surat untuk andrea

Andrea,

Dia meninggalkan aku disini

Laki-laki yang selalu kutemani hari-harinya

Dimasa-masa sulitnya

Harusnya cincin tunangan itu

Dia kenakan di jemari ini

Untuk mengikat janji

Yang pernah kami ucapkan bersama

Menyatakan keberadaan hidup kami

Untuk orang-orang yang tertindas

Tapi apa lacur, dia mengkhianati dirinya sendiri

Juga dengan atas nama Tuhan


Andrea,

Kau tahu, ketika pertama kali

Kami bertemu

Aku yakin sekali

Pertemuan kami adalah

Peraduan jannah yang kelak akan menyatukan kami

Tapi andrea,

Dia meninggalkanku disini

Padahal sepekan yang lalu

Dia berjanji akan

Mengikatkan hatinya

Lewat cincin manis

Yang akan disematkan dijemari ini


Andrea,

Katamu, Tuhan akan menemani aku disini

Menjagaku disetiap langkah kakiku

Tapi Tuhan juga membiarkan aku sendiri disini

Dan rasanya tak pernah mau mendengar

Permohonanku di rumah suci-Nya sekalipun

Aku tahu, Tuhan tak tidur

Tapi kenapa dia membiarkan aku terbenam disini

Hanya ditemani segelas bir dan sebatang rokok


Andrea,

Aku selalu berusaha melewati hari-hariku

Bersama orang-orang yang susah

Seperti banyak Nabi memberi contoh

Dalam kehidupannya

Tapi kenapa Tuhan tidak memberi

Sedikit saja karunia-Nya,

Agar aku bisa hidup bersama dengan laki-laki

Yang kucintai

Atau apakah menurut Tuhan

Aku tidak layak mendapatkan semuanya

Karena aku terlalu pamrih

Dalam berbuat kebaikan


Andrea,

Aku ingin sekali kuat berdiri

Menopang seluruh kehidupanku

Dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki hari ini

Tapi aku tidak bisa, aku benar-benar tidak bisa

Hidup ini sungguh tidak adil, Andrea

Setidaknya aku merasakan itu

Disini

Diantara doa-doaku yang tak pernah terjawab

Diantara embun pagi yang hilang dihapus matahari

Diantara ombak yang menyapu pasir

Diantara sejuta kegamangan

Yang selalu saja

Membuat aku terpuruk

(banda aceh, june 2006)



Baca selengkapnya...

women and plantation

Negative plantation impacts to local community

lose lite sources of local community, so far forest, farming land become profession of community, now it has been conversed for plantation, local community can not look fo forest result or forest product any more. And ironically, they can’t get the fire wood as material of cooking. For souely that concentrate on farming land as main production tool lose, its means life source lose too.


Plantation like oil palm become water crisis cause, because oil palm is hand of plant that absorb much water. Dry season will be in local community who live in plantation area.

Contamination of rivers and the other water source, that is caused by company of oil palm plantation that throw down waste to river.


For women, have bigger burden, except to manage domestic job, they have to look for water and fire wood, especially when water crisis and forest conversed.


Plantation and labour of plantation

so far, plantation company always say; plantation will provide big job vacancy that absorb many labours from local community. In fact, it is non sense. We can see from the amount of labours who work overthere. From one hundred hectare, only 36 people who work. For men who work to harvest oil palm, and for women who work to fertilize and take the fallen oil palm from tree. They are received salary amount Rp. 18.000/day, and as labour, they don’t get savety guarantee.

For men 60% and for women 40% can accsess to jobs created by these companies, so men greater access to jobs.


Plantation and led to migration

When all lands and forest have been conversed, local community don’t have production tool anymore for surviving life, they have one choice to do. They go to city for seeking ajob, eventhough they have no great skill in doing, and urbanization become the best wat to get better life. So, they get it.

Migration had impact on women, because take over as heads of families, when men migrated to other regions.

There is no yet complaints for fighting plantation company, because there is no yet that strengthen woman labours union and women organization’s right.


Plantation and impact to health

Plantation can result bad influence to ward health, for instance, decreasing quality of local community’s life, specially for women. It is caused by waste that goes to river. Every day people there consume contaminated water. Of course, it is not good for their health. On the other hand in working, plantation’s labour use pesticide and some thing else, which is very dangerous for health, they don’t use saver tool.

For women, contaminated water which is caused by waste, is very dangerous for their reproduction organ. Bioiogically, women are easer to get illness than men.

Baca selengkapnya...

Kembalikan Hutan Kota Kami


Tiga organisasi yang peduli dengan persoalan lingkungan hidup Jakarta, antara lain WALHI Jakarta, Kaukus Lingkungan Hidup dan FAKTA melaporkan Sutiyoso ke POLDA Metro Jaya pada hari Kamis, 20 Oktober 2006. Sutiyoso dilaporkan secara pidana atas tindakannya melakukan penebangan pohon yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau untuk pelebaran Jalan Sudirman-Thamrin. Sebanyak 33 pohon sudah ditebang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk melaksanakan proyek pelebara jalan Sudirman-Thamrin yang banyak dikecam oleh aktifis lingkungan hidup di Jakarta.


Sutiyoso dilaporkan atas tuduhan perbuatan melanggar hukum, dengan menyalahi sejumlah undang-undang, antara lain Undang-Undang No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, PERDA No. 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang DKI Jakarta tahun 2000-2010, PERDA No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah secara sengaja menghilangkan fungsi RTH yang tidk bisa tergantikan di kawasan tersebut , sehingga tidak ada keseimbangan ekologis dan berdampak pada semakin tingginya bencana ekologi di Jakarta seperti banjir, pencemaran udara dan krisis air di DKI Jakarta. Padahal secara jelas Sutiyoso sudah mengetahi kerentanan wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah yang rentan dengan terjadinya bencana, kebijakannya justru mendorong tingkat bencana yang lebih tinggi, dan tentu saja dampaknya akan lebih buruk menimpa kepada kelompok kelas menengah ke bawah, seperti kelompok perempuan dan miskin kota yang selama ini selalu terabaikan hak-haknya.

Selain itu, secara jelas Sutiyoso telah melakukan pengabaian hak-hak public untuk mendapatkan informasi dan memangkas peran serta masyarakat didalam pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta. Ini jelas mengindikasikan bahwa Sutiyoso telah melakukan pengabaian terhadap hak-hak politik rakyat tersebut untuk terlibat dalam proses membangun Pemerintahan yang bersih

Selain melanggar hukum, kebijakan tersebut juga bertentangan dengan nilai-nilai keseimbangan ekologis perkotaan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Sutiyoso memiliki paradigma ekonomi sentries didalam membangun kota Jakarta, dengan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Pardaigma kapitalistik ini memang bertujuan untuk kepentingan investasi, khususnya bagi industri otomotif di Jakarta dan juga memacu tingkat konsumtif masyarakat yang sangat mengancam kesehatan masyarakat. Pelebaran jalan yang dikampanyekan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kepentingan umum dan dapat mengurangi kemacetan, hanya merupakan topeng Pemerintah untuk melindungi kepentingan investasi. Sebelum Sutiyoso menyelesaikan persoalan makro transportasi Jakarta, maka pelebaran jalan tidak akan mampu menjawab persoalan kemacetan di Jakarta. Justru sebaliknya, pelebaran jalan hanya akan memicu tingkat polusi udara yang lebih tinggi di Jakarta.


Untuk itulah WALHI bersama aktifis yang peduli dengan persoalan lingkungan hidup di
Jakarta mengajak masyarakat luas untuk mendesak agar Pemerintah mengembalikan hutan kota yang tersisa, untuk kepentingan keberlanjutan hidup masyarakat.

Baca selengkapnya...

Selamat Datang Pengungsi Pembangunan

Kurang lebih satu minggu pasca umat muslim merayakan hari raya Iedul Fitri, para pemudik sudah kembali berdatangan untuk memulai kembali kehidupannya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Fenomena yang sudah dapat kita baca kembali menjadi perbincangan, dan bahkan mungkin menjadi pembahasan penting dalam rapat-rapat pejabat Pemerintahan. Apalagi kalau bukan masalah membludaknya jumlah orang yang kembali ke kota, bertambah membludak karena sudah menjadi tradisi kalau pemudik yang kembali ke kota membawa sanak saudara atau kerabatnya di kampung, baik karena memang sebelumnya sudah dititip oleh tetangga atau teman kerja yang membutuhkan tenaga pembantu rumah tangga atau pekerja informal lainnya atau berspekulasi bisa mendapatkan pekerjaan setibanya di kota. Dan sudah menjadi tradisi pula respon Pemerintah untuk menghadapi serbuan orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, razia kartu tanda penduduk dan biasanya akan dibarengi dengan “penangkapan” dan mengembalikan orang-orang tersebut ke kampung halamannya masing-masing.


