Manyanggar: Membersihkan Bumi dari Bahaya Bencana

Jalan Lain bagi Masyarakat Lokal dalam Menyelamatkan Kehidupan

Manyanggar atau ruwatan bumi dan atau manenga lewu biasa dilakukan oleh suku Dayak Ngaju sebagai masyarakat local yang bermukim di wilayah hutan – lahan gambut Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Upacara adat ini salah satu bagian terpenting bagi suku dayak ngaju dalam memberikan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta (Tuhan) dan Penghuni Alam Semesta atau alam gaib. Upacara ini di persembahkan karena Sang Pencipta dan penghuni alam semesta telah memberikan rejeki dan keselamatan selama masyarakat bekerja, berusaha di suatu wilayah yang diyakini sebagai sumber-sumber kehidupan generasi saat ini dan generasi mendatang. Untuk mewujudkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta dan penghuni alam semesta, maka, komunikasi terpenting bagi suku Dayak Ngaju di sampaikan dengan menyelenggarakan upacara adat Manyanggar (ruatan bumi). Thema Manyanggar (ruwatan bumi) tahun 2009 ini adalah: Solidaritas Rakyat Untuk Solusi Krisis Iklim Global.



Lahan gambut Indonesia merupakan gambut tropis terluas didunia, sekitar 38 juta hektar (Dephut, 1997). Kekayaan ini sekaligus jadi petaka, pemerintah orde baru mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah melalui Surat Keputusan Presiden No 82 tahun 1996, untuk di cetak menjadi kawasan persawahan bagi kebutuhan nasional. Proyek ini sepertinya tidak banyak mempelajari kondisi gambut dan kehidupan masyarakat lokal. Akibatnya, proyek ini bukannya bermanfaat bagi lingkungan gambut maupun masyarakat lokal, tetapi menjadi bencana yang sengaja di ciptakan. Akibatnya, lebih 82.000 jiwa penduduk lokal kehilangan mata pencaharian. Kebakaran hutan dan lahan terjadi sepanjang tahun, sejak 1997 hingga sekarang. Banjir pasang surut jaraknya semakin lama dan dalam, kering terjadi dimana-mana. Rawan pangan beresiko terjadi sejak mereka kehilangan sumber pangan dan mata pencaharian. Juga ancaman menjadi pengangguran karena kebun dan tanahnya tergusur.



Proyek ini salah satu dampak dari serangkaian pembangunan yang eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan untuk memasok kebutuhan bahan-bahan mentah negara-negara kaya seperti Eropa, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, mulai dari hasil hutan, bahan tambang yang terdapat di daratan Borneo, membawa dampak kerusakan sumberdaya alam dan kehancuran kehidupan suku-suku Bangsa Dayak di Pulau Borneo. Kegagalan pembangunan global yang di prakarsai oleh negara-negara maju, membawa dampak berubahnya iklim dunia dan menyumbangkan kesengsaraan bagi penduduk-penduduk pribumi, termasuk pulau Borneo.



Proyek ini malapetaka bagi rakyat dan kedamaian penghuni ekosistem gambut. Kini, kawasan-kawasan gambut sejak transisi ke orde reformasi terancam menjadi konversi areal perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan. Selain itu, solusi iklim gambut untuk penyerap karbon (carbon zink) –jasa lingkungan dari fungsi hutan. Inilah salah satu yang ditawarkan Indonesia dalam kesepakatan UNFCCC di Bali 2007, lewat REDD (pengurangan dari penyusutan dan pengrusakan hutan). Skema imbal jasa bagi hibah negara-negara maju (emitor karbon) yang tidak mau menurunkan konsumsi energinya (fossil fuel).



Upaya lain yang dilakukan masyarakat local di areal gambut yang mendapat pendampingan dan asistensi teknis Yayasan Petak Danum di Kapuas, sejak tahun 1999 sampai saat ini (2009) telah melakukan penyelamatan gambut di Kalimantan Tengah, dengan cara; penanaman pohon hutan gambut (50.000 ha), rehabilitasi kebun rotan beserta tanaman hutan rambatan (13.000 ha), kebun karet (5.000 ha), kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.



