Potret dan Fakta Krisis Perempuan Nelayan

Perempuan nelayan, identitas dirinya dihilangkan dan dianggap tidak ada karena nelayan selalu diidentikkan dengan laki-laki yang mencari hasil-hasil kekayaan di laut lepas. Marginalisasi terhadap perempuan nelayan, bahkan dimulai sejak identitas dirinya dan pengalaman hidupnya dalam mengelola sumber-sumber kehidupan diabaikan. Pengelolaan sumber-sumber kehidupan di pesisir dan laut, bahkan telah menjauhkan pengalaman perempuan nelayan sebagai sebuah pengetahuan. Perempuan nelayan bisa berdaulat, jika sudah ada perubahan relasi sosial dan relasi gender yang adil. Penelitian yang dilakukan oleh Bibik Nurudduja terkait perjuangan perempuan nelayan Morodemak Jawa Tengah, menyajikan semua cerita potret dan fakta krisis yang dialami perempuan nelayan, dan bagaimana perjuangan perempuan nelayan sebagai bagian dari daya survivenya bagi masyarakat nelayan di kampungnya, dan bagaimana relasi perempuan nelayan diluar dirinya baik terhadap sesama perempuan maupun komunitasnya. baca selengkapnya hasil penelitiannya di www.kiara.or.id

Baca selengkapnya...

Menakar Kedaulatan Pangan Indonesia

Menakar Kedaulatan Pangan Indonesia
oleh : Khalisah Khalid

  • Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

    Kedaulatan Indonesia berawal dari kedaulatan pangan. Harapan ini tampaknya sangat masuk akal disampaikan oleh sebuah negara agraris dalam peringatan Hari Pangan, yang jatuh pada 16 Oktober setiap tahun. Namun, menjadi jauh panggang dari api karena dengan sengaja pengurus negara menggunakan pilihan politiknya untuk terus-menerus menciptakan krisis di negeri ini, yang produksi pangannya bergantung pada industri pertanian trans-nasional dan multi-nasional, dan menempatkan pangan sebagai komoditas untuk mengumpulkan akumulasi modal. Padahal, sejatinya, pangan adalah hak dasar rakyat yang penguasaan dan pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.


    Krisis pangan memang tak hanya melanda Indonesia, tapi juga negara miskin dan berkembang lainnya yang bersandar pada kekuatan ekonomi pasar bebas, yang dimainkan oleh World Trade Organization (WTO), yang mengendalikan pasar dan memaksa Indonesia tunduk dan patuh pada agenda liberalisasi di sektor pertanian. Krisis pangan global memperlihatkan begitu lemah dan tidak berdayanya negara melindungi kebutuhan dasar rakyatnya.

    Kondisi krisis keuangan dan ekonomi global yang terjadi saat ini diprediksi juga akan membuat Indonesia menempuh kekeliruan politik yang sama. Paling tidak, ini terungkap dalam diskusi "Krisis Keuangan Amerika Serikat dan Dampaknya terhadap Indonesia" (Jumat, 11 Oktober 2008) oleh gerakan civil society di Jakarta bahwa pemerintah akan menggelontorkan dana sekitar Rp 130 triliun yang diperuntukkan bagi perbankan dan sektor keuangan, sementara 67 persen uang yang beredar di Indonesia ada di pasar asing. Itu artinya, ketika krisis ekonomi global terjadi, yang diselamatkan pertama oleh pengurus negara adalah modal, dan lagi-lagi yang diuntungkan dalam krisis ini adalah pasar. Pemerintah tidak memprioritaskan anggaran Rp 130 triliun tersebut untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti petani, nelayan, buruh, dan kaum miskin kota, yang selalu menjadi korban pertama dalam setiap cerita krisis global yang terjadi dan berpengaruh dalam kehidupannya sehari-hari.