Sebuah solusi dan respon yang biasa-biasa saja, karena sampai hari ini Pemerintah belum memiliki solusi atas berbagai masalah social ini, sehingga penanganannya selalu bersifat responsive. Pemerintah dan bahkan mungkin kita juga seringkali melupakan akar persoalan sebenarnya, ketika pengungsi pembangunan ini menjadi sebuah fenomena dari serangkaian persoalan urban yang terjadi di Indonesia.


Pengungsi Pembangunan, Tak Pernah Diimpikan

Saya menamakan orang-orang yang mencoba mengadu nasib ini di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, sebagai pengungsi pembangunan. Sebuah predikat yang mungkin tidak pernah diimpikan oleh setiap orang, karena kata-kata pengungsi seringkali identik dengan sebuah kondisi keterpaksaan ketika daerah/tempat tinggalnya tidak lagi bisa memberikan jaminan rasa keamanan dan keberlanjutan kehidupan keluarganya. Pengungsi biasanya identik dengan bencana alam dan bencana kemanusiaan lainnya, namun nampaknya selama beberapa tahun belakangan ini predikat pengungsi juga dilekatkan kepada sebuah bencana yang diakibatkan oleh pembangunan yang tidak adil dan meminggirkan masyarakat local yang berujung pada kemiskinan yang memang dibuat secara structural dan sistematis dilakukan oleh negara.


Tengoklah, ketika banyak dari orang yang mengadu nasib ke Jakarta ini sebelumnya adalah petani/buruh tani yang kehilangan alat-alat produksinya, orang-orang desa yang tinggal di lahan-lahan yang tandus dan selalu didera kekeringan panjang. Hampir semua permasalahan tersebut diakibatkan oleh system pembangunan yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi semata, sementara subsidi terhadap petani terus dikurangi atas desakan lembaga-lembaga pemberi dana utang. Kondisi kemiskinan yang terus mencekik leher rakyat inilah, yang kemudian mendorong mereka untuk mencoba peruntungan lainnya di kota, tentu saja dengan modal tenaga yang bisa dijual dengan imbalan upah yang pastinya rendah karena skill lainnya tentu tidak dimiliki.


Seperti nasib pengungsi kebanyakan, nasib pengungsi pembangunan mungkin malah lebih buruk. Selain tidak adanya perhatian dari Pemerintah untuk diberikan jatah hidup (jadup) seperti pengungsi korban bencana, seringkali stigma buruk dilekatkan pada pengungsi pembangunan ini. Sebagai orang-orang yang menambah persoalan, bikin sumpek, dan bahkan penyebab meningkatnya pelaku criminal di kota-kota besar.


Jika ada lirik lagu, “siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh datang Jakarta”. Mungkin para pengungsi pembangunan ini akan menjawab, “mimpipun kami tidak berani untuk datang ke Jakarta sebagai pengungsi pembangunan”. Karena kondisi keterpurukan ekonomi dan kemiskinanlah yang memaksa orang-orang yang sebelumnya sejahtera tinggal di desa ini, memilih menyandang predikat sebagai pengungsi pembangunan.


Memindahkan Gula dari Kota-Kota, sebagai Sebuah Alternatif

Menyalahkan mereka, tentu bukanlah hal yang bijak karena memang justru seharusnya Negara bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak pengungsi pembangunan ini, terutama yang menyangkut hak ekonomi, social dan budaya (ekosob), ini merupakan sebuah kewajiban Negara terhadap rakyatnya, terlebih Indonesia sudah meratifikasi kovenan hak ekosob ini.


Pemerintah sudah tidak waktunya lagi menyelesaikan persoalan ini secara responsive, yang dibutuhkan adalah menjawab akar persoalannya. Mungkin tidak sesederhana yang dibayangkan, tapi paling tidak langkah-langkah alternative harus mulai dilakukan sehingga kedepannya kita tidak lagi menemui nasib pengungsi yang mengenaskan.


Kalau sering ada istilah yang menyebutkan Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebagai gula yang sangat manis, dan selalu mengundang banyak orang menikmatinya karena disinilah pusat perputaran ekonomi dan kekuasaan di jalankan, maka gula tersebut juga harus dibuat di daerah-daerah. Tapi jangan lupa bahwa selama ini pembangunan selalu bertumpu pada kepentingan ekonomi dengan jargon globalisasinya, sehingga pembangunan selalu saja mengorbankan masyarakat local.


Pembangunan yang dimaksudkan disini tentu saja pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat, memberikan akses dan control seluas-luasnya kepada rakyat dipedesaan untuk mengelola sumber daya alamnya berdasarkan kearifan local yang dimiliki. Melindungi nasib petani, nelayan tradisonal dan masyarakat adapt yang hidup di pedesaan lewat regulasi yang akan menjamin keberlanjutan hak hidup mereka. Jika rakyat telah mampu membangun kemandirian ekonominya, maka dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi akan berjalan dan rakyat yang hidup di pedesaan tidak perlu lagi menjadi pengungsi pembangunan.


Baca selengkapnya...

cerita dari hiroshima

aku pernah dengar ceritamu

dari Hiroshima

tentang salju yang turun sebelum waktunya

dan kerinduanmu padaku,

untuk melewati hari bersama-sama

dan ketulusanmu menyatakan

keberadaan hidupmu bersamaku

dalam kesehajaan orang-orang kampung

dalam keteduhan para alim ulama

dalam keberanian para panglima perang

dan seperti katamu

“kupeluk dirimu, dengan penuh semangat revolusi”

Baca selengkapnya...

Lagi, cerita Negeri yang tidak becus mengurus sampah

Jum’at dini hari tiba-tiba saya dikejutkan kabar dari seorang kawan wartawan, TPA. Bantar Gebang longsor. Sedikitnya 3 orang tewas dan seorang diantaranya ibu hamil, serta beberapa orang lainnya dirawat di rumah sakit. Seketika ingatan saya menerawang pada peristiwa Leuwigajah Bandung-Jawa Barat yang terjadi beberapa waktu lalu, yang menewaskan ratusan orang. Akhirnya, bencana itu terjadi lagi disini. Meskipun dengan jumlah korban yang lebih sedikit, tapi bukankah nyawa satu orang, sama artinya dengan nyawa ratusan orang. Sudah dapat ditebak jalan cerita dari peristiwa longsornya TPA Bantar Gebang, Pemerintah yang cuci tangan, dan pihak swasta dalam hal ini PT. Patriot Bangkit Bekasi (PT.PBB) yang sibuk membela diri, dan pihak Kepolisian yang tidak bisa menangkap dan mengadili pihak pemerintah baik Pemprov. DKI Jakarta maupun Pemerintah Kota Bekasi, dan PT. PBB yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan dari system pembuangan sampah sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Meskipun terasa pahit untuk diucapkan, entah kenapa saya begitu yakin bahwa peristiwa bencana yang betul-betul diakibatkan oleh kesalahan manusia ini akan terjadi lagi, dan perkiraaan kuat saya akan terjadi di Jakarta. Dugaan ini bukan sekedar ramalan atau feeling saja, karena saya bukan seorang peramal yang bisa menebak rentetan peristiwa bencana yang akan terjadi. Bacaan saya merupakan prediksi lingkungan hidup dari aktifitas keseharian yang saya jalani. Prediksi daerah-daerah rawan bencana yang disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, sebenarnya menyangkut bencana ekologis yakni sebuah bencana yang diakibatkan oleh murni kesalahan manusia didalamnya. Bencana longsor di TPA Bantar Gebang sama dengan bencana longsor yang terjadi di TPA Leuwigajah, dimana bencana ini terjadi akibat dari kelalaian pemerintah yang hingga hari ini tidak memiliki manajemen pengelolaan sampah yang baik. Rakyat miskin seperti pemulung yang seharusnya dilindungi hak asasinya oleh Negara, justru menjadi korban dari buruknya pengelolaan sampah.

Negeri ini memang selalu memproduksi bencana, sayangnya bencana itu bukan bencana alam. Melainkan sebuah bencana yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena berbagai pengalaman seharusnya menjadi pembelajaran untuk pengurus negeri ini. Tapi nampaknya harapan seperti jauh api dari panggang, karena negeri ini memang tidak pernah becus mengurus persoalan rakyat. Longsornya TPA Bantar Gebang hanyalah salah satu dari rangkaian berbagai peristiwa bencana dari kesalahurusan pengelolaan lingkungan hidup.