Belajar dari pengalaman dan penderitaan bersama, masyarakat local, yayasan Petak Danum, dan mitra kerja di tingkat basis menghargai upaya lain dalam arena forum-fourm international melalui UNFCCC di Bon Jerman Juni 2009, Bangkok International Meeting UNFCC 29 September 2009 – 09 october 2009 dan rangkaian Copenhagen Desember 2009. Tetapi, semua skema-skema penyelesaian krisis iklim akibat dampak gagalnya pembangunan global, menawarkan skema-skema REDD, CDM, Energy Bersih. Skema ini pada dasarnya tidak pernah mengakui hak-hak dan pengetahuan masyarakat local dalam pengelolaan lahan dan hutan gambut berbasis kearifan tradisional yang sudah teruji puluhan dan bahkan ratusan tahun lamanya.



Dalam arena forum UNFCCC COP 15 di Denmark, tetap saja keberadaan masyarakat local tidak mendapat pengakuan atas sumbangannya untuk solusi krisis iklim global melalui praktek penyelamatan gambut secaratradisional. Sehigga, upaya lain bagi masyarakat local akan dilakukan melalui upacara adat “MANYANGGAR” (ruatan bumi). Ini bentuk jalan lain bagi masyarakat dalam memgkomunikasikan kepada Sang Pencipta, Semesta Alam, ketika komunikasi masyarakat local kepada pemerintah, dunia international tidak mendapat pengakuan. “MANYANGGAR” adalah pilihan tepat bagi masyarakat local untuk memberikan seruan kepada semua penghuni bumi dan pencipta alam semesta, bahwa, masyarakat telah menyumbang solusi krisis iklim global akibat kegagalan Negara maju membangun peradaban di muka bumi ini.



Manyanggar bertujuan untuk: 1) Mengkomunikasikan hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan sesama manusia. 2) Mengkonsolidasikan masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama dalam penyelamatan Gambut untuk keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan. 3) Menyerukan kepada semua pihak dari tingkat local, nasional dan International agar mengakui hak-hak masyarakat local tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim dunia yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC bulan Desember 2009.



Diharapkan agenda manyanggar akan memiliki dampak pada: 1) Terbukanya komunikasi hak-hak masyarakat ngaju atas pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada Sang Pencipta, Alam Semesta dan Sesama Manusia, 2) Terkonsolidasikannya masyarakat antar desa antar wilayah secara bersama untuk menyelamatkan gambut dan keselamatan masyarakat dari generasi ke generasi dan lestarinya sumber-sumber kehidupan, 3) Semua pihak dapat mendengar seruan masyarakat local dari tingkat local, nasional dan International untuk pengakuan tanpa syarat (afirmatif action) dalam pengelolaan sumberdaya gambut berbasis kearifan tradisional di Kalimantan Tengah sebagai kontribusi atas solusi krisis iklim global yang sedang dibicarakan di Kopenhagen Denmark (COP 15 UNFCCC Desember 2009)



Pelaksanaan kegiatan manyanggar dilakukan selama 3 (tiga) hari, dimulai tanggal 10 s/d 12 Desember 2009. Hari H manyanggar tanggal 12 Desember 2009. Rangkaian kegiatan lainnya : 1) Pertemuan antar Lembaga Adat/ Tetua kampung (10 Desember 2009), 2) Rehabilitasi Hutan Adat melalui penanaman pohon kehidupan (11 Desember 2009), 3) Musyawarah ARPAG (11 Desember 2009), 4) Manyanggar (Ruatan Bumi) hari H. 10,11 dan 12 Desember 2009, 4) Pendidikan Kader Management Pengelola Gambut (8 – 9 Desember 2009)Tempat penyelanggaraan manyanggar bumi ini di lakukan di sebuah desa antara Pulau Kaladan dan Tarantang, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.



Peserta kegiatan manyanggar (ruwatan bumi) akan diikuti oleh sebanyak 5.000 – 10.000 warga, terdiri dari; 40 orang ARPAG, 40 wakil dari Lembaga Adat, 200 orang peserta upacara manyanggar dan 5.000 – 10.000 orang warga mengikuti manyanggar hari akhir. Desa-desa yang terlibat sekitar 52 Desa. Peserta wakil dari desa-desa sekitar eks PLG dan sekitarnya dari Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Kegiatan ini juga mengundang peserta yang berminat hadir, misalkan dari: Jakarta, Bogor, Banjarmasin, Sampit, Muara Teweh, dan sekitarnya. Pelaksanaan manyanggar dilaksanakan dengan biaya swadaya masyarakat desa-desa, lembaga, organisasi local yang menyumbang berupa natura (beras, ikan, sayuran, gula, kopi, dan perlengkapan manyanggar lainnya yang dibutuhkan). Sedangkan biaya lainnya akan diperoleh dari para pihak baik Instansi pemerintah local, lembaga swadaya masyarakat, personil yang peduli atas pelaksanaan manyanggar ini.



