Serdadu dan Konflik Sumber Daya Alam

Oleh: Khalisah Khalid

Pengantar
Salah satu penyebab dari konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia adalah ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.

Pada abad ke-19, raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah pulau Jawa kepada VOC, maka hutan-hutan di pulaiu Jawa menjadi hak milik VOC atau raja Mataram. Hal ini antara lain dapat disimpulkan berdasarkan plakat 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.

Paska kemerdekaan, pemerintah berupaya melakukan penataan ulang atas sumber-sumber agrarian dengan mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah suatu produk perundang-undangan yang dibuat untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta untuk menghapuskan segala bentuk sisa-sisa feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.

Sayangnya, sebelum UUPA dilaksanakan, Indonesia mengalami pergolakan politik yang panas dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 yang diwarnai berbagai bentuk kekerasan dimana militer menjadi bagian dari cerita ini. Ada beberapa pihak yang menilai bahwa peristiwa 30 september tidak bisa dilepaskan dari actor-aktor eksternal salah satunya intervensi asing yang memiliki kepentingan ekonomi. Ini ditandai dengan keluarnya UU Penanaman Modal Asing dua tahun paska peristiwa 30 September 1965.

Meskipun dalam catatan sejarah kolonialisasi di Indonesia kita dapat membaca bahwa penggunaan kekuatan militer telah terjadi untuk membackup penjarahan sumber daya alam, faktanya kini penggunaan militer (isme) tetap digunakan. Tulisan ini ingin melihat sejauhmana peran atau keterlibatan militer (TNI/POLRI) dan watak militeristik yang dilakukan oleh organ sipil dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Tulisan ini juga hendak melihat bagaimana situasi dan kondisi perempuan dalam menghadapi militer(isme) dalam setiap konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup yang selama ini masih minim menjadi perhatian banyak pihak baik institusi negara maupun gerakan masyarakat sipil.

Pengaman Modal
Konflik agraria dan sumber daya alam selalu bermula dari adanya ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan terhadap sumber-sumber agraria dan SDA yang selalu dikuasai oleh elit baik di masa kerajaan, penjajahan, hingga paska reformasi saat ini.

Hak menguasai negara (HMN) yang terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 ditafsirkan berbeda oleh orde baru dengan “semuanya milik negara” hingga penguasaan kolektif masyarakat adatpun dianggap tidak ada. Orde baru membagi-bagi sumber-sumber agraria kepada kelompok-kelompok yang dikehendaki dapat mendukung kekuasannya, utamanya kepada pemilik modal asing. Kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dari pasal 33 tersebut, tidak pernah dihitung. Jangankan kesejahteraan, justru rakyat sering kali dihadapkan sebagai “musuh” negara ketika mempertanyakan hak-haknya.

Dalam praktek semasa Orde Baru, kedudukan Negara yang dominan dalam perundang-undangan, terbukti telah dimanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu serta untuk menikmati hasilnya. Undang-Undang dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, justru menjadi alat legitimasi bagi negara untuk menjual sumber daya alamnya, tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada ketamakan dan kekerasan. Di masa orde baru, kekerasan dan korupsi menjadi pintu masuk dalam setiap investasi di Indonesia.

Karena semua cabang-cabang produksi dianggap milik negara, maka negara menggunakan seluruh perangkat dan kekuatannya untuk mengamankan investasi dan pembangunan, dengan jargon stabilitas ekonomi dan keamanan nasional yakni aparat keamanan yang terdiri dari TNI dan Kepolisian. Aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian digunakan oleh pemerintah dan atau pemilik untuk menggusur, merebut lahan masyarakat pada saat eksplorasi dan eksploitasi akan dimulai.