Akibat Manajemen Sampah yang Buruk

Persoalan sampah bukanlah persoalan baru di DKI Jakarta dan juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 6000 ton dihasilkan setiap harinya oleh ibukota provinsi ini, dan hampir sebagian besar dibuang di kawasan sanggahan Jakarta. TPA Bantar Gebang adalah salah satu kawasan yang selama 17 tahun dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah DKI Jakarta, sekitar 4000 ton sampah dibuang ke tempat ini. Sehingga seharusnya pemerintah sudah bisa memprediksi bahwa ini akan sangat berbahaya dan mengancam keselamatan rakyat yang hidup di area Bantar Gebang.

Zona III A yang longsor ini, ketinggian sampahnya sudah mencapai 20 Meter, yang artinya memang pengelolaan di zona ini menggunakan model open dumping, meskipun PT. Patriot Bangkit Bekasi (PT. PBB) sebagai pihak swasta yang ditunjuk oleh Pemerintah membantahnya, dengan mengatakan bahwa mereka menggunakan model sanitary landfill.

Hingga saat ini, pemerintah tidak memiliki model pengelolaan sampah yang baik. Paradigma membuang sampah, bukan hanya ada di masyarakat awam, paradigma ini justru masih bercokol dibenak pejabat pemerintah. Jika melihat dari master plan pengelolaan sampah sampai tahun 2015, kita dapat menilai bahwa paradigma pemerintah dalam mengelola sampah tidak berubah. Pemerintah sudah seharusnya mereduksi model pembuangan sampah, apalagi biasanya lahan yang digunakan sebagai TPA/TPST adalah lahan-lahan produktif masyarakat.

Pemerintah selalu bertumpu pada teknologi yang canggih, padahal teknologi saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan sampah. Karena bicara soal pengelolaan sampah, sebenarnya kita sedang bicara 85% soal gaya hidup masyarakat kota yang cenderung konsumtif. Pola konsumtif yang memang dirangsang oleh pertumbuhan pasar (kapitalisme), yang menempatkan konsumen hanya sebagai objek dari produk-produk yang dihasilkan. Tengoklah, apakah pihak produsen yang menghasilkan banyak sampah dan turut serta berkontribusi dalam menumpuknya sampah, telah ikut bertanggungjawab terhadap sampah kemasan produksinya??, jawabannya tidak ada.

Pemerintah sudah seharusnya tegas kepada pihak produsen yang tidak mempunyai system pengelolaan kemasan dari produk yang dihasilkan. Dipihak masayarakat sebagai konsumen juga harus membangun kekuatannya sebagai konsumen untuk menuntut dan mendesak pihak produsen bertanggungjawab terhadap emasan produknya. Bukankah konsumen ketika memilih produk (sabun, shampo dan lain-lain), sebenarnya sedang membeli isinya, bukan kemasannya. Sehingga kemasannya harus diserahkan kembali kepada pihak produsen, karena jumlahnya cuku signifikan untuk menghasilkan sampah di kota-kota besar.

Dibeberapa komunitas sebenarnya sudah mencoba untuk melakukan inisiatif pengelolaan sampah untuk membantu meringankan beban tugas pemerintah, misalnya dengan melakukan pemilahan sampah dari rumah tangga. Tapi tampaknya upaya masyarakat tersebut tidak cukup mendapat respon yang positif dari pihak pemerintah, misalnya petugas kebersihan yang system mengangkut sampahnya tetap dicampur, sehingga masyarakat beranggapan percuma. Selain itu juga system birokrasi pemerintah yang tidak bisa menjadi panutan untuk mengelola sampah dari kantornya masing-masing. Cobalah diperiksa, apakah kantor-kantor instansi pemerintah sudah mengelola gaya hidupnya untuk tidak boros memakai penggunaan kertas.

Menantikan Payung Hukum Pengelolaan Sampah

Meskipun korban jiwa yang ditimbulkan akibat buruknya pengelolaan sampah oleh Pemerintah telah berjatuhan, selain itu juga konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah yang menolak kawasannya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah atau tempat pengelolaan sampah, seperti peristiwa bentrokan yang terjadi ketika warga menolak TPST Bojong. Kita melihat bahwa Negara masih menganggap bahwa persoalan sampah bukan menjadi prioritas utama dari persoalan negeri ini. Mungkin persoalan sampah dianggap tidak politis, padahal pengelolaan sampah telah menjadi komoditas bisnis elit yang menghasilkan proyek-proyek yang tidak sedikit nilainya.selain itu, persoalan sampah juga telah menimbulkan konflik social yang besar di masyarakat dan juga telah mengakibatkan banyak nyawa rakyat miskin yang harus melayang tertimbun sampah.

Bukti dari ketidakseriusan Negara mengurus soal sampah adalah masih terkatung-katungnya rancangan undang-undang (RUU) pengelolaan sampah, dan konon sampai sekarang masih ada di Departemen Hukum dan HAM. Padahal rancangan ini sudah 3 tahun ini menantikan untuk segera disahkan menjadi undang-undang, dan dapat segera menjadi landasan hokum dalam pengelolaan sampah secara nasional terutama bagi kota-kota besar yang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.

5 (lima) aspek yang harus ditinjau dalam pengelolaan sampah, tidak menjadi sebuah acuan dalam kerangka pengelolaan sampah yang baik. 5 (lima) aspek tersebut antara lain menyangkut perangkat undang-undangnya, kelembagaannya, aspek pembiayaan, aspek teknologi dan aspek peran serta masyarakat. Kelima aspek tersebut, jika dijalankan secara baik dan konsisten, sesungguhnya cukup signifikan menjawab persoalan sampah.

Undang-undang ini sekaligus juga dapat secara jelas membagi tugas dan kewenangan setiap orang didalam pengelolaan sampah, selain Pemerintah dan pihak swasta, peran serta masyarakat juga bisa mengacu pada undang-undang ini.

Undang-undang ini sekaligus juga dalam rangka penegakan hukum bagi pihak swasta yang selama ini dipercaya untuk mengolah sampah, tapi tidak konsisten dalam menjalankan kerjasama yang dibuat dengan alasan dana. Seperti yang terjadi di Bantar Gebang, jika pihak perusahaan benar-benar menggunakan system sanitary landfill, maka peristiwa longsor ini tidak akan terjadi. Jadi jelas, PT. PBB telah melakukan kebohongan public, dan undang-undang pengelolaan sampah harusnya bisa menjadi alat hukum untuk menyeret PT. PBB ke Pengadilan sebagai pelaku kejahatan lingkungan.

Bencana longsornya TPA untuk yang kedua kalinya, harus bisa menjadi pelajaran berharga buat pemerintah, sehingga tidak akan dicap pemerintah tak ubahnya seperti keledai yang sudah dua kali jatuh dalam lubang yang sama. Persoalan sampah yang harus diperbaikin diantaranya manajemen (pengelolaan sampah), serta payung hukum pengelolaan sampah yang harus segera disahkan. Sudah waktunya, Rancangan Undang-Undang pengelolaan sampah segera dibahas dan disahkan, agar rakyat tidak lagi menjadi korban dari longsoran sampah yang bisa terjadi di daerah lainnya (selesai).


Baca selengkapnya...

Munir, sosok environmentalist

Pagi ini saya dikabari oleh seorang kawan, mengingatkan kembali agar para kelompok pro demokrasi dan HAM turun ke jalan untuk memperingati 2 tahun hari pembela HAM di Indonesia. Rekaman peristiwa 2 tahun kepergian Munir memang masih menjadi tanda tanya besar bagi kita semua, selain hanya bisa menyeret pelaku operasionalnya saja dan ketidakmauan negara untuk menyeret aktor intelektual pembunuh Munir, semakin memperjelas buramnya potret penegakan HAM di Indonesia, serta tidak adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap para aktifis yang kencang menyuarakan HAM di Indonesia.

Siapa yang tak kenal sosok Munir, sosok yang cukup berani untuk menjadikan dirinya sebagai tameng dari suara-suara para korban yang sekian lama dibungkam oleh tirani bangsa ini. Kegigihannya untuk memperjuangkan persoalan HAM tidak hanya sampai pada persoalan-persoalan yang menyangkut hak sosial dan politik, tetapi juga yang menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya. Munir memberikan kontrbusi yang besar bagi kemajuan terhadap penegakan hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia yang beberapa tahun belakangan ini disuarakan oleh organisasi gerakan lingkungan hidup seperti WALHI.

Jika selama ini, seakan ada pemisahan antara gerakan lingkungan dengan gerakan demokrasi dan HAM, maka sosok Munir dengan gayanya yang khas menyampaikan dalam sebuah diskusi, bahwa persoalan lingkungan hidup hari ini, dan eksploitasi sumber daya alam, sudah merupakan bagian dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. negara dan corporasi sebagai aktornya, harus dituntut untuk bertanggung-jawab terhadap kejahatan lingkungan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan.