Demikianlah gambaran umum penyelenggaraan upacara adat “MANYANGGAR” dilakukan, agar mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Diselenggarakan oleh: Petak Danum, ARPAG, SHI, Kelompok Pengrajin Rotan, Petani Karet, Koperasi Hinje Simpei, CSF, WALHI, FoEI.


Panitia Pelaksana “MANYANGGAR”

Penanggungjawab: MULIADI. SE

Sekretariat Kerja Panitia: Jl. Karuing No. 06 RT. III RW. XVI Kel.Selat Dalam Kec.Selat 73516

Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – INDONESIA Telpon/Fax: 0513-22352

Baca selengkapnya...

Jejak Samar Chico Mendes

Oleh Maria Hartiningsih

".. Hanya satu hal yang saya inginkan: kematian saya akan
menghentikan impunitas terhadap para pembunuh yang dilindungi oleh
Polisi Acre.. Seperti saya, para tokoh penyadap karet telah bekerja
menyelamatkan hutan hujan Amazon, dan membuktikan, kemajuan tanpa
penghancuran adalah mungkin."


Chico Mendes menyatakan hal itu dalam seminar mengenai Amazon yang
diselenggarakan di Universitas Sao Pablo, Brasil, tanggal 6 Desember
1988, atau setahun setelah ia berpidato pada Sidang Parlemen Acre.
Acre terletak di bagian timurlaut Brasil, di sebelah utara Negara
Bagian Amazonas, yang sebagian besar wilayahnya dilingkupi hutan hujan
Amazon. Negara bagian itu dikenal sebagai penghasil dan pengekspor
karet.

Hanya seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-44, Chico Mendes
ditembak mati kelompok yang menentang perjuangannya, di rumahnya di
Xapuri, petang, tanggal 22 Desember. Peristiwa itu menjadi headlines
di media terkemuka dunia, termasuk The New York Times. Kematiannya
adalah tragedi, sekaligus api yang menghidupi perjuangan para aktivis
lingkungan.

Inilah pernyataannya yang paling terkenal: "Awalnya saya kira
perjuangan saya hanyauntuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya
mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini,
saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan."

Berisiko
Isu hutan sangat penting baik secara politik maupun geostrategik.
Di banyak negara, tak hanya negara yang demokratis, wartawan dan
aktivis yang melakukan investigasi terkait dengan isu hutan dan
lingkungan berada di garis depan medan pertempuran baru. Ada daftar
panjang konflik antara wartawan dan aktivis dengan para penjahat
lingkungan.

Hutan hujan tropis seluas 6,7 juta kilometer persegi, yang 60-65
persennya berada di Brasil itu adalah separuh paru-paru dunia, "rumah"
ribuan spesies dan keragaman hayati yang sangat penting bagi
keberlanjutan kehidupan.

Amazon adalah sumber penghidupan sekitar 191,2 juta penduduk
Brasil, dan menghasilkan 8.295 dollar AS produk domestik bruto per
kapita per tahun-yang berarti masuk kelompok pendapatan menengah-pada
2008. Namun, hutan itu juga menyimpan sejarah perusakan yang panjang.
Seperti di banyak negara di mana kekuatan global berkawin dengan
pemerintahan diktator militer, dua dekade pemerintahan militer di
Brasil (1964-1985) telah membuahkan kebijakan yang menuju pada
penggundulan dan penghancuran hutan.

Menjelang tahun 1970, Presiden Emilio Medici mulai melakukan
pembangunan besar-besaran dengan membangun jalan raya Transamazonia
(BR 364) sepanjang 5.000 kilometer. Ia tidak peduli tanah itu subur,
dan menjadi tempat bermukim suku asli, orang sungai, para penyadap
karet dan mereka yang tinggal dan merawat hutan. Pembangunan itu
berdampak pada 96 suku di Acre. Diperkirakan 838 dari 1.000 anak
diAcre meninggal sebelum berusia setahun.