Di beberapa kasus, aparat keamanan terlibat dalam proses pembebasan lahan masyarakat agar masyarakat mau menjual tanahnya dengan harga yang sangat rendah. Jika tidak mau menjual tanah dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah dan korporasi, tidak segan-segan aparat keamanan melakukan ancaman untuk mengintimidasi warga. seperti yang dialami dalam kasus antara masyarakat dengan PT. Adaro dimana yang melibatkan aparat militer didalam proses ganti rugi lahan warga yang telah ditanami pohon karet. Pola ganti rugi yang melibatkan militer membuat warga tidak berdaya dan akhirnya menyerahkan tanah mereka diganti rugi dengan harga yang sangat rendah. Kepentingan umum, kepentingan pembangunan, kepentingan nasional selalu menjadi alasan pembenar bagi negara untuk “merampas” tanah warga. Kepres No, 55 tahun 1993 atau kini Perpres 65/ tahun 200 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum menjadi senjata sakti untuk memaksa warga melepas tanahnya dengan harga yang murah.
Aparat keamanan juga dipasang untuk menghadapi berbagai tindakan “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat terhadap industry atau investasi di wilayah mereka, sehingga yang justru acap kali berhadapan adalah rakyat dengan aparat keamanan. Rakyat yang kritis atau menolak industry masuk di wilayahnya, akan dikelompokkan sebagai pihak yang melawan kebijakan negara. Aksi-aksi unjuk rasa dihadapi dengan penangkapan, penembakan, kriminalisasi dan intimidasi.

Kondisi inilah yang menyebabkan konflik agraria dan sumber daya alam antara korporasi yang ditopang oleh institusi negara dengan rakyat terus meningkat dari hari ke hari, dan bahkan di beberapa wilayah stabilitas keamanan bagi investasi menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, nelayan dan kelompok rakyat yang selama ini memperjuangkan hak-hak atas sumber kehidupannya.

Bisnis dan Tali Temali Pelanggaran HAM
Selain menempatkan aparat keamanan sebagai “penjaga” modal dan kebijakan negara, ada peran atau keterlibatan lain yang dinilai berkontribusi besar bagi langgengnya praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan agraria dan sumber daya alam. Apalagi kalau bukan bisnis yang berada dibalik berputarnya roda investasi sumber daya alam, baik yang dilakukan secara institusional maupun non institusional.

Di masa orde baru, militer “dikaryakan” sosial, ekonomi dan politik sebagai pilar penjaga kestabilan pembangunan. Militer tidak hanya dikaryakan oleh pemerintah, tetapi juga pemilik modal. Praktek bisnis militer tidak hanya terjadi pada sector pengamanan modal tapi juga ikut aktif ikut serta sebagai pelaksana bisnis. Segala fasilitas, asset militer (tanah milik negara yang diperuntukkan bagi tiap angkatan) dijadikan modal dan infrastruktur pendukung bisnis.

Intensitas militer terlibat dalam konflik agraria erat kaitannya dengan aktivitas bisnis militer di lapangan agraria. Dimulai ketika militer ikut terlibat mengurus perkebunan ex Belanda yang di nasionalisasi. Jendral AH.Nasution sebagai kepala angkatan perang RI memerintahkan wakil direktur perkebunan dijabat oleh Tentara yang ditunjuk olehnya. Sejak saat itulah militer, terutama angkatan darat terlibat aktif mengelola perkebunan dan pertambangan.

Langgengnya bisnis militer di lapangan agraria seolah menjadi kesepakatan tak tertulis antar petinggi militer dan pimpinan nasional. Ketidaksanggupan negara membiayai anggaran militer menjadi legitimasi serdadu berkebun sawit, yayasan milik ABRI berbisnis tambang, dan kaum berseragam coklat menjadi raja hutan. (Danang Widyoko,dkk).

Nampaknya, inilah yang melanggengkan praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam cerita pengelolaan agrarian dan sumber daya alam. Dimana bisnis militer saling terkait erat dengan watak dan praktek kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan pembangunan (baca: modal) dan stabilitas keamanan negara dimana ladang-ladang investasi dianggap sebagai objek-objek vital nasional yang harus diamankan oleh aparat keamanan bahkan dengan dalih operasi militer. bisnis angkatan dan penggunaan asset militer untuk bisnis baik yang legal maupun illegal.
Setidaknya ada Sampai dengan tahun 2003 misalnya, tercatat nama 16 perusahaan yang termasuk dalam kategori objek vital dan mendapat pengamanan aparat TNI. Ke 16 perusahaan tersebut adalah PT Arun LNG, PT Exxonmobil Oil, PLTA Sigura-gura, PT Inalum, PT Caltex Dumai, Kilang minyak Plaju dan Gerong, PLTU Suralaya, PT Dirgantara Indonesia, Kilang Minyak Cilacap, PLTU Paiton, PLTU Petrokimia Gresik, PT Badak LNG Bontang, PT Vico Muara Badak, Unocal Sangata dan PT UP V Pertamina Balikpapan, PT Nikel Soroako, PT Freeport Tembagapura, dan PT Puspitek Serpong.
TNI membangun 100-150 pos-pos militer disekitar perusahaan yang rata-rata dijaga oleh 25-50 personil. Per-hari, diperkirakan Exxonmobil menghabiskan dana sekitar Rp 33,75 juta sampai dengan Rp. 127,5 juta. Artinya, dalam setahun militer bisa mendapatkan uang jasa sekitar Rp 12,15 milyar sampai dengan Rp 45,9 miliyar. Bayangkan, begitu besarnya bisnis militer di bidang pengamanan korporasi yang berkedok objek vital negara.