Sosok Munir bukan hanya membela para korban pelanggaran HAM, tetapi dia juga sosok yang bersama-sama dengan WALHI, membela berbagai kasus pelanggaran terhadap kejahatan lingkungan yang terjadi di berbagai daerah. "Gerakan lingkungan memang butuh icon untuk bisa menyuarakan persoalan kejahatan lingkungan dan HAM lebih nyaring lagi", katanya suatu kali.

Jika kita bicara, siapa sosok enviromentalist yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. maka cak Munir merupakan salah satu sosok environmentalist sejati, yang rela menjadi martir bagi perjuangan terhadap penegakan hak atas lingkungan hidup di Indonesia. Mewujudkan cita-cita keadilan ekologi bagi seluruh rakyat terutama rakyat yang selama ini termarginalkan oleh sistem pembangunan bangsa ini.

Munir memang telah pergi 2 tahun yang lalu, tapi keberaniannya akan terus diingat dan diteruskan oleh para aktifis lingkungan dan HAM dimanapun dia berada. jika Munir selama ini hanya dikenal sebagai human right defender, hari ini sudah seharusnya gerakan lingkungan hidup juga mengenal Almarhum sebagai sosok environment right defender.


jakarta, 4 September 2006


khalisah khalid


Baca selengkapnya...

dan, seperti katamu

dan, seperti katamu
Tuhan akan selalu menemani langkah kaki kita
seperti setianya langit memayungi bumi
dan cahaya bintang yang selalu bersinar
melengkapi keindahan lukisan malam

dan, seperti katamu
Tuhan tak pernah meninggalkan kita
diantara orang-orang miskin yang hari ini
selalu saja tertindas, diantara mimpi-mimpi
yang mereka bangun disepanjang trotoar jalan

dan, seperti katamu
mari menyanyi irama lagu cha, cha, cha.....
mari menari rempak tari seudati
mari merangkai puisi dari hari-hari yang menjelma rasa
mari membuat peta diantara rangkaian berbagai peristiwa

dan, terima kasih untuk terus percaya
bahwa kita bisa tetap berpegangan tangan
membangun kembali puzzle hidup
yang sempat poranda
rindu kita telah usai
tapi cita-cita kita pada revolusi
tak pernah selesai


banda aceh,

21 Juni 2006



Baca selengkapnya...

cahaya

Dan lihatlah,
Tiang-tiang yang berlarian dijendelamu
Kita diam dalam hakikat gerak
Benar,
Tujuan kita adalah cahaya (ES)

Dan aku terhenyak dalam kesendirian
Ditempat ini
Ketika cahaya menjadi sebuah keniscayaan
Yang tak pernah dapat kugapai (lien)

Baca selengkapnya...

Perempuan dan Sumber Daya Alam

Kamis, 31 Agustus 2006 merupakan hari terakhir dari pertemuan nasional aktivis Perempuan Indonesia yang berlangsung selama empat hari. Pertemuan yang mengusung tema merajut kebersamaan untuk membangun kembali format gerakan perempuan sebagai gerakan sosial ini, mengusung 12 pembahasan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan, antara lain perempuan dan politik, perempuan dan sumber daya alam (SDA), perempuan dan pendidikan, perempuan dan globalisasi, perempuan dan kemiskinan, perempuan dan fundamentalisme, perempuan dan teknologi, perempuan dan media, perempuan dan seksualitas, perempuan dan budaya, perempuan dan hukum, serta perempuan dan bencana.

Kebetulan saya diberi mandat oleh kelompok pembahas perempuan dan sumber daya alam (SDA) untuk masuk menjadi salah satu tim perumus untuk merencanakan agenda bersama gerakan perempuan Indonesia serta manifesto gerakan perempuan Indonesia. Tema perempuan dan sumber daya alam ternyata masih menjadi tema yang "baru" familiar oleh sekitar 350 orang peserta dari 28 provinsi di Indonesia. Selama ini gerakan perempuan Indonesia masih melihat persoalan sumber daya alam, hanya sebagai objek (korban) dari eksploitasi sumber daya alam.

Sesungguhnya jika melihat persoalan sumber daya alam, yang perlu dilihat adalah aktor dari sistem kapitalisme yang masuk melalui jargon globalisasi, yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia lewat lembaga keuangan internasional, TNC's/MNC's dan didukung penuh oleh negara sebagai pembuat kebijakan yang telah menjarah sumber daya alam dan melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya perempuan. Sehingga selalu menempatkan
perempuan tidak memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber daya alamnya. Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk marginalisasi terhadap perempuan, karena alat-alat produksi
di pertanian misalnya, tidak dapat diakses oleh perempuan.

Untuk itu, ada beberapa agenda bersama yang diusulkan oleh kelompok perempuan dan sumber daya alam, sebagai sebuah agenda bersama bagi seluruh gerakan perempuan Indonesia, antara lain:

1. Mempromosikan hak asasi perempuan dalam sumber daya alam (SDA)
2. Mengintegrasikan isu SDA dan perempuan dalam gerakan sosial
3. Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam
4. Pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang responsif gender, antara lain
dengan melakukan penguatan kelembagaan tani perempuan, nelayan perempuan, buruh
tani perempuan, buru perkebunan perempuan
5. Menuntut tanggung-jawab negara dan corporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup
dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya perempuan dan adat
6. Advokasi kebijakan dan kasus-kasus sumber daya alam

Dalam manifesto gerakan perempuan Indonesia, butir-butir yang menjadi tuntutan kepada negara, dalam sektor sumber daya alam antara lain:
1. Negara memberikan jaminan perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak asasi warga
negara baik individu maupun kelompok, terutama kelompok perempuan dan masyarakat
adat dalam mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat
2. Menolak privatisasi seluruh sektor-sektor strategis, yang didorong oleh lembaga keuangan
Internasional maupun TNC's/MNC's

manifesto dan agenda bersama gerakan perempuan Indonesia ini, diharapkan akan mampu berkontribusi bagi perwujudan keadilan rakyat tanpa diksriminasi dan penindasan, bersama dengan seluruh gerakan sosial yang ada di Indonesia.

Baca selengkapnya...

green student movement

Sabtu-Minggu kemarin, aku memfasilitasi sekumpulan anak-anak muda Jakarta dari berbagai kampus yang mengikuti pendidikan environmentalist muda. sekumpulan anak-anak kota yang ternyata masih memiliki minat dan kepedulian luar biasa terhadap perbaikan kondisi lingkungan hidup Jakarta dan sekitarnya. lagu, joged dan musik mengiringi proses pendidikan ini, warna-warni kelas layaknya ada pesta ulang tahun membuat pendidikan lingkungan ini berbeda dari pendidikan lingkungan kebanyakan. vibrant habis man................. begitu komentar salah seorang kawan. tak perlu takut salah, tak perlu ragu, tak perlu malu karena disini setiap orang boleh berimajinasi dan bertindak bebas untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik.

Segenap keresahan terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup di jabodetabek diungkapkan dengan sangat manis lewat lagu terajana yang digubah liriknya. polusi, semrawut, sumpek, bikin sesak nafas (apalagi ada juga peserta yang punya asma), kotor dan pemerintah DKI yang nggak becus ngurusin persoalan lingkungan hidup mengalir seperti aliran kali ciliwung yang hitam pekat, "begitu komentar salah satu peserta".

yang menarik adalah, ketika mereka tidak hanya curhat lingkungan. tapi mereka juga coba membangun mimpi dan harapan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup Jabodetabek ini. haiiiii, mereka bahkan bisa membuat konsep Jakarta sebagai kota yang betul-betul sejuk, nyaman, ada sarana transportasi massal yang baik dan bahkan ada transportasi sungainya loch..... mereka menuangkan ide-idenya lewat imajinasi yang disampaikan dalam alur yang menarik pada sebuah pictogram.

Seandainya bang Gubernur DKI Jakarta tahu, bahwa ada sekumpulan anak-anak muda gaul yang mempunyai konsep dan visi pembangunan kota Jakarta yang luar biasa. pasti sang Gubernur ini akan datang di kegiatan pendidikan environmentalist muda ini.

Bagi mereka tak ada yang mustahil, karena mimpi-mimpi ini akan mereka sampaikan pada semua orang yang juga punya kepedulian untuk merubah Jakarta menjadi kota yang nyaman dan sehat untuk semua orang. ide-ide dan gagasan ini akan mereka promosikan lewat sebuah kreatifitas mereka dimasing-masing komunitas, entah itu komunitas seni, komunitas anak mall, komunitas pencinta alam, dan komunitas lainnya.

