Agenda Politik Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Disusun oleh:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

DRAFT (11 JUNI 1998)


1. Pendahuluan

WALHI memandang bahwa reformasi harus dilakukan dalam sebuah makna yang
benar, bukan reformasi tambal sulam maupun reformasi yang hanya mengganti
'sekrup-sekrup' kapal tua yang sama. Dengan demikian kita tidak perlu
membatasi gagasan-gagasan dan hendaknya kita mampu membebaskan
pikiran-pikiran kita dalam perubahan yang berkembang, untuk menyiapkan
tatanan Indonesia baru yang lebih baik.

Semangat militansi mahasiswa juga harus menjiwai cara pandang kita untuk
melakuan perubahan-perubahan mendasar, karena dengan semangat militan
tersebutlah sebenarnya bangsa ini dan kita hari ini duduk di sini berbicara
tentang sebuah kata: reformasi.

Agenda reformasi WALHI di bidang pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
hidup bersifat sangat makro, dengan pertimbangan bahwa: (1) agenda-agenda
reformasi yang lebih bersifat mikro dapat dilakukan pada saat pemerintahan
baru yang memperoleh legitimasi politik rakyat dan dunia internasional
telah terbentuk. Dengan demikian, hal yang paling penting dan mendesak yang
segera harus dilakukan adalah pengambilan keputusan-keputusan politik yang
menjadi frame-work reformasi secara keseluruhan; (2) usulan reformasi yang
lebih mikro telah sejak lama disuarakan kalangan ornop dan bukanlah
merupakan hal baru sama sekali, yang tersedia dalam sekian banyak pilihan
dan langkah-langkah, termasuk usulan-usulan konkrit yang dapat segera
diterapkan.


2. Agenda Reformasi

Dengan dasar pikiran bahwa persoalan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
adalah persoalan politik, maka WALHI memandang reformasi politik merupakan
dasar reformasi dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Reformasi politik dalam scope makro tersebut paling tidak harus
mencakup mengenai kebijakan (policy) dan kelembagaan. Reformasi pada kedua
hal tersebut menjadi prasyarat utama untuk mencapai pengelolaan sumberdaya
alam yang adil dan lestari.

2.1. Reformasi kebijakan

Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dipraktekkan oleh
pemerintah orde baru rezim Suharto telah kehilangan argumen, keabsahan dan
legitimasi moral untuk tetap dipertahankan karena terbukti menyebabkan
kerusakan sumberdaya alam yang masif, tidak berkelanjutan dan hanya
menyebabkan kemiskinan dan secara tidak adil hanya menguntungkan segelintir
orang yang dekat dengan elit kekuasaan.

Dengan alasan tersebut, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada
masa-masa mendatang haruslah memuat lima prasyarat penting, sebagai
berikut: (1) desentralisasi dan dekonsentrasi pengelolaan sumberdaya alam
antara pemerintah pusat dan daerah; (2) pengawasan rakyat yang lebih kuat
untuk mendorong transparansi proses pengambilan keputusan; (3) pengelolaan
utuh-menyeluruh yang menghilangkan pendekatan sektoral dalam pengelolaan
sumberdaya alam. (4) keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi
sumbedaya alam dan lingkungan; dan (5) keadilan bagi rakyat dalam akses dan
pemanfaatan sumberdaya alam.

2.2. Reformasi Kelembagaan

Konsekuensi politis dari hal tersebut di atas, maka akan terjadi perubahan
radikal dalam struktur kelembagan yang diserahi wewenang dalam mengelola
sumberdaya alam dan lingkungan. Semangat otonomi harus mendasari perombakan
kelembagaan ini, dimana pembagian tugas dan tanggung-jawab antara
pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih jelas dan berimbang. Pembagian
tugas ini juga berarti akan mengurangi peran pemerintah pusat dan
menyerahkan sebagian mandat tersebut kepada pemerintah daerah tingkat
propinsi dan kabupaten

Pemerintah pusat seyogyanya hanya bertanggung-jawab untuk mengeluarkan
standar-standar pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada skala
nasional, dan pemerintah daerah dapat merumuskan kebijakan lokal untuk
masing-masing daerah. Standar nasional ini dapat dijadikan sebagai rujukan
dan 'batas minimum' sebuah policy yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Namun demikian, pemerintah pusat harus dapat mengakomodir dan melindungi
kepentingan-kepentingan minoritas di seluruh daerah.