Penghancuran terus berlanjut "atas nama pembangunan", sampai
Presiden Luiz Inacio "Lula" da Silva bertekad menghentikan deforestasi
secara serius sejak lima tahun lalu. Namun, meski pertumbuhan ekonomi
mengesankan, kemiskinan di pedalaman belum banyak tersentuh. Gap kaya-
miskin belum terjembatani.

Isu panas
Isu hutan menjadi isu politik terpanas. Potensinya menyerap emisi
telah mereduksi hutan sebagai subyek dagang para saudagar karbon.
Pembahasan pengurangan emisi yang membahayakan kehidupan semakin
terkesan seperti negosiasi dagang di forum-forum internasional.

Padahal, hutan bukan sekadar bank karbon. Seperti diingatkan
Laporan Pembangunan Manusia tahun 2007, pasar karbon tak akan menekan
deforestasi. Banyak fungsi ekologis hutan yang tidak dapat dipasarkan.
Pasar tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman
hayati di Amazon Brasil, ataupun di berbagai hutan hujan tropis lain
di dunia. Harga nol selalu disetarakan dengan nilai nol, padahal harga
dan nilai adalah dua hal yang berbeda.

Ketidaksetaraan kekuatan politik adalah sumber deforestasi yang
tak bisa dikoreksi lewat pasar. Merangseknya pertanian dan peternakan
komersial, pembangunan infrastruktur, pembalakan, penambangan di hutan
Amazon senantiasa terkait pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran
serupa terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia. Semua mekanisme
perdagangan karbon hutan berpotensi memperbesar pelanggaran.

Perjalanan kami tak sampai Acre, bahkan menyentuh hutan pun tidak.
Akan tetapi, bayangan Chico Mendes sempat tertangkap, hilang dan
timbul, melalui catatan para aktivis yang berjuang menyelamatkan hutan
hujan, menyelamatkan kemanusiaan...

Baca Juga
Fokus tentang
Amazon

HAL 45-48

Baca selengkapnya...

Menyemai Perjuangan di Perkebunan

“Sebuah inisiatif perempuan melawan pemiskinan”
Oleh: Khalisah Khalid

“Entah, berapa babak mereka melakoni derita hidupnya disana, di perkebunan Pagilaran, lereng pegunungan Kemuylan, sebelah utara pegunungan Dieng. Derita itu berbabak-babak, dari generasi ke generasi, berubah pelakunya, namun tetap saja sama korbannya. Perempuan pemetik teh. Anak beranak perempuan menjadi buruh harian lepas, jika anaknya tidak mau meneruskan jejak orang tuanya, siap-siaplah untuk hengkang dari rumah yang ada di area perkebunan ini”. (Sya V)

Kolonialisasi Perkebunan
Penggalangan kalimat diatas, merupakan sebuah gambaran kecil dari cerita yang bisa kita sebut sebagai bentuk kolonialisasi perkebunan. Ini hanya sekelumit gambaran bagaimana nasib perempuan di perkebunan skala besar seperti perkebunan teh yang telah menjalani kehidupannya berbabak-babak dengan berbagai peristiwa, lapis-lapis kekerasan dan juga kemiskinan yang dialami sepanjang sejarah hidupnya yang artinya juga sepanjang sejarah perkebunan teh itu sendiri.

Buruh perkebunan teh secara turun temurun tetap menjadi buruh, tanpa jaminan hidup yang jelas dan jauh dari jangkauan perlindungan, yang sesungguhnya lebih mirip disebut dengan perbudakan. Kebanyakan buruh perempuan adalah buruh pemetik daun teh yang ditempatkan sebagai buruh harian lepas (BHL). Walau di beberapa tempat upah buruh baik laki-laki maupun perempuan sama, pada kenyataannya buruh laki-laki mendapatkan upah yang lebih banyak dari buruh perempuan karena system pembayaran upah pada buruh harian lepas didasarkan pada berat perkilo daun the yang berhasil di kumpulkan.