Walhi Jakarta sebagai organisasi yang melaksanakan training ini memang berharap gerakan lingkungan hidup di Jakarta akan didukung oleh seluruh publik. kita percaya bahwa ide-ide dan gagasan cemerlang akan lahir dari kelompok muda, selain itu kita juga percaya bahwa kelompok muda adalah motor gerakan yang bisa bekerja pada semua tingkatan komunitas dengan baik. kita mengharapkan, kelompok muda inilah yang akan menjadi jembatan antara kelas atas dan kelas bawah dalam strata sosial di Jakarta.

Pangkalan environmentalist (Pun-E) menjadi sebuah ruang baru kedepannya bagi kelompok muda di Jabodetabek yang akan menuangkan semua kreatifitasnya, tempat diskusi, ada punk green shop, internet pangkalan, pangakalan green cafe, tempat belajar, tumbuh dan berkembang anak muda dalam gerakan lingkungan hidup di Jakarta untuk mempromosikan sebuah gagasan Jakarta Ecocity Initiative Progam for the Future, untuk menjadikan kota Jakarta sebagai kota yang berkeadilan lingkungan (eco justice) bagi semua orang yang hidup didalamnya.

Pokoknya, menarik dech. Memang yang muda, yang punya semangat!!!!

Baca selengkapnya...

serunya temu nasional aktifis perempuan

Hari ini (28 Agustus 2006), aku harus berangkat lebih pagi dibandingkan dengan hari-hari biasanya. maklum, hari ini sampai tiga hari kedepan aku menjadi peserta temu nasional aktifis perempuan, setelah sebelumnya membuat sebuah tulisan tentang bagaimana membangun mainstraming gender dalam gerakan lingkungan hidup yang selama ini aku lakukan. senang sekali rasanya, bisa bergabung dengan ratusan aktifis perempuan lainnya dan juga ada aktifis laki-laki (30% dari jumlah peserta yang hadir) dari 28 provinsi di Indonesia.

Dijadwal acara, panitia mencantumkan bahwa kegiatan ini akan dibuka oleh mas SBY, dan juga akan hadir Menteri Pemberdayaar Perempuan. sehingga, banyak peserta yang antusias karena
kepingin bertemu dengan mas SBY yang sudah punya inistaif menaikkan harga BBM yang semakin memarginalkan kelompok perempuan. hmm........ tapi sayang, sepertinya banyak peserta yang jadi ikut latah kena program tayangan tv, mimpi kali ye ............................ mas SBY ternyata tidak jadi datang, sang pembantunyapun si mbak Mutia Hatta tak menampakkan diri. ada beberapa kemungkinan kenapa mereka tidak datang. pertama, mereka memang tidak sensitif gender. kedua, mereka menganggap isu perempuan tidak seksi. ketiga, mungkin mas SBY malu bertemu dengan aktifis perempuan yang cantik-cantik dari berbagai daerah.

Tapi sudahlah, ternyata acara tetap berlangsung dengan baik kok, meskipun yang membuka acara ini bukan mas SBY, toh aktifis perempuan ini cukup berani untuk membuka acara secara bersama-sama dengan membacakan sikap perempuan Indonesia.

Tak lama kemudian, aku sedikit terperangah dengan ketika sosok perempuan tua renta berjalan tertatih-tatih naik ke atas pentas. ya... sosok ibu Hartini, aktifis perempuan 65 yang tergabung dalam perjuangan Gerwani yang melakukan perjuangannya untuk memperbaiki kondisi perempuan Indonesia. berbagai deraan dan siksa harus dilalui, sebagai konsekuensi perjuangannya. aku begitu kagum dan tertunduk hormat, untuk sebuah nilai-nilai yang dia yakini sampai hari ini, bahwa nasib kaum perempuan Indonesia harus berubah dan perubahan itu hanya bisa didapatkan dengan perjuangan keras dari semua orang. tanpa kenal berhenti dan menyerah, terus menggalang kekuatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi gerakan para anggota Gerwani.

Aku bahkan malu, ketika aku melihat kembali lagi diriku yang sudah mengalami keputusasaan, dihinggapi rasa jenuh dan bosan pada gerakan membangun sebuah perjuangan yang memanusiakaan perempuan. aku yang masih muda, yang seharusnya masih berenergik untuk berjuang memperbaiki nasib kaum perempuan dan rakyat tertindas lainnya, ternyata begitu mudah menyerah pada realitas yang sesungguhnya perwujudannya adalah dari kata-kata yang kita rangkai sendiri.

Selepas ibu Hartini membuatku merasa begitu kerdil, aku coba tanamkan kembali sebuah keinginan baru untuk membangun mimpi-mimpi itu lewat gerakan kaukus perempuan dalam gerakan lingkungan hidup, yang hari ini dipercayakan oleh organisasiku untuk aku yang komandoi.

Suasana menjadi riuh ketika sessi seminar dimulai, berbagai tema menarik disuguhkan antara lain perempuan dan politi, perempuan dan globalisasi, perempuan dan seumber daya alam sampai perempuan dan kebudayaan. Suasana riuh tak ubahnya seperti diterminal mewarnai proses komentar dan waktu tanya jawab untuk peserta. banyak peserta yang mengajukan tangannya tinggi dan teriak asal daerah, supaya moderator mendengar dan memberinya kesempatan untuk berkomentar atau bertanya. akupun salah seorang yang berteriak-teriak, Jakarta-Jakarta-Jakarta, sayangnya moderator tidak menunjukku sebagai komentator. tapi menarik dan aku suka, begitulah kalau aktifis perempuan berkumpul, "pikirku dalam hati".

ya, tidak terasa. waktu terus bergulir hingga sore dan acara seminarpun berakhir. tapi sejuta tanda tanya besar yang masih ingin dilontarkan peserta, terpaksa harus dibawa dulu dalam mimpi, sampai bisa diungkapkan dalam acara workshop esok harinya. harapan terbesarnya, kita akan merumuskan secara bersama-sama, manifesto gerakan perempuan Indonesia. tentu saja mimpiku juga ada yang akan kuungkapkan esok hari, bagaimana agar dalam pertemuan nasional aktifis perempuan keluar sebuah sikap tegas bahwa corporasi, lembaga keuangan internasional, dan negara bukan hanya sedang melakukan kejahatan lingkungan hidup, tetapi juga sedang melakukan kejahatan kemanusiaan. atas dasar itulah, para aktor tersebut harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak atas lingkungan dan hak asasi perempuan.

Baca selengkapnya...

cerita nelayan dari muara kamal

beberapa waktu yang lalu, bersama crew's sctv menyambangi salah satu perkampungan nelayan. kami mendatangi kampung muara kamal, perkampungan yang sedang merasakan geliat keresahan. ya ..... keresahan kehilangan mata pencaharian, kehilangan kampung, bahkan kehilangan identitas diri mereka sebagai manusia. eksistensi mereka sebagai nelayan, akan segera hilang, seiring dengan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi jakarta untuk proyek reklamasi pantura.

cerita-cerita kesedihan nasib kaum nelayan, tani, buruh, miskin kota dan kelompok terpinggirkan lainnya sudah biasa aku dengar dari hampir sebagian besar ujung barat hingga ujung timur Indonesia. tapi sungguh, sejak kembalinya aku dari tanah serambi Mekkah yang juga menurutku masih belum bisa menikmati kemerdekaan sesungguhnya, meskipun MoU perdamaian Helsinki telah ditandatangani, namun tetap saja rakyat aceh tidak bisa memeliki kewenangan untuk mengelola kekayaan alamnya. ternyata kesedihan orang-orang yang hidup dipinggiran jakarta terus saja terjadi, terlebih ditengah maraknya kampanye pergantian rezim daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, politik dan pengambil-keputusan kebijakan nasional.

cerita sedih nelayan muara kamal menjadi titik awal dari kembalinya aku bergabung bersama gerakan lingkungan hidup di Jakarta. kembali aku harus menyaksikan satu persatu lembaran perjuangan hidup kaum nelayan yang memang sejak lama telah terpinggirkan dari pembangunan yang tidak adil ini. para nelayan yang berjuang untuk mempertahankan keluarganya dari kemiskinan dan kebodohan. ketika alat-alat produksi nelayan seperti bagan-bagan nelayan digusur oleh pemerintah, nelayan di muara kamal hanya mengandalkan mata pencahariannya dari budidaya kerang. semula nelayan bisa mendapatkan hasil dari jerih payahnya sebesar Rp. 200.000-300.000/hari, kini mengalami penurunan yang sangat drastis yakni Rp. 50.000-70.000. bayangkan, uang tersebut untuk menghidupi keluarganya, belum lagi untuk mengeluarkan ongkos mereka melaut seperti membeli solar yang harganya melangit pasca kenaikan BBM.