Dengan demikian lembaga pemerintahan atau departemen di tingkat nasional
(pusat) untuk sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hanya akan terdiri dari
dua bagian (departemen) besar: yaitu departemen sumberdaya alam dan
departemen pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
.
2.2.1. Departemen Sumberdaya Alam

Departemen ini diserahi wewenang dan tanggung-jawab pada hal-hal yang
menyangkut pemanfaatan (eksploitasi atau harvesting) sumberdaya alam,
dengan lingkup kerja: inventarisasi atau stocking sumberdaya alam,
pengawasan dan monitoring, serta perijinan. Depertemen ini akan menyatukan
semua pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dikelola secara sektoral
seperti pertambangan, kehutanan dan perikanan. Departemen Sumberdaya alam
ini masih dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sifat dan jenis
sumberdaya alam yang dikelola, yaitu: sumberdaya alam dan sumberdaya
budidaya. Kedua bidang ini secara struktur dapat dibagi berupa
sub-departemen atau direktorat jendral.

§ Sub-departemen sumberdaya budidaya yang mencakup budidaya kehutanan
(hutan tanaman dan perkebunan), pertanian dan hortikultura, serta perikanan
(darat dan laut).

§ Sub-departemen sumberdaya alam yang meliputi hutan produksi alam,
pertambangan, penangkapan ikan (laut dan tawar), pemanfaatan air (tanah dan
permukaan), serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

2.2.2. Departemen Pengendalian Dampak dan Perlindungan Lingkungan

Departemen ini akan mengurus masalah pelestarian dan perlindungan
sumberdaya alam dan buatan serta mengeluarkan kebijakan pemanfaatan
sumberdaya alam termasuk penataan-ruang. Lingkup kerja departemen ini
antara lain adalah inventarisasi, penetapan kuota, pengawasan,
rehabilitasi, pembuatan amdal dan lain-lain yang termasuk dalam perencanaan
pengendalian dan perlindungan. Dengan demikian maka departemen ini juga
seyogyanya memiliki wewenang sebagai penyidik sipil dalam kasus atau
perkara lingkungan hidup.

Seperti juga departemen sumberdaya alam, maka departemen ini juga akan
dibagi dua dalam sub-departemen sumberdaya buatan dan sumberdaya alam.

§ Sub-departemen sumberdaya buatan, yang melingkupi pengendalian dampak dan
perlindungan lingkungan sektor industri, perairan buatan (bendungan), dan
pertanian.

§ Sub-departemen sumberdaya alam yang melingkupi pengendalian dampak dan
perlindungan lingkungan pada sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan,
kelautan dan perairan.


3. Penutup
Konsekuensi dari perubahan tersebut, maka Departemen Kehutanan dan
Perkebunan (Dephutbun), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (Deptrans &PPH), Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Departemen Perindustrian (Deperind), Kantor Negara
Lingungan Hidup dan Bapedal direkomendasikan untuk dihapuskan, karena
lingkup tugasnya telah terinternalisasi dalam kedua lembaga tersebut di
atas. Namun demikian juga akan terdapat penambahan tugas dan wewenang pada
departemen lain, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang akan
mengurus masalah-masalah land-management, pengembangan regional dan tata
ruang.

Keberanian untuk melebur beberapa departemen juga berarti kita melakukan
langkah besar untuk efisiensi dan peningkatan profesionalisasi. Deptrans &
PPH misalnya, merupakan contoh sebuah departemen yang sangat boros dan
kenyataannya tidak pernah menyelesaikan permasalahan kependudukan. Dengan
merubah strategi pembangunan menjadi lebih otonom (tidak sentralistik)
melalui pengembangan regional, dengan sendirinya akan mengatasi
masalah-masalah kependudukan. Masalah-masalah yang tersisa dari program
ini dapat diserahkan kepada Depdagri, juga termasuk masalah-masalah
pertanahan.

Dengan leburnya departemen pertambangan, maka masalah-masalah energi akan
diurus dalam departemen sendiri, yaitu Departemen Energi yang memiliki
lingkup kerja pada pengelolaan sumberdaya buatan untuk penyediaan energi
seperti PLTU, PLTA dan lain-lain. Departemen Pertanian masih dapat
dipertahankan sebagai departemen tersendiri tergantung pada beban dan
volume pekerjaan pada bidang budidaya sumberdaya alam seperti perkebunan,
pertambakan, hortikultura dan tanaman keras.

Agenda reformasi ini tentu saja akan memakan waktu panjang dan rumit.
Langkah ini dapat dimulai melalui sebuah mekanisme terbuka dan demokratis
dengan masukan dari semua unsur dan kekuatan sosial masyarakat. Beberapa
inisiatip awal juga dapat dirumuskan melalui dialog dan konsultasi terbuka
diantara komponen-komponen bangsa untuk mencapi sebuah konsensus.
Reformasi total hanya dapat tercapai bila semua pihak terbuka dan positip
demi sebuah cita-cita bersama yaitu tatanan masyarakat Indonesia Baru

Jakarta, Kamis, 11 Juni 1998


Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Mampang Prapatan IV,
Jl. K. No. 37 - Jakarta 12790
Telp.: 021-7941672
Fax: 021-7941673
e-mail:

Baca selengkapnya...

Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45

Oleh : Arimbi HP dan Emmy Hafild

Diterbitkan oleh :
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Fiends of the Earth (FoE) Indonesia
1999

*Pendahuluan*

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".
Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".

Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan
orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek
kartel dalam bidang pengelolaan sumber dayya alam adalah bertentangan
dengan prinsip pasal 33.
Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh
-setidaknya-- dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus
yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya
alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam :
1. UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;
2. UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967;
3. UU Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967;
4. UU Landasan kontinen No. 1 tahun 1973;
5. UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan;
6. Uu 13 tahun 1980 tentang Jalan;
7. UU No. 20 tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan;
8. UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
9. UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
10. UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; dan
11. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat
disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan
hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian
indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D
(Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan
demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi
pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan
(Indrawati,1995). Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam
ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya
dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta
memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas
kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Indrawati, ibid).
Jiwa pasal 33 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan
barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara.
Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang
mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu,
pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang
mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang
jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan tranparan (good
governance).

*Permasalahan dan Tantangan Global Pengelolaan Sumberdaya Alam *

Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap
mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat
didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara
buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan
rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi
demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada
perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam
ini.
Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi
sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh
pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti
ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan
rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan
tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi
prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya
dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang
seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam
pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579
konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha
kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada
sumberdaya hutan dan ari generasi ke generasi telah berdagang kayu,
harus diputuskan dari ekonomi kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan
hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak
Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah
disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan
No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak
rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan
Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri
Dalam Negeri kepada Gubernur (Lihat teleks N0. 522.12/81/sj.). Begitu
pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan
Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan
Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal
kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi
sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan
dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah
dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai
PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan
tempat bagi penambang besar. Dengan logika yang sama seperti di sektor
kehutanan, penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan
manajemen yang baik, sehingga 'layak' digusur hanya dengan dalih tidak
mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan
manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat
pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan
pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.

Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah kesektor
pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi
menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata
baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini
tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya
alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down
effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke
pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan,
kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya
untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor
pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa
sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan
melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan
keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem
ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke
swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di
Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan
dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta
mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan
keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan
apapun kepada rakyat kecil.

Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat global
bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and
tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free
Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era
perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur
kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana
perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan
perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus
mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era
perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara
mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi
sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan
internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung
dalam konstitusinya.

*Penerapan Pasal 33 saat ini : Pengusaha Untung, Rakyat Buntung*

Dalam perjalanan waktu, penerapan pasal ini dilapangan menimbulkan
polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Apalagi jargon'demi
kepentingan umum' dan atau 'demi pembangunan' seolah-olah menjadi cara
sah untuk menggusur rakyat dari sumberdaya alamnya. Rakyatlah yang
menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam
diatas, tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Seperti kasus PT. IIU,
rakyat tidak dapat lagi menikmati air bersih sumber penghidupan mereka,
ladang penggembalaan mereka menghilang, terkena longsor dan banjir.
Pemberian HPH seolah-olah anugrah bagi pengusaha untuk memiliki kawasan
HPH secara mutlak akan melarang masyarakat lokal untuk turut menikmati
hutan tersebut, seperti mengambil damar, gaharu, menggembalakan ternak
atau berburu. Lagipula, masuknya masyarakat lokal kedalam kawasan HPH
dianggap sebagai perambahan dan mengganggu keamanan kawasan tersebut.
Ini menunjukkan hutan produksi indonesia hanya dikuasai sekelompok orang
dengan menegasikan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh, hasil
penelitian WALHI tentang rente ekonomi penguasaan hutan di Indonesia
menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil eksploitasi hutan sebesar US$
2,5 miliar pertahunnya, hanya 17 % yang masuk kekas negara, selebihnya
masuk kekantung pengusaha. Bank Dunia (World Bank, 1993) malah
menghitung hanya 12 % yang masuk kekas negara.

Sistem Konsesi Kepemilikan kehutanan jelas telah mencabut masyarakat
lokal dari sumberdaya kehutanan yang dahulunya pernah mereka nikmati.
Sebelum sistem konsesi pada tahun 1970-an, masyarakat lokal Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi telah melakukan perdagangan kayu skala kecil
selama ratusan tahun. Masyarakat Dayak di Kalimantan misalnya telah
berdagang kayu dan produk hutan laninnya dengan Cina dan Arab.