Di tempat yang lain, cerita nasib perempuan di perkebunan tidak jauh lebih baik yakni perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini menjadi salah satu primadona pembangunan kebijakan ekonomi yang berbasiskan pada industry ekstraktif dan industry kotor. Seperti kebanyakan lagu pembangunan, yang dijual adalah kesejahteraan bagi masyarakatnya. Berbagai permasalahan umum yang hadir pada setiap rantai produksi bahan bakar nabati terhadap komunitas lokal, diantaranya adalah: (1) meningkatnya beban kelola rumah tangga; (2) hilangnya sumber pangan akibat hilangnya lahan produktif pertanian; (3) meningkatnya biaya untuk pemenuhan kesehatan, energi dan air; (4) hilangnya sistem sosial dan budaya; dan lain sebagainya. Berbagai fakta penghancuran inilah yang menjadi indikator bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu basis produksi kotor yang diandalkan Indonesia, setelah industri tambang.

Dalam peristiwa kebanyakan yang bicara soal ekstraksi sumber daya alam, cerita perempuan menjadi sangat jauh dan seringkali kebijakan yang dipilih oleh pemerintah yang selalu bicara soal perluasan produksi, harga sawit, pasokan dan seterusnya yang tidak relevan dengan cerita kekerasan dan bentuk-bentuk pemiskinan yang dialami oleh perempuan yang hidup di sekitar perkebunan besar kelapa sawit.


Meskipun mungkin kurun waktunya tidak sepanjang perkebunan teh, apa yang terjadi pada perempuan yang tinggal di area perkebunan besar kelapa sawit juga tengah mengalami lapis kekerasan yang dialami oleh perempuan. Yang menghasilkan sebuah potret dari alur cerita penghancuran sumberdaya alam yang menciptakan sebuah rangkaian peristiwa yang menyebabkan terganggunya atau putusnya sumber-sumber kehidupan perempuan, terutama dari kelas sosial yang paling rendah. Dimana, peristiwa tersebut bisa berulang, berbabak-babak, berubah bentuk maupun pelaku.
Sejak perkebunan besar kelapa sawit masuk paling tidak sejak tahun 1985 di Kalimantan Barat, perempuan telah kehilangan akses dan kontrolnya terhadap tanah, dan menempatkan perempuan sebagai buruh di perkebunan sawit tanpa adanya perlindungan formal sebagai tenaga yang membuahi dan menyemprot dengan menggunakan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan perempuan.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri sawit yang memang diketahui mempengaruhi air sungai masyarakat setempat. Kondisi ini bukan tidak disadari oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh perempuan, tapi mereka tidak punya pilihan ekonomi lain untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Terlebih, perkebunan besar kelapa sawit secara struktural juga membangun sistem kapital yang mampu menciptakan perubahan pola konsumsi pada perempuan dan masyarakat yang dibangun sedemikian sistemik oleh pasar, sehingga mampu merubah persepsi atau pandangan perempuan terhadap kebutuhan hidupnya dan bahkan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.

Bentuk ketidakadilan yang lain adalah ketika perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok yang lemah dan tidak berdaya, dan mengabaikan semua pengalaman pribadi termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas, dan pengetahuan perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan.

Inisiatif Perempuan
Pemiskinan memang menjadi realitas yang begitu rupa telanjang bentuknya, bahkan ditengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Peristiwa pemiskinan dan penderitaan perempuan memang tidak akan habis untuk terus dibicarakan sampai bisa terwujudnya keadilan, namun yang juga menjadi penting untuk dicatat adalah bagaimana perempuan sebagai sebuah entitas dengan dirinya yang juga menjadi bagian penting dari komunitas dan negaranya telah melakukan berbagai inisiatif untuk melawan pemiskinan atau agar dapat mempertahkan kehidupannya, meskipun dengan kualitas hidup yang berada dibawah standar kesehatan sebagaimana yang termaktub dalam Konstitusi Negara.

Dalam temuan awal yang berjudul meretas jejak jejak kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, ditemui beberapa inisiatif yang dilakukan oleh perempuan menghadapi pemiskinan yang dialaminya. Inisiatif ini dibangun oleh perempuan di kawasan perkebunan yang biasanya didasari atas pengalaman dirinya, dan kemudian bisa disebut sebagai sebuah pengetahuan. Inisiatif ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi survival yang dilakukan oleh perempuan untuk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya yang terus menerus dimiskinkan.

Di beberapa daerah, dimana masyarakatnya berhadapan dengan ekspansi industry perkebunan sawit skala besar seperti di Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Riau, perempuan yang menjadi korban dampak perkebunan sawit terlibat dalam perjuangan advokasi bersama dengan masyarakat yang lainnya untuk merebut kembali akses dan control terhadap sumber-sumber kehidupannya. Namun sering kali inisiatif perjuangan ini, dihadapkan pada upaya kriminalisasi dari pengurus negara dan perusahaan seperti yang dialami oleh ibu Nursiah di Sumatera Selatan. Di Sanggau, meskipun belum menjadi pemimpin organisasi, perempuan justru menjadi penggerak kelompok perempuan dan masyarakat di kampungnya seperti yang dilakukan oleh ibu Rini.