ibu-ibu yang dengan jelas nampak guratan tangannya menggambarkan bagaimana mereka harus berpeluh keringat mengumpulkan setiap lembaran uang ribuan, dari mengupas kerang. satu ember yang dihasilkan, mendapatkan imbalan upah hanya Rp. 1000, dan paling banyak mereka hanya bisa mengumpulkan sepuluh ember. bagaimana dengan uang Rp. 5000/hari, mereka bisa memberi makan anaknya dengan penuh gizi, apalagi sampai menyekolahkan anak-anaknya.

aku hanya terdiam, sambil memandang lepas ke tengah laut. Tuhan ....... aku merasa tidak mampu berdiri disini, diantara sejuta kesedihan dan kedukaan di negeri antah berantah ini. tangan-tangan ini terlalu kecil untuk menghadapi seorang pemimpin yang menggunakan gaya dan kebiasaan militer untuk membangun daerah kekuasaannya. rasanya tidak ada yang sanggup, teman-teman miskin kota bahkan berkali-kali harus mengalami
kegagalan berbenturan dengan temgbok-tembok kekuasaan ini.

dan yang menambah aku muak, ketika mata ini tertuju pada sebuah news cyber, yang menuliskan kisah pemimpin provinsi yang menjadi ibukota ini. "saya orangnya tidak tegaan", begitu nada santun yang dilontarkan oleh sutiyoso. tiba-tiba tawa sinis saya meluncur indah dari bibir ini, jika dia orang yang tidak tegaan, lalu siapa yang memerintahkan untuk menggusur sekian ratus ribu rakyat miskin kota di Jakarta ini?? dengan alasan bahwa rakyat miskin kota yang tinggal di emperan, di bantaran sungai, di kolong jembatan adalah warga gelap yang tidak punya identitas diri atau surat formal legal lainnya. sebuah pembenaran yang sangat terlihat bodoh dan ngaco. karena negara ini sudah meratifikasi konvenan HAM dibidang sekonomi, sosial dan budaya (ekosob), serta sipil dan politik. jadi seharusnya, siapapun yang menjadi pengurus negara, maka dia berkewajiban untuk menjamin, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap rakyatnya. tidak ada urusan, apakah dia punya karti identitas diri atau lainnya. ayam saja bisa menjadi pelindung bagi pitik-pitiknya, kenapa penguasa kita tidak pernah belajar dari kehidupan ayam ini??

ah .................. mudah-mudahan tangan kecil ini tak lelah untuk terus berada dan bisa membantu orang-orang
miskin yang hari ini terus menerus menjadi sapi perahan dan korban kepongahan serta kebegoaan pemerintah
mengurus negeri ini. sehingga mimpi-mimpi para kaum miskin kota untuk hanya sekedar bisa punya tempat tinggal yang mungil, bisa mencari nafkah dengan aman dan tidak dikejar-kejar pol PP, dapat menjadi realitas hidup yang nyata adanya.


Baca selengkapnya...

Reklamasi Pantura

Proyek Mercusuar yang Menghancurkan Lingkungan dan Memiskinkan Nelayan

Oleh : Khalisah Khalid

Secara geografis, Teluk Jakarta terletak disebelah Utara kota Jakarta, adalah perairan dangkal (kedalaman rata-rata 15M), dengan luas sekitar 514 KM2. Di teluk ini bermuara 13 sungai yang melintasi Kawasan Metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Kepulauan Seribu, terdiri atas 108 pulau, adalah gugusan kepulauan yang terletak di Teluk Jakarta. Pulau-pulau kecil ini tersebar di atas kawasan dengan jarak 80 km Barat Laut - Tenggara dan 30 km Barat-Timur, dengan luas rata-rata kurang dar 10 ha dan elevasi rata- rata dari muka laut kurang dari 3M. Dengan perkembangan Kawasan Metropolitan Jakarta selama setengah abad terakhir, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu menerima tekanan yang besar sebagai akibat dari aktivitas manusia, anatara lain berupa: pencemaran, perubahan ekosistem alami menjadi buatan, dan eksploitasi sumberdaya pesisir secara berlebihan. Dari sudut pandang lingkungan hidup, Kepulauan Seribu merupakan kasus khusus. Pulau-pulau ini sangat rawan dan sensitif, 3 diantara 108 pulau telah hilang selama 15 tahun terakhir. Ukurannya yang kecil, sumberdayanya yang terbatas dan posisi geoigrafisnya yang terpencar-pencar dan terisolasi dari pasar, membuat pulau-pulau ini tidak menguntungkan secara ekonomi.

Kondisi Teluk Jakarta, semakin hari semakin berada pada titik kronis. Berbagai dampak telah dirasakan, terutama terkait dengan pencemarannya yang semakin meluas, pada tahun 2004 kembali muncul berita di surat kabar bahwa pencemaran Teluk Jakarta telah mengakibatkan matinya ikan-ikan dan budidaya nelayan lainnya. Selain itu, proyek reklamasi Pantura yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta menambah daftar panjang dari proses-proses menuju bencana ekologis di Jakarta.

Reklamasi Pantura: Proyek yang Memicu Bencana Ekologis Jakarta

Salah satu permasalahan yang terbesar dihadapi dan akan menjadi titik pemicu dari bencana ekologis di Jakarta adalah rencana proyek reklamasi Pantura, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta, yang bekerjasama dengan perusahaan antara lain dengan PT. Kapuk Naga Indah (PT. KNI) pada bulan Oktober 2006. Sejak lama WALHI bersama dengan lembaga-lembaga yang concern dengan lingkungan menyatakan penolakan terhadap proyek mercusuar Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi Pantura dengan alasan untuk pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan pemukiman dengan membangun pusat bisnis, perkantoran perdagangan dan industri serta pemukiman. Rencana pembangunan reklamasi Pantura dengan mengurug pantai sedalam 8M dan selebar 2 KM dari garis pantai dan sepanjang 30 KM dari sebelah Timur perbatasan Cilincing dengan Kabupaten Bekasi sampai dengan sebalah Barat perbatasan Penjaringan yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

Penolakan WALHI bersama lembaga lingkungan yang lain secara tegas disebutkan biaya lingkungan (environmental cost) yang akan dihasilkan dari proyek ini jauh lebih besar, daripada keuntungan ekonomis yang didapat. Dari hitungan antara biaya dan manfaat yang dikeluarkan oleh Pemerintah didapatkan hasil bahwa reklamasi Pantura hanya menyisakan kerugian sebesar Rp. 2,927 Trilyun, yang tentu saja tidak sebanding dengan pemulihan ekologi sebagai dampak dari proyek reklamasi tersebut.

Berdasarkan hitungan ekonomis dari sudut pandang lingkungan ini juga menyebutkan bahwa melakukan reklamasi Pantura dengan perencanaan yang ada akan semakin memarginalkan kaum miskin perkotaan yang telah lama bermukim disepanjang wilayah yang akan terkena proyek reklamasi, serta yang terpenting akan mengancam kelangsungan ekosistem Jakarta seperti ekosistem mangrove yang dapat menjadi penangkal abrasi, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem lainnya. Reklamasi Pantura akan berpotensi besar menghilangkan cagar alam Muara Angke yang hari ini menjadi satu-satunya kawasan yang berfungsi ekologis. Selain itu, reklamasi Pantura juga akan mengancam pulau-pulau Mikro yang ada di sepanjang Kepulauan Seribu.

Reklamasi memang bukan barang yang haram, seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Tetapi reklamasi yang dilakukan tanpa memperbaiki kondisi lingkungan hidup dari hulu, seperti sistem drainase dalam kota, maka reklamasi hanya menyisakan persoalan baru, baik yang menyangkut persoalan lingkungan hidup dan persoalan sosial lainnya. Pemerintah Provinsi Jakarta melihat persoalan lingkungan hidup masih secara parsial dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk menyelesaikan persolan lingkungan hidup cenderung bersifat mikro, dan justru menimbulkan persoalan baru di daerah hilirnya.

Reklamasi akan menjadi pemicu dari bencana ekologis di Jakarta, antara lain dampak (1) banjir, yang dikarenakan 13 aliran sungai yang mengalir dan bermuara ke Teluk jakarta, akan mengalami kelambatan karena jalur yang ditempuh semakin panjang dan dan kecepatan aliran sungai berkurang, laju sedimentasi di muara meningkat. (2) merusak sistem tata air dikarenakan ketiga belas sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta akan bertambah panjang 1,5 KM, tetapi dasar sungai menjadi sangat landai hingga ketinggian muara baru hasil reklamasi menjadi nol meter. Air sungai akan sulit mengalir ke laut dengan rendahnya muara sungai, diperkirakan akan terjadi kerusakan sistem tata air pada radius 8-10 Km dari bibir pantai lama (Dr. Arwin Sabar, Teknik Lingkungan ITB).