Sedang disektor pertambangan, rakyat Amungme dan Komoro di bumi Irian
kehilangan lahannya karena tergusur aktivitas pertambangan tembaga PT.
Freeport. DiAceh Utara 82 Desa yang berada disekitar kegiatan
pertambangan Minyak dan Gas Bumi PT. Mobil oil dan PT. Arun NGL,
seringkali menerima 'getah' dari aktivitas kedua perusahaan itu. Terjadi
semburan api tak terkendali (blow out) dan pecahnya pipa transmisi gas
telah mencemarkan sungai dan perkebunan mereka. WALHI mencatat kejadian
diatas terjadi berturut-turut pada tahun 1983/1984. Bahkan pada tahun
1992 rakyat di Desa Puuk telah menggugat Mobil Oil dan Pertama karena
gagalnya panen udang/ikan akibat tercemar limbah minyak. Dikecamatan
puruk Cahu, Kalimantan Tengah pendulang emas tradisional harus tergusur
karena lahan tambangnya diberikan kepada perusahaan emas besar dari
Australia, PT. Indo Muro Kencana. Sementara sekarang rakyat disekitarnya
tidak dapat memakai air sungai karena tercemar limbah pertambangan. Dan
banyak lagi kasus serupa yang semakin hari semakin meningkat ke
permukaan, tanpa adanya sambutan penyelesaian yang berarti.

Sistem ekonomi rakyat lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang
telah dihancurkan adalah rotan. Masyarakat lokal di Kalimantan dan
sumatera telah berdagang rotan sejak lama. Tetapi sejak tahun 1989
-berdasarkan keuntungan dari perdagangan valuta asing yang didapat dari
larangan ekspor log- aturan larangan ekspor rotan mentah diterapkan.
Konon katanya untuk tujuan meningkatkan nilai (value added) dari
pemrosesan rotan. Sayangnya peraturan ini memberikan monopoli
pengusahaan rotan ke ASMINDO (Asosiasi Meubel Indonesia). Peraturan ini
tidak lagi mengakui bahwa masyarakat di Kalimantan dan sumatera telah
sejak lama melakukan ekspor rotan ke Jepang, Philipina, taiwan dan
negara-negara lainnya. Dengan memaksa rotan harus diproses terlebih
dahulu, lampit (sejenis karet terbuat dari rotan) yang dahulunya
merupakan sumber uang cash bagi masyarakat adat di Kalimantan telah pula
terkena larangan untuk diekspor. Hasilnya adalah bencana bagi banyak
perekonomian rakyat didaerah itu.
Sekarang, perusahaan perabotan yang akan dikembangkan sebagian besar
malah kolaps dan terkena kredit macet. Ekspor rotan hasil pemrosesan
telah menurun tajam, sementara ekspor rotan mentah malah dimonopoli
ASMINDO dibawah ekspor kemanusiaan (semisal ekspor rotan ke Jerman untuk
pusat pelatihan cacat fisik). Sedangkan perekonomian rakyat di
Kalimantan tidak pernah bangkit lagi.
Mirip dengan tragedi rotan adalah perekonomian jeruk dan cengkeh setelah
adanya aturan tata niaga. Sampai lima tahun lalu, petani cengkeh dan
jeruk adalah kelompok petani yang kaya di Indonesia. Mereka menikmati
harga yang pantas karena tingginya permintaan domestik. Keadaan diatas
telah berubah sejak BPPC (Badab Penyangga dan Pengawasan Cengkeh)
terlibat dalam monopoli perdagangan cengkeh, dan BIMANTARA memonopoli
perdagangan jeruk. Atas nama "membantu" para petani untuk menjaga harga,
mereka memonopoli distribusi cengkeh dan jeruk. Para petani tidak
diijinkan lagi untuk menjual langsung produknya, kecuali kepada para
distributor yang ditunjuk oleh BPPC dan BIMANTARA.

Sejak itu harga cengkeh jatuh dari antara Rp. 6.000 - 12.000 menjadi
hanya Rp. 1.500, bahkan seringkali di bawah harga RP. 1.500. Disamping
itu, distributor yang ditunjuk, taitu Koperasi Unit Desa (KUD), tidaklah
mempunyai kapasitas untuk membeli produk dalam jumlah besar dan
menyimpannya. Sementara distributor independen akan terkena sanksi jika
mereka melakukan aktivitasnya. Akibatnya para petani menjadi kelebihan
cengkeh, tidak ada yang bisa membeli. Cengkeh banyak dibiarkan busuk
dipohonnya. Banyak pula cengkehnya, karena biaya merawatnya jauh lebih
tinggi dari harga jualnya. Kondisi petani jeruk tidaklah berbeda jauh
dengan petani cengkeh. Begitu tata niaga kedua jenis ini tidak lagi
menguntungkan, kedua perusahaan pemegang monopoli itu meninggalkan
aktivitanya dan membiarkan perekonomian cengkeh dan jeruk dalam kondisi
yang parah.