Pengalaman perempuan di perkebunan sawit di Sanggau Kalimantan Barat yang dilakukan dengan mencari pendapatan tambahan untuk keluarganya bahkan pekerjaan perempuan tersebut justru menjadi sumber pendapatan yang menopang keberlanjutan hidup keluarga. Bagi perempuan yang tidak memiliki lahan, biasanya perempuan bekerja menjadi berondol sawit, dan perempuan petani biasanya mereka alih profesi menjadi penoreh karet di kebun orang lain atau menjadi buruh tani.
Berdasarkan pengalaman buruk dengan perusahaan sawit, membuat mereka berpikir panjang untuk menyerahkan tanahnya. Kini, perempuan disana juga menanam jenis tanaman lain di tanahnya seperti jeruk yang juga bisa memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga.

Hal lain yang menjadi inisiatif perjuangan perempuan selain dengan cara merebut akses dan control terhadap kekayaan alam, juga dilakukan dengan membangun organisasi atau kelembagaan. Organisasi dan kelembagaan yang dimaksudkan disini bukan hanya bergabung dengan organisasi rakyat atau organisasi yang terlembagakan secara struktural, aktivitas ritual keseharian dua perempuan, dan beragam bentuk solidaritas antar perempuan (sederhana apapun) merupakan bagian dari kelembagaan perempuan sebagai bagian dari cara bertahan hidup perempuan ditengah krisis. Seperti perempuan berondol yang didalam aktifitasnya secara bersama-sama atau berkelompok setiap harinya untuk membicarakan berbagai permasalahan kehidupan yang dialami oleh perempuan, terlebih perempuan berondol sawit dihadapkan pada resiko kekerasan lain, seperti ancaman ditangkap oleh mandor-mandor perkebunan karena memungut buah sawit yang jatuh dianggap sama dengan mencuri.

Inisiatif-inisiatif (baca, strategi surviva) perempuan yang dilakukan mungkin jauh dari harapan untuk membuat hidup mereka sejahtera, namun yang pasti inisiatif ini merupakan cara mereka bertahan hidup ditengah absennya pengurus negara didalam memenuhi hak-hak dasar warganya.

Bagian gerakan social, menjadi penting untuk tidak hanya mengkampanyekan nasib-nasib ketertindasan perempuan, namun juga terus mempromosikan inisiatif-inisiatif perempuan yang selama ini telah dilakukan sebagai sebuah “iuran” besar warga negara yang harusnya diakui.

Baca selengkapnya...

Tiga Hari Itu

Oleh: Khalisah Khalid

Aku hampir lupa, kalau kesehatanku belum pulih benar. Rasa senang memuncak begitu menginjak kaki di Banda Aceh untuk ketiga kalinya. Sambil menyusuri jalan, terlintas kopi Aceh yang begitu masyhur nikmatnya, bertambah lezat bila ditemani kue timpan yang sangat kusuka. Aaaah, sayangnya aku belum bisa menikmatinya sesegera mungkin. Semoga Aceh menjadi obat, paling tidak dalam tiga hari ini. Begitu harapku dalam bisik sambil memasuki penginapan yang berada di daerah Neusu.


Selain bahagia bisa kembali ke Banda Aceh walaupun hanya tiga hari, yang lainnya karena aku dipertemukan dengan sekitar 20 orang perempuan luar biasa dan 1 orang lelaki yang bertahan berada diantara kumpulan perempuan. Jarang loh ada lelaki yang mau bergabung belajar dengan kelompok perempuan, tanpa ada rasa diskriminasi dan juga dominasi.

Bagaimana tidak hebat, 20 orang perempuan ini mencurahkan hidup dan waktunya untuk pemajuan hak asasi manusia termasuk hak atas lingkungan di desanya masing-masing. Maklumlah, kebanyakan ibu-ibu yang usianya diatas saya dan beberapa ada yang lebih muda dari saya merupakan paralegal dan fasilitator di desanya masing-masing. Saya sangat yakin, proses membangun ini tidak segampang membalik telapak tangan, dan perempuan-perempuan yang hadir disini telah menunjukkan bagaimana perempuan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang begitu istimewa dan berbeda, dan itu merupakan bagian dari kerja keras Solidaritas Perempuan Aceh.