Sebuah laporan yang diterbitkan Global Witness menyebutkan TNI sepanjang tahun 2001-2003 telah menerima uang keamanan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., perusahaan pertambangan yang berbasis di New Orleans, AS untuk jasa pengamanan pertambangan mereka di Papua. Belum termasuk pengeluaran bagi pejabat militer seperti kepada Mayor Jenderal Mahidin Simbolon selaku Panglima Kodam VIII Trikora.
Kucuran dana tersebut selain melanggar hukum Indonesia, juga menimbulkan pertanyaan besar atas independensi TNI dan kepolisian dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. Apalagi, ketika juga diakui oleh petinggi militer bahwa pasukan TNI digaji langsung oleh korporasi transnasional tersebut.

Tidak segan-segan, cap separatis, pemberontak dan label-label negative lainnya dilekatkan kepada masyarakat yang dianggap mengganggu kepentingan korporasi dan negara, dengan demikian, operasi militer menjadi legal untuk dilakukan seperti yang terjadi di Papua dan Aceh. Ini menjadi praktek nyata, bahwa operasi militer dimanapun, motif utamanya adalah kepentingan ekonomi.

Hal yang sama terjadi di Poso Sulawesi Tengah, konflik yang terjadi disana, diindikasikan kuat tidak lepas dari kepentingan ekspansi modal, Dimana Sejak pertengahan 1990-an, PT Inco, anak perusahaan Inco Ltd asal Kanada, sudah bernafsu mengeksploitasi biji nikel laterit di Bungku, wilayah Poso yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali sejak 2000. Tahun 1998, menjelang pecah kekerasan Poso, PT Mandar Uli Mineral, anak perusahaan Rio Tinto, korporasi transnasional Anglo-Australia, juga mengantongi kontrak karya untuk menambang emas di atas wilayah sekitar 550.000 hektar, di mana sebagian besar arealnya termasuk wilayah Kabupaten Poso. Masih banyak lagi modal yang masuk dan mendompleng dengan konflik berdarahnya, dan akhirnya berbagai kasus perampasan tanah terhadap petani beralih isunya menjadi konflik antar etnis dan agama.

Aparat militer juga bermain dengan bisnis pembacking-an kegiatan tambang illegal misalnya sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan yang melibatkan sebuah koperasi militer untuk menyediakan keamanan guna memperlancar kegiatannya dengan para penambang illegal di area konsesi tersebut. Misalnya kegiatan pengamanan para penambang illegal di Pongkor Jawa Barat. TNI diduga menjadi backing para penambang liar.

Bisnis militer di wilayah operasi pertambangan Trans-Nasional khususnya tambang emas, minyak, gas dan nikel yang mendapatkan Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia untuk membangun imperiumnya sendiri dan seperti ada negara didalam negara, seperti mendapatkan keistimewaan lebih melalui private business yang dijalankan oleh militer. Industry tambang Berbeda dengan tambang batubara dan perkebunan yang kebanyakan dijaga oleh aparat kepolisian, yang tidak “serapih” bisnis militer.

Asset “Warisan” Penjajah
Selain terkait dengan bisnis militer, konflik antara masyarakat dengan aparat keamanan khususnya dengan TNI juga terkait dengan asset warisan penjajah (baik Belanda maupun Jepang) yang dianggap semua tanah yang dulunya dikuasai oleh tentara Belanda dan Jepang secara langsung menjadi milik negara (TNI). Inila yang kemudian banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan TNI, karena kebanyakan tanah yang diklaim milik mereka, dulunya merupakan tanah rakyat yang direbut paksa oleh penjajah.