Sementara Bank Dunia menunjukkan walaupun Indonesia sudah melakukan
pembangunan yang gencar dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun
selama 25 tahun, dan menguras sumberdaya minyak dan hutan, Indonesia
masih termasuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah
(World Bank,1995). Dimana jumlah rakyat yang tergolong miskin hanya
tinggal 27 juta saja pada tahun1994, yaitu sekitar 15% saja dari
populasi total.

Data Bank Dunia, diatas mesti dilihat dengan cara pandang yang kritis.
Tingkat kemiskinan ditentukan oleh bagaimana definisi miskin itu
ditentukan. Bagi Indonesia, garis kemiskinan ditentukan oleh pendapatan
sejumlah Rp.18.250 per bulan untuk daerah pedesaan dan Rp.28.000 untuk
daerah perkotaan. Artinya orang dengan pendapatan tersebut diatas tidak
lagi disebut miskin. Padahal, sangat dipahami pendapatan sebesar itu
tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan sandang,
pangan, papan apalagi rekreasi. Jika garis kemiskinan ini ditingkatkan
menjadi dua kalinya saja, misalnya Rp. 56.000 untuk perkotaan, seluruh
kebutuhan tersebut masih belum dapat dipenuhi. Dan jumlah penduduk yang
masuk dalam kategori berpenghasilan dibawah Rp. 56.000 ini sejumlah 75
juta jiwa.
Kecendrungan yang berkembang dalam pereduksian makna pasal 33 UUD 1945
malah semakin buruk, perubahan peruntukan lahan -tanpa mengindahkan
penataan ruang- seperti yang terjadi dalam proyek perumahan dan bisnis
Pantai Indah Kapuk di Jakarta, ternyata 'melegitimasi' Penguasaan Pantai
pada satu kelompok saja, demikian pula kontroversi rencana pembangunan
Pantai Utara Jakarta dan Teluk Naga, Jawa Barat. Dikawasan SIJORI
(Singapura-Johor-Riau), sekelompok pengusaha telah menjual tanah dan
pulau-pulau di propinsi Riau Kepulauan kepada Singapura, untuk
kepentingan reklamasi pantai disingapura. Demikian pula berita, bahwa
seorang pengusaha besar Indonesia telah menawarkan akan menyuplai air
bersih kepada singapura, yang diambil dari air tanah dalam kawasan
konsesi seluas 500.000 hektar di Propinsi Riau.

*Kehadiran GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan Mekanisme
Pasar Bebas*

Pasar bebas adalah suatu keadaan dimana dua pihak melakukan transaksi
dagang secara sukarela, dimana pihak penjual menyatakan kerelaannyauntuk
menjual dan pihak pembeli kerelaannya untuk membeli dengan harga yang
disepakati bersama. Mekanisme pasar dalam penentuan harga ditentukan
oleh penawaran dan permintaan. Jika permintaan meningkat, maka harga
akan naik, permintaan turun maka harga akan turun. Sebaliknya jika
penawaran tinggi, maka harga turun. Penawaran rendah, maka harga akan
naik. Ekonomi didalam pasar bebas diatur oleh para pelaku, sedangkan
intervensi pemerintah sangatlah minimal.

Pasar bebas juga mengasumsikan bahwa setiap prodeusen berada dalam
situasi persaingan sempurna. Artinya tidak ada subsidi atau monopoli
alam pasar. Harga sudah merupakan sesuatu yang mutlak ditentukan oleh
pasar, sehingga produsen tidak bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya
dengan menentukan harga yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan akan
menawarkan harga yang serendah-rendahnya agar dapat bersaing dipasar.
Keuntungan perusahaan biasanya sangat sedikit, dan akumulasi kekayaan
bukan dari margin keuntungan yang tinggi, tetapi dari omzet penjualan
yang tinggi.
Konsep pasar bebas sebenarnya konsep yang ideal dan egalitarian.
Perdagangan dilakukan secara sukarela, dan karena persaingan sempurna,
maka konsumen akan mendapatkan harga yang semurah-murahnya, dan produsen
mendapatkan keuntungan yang setimpal. Keuntungan produsen biasanya
ditentukan dengan penekanan harga yang serendah-rendahnya. Dalam prinsip
ini, suatu ekonomi dikatakan efisien, jika tidak ada yang dirugikan
dalam kegiatan yang membuat orang lain menjadi lebih baik (no one worse
off to make some one better off).
Kelemahan pasar bebas adalah bahwa karena persaingan sempurna, maka yang
kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Seseorang dengan modal dasar
yang besar (kaya) akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang,
dan mempunyai pilihan-pilihan lebih banyak. Akses kepada kapital,
informasi, pendidikan dan hubungan relasinya pasti lebih baik dari
seseorang dengan modal kecil(miskin). Keuntungan yang diraihnya akan
jauh lebih besar daripada seseorang dengan modal lebih kecil.