3 hari ini kami melalui proses belajar bersama, aku asik menyimak bagaimana ibu-ibu mulai berdiskusi dan berdebat seru tentang peran gender yang mereka alami dalam kehidupannya sehari-hari. Bu Maryati misalnya, dia menceritakan kepada kita semua bahwa di keluarganya ada hari ayah. Waw, satu hari di setiap hari Jum’at, semua pekerjaan rumah tangga dilakoni oleh sang ayah. Senang bukan??? Tidak sampai disitu, ibu yang ceria ini juga telah menanamkan pembagian peran gender kepada anak-anaknya, termasuk anak laki-lakinya yang mulai dikenalkan dengan pekerjaan rumah seperti mencuci dan memasak.

Nah, hal lain diungkapkan oleh kak Uti. Kakak yang heboh kalau bicara ini, menceritakan perasaannya yang malu sekali jika suaminya mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. “Apa nanti kata tetangga”, itu alasan singkatnya. Meskipun dia memahami bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak berjenis kelamin, bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Yang menarik awal proses belajar kami ini, paling tidak bagi saya semakin memperjelas bahwa memang peran gender, termasuk relasi didalamnya dipengaruhi dengan sangat kuat oleh sebuah system social dan budaya yang ada dalam masyarakat, termasuk agama didalamnya.

Sebenarnya diskusi masih berlangsung “panas”, namun waktu telah beranjak naik dan kini waktunya bagiku untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman advokasi yang selama ini aku lakukan. Meskipun aku bukan ahli hukum, materi belajar kami kali ini mengupas tentang hukum dan hak atas lingkungan. Aku ingat apa yang dikatakan oleh salah satu peserta, bahwa selama ini justru hukum yang membuat masyarakat tidak berdaya.

Belajar kita dimulai dengan mengulik kasus demi kasus yang dihadapi oleh peserta di masing-masing desanya dalam sebuah diskusi kelompok, mulai dari berhadapan dengan industri semen yang bernama PT. SAI dan turunan masalahnya seperti pembangunan PLTU untuk kepentingan pelanggengan bisnisnya, hingga berhadapan dengan pemilik usaha perabot. Satu demi satu peserta mengurai apa yang terjadi dan dialami oleh masyarakat dan bagaimana pilihan-pilihan yang telah dilakukan oleh paralegal ini bersama dengan komunitasnya.

Disinilah saya mulai masuk untuk menyampaikan informasi yang selama ini selalu diputar-balikkan untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak sesekali bersentuhan dengan hukum, jika tidak mau berhadapan dengan aparat hukum. Padahal hakikat kebaradaan hukum adalah sebagai alat untuk mencapai nilai keadilan dan memanfaatkan hukum untuk memperkuat posisi tawar mereka dan sebagai alat untuk mempertahankan dan melindungi serta mendorong dipenuhinya hak-hak asasi masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi dalam berbangsa. Peserta disini sudah mengerti isi Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara keseluruhan. selama ini, UUD 1945 juga belum digunakan sebagai pijakan untuk melihat sejauhamana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerahnya bertentangan atau sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan produk hukum yang lebih tinggi.

Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kerusakan lingkungan hidup telah mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia dan penurunan kualitas hidup manusia, mungkin itu salah satu alasan mengapa hak atas lingkungan juga menjadi salah satu materi yang menarik untuk didiskusikan. Kami pun mulai saling berbagi cerita, ibu-ibu ini sedikit banyak telah mengetahui bagaimana pentingnya arti lingkungan hidup, meskipun diakui bahwa urusan perut menjadi kebutuhan yang lebih utama. Makanya ada diantara keluarga mereka yang bekerja mencari nafkah di PT. SAI, yang ibu-ibu juga telah ketahui telah mencemari lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan mereka seperti pertanian.

