversity offset menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya dan mengancam keselamatan rakyat, khususnya nelayan tradisional. Penyelamatan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan krisis iklim seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya.

Baca selengkapnya...