*Structural Adjustment Programs (SAPs)*

Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah program untuk menyesuaikan
perekonomian suatu negara (biasanya yang berhutang berat) kedalam sistem
ekonomi pasar bebas. Ada tiga hal yang dilakukan dalam SAPs ini, yaitu :
1. mengurangi defisit anggaran pemerintah
2. mengurangi defisit
3. membiarkan harga ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar bebas
Hal-hal yang menyebabkan distorsi pasar seperti monopoli, subsidi harga
atau penetapan harga dasar harus dihapuskan. Untuk menyeimbangkan
anggaran belanja negara tersebut, maka anggaran-anggaran yang tidak
perlu harus dihapuskan.
Sayangnya, pengurangan biaya pengeluaran negara biasanya sangat
dipengaruhi politik negara tersebut. Misalnya, negara tidak akan mau
mengurangi anggaran pertahanannya begitu saja, walaupun anggaran itu
cukup besar. Biasanya, yang akan mendapat pemotongan adalah pelayanan
kesehatan gratis dll. DiKenya misalnya, pelayanan kesehatan dan
pendidikan harus dikurangi, sehingga rumah-rumah sakit pemerintah
kekurangan obat dan peralatan karena harus melaksanakan SAPs. Karena
subsidi harga harus dihentikan, harga bahan makanan pokok menjulang
tinggi, sehingga banyak rakyat yang menjadi bertambah miskin. SAPs
menyebabkan yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin.

*SAPs, GATT dan Indonesia*

Bagi Indonesia, dimana perekonomiannya bukanlah perekonomian pasar
bebas, dan bukan pula perekonomian sosialis, melainkan monopoli karena
relasi politik, proteksi dagang lebih diberikan kepada pengusaha besar
dan bukan pengusaha kecil. Perdagangan bebas akan mempunyai dampak
positif. Contoh dampak positif misalnya seperti harga mobil, kertas, dan
semen akan turun. Konsumen akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih
banyak dengan harga yang hampir sama dengan negara lain.
Indonesia tidak berada dibawah SAPs Dana Moneter Dunia. Karena SAPs yang
berada dibawah Dana Moneter Dunia ini biasanya sangat kejam kepada
rakyat kecil. Sampai saat ini, karena Indonesia belum mencapai kondisi
krisis hutang (walaupun nyaris sedikit lagi) Indonesia masih berada
dibawah SAPs Bank Dunia. Dlam SAPs Bank Dunia ini antara lain harus
dilakukan beberapa perubahan seperti pengurangan peran negara dalam
pengaturan kegiatan ekonomi, termasuk peran BUMN, penghapusan monopoli,
menghilangkan subsidi BBM, listrik, dan terigu, serta pengetatan
anggaran belanja negara.
Segi positif SAPs di Indonesia misalnya bahwa dana yang digunakan untuk
membeli terigu dari Bogasari yang lebih mahal dari harga pasar dunia
dapat dimamfaatkan untuk pelayanan kesehatan rakyat miskin. Monopoli
BPPC terhadap cengkeh harus dihapuskan, demikian pula monopoli
perdagangan jeruk oleh BIMANTARA, dan monopoli perdagangan rotan dan
kayu oleh ASMINDO dan APKINDO. Sehingga rakyat dapat mengelola cengkeh,
jeruk dan langsung dapat mengekspor kayu dan rotan.
Tetapi dampak positif ini tidak akan terasa kepada rakyat kecil jika
pemerintah tidak dengan sungguh-sungguh melaksanakan kebijakan ekonomi
yang memberdayakan rakyat kecil. Walaupun dalam sistem ekonomi pasar
bebas peran negara dalam kehidupan ekonomi diminimalkan, intervensi
pemerintah dalam batas-batas tertentu masih dapat dilakukan. Hanya dalam
bentuk apa intervensi ini akan dilaksanakan, tergantung kepada komitmen
politik pemerintah suatu negara. Intervensi pemerintah dalam sistem
pasar bebas biasanya adalah dalam pendistribusian kekayaan dari si kaya
kepada si miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas.
Distribusi kekayaan dimana uang pajak ini lalu digunakan untuk
program-program mengentaskan kemiskinan, bantuan kredit dengan bunga
dibawah harga pasar, jasa informasi pasar, pelayanan kesehatan gratis,
pemberian kupon makanan bagi rakyat yang berada dibawah garis
kemiskinan, pemberian bea siswa bagi anak-anak tidak mampu, ataupun
penetapan dasar suatu harga barang tertentu.

