surat untuk andrea

Andrea,

Dia meninggalkan aku disini

Laki-laki yang selalu kutemani hari-harinya

Dimasa-masa sulitnya

Harusnya cincin tunangan itu

Dia kenakan di jemari ini

Untuk mengikat janji

Yang pernah kami ucapkan bersama

Menyatakan keberadaan hidup kami

Untuk orang-orang yang tertindas

Tapi apa lacur, dia mengkhianati dirinya sendiri

Juga dengan atas nama Tuhan


Andrea,

Kau tahu, ketika pertama kali

Kami bertemu

Aku yakin sekali

Pertemuan kami adalah

Peraduan jannah yang kelak akan menyatukan kami

Tapi andrea,

Dia meninggalkanku disini

Padahal sepekan yang lalu

Dia berjanji akan

Mengikatkan hatinya

Lewat cincin manis

Yang akan disematkan dijemari ini


Andrea,

Katamu, Tuhan akan menemani aku disini

Menjagaku disetiap langkah kakiku

Tapi Tuhan juga membiarkan aku sendiri disini

Dan rasanya tak pernah mau mendengar

Permohonanku di rumah suci-Nya sekalipun

Aku tahu, Tuhan tak tidur

Tapi kenapa dia membiarkan aku terbenam disini

Hanya ditemani segelas bir dan sebatang rokok


Andrea,

Aku selalu berusaha melewati hari-hariku

Bersama orang-orang yang susah

Seperti banyak Nabi memberi contoh

Dalam kehidupannya

Tapi kenapa Tuhan tidak memberi

Sedikit saja karunia-Nya,

Agar aku bisa hidup bersama dengan laki-laki

Yang kucintai

Atau apakah menurut Tuhan

Aku tidak layak mendapatkan semuanya

Karena aku terlalu pamrih

Dalam berbuat kebaikan


Andrea,

Aku ingin sekali kuat berdiri

Menopang seluruh kehidupanku

Dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki hari ini

Tapi aku tidak bisa, aku benar-benar tidak bisa

Hidup ini sungguh tidak adil, Andrea

Setidaknya aku merasakan itu

Disini

Diantara doa-doaku yang tak pernah terjawab

Diantara embun pagi yang hilang dihapus matahari

Diantara ombak yang menyapu pasir

Diantara sejuta kegamangan

Yang selalu saja

Membuat aku terpuruk

(banda aceh, june 2006)



Baca selengkapnya...

women and plantation

Negative plantation impacts to local community

lose lite sources of local community, so far forest, farming land become profession of community, now it has been conversed for plantation, local community can not look fo forest result or forest product any more. And ironically, they can’t get the fire wood as material of cooking. For souely that concentrate on farming land as main production tool lose, its means life source lose too.


Plantation like oil palm become water crisis cause, because oil palm is hand of plant that absorb much water. Dry season will be in local community who live in plantation area.

Contamination of rivers and the other water source, that is caused by company of oil palm plantation that throw down waste to river.


For women, have bigger burden, except to manage domestic job, they have to look for water and fire wood, especially when water crisis and forest conversed.


Plantation and labour of plantation

so far, plantation company always say; plantation will provide big job vacancy that absorb many labours from local community. In fact, it is non sense. We can see from the amount of labours who work overthere. From one hundred hectare, only 36 people who work. For men who work to harvest oil palm, and for women who work to fertilize and take the fallen oil palm from tree. They are received salary amount Rp. 18.000/day, and as labour, they don’t get savety guarantee.

For men 60% and for women 40% can accsess to jobs created by these companies, so men greater access to jobs.


Plantation and led to migration

When all lands and forest have been conversed, local community don’t have production tool anymore for surviving life, they have one choice to do. They go to city for seeking ajob, eventhough they have no great skill in doing, and urbanization become the best wat to get better life. So, they get it.

Migration had impact on women, because take over as heads of families, when men migrated to other regions.

There is no yet complaints for fighting plantation company, because there is no yet that strengthen woman labours union and women organization’s right.


Plantation and impact to health

Plantation can result bad influence to ward health, for instance, decreasing quality of local community’s life, specially for women. It is caused by waste that goes to river. Every day people there consume contaminated water. Of course, it is not good for their health. On the other hand in working, plantation’s labour use pesticide and some thing else, which is very dangerous for health, they don’t use saver tool.

For women, contaminated water which is caused by waste, is very dangerous for their reproduction organ. Bioiogically, women are easer to get illness than men.

Baca selengkapnya...