    Sepuluh langkah (baca: perintah) yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merespons krisis keuangan global, di mana salah satunya berisi seruan untuk menggunakan produk dalam negeri, semakin memperlihatkan dangkalnya pemahaman SBY terhadap krisis yang dialami oleh rakyat, khususnya petani sebagai penyedia pangan negeri ini. SBY mungkin lupa bahwa sumber pangan kita diimpor dari luar. Masih ingatkah ketika tempe hilang dari peredaran akibat ketergantungan Indonesia pada kedelai, yang 60 persen dari Amerika Serikat dan 85 persennya berasal dari transgenik. Akibatnya, ketika Amerika Serikat memprioritaskan pertaniannya untuk pemenuhan bahan bakar biofuel, yang terjadi adalah kerentanan di Indonesia. Sebuah konsekuensi logis atas ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor.

    Dalam lembar fakta yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dinyatakan bahwa krisis finansial dan ekonomi global, serta situasi ekonomi, semakin buruk dan memojokkan mereka, sehingga mereka terdorong melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pertanian berkelanjutan. Salah satu gambarannya adalah dengan memaksakan produktivitas tinggi menggunakan pupuk kimia dan pestisida, yang kemudian menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lahan, lalu mereka semakin terdorong untuk menjual lahannya. Perbandingan nilai tukar lahan antara sebagai pertanian dan sektor lain sungguh tidak seimbang, sehingga tidak ada penahan untuk setia pada pertanian.

    Revolusi hijau
    Rezim SBY-JK bukan tidak mengetahui bahwa Indonesia berada dalam cengkeraman krisis pangan. Paling tidak, kondisi ini tergambar dalam pernyataan Presiden SBY dalam forum pertemuan G-8 di Hokkaido, Jepang. Revolusi Hijau Jilid Kedua adalah agenda yang ditawarkan kepada negara-negara maju tersebut, karena Revolusi Hijau Jilid pertama, yang digulirkan pada 1960, dinilai berjalan dengan sukses. Revolusi Hijau Jilid Kedua diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pangan Indonesia, jika dilakukan dengan investasi yang masif dan kerja sama yang aktif dalam tingkatan global.

    Pernyataan yang disampaikan dalam pidato Presiden ini menjelaskan kepada kita bahwa agenda alternatif yang diusulkan oleh pemerintah tersebut ahistoris, dan menandakan SBY-JK tidak paham dengan krisis pangan yang dialami Indonesia. Agenda alternatif ini sekaligus menandakan bahwa Indonesia akan semakin memperlebar pintu liberalisasi pertanian dan industrialisasi pangan yang akan dikendalikan oleh pasar internasional.

    SBY tidak mengerti bahwa krisis pangan global dan khususnya di Indonesia disebabkan oleh kebijakan ekonomi global melalui mekanisme perdagangan internasional, dan kebijakan penguasaan lahan yang diprioritaskan bagi kepentingan modal, dengan mengkonversi lahan-lahan pertanian untuk membuka perkebunan sawit skala besar. Di Sumatera dan Kalimantan, perluasan perkebunan sawit mencapai 3 juta hektare untuk pengembangan agrofuel. Serta menyulap lahan pertanian untuk ekstraksi industri tambang yang memiliki daya rusak yang tinggi. Padahal Departemen Pertanian menyebutkan, kebutuhan terhadap beras Indonesia mencapai 40,182 juta ton pada 2018.

    Undang-undang sektoral, seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, menjadi alat legitimasi yang paling ampuh bagi pemilik untuk mengambil tanah rakyat. Bagi petani, tanah merupakan aset terpenting bagi kegiatan pertaniannya. Sayangnya, pemerintah lalai dalam hal ini. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata lahan kepemilikan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektare. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri atau jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.

    Langkah politik
    Sekali lagi, kebijakan politik pengurus negara sangat menentukan apakah Indonesia akan keluar dari krisis pangan ini dan membawa negeri ini pada kedaulatan yang hakiki. Pemerintah seharusnya berani mengeluarkan sikap politik dan langkah-langkah politik yang penting dan mendesak. Krisis ekonomi dan keuangan saat ini bisa dijadikan sebagai momentum politik untuk mengeluarkan kebijakan yang strategis di bidang pangan dan pertanian. Reformasi agraria merupakan salah satu jalan menuju kedaulatan pangan, dengan meletakkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi, dan tata konsumsi kepada pemangku kepentingan terbesar, yakni rakyat Indonesia.



    sumber: Koran Tempo


    Baca selengkapnya...
  • Sya .... (I)

    Sya ….