Misalnya subsidi harga BBM di Indonesia. Biaya produksi BBm sebenarnya
jauh lebih tinggi, sehingga kalau dibiarkan produsen menentukan sendiri
harga BBM, sehingga akan mahal dan tidak terjangkau rakyat banyak.
Karena itu, maka pemerintah mensubsidi harga BBM, dengan membeli harga
BBM dari produsen lebih tinggi dari harga dasar jual yang kemudian
ditetapkan oleh pemerintah.
Sebaliknya, untuk mengontrol agar harga beras tidak terlalu mahal,
sehingga dapat dijangkau oleh banyak pihak dan agar tidak terjadi
pergolakan politik, maka pemerintah Indonesia dan banyak pemerintah
negara lain mengkontrol kenaikan harga beras dan delapan bahan makanan
pokok. Disini pemerintah tidak mensubsidi petani, tetapi petani
mensubsidi banyak orang dengan menjual dibawah harga pasar. Kebijakan
seperti ini disebut dengan cheap food policy.

*Dampak GATT dan SAPs pada Rakyat Kecil*

Secara selintas, permasalahan ekonomi rakyat akibat adanya monopoli
sumber-sumber daya mereka, tampaknya akan tertolong dengan adanya GATT.
Karena GATT akan melarang adanya bentuk-bentuk monopoli itu. Tapi pada
saat yang sama GATT juga akan membawa bahaya bagi petani di Indonesia.
Segi negatifnya, misalnya harga BBM akan naik yang akan mengakibatkan
harga transportasi akan naik. Melihat tingkah laku inflasi di Indonesia,
dimana setiap kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga-harga
barang konsumsi, maka harga-harga barang konsumsipun akan naik. Kenaikan
harga akan menimpa rakyat kecil jauh lebih berat daripada mereka dengan
kondisi ekonomi lebih baik. Kemungkinan yang lain adalah kenaikan harga
beras. Kenaikan harga beras akan menolong petani tetapi akan
menyengsarakan rakyat miskin diperkotaan. Selain itu ada juga
kemungkinan bahwa biaya pendidikan di sekolah negeri akan meningkat,
demikian pula dengan biaya dan harga obat di Pusat-pusat Kesehatan
Masyarakat (PUSKESMAS).

Namun bagi rakyat miskin di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 75 juta
jiwa tersebut, GATT mempunyai dampak negatif. Seperti yang telah
disebutkan dimuka, kelemahan utama sistem pasar bebas adalah bahwa yang
kaya akan makin kaya, yang kuat akan makin kuat, yang miskin akan kalah
bersaing dengan yang kaya. Dalam konteks global, negara miskin dan
berkembang akan kalah bersaing dengan negara industri kaya. Negara
industri menguasai teknologi dan informasi serta modal yang sangat
diperlukan didalam suatu sistem persaingan sempurna.
Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian kita semua, terutama
pemerintah adalah petani dan pengrajin serta pengusaha kecil. Didalam
negeri, kelompok ini tertekan karena digilas oleh pengusaha besar tanpa
ada usaha perlindungan dari pemerintah. Apabila GATT benar-benar
diterapkan maka penggilasan itu akan menjadi ganda, tidak hanya dari
pengusaha domestik, tetapi juga dari petani dan pengusaha negara
industri kaya. Petani buah-buahan, petani produksi buah, pengusaha
garmen kecil-kecilan, dsb akan kalah besaing dengan buah-buahan impor
dan produksi pakaian impor. Demikian juga dengan peternaka ayam dan
sapi. Peternak ayam kecil akan kalah bersaing dengan peternak ayam
besar, karena peternak ayam besar akan lebih efektif (cost effective).
Daging impor dari Australia dan Selandia Baru saat ini harganya sudah
sama dengan daging lokal, bahkan ada yang lebih murah.
Dampak negatif dari perdagangan bebas dan SAPs yang langsung mengena
rakyat miskin antara lain :
1. Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan
biaya, buruh akan semakin diperas.
2. Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk
pertanian internasional.
3. Meningkatnya urbanisasi kekota.
4. Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh Undang-undang
dan peraturan perburuhan.
5. Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan
permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam.