Kembalikan Hutan Kota Kami


Tiga organisasi yang peduli dengan persoalan lingkungan hidup Jakarta, antara lain WALHI Jakarta, Kaukus Lingkungan Hidup dan FAKTA melaporkan Sutiyoso ke POLDA Metro Jaya pada hari Kamis, 20 Oktober 2006. Sutiyoso dilaporkan secara pidana atas tindakannya melakukan penebangan pohon yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau untuk pelebaran Jalan Sudirman-Thamrin. Sebanyak 33 pohon sudah ditebang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, untuk melaksanakan proyek pelebara jalan Sudirman-Thamrin yang banyak dikecam oleh aktifis lingkungan hidup di Jakarta.


Sutiyoso dilaporkan atas tuduhan perbuatan melanggar hukum, dengan menyalahi sejumlah undang-undang, antara lain Undang-Undang No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, PERDA No. 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang DKI Jakarta tahun 2000-2010, PERDA No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah secara sengaja menghilangkan fungsi RTH yang tidk bisa tergantikan di kawasan tersebut , sehingga tidak ada keseimbangan ekologis dan berdampak pada semakin tingginya bencana ekologi di Jakarta seperti banjir, pencemaran udara dan krisis air di DKI Jakarta. Padahal secara jelas Sutiyoso sudah mengetahi kerentanan wilayah DKI Jakarta sebagai wilayah yang rentan dengan terjadinya bencana, kebijakannya justru mendorong tingkat bencana yang lebih tinggi, dan tentu saja dampaknya akan lebih buruk menimpa kepada kelompok kelas menengah ke bawah, seperti kelompok perempuan dan miskin kota yang selama ini selalu terabaikan hak-haknya.

Selain itu, secara jelas Sutiyoso telah melakukan pengabaian hak-hak public untuk mendapatkan informasi dan memangkas peran serta masyarakat didalam pengelolaan lingkungan hidup di Jakarta. Ini jelas mengindikasikan bahwa Sutiyoso telah melakukan pengabaian terhadap hak-hak politik rakyat tersebut untuk terlibat dalam proses membangun Pemerintahan yang bersih

Selain melanggar hukum, kebijakan tersebut juga bertentangan dengan nilai-nilai keseimbangan ekologis perkotaan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Sutiyoso memiliki paradigma ekonomi sentries didalam membangun kota Jakarta, dengan mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Pardaigma kapitalistik ini memang bertujuan untuk kepentingan investasi, khususnya bagi industri otomotif di Jakarta dan juga memacu tingkat konsumtif masyarakat yang sangat mengancam kesehatan masyarakat. Pelebaran jalan yang dikampanyekan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kepentingan umum dan dapat mengurangi kemacetan, hanya merupakan topeng Pemerintah untuk melindungi kepentingan investasi. Sebelum Sutiyoso menyelesaikan persoalan makro transportasi Jakarta, maka pelebaran jalan tidak akan mampu menjawab persoalan kemacetan di Jakarta. Justru sebaliknya, pelebaran jalan hanya akan memicu tingkat polusi udara yang lebih tinggi di Jakarta.


Untuk itulah WALHI bersama aktifis yang peduli dengan persoalan lingkungan hidup di
Jakarta mengajak masyarakat luas untuk mendesak agar Pemerintah mengembalikan hutan kota yang tersisa, untuk kepentingan keberlanjutan hidup masyarakat.

Baca selengkapnya...

Selamat Datang Pengungsi Pembangunan

Kurang lebih satu minggu pasca umat muslim merayakan hari raya Iedul Fitri, para pemudik sudah kembali berdatangan untuk memulai kembali kehidupannya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Fenomena yang sudah dapat kita baca kembali menjadi perbincangan, dan bahkan mungkin menjadi pembahasan penting dalam rapat-rapat pejabat Pemerintahan. Apalagi kalau bukan masalah membludaknya jumlah orang yang kembali ke kota, bertambah membludak karena sudah menjadi tradisi kalau pemudik yang kembali ke kota membawa sanak saudara atau kerabatnya di kampung, baik karena memang sebelumnya sudah dititip oleh tetangga atau teman kerja yang membutuhkan tenaga pembantu rumah tangga atau pekerja informal lainnya atau berspekulasi bisa mendapatkan pekerjaan setibanya di kota. Dan sudah menjadi tradisi pula respon Pemerintah untuk menghadapi serbuan orang yang ingin mengadu nasib di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, razia kartu tanda penduduk dan biasanya akan dibarengi dengan “penangkapan” dan mengembalikan orang-orang tersebut ke kampung halamannya masing-masing.


Sebuah solusi dan respon yang biasa-biasa saja, karena sampai hari ini Pemerintah belum memiliki solusi atas berbagai masalah social ini, sehingga penanganannya selalu bersifat responsive. Pemerintah dan bahkan mungkin kita juga seringkali melupakan akar persoalan sebenarnya, ketika pengungsi pembangunan ini menjadi sebuah fenomena dari serangkaian persoalan urban yang terjadi di Indonesia.