Reklamasi Pantura: Memiskinkan Nelayan

Asumsi yang digunakan oleh pemerintah Provinsi Jakarta, bahwa reklamasi Pantura akan memberikan kesejahteraan kepada nelayan yang hidup di sepanjang kawasan Teluk Jakarta, merupakan salah satu asumsi yang berbanding terbalik dengan kondisi nasib nelayan hari ini.

Fakta di perkampungan nelayan yang tinggal dan hidup dari manfaat Teluk Jakarta, justru semakin terpinggirkan. Proyek reklamasi Pantura ini, paling tidak telah menggusur alat-alat produksi nelayan yang berada di Muara Angke, Kamal Muara dan Dadap. Akibat dari penggusuran alat-alat produksinya, para nelayan ini mengalami penurunan mata pencaharian yang cukup drastis. Sebelumnya, nelayan bisa menghasilkan Rp. 200.000-300.000 ribu/hari, setelah alat-alat produksinya digusur, para nelayan kini hanya mengandalkan dari budidaya kerang yang setiap harinya mendapatkan hasil Rp. 50.000-70.000/hari, dan tentu saja ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain itu, para nelayan juga mendapatkan intimidasi dan ancaman-ancaman penggusuran setiap harinya. Dari sini jelas terlihat bahwa Pemerintah Provinsi Jakarta telah melakukan pengabaian dan pelanggaran terhadap hak asasi manusian (HAM) yang seharusnya justru kewajiban pemenuhannya melekat kepada Negara.

Dari sini jelas membuktikan bahwa alasan Pemerintah Provinsi Jakarta untuk hanya merupakan upaya-upaya untuk membohongi publik. Dengan reklamasi Pantura ini, sesungguhnya nelayan justru menjadi korban dari kebijakan Pemerintah ini. Bukan hanya digusur atau mendapatkan intimidasi, tetapi juga akan dipindahkan ke lokasi lain yang artinya berarti juga akan merusak tatanan sosial dan budaya nelayan setempat yang telah hidup turun temurun disini.

Proyek reklamasi Pantura ini memang bukan ditujukan bagi kesejahteraan kelompok nelayan yang selama ini telah termarginalkan oleh sistem pembangunan kota Jakarta, melainkan untuk kelompok pemodal yang akan menggunakan Pantura sebagai areal bisnis dan orang-orang kaya yang akan menjadi penghuni di areal pemukiman yang juga akan dibangun disana.

Baca selengkapnya...

Opini

Menyoal RUU PA dalam Agenda Pengelolaan Sumber Daya Alam

Oleh : Khalisah Khalid

Nasib RUU Pemerintahan Aceh yang saat ini sudah sampai pada pemerintah pusat, merupakan sebuah komitmen kedua belah pihak baik pemerintah RI maupun Gerakan Aceh Merdeka pasca MoU Perdamaian, untuk memberikan harapan baru bagi sebuah negeri yang telah mengalami sejarah konflik yang tak berkesudahan. Tentu saja kita semua berharap, agar gerbang perdamaian yang telah terbuka di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat menjadi tonggak baru sebuah kehidupan berbangsa.

Kita menyadari, bahwa selama ini kekayaan Aceh telah semakin menipis dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, harus menjadi tanggungan rakyat Aceh. Bukan hanya soal kedaulatan rakyat yang tercerabut, kemiskinan, ketertinggalan, dan banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia mewarnai ladang perusahaan-perusahaan besar. Realitas yang terjadi hampir 30 tahun ini, rakyat yang hidup di sekitar perusahaan pertambangan migas, 40-60% adalah penduduk miskin.

Sayangnya, harapan untuk mendapatkan kedaulatan Aceh sepenuhnya yang tertuang dalam pasal yang diusulkan rakyat Aceh, telah di”manipulasi” lewat pemangkasan pasal-pasal yan dianggap krusial yang diusulkan oleh rakyat Aceh, antara lain yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri), kita masih berharap ruang-ruang untuk memberikan bacaan secara imparsial masih terbuka ditengah waktu yang tinggal sedikit lagi, sebelum ketuk palu dijatuhkan untuk mensahkan RUU Pemerintahan Aceh yang sangat dinantikan oleh rakyat Aceh khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya sebagai preseden baik untuk sebuah penyelesaian konflik.

RUU PA, Sebuah Kewenangan Pengelolaan SDA Aceh yang Dikebiri?

Ditengah banyaknya elemen masyarakat sipil yang mencoba mengawal proses berjalannya RUU PA dari daerah hingga ke pusat, hanya sedikit yang mencoba melihat RUU PA sebagai sebuah agenda besar bagi pengelolaan sumber daya alam dan upaya pelestarian lingkungan hidup di Aceh. Kekayaan alam Aceh yang melimpah ruah, hutan, tambang, pesisir laut, dan energi dan gas (hidrokarbon), seharusnya menjadi modal utama dalam sebuah kebijakan pengelolaan perekonomian rakyat Aceh, yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Aceh dan keberlanjutan hidup antar generasi didalamnya.

Didalam nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), disebutkan bahwa Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yan ada saat ini dan dimasa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

Saya mencoba mengajak kita semua untuk melihat kembali pasal-pasal dalam RUU PA, terutama mengenai beberapa pasal yang kita nilai terlalu berani untuk dipangkas oleh departemen dalam negeri karena akan berkibat buruk bagi kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang selama ini telah banyak mengeruk dan mengintervensi kedaulatan rakyat Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. Bab dan Pasal yang coba kita lihat saat ini adalah masalah perekonomian, dimana pengelolaan sumber daya alam (PSDA) menjadi bagian dalam laju perekonomian Aceh dalam bab XXIII yang terbagi dalam beberapa pasal dan mengatur tentang prinsip dasar perkonomian dan arah perekonomian Aceh serta pengelolaan sumber daya alam (PSDA), pesisir dan laut.


Pertama, kita melihat yang terpenting adalah soal kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya bahwa ada kesan pemerintah setengah hati memberikan hak pengelolaan perekonomian yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam kepada Aceh, padahal dalam MoU secara jelas menyebutkan bahwa prosentase perekonomian adalah sebesar 70% bagi Aceh. Harusnya dari sana pemerintah berpijak bahwa prosentase tersebut dapat terpenuhi, jika kewenangan Aceh diberikan secara penuh dalam mengelola sumber daya alamnya tanpa perlu membatasinya dengan peraturan dalam perundang-undangan lainnya sebagaimana yang diatur secara nasional, yang bersifat sektoral seperti undang-undang pertambangan, undang-undang Migas, undang-undang kehutanan dan lain-lain, yang justru akan menjadi benturan bagi pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya alamnya.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, seharusnya Aceh sebagai bagian dari kesatuan republik Indonesia menjadi penentu perekonomian nasional dan menjadi bagian dari perekonomian global dengan dibukanya kerjasama secara langsung dengan internasional. Pemangkasan kata perekonomian Aceh merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global menunjukkan bahwa ada ketakutan-ketakutan dari pemerintah terhadap otoritas yang akan dilakukan oleh pemerintah Aceh untuk melakukan hubungan kerjasama dengan pihak luar, dan tidak perlu melalui pemerintah pusat.

Asumsi ketakutan yang muncul dari pemerintah ddasari atas sebuah kondisi yang tengah berlangsung bahwa hari ini, dengan kekayaan sumber daya alamnya, Aceh dari hasil minyak dan gasnya telah menyumbang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 10,6 Trilyun atau 43% setiap tahunnya. Asumsinya, jika itu langsung dilakukan oleh pemerintah aceh, praktis pemerintah pusat akan kehilangan penyokong dana terbesarnya. Dari sumbangan pendapatan yang sebesar itu, rakyat Aceh hanya mendapatkan alokasi dana dari pusat sebesar Rp. 153 miliar, tentu saja angka yang tidak berimbang dan tidak adil bagi rakyat Aceh selama ini.

Dalam pasal 130 tentang pengelolaan sumber daya alam yang berbunyi :”pemerintah aceh berwenang mengatur penyediaan, pengaturan, dan pengelolaan minyak bumi dan gas serta sumber daya alam lainnya di wilayah Aceh baik di darat maupun di laut teritorial perairan nusantara, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen”. Penegasan wewenang untuk penyediaan, pengaturan dan pengelolaan minyak bumi dan gas alam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen, lagi-lagi menyiratkan bahwa ada ketidakrelaan pemerintah terhadap Aceh. Padahal kita tahu bahwa sumber daya alam dari hidrokarbon (energi dan gas) sebagai sumber pendapatan utama Aceh dan sumber daya alam lainnya, banyak terdapat di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yakni sepanjang 12 Mil dari pulau terluar. Kita dapat melihat bahwa eksplorasi gas dan energi berada disepanjang lepas pantai ZEE, sumber daya alam minerba lainnya seperti emas, uranium atau galian c. Sumber-sumber kekayaan alam inilah yang kemudian didorong untuk menguatkan kewenangan pemerintah Aceh dalam mengelola perekonomiannya.