*Posisi dan Usulan WALHI*
Perdagangan bebas kelihatannya tidak akan terelakkan, jika kita tidak
siap maka perdagangan bebas bak "air bah" yang akan melanda negeri kita,
dan hanya mereka yang kuat dan mempunyai informasi yang cukuplah yang
sanggup bertahan. Dalam kondisi menuju perdagangan bebas diperlukan
intervensi pemerintah untuk pendistribusian kekayaan dari si Kaya kepada
si Miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas. Dalam konteks
ini, seharusnya fungsi menguasai negara untuk kemakmuran rakyat
diterapkan, dengan lebih menekankan fungsi pelayanannya (service),
perlindungan serta pemberdayaan rakyat berekonomi kecil serta
sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bentuk pernyataan-pernyataan kosong.
Walaupun dalam era perdagangan dan pasar bebas, prinsip pasal 33 masih
sangat relevan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Peran negara
dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan pasar bebas seharusnya
difokuskan kepada pengaturan agar sumberdaya alam Indonesia tidak
dimonopoli oleh sekelompok swasta atas nama negara dan agar dikelola
secara berkesinambungan baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Peran
negara dalam "kepemilikan" yang dalam hal ini "monopoli kepemilikan"
atas sumberdaya alam Indonesia sebaiknya dialihkan kepada peran
"pengaturan" yaitu intervensi agar pengumpulan kekayaan dan modal dari
hasil pengelolaan sumberdaya alam kita tidak terjadi hanya kepada
golongan tertentu saja. Artinya, negara tidak bisa lagi mentransferkan
hak monopolinya atas sumberdaya alam kepada segelintir swasta yang
ditunjukkan.

Karena itu, praktik penguasaan sumberdaya alam secara monopolistis,
seperti dibidang kehutanan dan pertambangan, yang didukung dengan
seperangkat peraturan yaitu UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU
Pertambangan No.11/1967 adalah bertentangan dengan makna pasal 33 UUD
1945. Sehingga sebenarnya praktek di bidang kehutanan dan pertambangan
selama ini, yang didasarkan pada kedua Undang-undang itu adalah tidak sah.
Sebaliknya, negara harus membuka peluang rakyat sebesar-besarnya untuk
ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD
1945 harus diterjemahkan dalam situasi ekonomi sekarang sebagai
"pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem pasar bebas yang populis".
Rakyat diberikan hak untuk memiliki dan mengelola sumberdaya alam dengan
cara pengelolaan yang diatur oleh negara dengan cara demokratis.

Dapat disimpulkan bahwa, pasal 33 UUD 1945 bersifat populis karena
menempatkan masyarakat sebagai kelompok utama, tetapi makna itu
dikaburkan dalam kebijakan maupun aturan pelaksanaannya. Berdasarkan
kondisi dan argumen diatas, maka terlihat ada beberapa masalah utama
yang harus dikaji lebih jauh agar masyarakat luas dapat turut menikmati
hasil-hasil sumberdaya alam. Secara rinci, maka usulan kami adalah
sebagai berikut :
1. Bahwa harus disadari sumberdaya alam yang tersedia walaupun memang
rahmat dari Tuhan, bukan berarti tidak ada pemiliknya. Sudah
berabad-abad lamanya masyarakat lokal mengelola dan mempunyai akses
langsung ke sumberdaya alam disekitarnya. Karena itu hak-hak mereka
haruslah diakui baik dalam perundangan nasional, maupun kebijaksanaan
sektoral.
2. Makna pasal 33 UUD 1945 tidaklah menutup akses masyarakat ke
sumberdaya alamnya, sehingga setiap usaha penguasaan sumber-sumber daya
alam haruslah melibatkan masyarakat, dalam pengambilan keputusan sampai
skala menikmati hasil pengolahan sumber-sumber itu. Contoh buruk dalam
pemberian konsesi kehutanan dan pertambangan harus dihapus. Dan
karenanya perlu segera merevisi UU Kehutanan dan UU Pertambangan agar
lebih berwawasan kerakyatan.
3. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan dalam setiap pemanfaatan
sumber-sumberdaya alam, tidak saja bagi penentuan arah tujuan suatu
kegiatan tetapi juga sebagai sarana pengawas kegiatan pengolahan
sumberdaya alam. Peran serta ini sangat penting untuk menjaga
keseimbangan hak negara yang dimandatkan pasal 33 UUD 45 untuk mengatur,
menyelenggarakan, menggunakan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya
alam serta pengaturan hukumnya. Dengan hak rakyat untuk mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengolahan sumberdaya alam itu.
4. Pemerintah yang baik (good governance) sangat penting dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang adil. Intervensi negara harus lebih
difokuskan kebidang pelayanan umum, seperti pemerataan distribusi
kekayaan antara si kaya dan si miskin lewat kebijakan pajak, pelayanan
informasi pasar dan teknologi, pengaturan perundang-undangan anti
monopoli dan anti trust, serta pemberian kredit usaha kecil.

sumber: http://www.pacific.net.id/~dede_s/Membumikan.htm

Baca selengkapnya...