Pengungsi Pembangunan, Tak Pernah Diimpikan

Saya menamakan orang-orang yang mencoba mengadu nasib ini di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, sebagai pengungsi pembangunan. Sebuah predikat yang mungkin tidak pernah diimpikan oleh setiap orang, karena kata-kata pengungsi seringkali identik dengan sebuah kondisi keterpaksaan ketika daerah/tempat tinggalnya tidak lagi bisa memberikan jaminan rasa keamanan dan keberlanjutan kehidupan keluarganya. Pengungsi biasanya identik dengan bencana alam dan bencana kemanusiaan lainnya, namun nampaknya selama beberapa tahun belakangan ini predikat pengungsi juga dilekatkan kepada sebuah bencana yang diakibatkan oleh pembangunan yang tidak adil dan meminggirkan masyarakat local yang berujung pada kemiskinan yang memang dibuat secara structural dan sistematis dilakukan oleh negara.


Tengoklah, ketika banyak dari orang yang mengadu nasib ke Jakarta ini sebelumnya adalah petani/buruh tani yang kehilangan alat-alat produksinya, orang-orang desa yang tinggal di lahan-lahan yang tandus dan selalu didera kekeringan panjang. Hampir semua permasalahan tersebut diakibatkan oleh system pembangunan yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi semata, sementara subsidi terhadap petani terus dikurangi atas desakan lembaga-lembaga pemberi dana utang. Kondisi kemiskinan yang terus mencekik leher rakyat inilah, yang kemudian mendorong mereka untuk mencoba peruntungan lainnya di kota, tentu saja dengan modal tenaga yang bisa dijual dengan imbalan upah yang pastinya rendah karena skill lainnya tentu tidak dimiliki.


Seperti nasib pengungsi kebanyakan, nasib pengungsi pembangunan mungkin malah lebih buruk. Selain tidak adanya perhatian dari Pemerintah untuk diberikan jatah hidup (jadup) seperti pengungsi korban bencana, seringkali stigma buruk dilekatkan pada pengungsi pembangunan ini. Sebagai orang-orang yang menambah persoalan, bikin sumpek, dan bahkan penyebab meningkatnya pelaku criminal di kota-kota besar.


Jika ada lirik lagu, “siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh datang Jakarta”. Mungkin para pengungsi pembangunan ini akan menjawab, “mimpipun kami tidak berani untuk datang ke Jakarta sebagai pengungsi pembangunan”. Karena kondisi keterpurukan ekonomi dan kemiskinanlah yang memaksa orang-orang yang sebelumnya sejahtera tinggal di desa ini, memilih menyandang predikat sebagai pengungsi pembangunan.


Memindahkan Gula dari Kota-Kota, sebagai Sebuah Alternatif

Menyalahkan mereka, tentu bukanlah hal yang bijak karena memang justru seharusnya Negara bertanggungjawab untuk memenuhi hak-hak pengungsi pembangunan ini, terutama yang menyangkut hak ekonomi, social dan budaya (ekosob), ini merupakan sebuah kewajiban Negara terhadap rakyatnya, terlebih Indonesia sudah meratifikasi kovenan hak ekosob ini.


Pemerintah sudah tidak waktunya lagi menyelesaikan persoalan ini secara responsive, yang dibutuhkan adalah menjawab akar persoalannya. Mungkin tidak sesederhana yang dibayangkan, tapi paling tidak langkah-langkah alternative harus mulai dilakukan sehingga kedepannya kita tidak lagi menemui nasib pengungsi yang mengenaskan.


Kalau sering ada istilah yang menyebutkan Jakarta dan kota-kota besar lainnya sebagai gula yang sangat manis, dan selalu mengundang banyak orang menikmatinya karena disinilah pusat perputaran ekonomi dan kekuasaan di jalankan, maka gula tersebut juga harus dibuat di daerah-daerah. Tapi jangan lupa bahwa selama ini pembangunan selalu bertumpu pada kepentingan ekonomi dengan jargon globalisasinya, sehingga pembangunan selalu saja mengorbankan masyarakat local.


Pembangunan yang dimaksudkan disini tentu saja pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat, memberikan akses dan control seluas-luasnya kepada rakyat dipedesaan untuk mengelola sumber daya alamnya berdasarkan kearifan local yang dimiliki. Melindungi nasib petani, nelayan tradisonal dan masyarakat adapt yang hidup di pedesaan lewat regulasi yang akan menjamin keberlanjutan hak hidup mereka. Jika rakyat telah mampu membangun kemandirian ekonominya, maka dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi akan berjalan dan rakyat yang hidup di pedesaan tidak perlu lagi menjadi pengungsi pembangunan.


Baca selengkapnya...