Diantara peserta ada yang merasa bahwa diantara paralegal ini belum melakukan apa-apa, tapi ada juga yang mengatakan bahwa meskipun sedikit dan kecil, paralegal ini telah berjuang meskipun belum maksimal hasilnya. Dari sinilah aku mulai mengenalkan strategi dan pernak-pernik advokasi dan komunikasi, sebagai salah satu keahlian yang akan sangat baik jika dimiliki oleh seorang paralegal lingkungan.
Kami mencoba “berkomunikasi” dengan sebuah permainan singkat, bisik kata. Meskipun permainan ini sederhana, ternyata ada juga kelompok yang salah menyebutkan sesuai permintaan fasilitator. Kami tertawa terbahak-bahak ketika kelompok tiga salah menyebutkan kata, dari kata hak lingkungan, menjadi hai lingkungan.....

Dari permainan singkat ini kami dapat mengambil pembelajaran, bahwa meskipun setiap hari dilakukan, berkomunikasi tidak semudah yang kita bayangkan. Karena itulah strategi komunikasi menjadi penting untuk diketahui oleh seorang paralegal, dan kata-kata kepercayaan menjadi keharusan dalam kerja-kerja advokasi, apalagi bagi seorang paralegal atau fasilitator desa yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dengan segala dinamikanya.

“Takut di-Pritakan, mbak”, yang lain menyahut “takut seperti pak Munir, mbak”, itu ungkapan dari ibu-ibu yang tidak lepas membayangi mereka, ketika mereka harus berhadapan dengan kerja-kerja advokasi di lapangan. Manusiawi dan bahkan teramat sangat manusiawi, apalagi bagi perempuan-perempuan yang daerahnya baru lepas dari operasi militer seperti di Aceh.

Menggunakan hukum sebagai alat perjuangan memang seperti berjalan di hutan belantara, karena hukum di Indonesia masih korup, tidak independen dan belum berpihak kepada keadilan bagi rakyat miskin. Namun bagaimanapun situasinya, masyarakat harus tetap mengerti tentang hukum termasuk bagaimana membedakan antara hukum pidana dan perdata. Yang terpenting tidak takut lagi dengan kata-kata hukum dan bahkan menggunakan instrument hukum untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.

Kak Khairani, yang memang jago di bidang hukum mengajak kita semua untuk mulai belajar mengelompokkan criteria hukum pidana dan perdata. Lagi-lagi saya terkagum-kagum, dengan pemaparan ibu-ibu di depan kelas selepas membedah kasus di desanya masing-masing. Wuih, ibu-ibu ini sudah bisa mengidentifikasi kasus-kasus mereka berdasarkan kriteria hukum perdata dan pidana, meskipun mereka bukan ahli hukum.
Bukan itu saja, termasuk pada strategi atau pilihan apakah akan menggunakan jalur hukum atau diluar jalur hukum seperti lobby, mediasi dan lain-lain. Apalagi saya percaya bahwa pada dasarnya perempuan merupakan seorang pelobby yang ulung, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman melakukan lobby dalam kesehariannya.

Lewat bermain peran, peserta ini mulai mempraktekkan bagaimana melakukan lobby-lobby dengan para actor-aktor yang dianggap penting untuk dipengaruhi dalam kasus-kasus yang terjadi di desanya, mulai dari pak Keucik sampai Bupati. Meskipun hanya bermain peran, peserta mencoba untuk mendalami karakter aktor-aktor yang mau dipengaruhi. Sekali-dua kali-tiga sampai empat kali, hampir semua peserta kebagian peran dan belajar bagaimana cara melobby.

“We are the best”, itu teriakan kami bersama setelah kita semua sukses belaajar bagaimana proses melobby. Tentu tidak berhenti hanya sampai disini, karena semua yang dipelajari akan dipraktekkan secara langsung di desanya. Paling tidak, pertemuan ini sudah berhasil merancang kerja-kerja yang akan dilakukan secara realistis.

Jam 17.30, pesawatku meninggalkan Banda Aceh. Meskipun terlalu cepat berada di Banda Aceh, paling tidak dalam tiga hari ini aku bisa berada diantara perempuan-perempuan hebat sampai doa dan harap mengakhiri perjumpaan kami. Semoga perjuangan membela hak-hak masyarakat dan hak perempuan ini dapat menuai keberhasilan, dan kami masih bisa terus belajar bersama.

Aaaah,perempuan memang punya segudang pengetahuan dan pengalaman berjuang mempertahankan kehidupannya. Sayangnya, inilah yang tidak pernah dilihat dan diakui oleh negara dan komunita social lainnya. Selain hanya melulu menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak berdaya.

Baca selengkapnya...