Agenda mendesak (sebuah usulan) terhadap pengelolaan SDA

Idealnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai bahwa soal pengelolaan sumber daya alam yang masuk kedalam bab XXIII perekonomian, sangat rentan terhadap eksploitasi yang dilakukan secara beras-besaran tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologi didalamnya. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam lainnya yang harus diatur secara tegas kedepannya adalah sektor kehutanan dengan melihat hutan dan kawasan hutan, Ini didasari atas kekhawatiran akan pengalaman paradigma pembangunan yang selama ini berorientasi ekonomi sentris. Untuk itu, beberapa agenda penting yang harus didesak antara lain:

  1. Sambil menunggu proses pembahasan dan pengesahan RUU PA yang saat ini sedang berlangsung, pemerintah harus melakukan moratorium terhadap pemberian ijin eksploitasi sumber daya alam yang telah dikeluarkan selama ini. Ini menjadi penting, agar kedepannya sumber daya alam di Aceh benar-benar dikelola oleh pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangannya. Terlebih ditahun ini, pejabat Gubernur Aceh mencanangkan bahwa tahun 2006 menjadi tahun investasi di Aceh.
  2. Dalam setiap ijin eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam terutama sumber daya minerba, pemerintah segera menetapkan kewajiban untuk melakukan kebijakan mine closure sebagai sebuah kewajiban perusahaan atas sumber daya alam yang telah diambilnya, bukan hanya untuk mengembalikan/pemulihan lingkungan, tapi juga pemulihan kondisi sosial masyarakat, terutama bagi pemulihan bagi masyarakat korban pelanggaran HAM.
  3. Dalam pengelolaan sumber daya alam kedepan, hendaknya secara kelembagaan, ada lembaga tersendiri yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Aceh dan tidak bersifat sektoral. Kelembagaan ini bertanggungjawab secara penuh untuk mengkoordiasikan dan mengoptimalkan departemen-departemen terkait seperti departeman ESDM (energi dan sumber daya mineral), departemen kehutanan, departemen perkebunan, departemen perikanan dan kelautan.
  4. Dalam pengeloalaan sumber daya alam sebagai modal utama dari perekonomian daerah, hendaknya tetap mengacu pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek mitigasi bencana. Ini didasari atas sebuah pemikiran, bahwa kondisi Aceh sebagai daerah yang sangat rentan terhadap bencana, selain memang faktor kehancuran ekologis sebagai akibat dari maraknya eksploitasi sumber daya alam tanpa melihat daya dukung alam didalamnya.
  5. Pemerintah hendaknya juga berhati-hati atau meminimalisir penerimaan bantuan utang luar negeri, ini menjadi penting untuk menghindari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam demi kepentingan pembayaran utang luar negeri.

Kita berharap bahwa pengelolaan sumber daya alam (PSDA) bukan hanya menjadi konsesi politik bagi sekelompok elit, sehingga sejarah perlawanan untuk mendapatkan kesejahteraan bagi rakyat tak lagi berulang. Kita juga berharap, agar RUU PA tidak mengalami distorsi maknanya bagi kepentingan rakyat Aceh, terutama yang selama ini hak-haknya telah terabaikan oleh pemerintah pusat. Selagi palu belum diketuk, selagi masih banyak do’a dari rakyat yang memberikan amanah bagi wakil rakyat untuk melanjutkan komitmen bagi perdamaian di Aceh, akan sangat baik jika kita membuat keberanian politik untuk tidak menempatkan sumber daya alam hanya sebagai ladang eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata, melainkan juga untuk keberlajutan generasi Aceh kedepan. Serta memberikan ruang kemerdekaan sepenuhnya bagi Aceh untuk menangani pengelolaan sumber daya alam mulai dari perencanaan, pengurusan izin sampai proses monitoringnya.

Baca selengkapnya...

suatu sore
dalam rinai hujan,
geliat keresahan palingkan
semua realitas jiwa

sayang,
hujan tak cukup mampu
basahi kekeringan

[180304:14.17]

Baca selengkapnya...

Percakapan sang Perempuan


“kau menangis, Naya?” mata beningmu telah banyak bicara

“menangislah, karena itu bagian dari proses penyembuhan diri”


“Selma al-faritsi, aku tau kau begitu mengangung-agungkan cinta”

“kau juga rela mati, demi kekasih hatimu”

“sebuah cerita, yang dituliskan filosof cinta”

“dalam keabadian cintamu”

“tapi katakan padaku, apakah cinta juga bagian dari takdir Tuhan”?


Cinta dan kematian, dia takdir Tuhan

Kehendak-Nya, menjadi sebuah janji dan keniscayaan


“Tapi kematian cintaku bukan takdir-Nya, Selma”

‘Ini kejahatan, yang dia lakukan kepadaku’

‘Dia mengoyakkan layar yang telah terpasang”

“Ditengah gelombang”

“Dia ingin menenggelamkan aku dalam kematian”

“Dan ini bukan takdir Tuhan, ini kejahatan”


Selma,

“aku tidak mampu berlayar sendiri”

“aku tidak bisa lagi menatap kehidupan yang ada didepan sana”

“aku takut, Selma” sungguh aku takut

“aku tidak mau tenggelam dan mati”

“aku ingin lepaskan tirai belenggu ini”

“aku tak mau, ini menjadi hijabku”


Naya,

“kau tidak akan tenggelam dengan kekuatan cintamu”

“Menepilah Naya”,

“Jika layarmu telah terkoyak’

‘Kayuhlah perahumu, sekuat hatimu”

“Tuhan akan selalu jaga dan temani kamu”

‘Dalam setiap tarikan nafasmu”

“Kesendirianmu akan membawamu pada cahaya kemuliaan”

“Kesendirianmu tak akan membuatmu sepi”


“Tengoklah ditepi sana”,

“Janda-janda korban konflik yang mengungsi”

“Telah banyak kehilangan orang-orang yang dikasihinya”

“Tapi mereka tak pernah kehilangan cintanya”

“Kekuatan cinta membuat mereka terus hidup”

“Sampai hari ini ……

“kekuatan cinta mereka, justru menjadi bara api

“perempuan yang tegar dan bangga”

“suami dan anak-anaknya harus mati”

“ditimpa logam panas tentara”


“Pandanglah matamu ke ujung sana”,

“Anak-anak korban bencana yang menari indah”

“Meskipun hentakan gempa dan gelombang”

“Menghancurkan keluarga pelindungnya”

“Tapi kekuatan cinta, tak akan pernah”

“Menenggelamkan hari-hari depannya”

kau bisa ada ditengah-tengah mereka

dengan tatapan dan sentuhan cinta

karena hanya itu yang kita punya


Naya,….

“Jika kekasih hatimu meninggalkan kelukaan yang dalam”

“Jangan menambahnya dengan kesendirian”

“yang akan membuat sepi dan selalu membuatmu merasa lemah”

“Dan tak berdaya”


“Cintamu, akan menguatkan hatimu”

“Kekuatanmu, akan meneguhkan keyakinanmu”

“Akan sebuah keniscayaan”

“Bernama cinta dan kehidupan”


“tapi, kau memilih mati untuk cintamu, Selma??”

“iya, karena aku yakin, cintaku akan membuatku hidup

dialam kematianku”

“bukan kematian, yang semakin menenggelamkan hidupku”


”bagaimana dengan arti kesetiaan, selma”??

”Seperti yang selalu dia nyanyikan”

”Ketika kerinduan telah mencapai puncaknya”

”Apakah kesetiaan seperti secangkir kopi”

”Yang hilang aromanya”

”Sampai pada tegukan terakhirnya”


Naya,
”Kesetiaan seperti matahari”

”Yang datang disetiap ufuk timur dan barat”

”Seperti petani, yang selalu menabur benih”

”Untuk kehidupan anak-anaknya”

”Seperti nelayan yang menyebar jalanya”

”Disetiap angin bersahabat dengannya”

”Kesetiaan seperti labirin”

”Yang terus bergelayut dengan kekhusyu’annya”


dan tiba-tiba aku terperangah ditempat ini

di jalan-jalan yang pernah kulalui

seperti katamu, Selma

Sendirinya aku disini, janganlah menjadi sepi

Biarkan dapatkan cahaya kekuatan

Sebagaimana Tuhan menjanjikan

“Kau takkan pernah sendiri, Naya”

Terlalu banyak kasih-Nya yang sempurna

Menjaga dan menemanimu

Dalam setiap tarikan nafasmu



27 Mei 2006,


khalisah khalid
masih di banda

Baca selengkapnya...