    Aku sedang berada didalam kereta menuju kota Den Haag, detik-detik kecepatannya semakin membawaku jauh diambang batas khayalan yang selalu menjadi teman dimasa remajaku. Dulu aku selalu marajuk, mengapa ibu belum juga membelikanku bra dengan renda yang lucu-lucu, padahal hampir semua temanku sudah memakai bra dengan beraneka warna. Aku juga selalu bertanya kepada ibu, mengapa aku belum juga mendapatkan datang bulan sebagai tanda kalau aku sudah beranjak remaja, dan boleh mulai pacaran tentu saja.

    Ah,…. Hampir saja ibu menjawab. Tapi rem kereta segera mengembalikan waktuku tepat disini. Kala dingin mulai menyingkap perlahan-lahan, merayapi seluruh badanku hingga ke sum-sumnya. “Seperti di Lembang”, begitu bisikku pada teman lelaki yang menjemputku. Dia hanya tersenyum melihat kepolosanku yang baru menapak di bumi Eropa.

    “Eropa euy”….. setengah mati girangnya aku begitu keluar dari stasiun Holland Spoor, sama persis begitu girangnya ketika aku pertama kali aku mendapati rok sekolahku ternoda darah. “Yes, ibu………..” setengah berteriak aku berlari menghampiri ibuku. “aku menstruasi, aku sudah besar dan artinya sudah boleh pacarankan?” bisikku setengah memohon. Apalagi aku ingat cerita ibu, yang dinikahi ayahku diwaktu umurnya belum lagi genap 15 tahun.

    Akhirnya aku memiliki cerita yang sama dengan teman-teman sebayaku, meskipun aku mendapatinya diumur 17 tahun. Terlambat ya, ah… tapi enggak pa-palah. Kata ibu, biar terlambat, yang penting aku sudah merasakan menjadi perempuan setengah sempurna. Kenapa cuma setengah? Protesku kepada ibu. “Ya…. Setengah, karena setengah lagi bisa kamu dapatkan jika kamu sudah menikah dan melahirkan”.

    “Susah banget jadi perempuan ya”? “Apa teman lelakiku juga begitu?” Pasti enggaklah ya, mereka tidak akan pernah menjadi laki-laki yang sempurna, karena mereka tidak akan bisa melahirkan bukan?? Bisikku dalam hati dengan senangnya.

    Sya .....

    Dingin semakin kuat memenjaraku aku dalam jaket tebal ini, padahal salju belum lagi turun di awal September ini. Teh hangat secepat kilat kuteguk habis dalam sekejap, seperti jamu yang secara rutin harus aku minum setiap hari, untuk menghilangkan rasa sakit yang teramat sangat dikala jadwal menstruasiku tiba. Rasa gembira tiba-tiba berubah menjadi rasa benci dan sekarang aku malah membenci diriku sebagai perempuan, dan setiap kali menstruasi, aku selalu merengek pada ibu untuk mengganti vaginaku dengan penis. Belum lagi rasa mual yang hampir terlalu sering menguras isi perutku, hingga rasanya makanan menjadi duri sembilu yang menyayat-nyayat lambung dan ulu hatiku.

    Ibu pasti begitu repot, sama repotnya dengan teman-temanku yang sempat berpikir bahwa tuntutan cuti haidh itu tuntutan kegenitan dari aktifis perempuan, karena selama ini kawan-kawanku tidak pernah punya pengalaman melihat istri atau teman perempuannya mengalami penderitaan seperti ini, beberapa kali pingsan saking tidak kuatnya menahan rasa sakit. Dokter bilang ada kelainan pada saluran vaginaku, dan terakhir dokter bilang ada kista di rahimku.

    Syit, sungguh Sya.... aku nggak peduli meskipun dokter bilang aku sulit punya anak. Aku cuma mau rasa sakit itu pergi jauh-jauh, karena itulah aku rela harus meminum obat yang rasanya seperti empedu saja.

    Baca selengkapnya...