Kasus yang bisa merepresentasikan modus ini antara lain konflik TNI AL dengan masyarakat Alas Tlogo telah ada sejak tahun 1965. Lahan yang ditempati oleh masyarakat untuk tinggal dan berkebun diklaim sebagai asset TNI AL. demi mengusir masyarakat dari tanahnya, TNI melakukan berbagai upaya intimidasi dan puncaknya pada tahun 2007, terjadi penembakan yang menwaskan 5 orang meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka-luka. Dalam hasil investigasi yang dilakukan oleh KontraS bahwa ditemukan fakta bahwa motif pengosongan lahan bukan hanya sekedar untuk lahan pelatihan tempur semata, tetapi ditemukan adanya penyewaan lahan kepada PT. Rajawali plus pengamanan terhadap penyewa.

Selain kasus Alas Tlogo di Jawa Timur, Hal yang sama terjadi untuk kasus Rumpin antara masyarakat rumpin dengan TNI AU Atang Sandjaya, selain klaim kepemlikan lahan yang diwariskan oleh “penjajah”, ditemukan ada indikasi bisnis tambang pasir diatas lahan tersebut.

Ada juga kasus di Bojong Kemang Kabupaten Bogor, bahwa tanah yang ditempati oleh warga diklaim milik TNI AU, bahwa pada tahun 1940-1945, tanah masyarakat disewa oleh angkatan udara jepang untuk kepentingan menyembunyikan pesawat tempur mereka. Setelah Jepang mengalami kekalahan, TNI kemudian mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka yang merupakan tanah “hasil rampasan perang” atau tanah warisan penjajah.

Meskipun belakangan juga terungkap, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh militer ternyata juga terkait dengan kegandrungan tentara berbisnis, misalnya dengan menyewakan tanah-tanahnya kepada perusahaan.

Militerisme Terus Berlanjut
Dalam perjalanannya, era reformasi mendesak agar militer segera kembali ke barak dan meninggalkan bisnis-bisnisnya. Sayangnya, desakan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan. Militer dan kepolisian sampai saat ini masih menjadi anjing penjaga modal yang sangat baik. Faktanya, sampai saat ini, praktek kekerasan dan pelanggaran HAM masih kental mewarnai konflik sumber daya alam di Indonesia. Sebagian merupakan kasus-kasus lama yang tidak kunjung selesai dan semakin manifes, sebagian lagi merupakan kasus-kasus baru dengan menggunakan pola-pola dan pendekatan yang sama.

Setidaknya sejak jaman kolonial hingga saat ini, pelanggaran hak asasi manusia selalu berdampingan dengan ekspansi modal, dengan menggunakan seluruh kekuatannya termasuk kekuatan bersenjata dengan aktornya yang berubah-ubah. Misalnya, di beberapa kasus, kekerasan justru dilakukan oleh sipil seperti Polisi Kehutanan yang mengamankan konsesi tanah Perhutani, Satpol PP dan Pamswakarsa. Namun jika dilihat, sipil ini menggunakan pendekatan dan pola yang sama yakni militeristik dan tidak jauh dari induknya yakni militer dan kesemuanya dipersenjatai. Untuk kekerasan yang dilakukan oleh sipil seperti Pamswakarsa yang sering kali dibiayai oleh perusahaan, biasanya justru aparat keamanan melakukan pembiaran terhadap tindakan kekerasan tersebut.

Industry ekstraktif baik tambang maupun perkebunan sawit skala besar merupakan industry yang kotor, penuh dengan praktek kekerasan dan sarat dengan pelanggaran HAM baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, social dan budaya, khususnya bagi rakyat yang hidup di lingkar area tambang dan perkebunan besar. Di berbagai wilayah operasi pertambangan dan perkebunan, keterlibatan aparat keamanan baik TNI maupun Kepolisian dalam mengamankan korporasi sangat kental. Konflik yang sering muncul antara korporasi dan masyarakat setempat, selalu menempatkan masyarakat sebagai korban.
Disinilah kita dapat mengurai tali temali antara peran militer yang menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekerasan akan digunakan oleh negara dengan mengerahkan semua kekuatannya termasuk militer dan aparat keamanan lainnya atau aparat keamanan justru membiarkan praktek kekerasan dilakukan oleh sipil yang berupa preman-preman bayaran, pamswakarsa atau milisi-milisi ketika berhadapan dengan warga. Inilah kerja kolaboratif yang sangat baik antara pemodal dengan negara (plus aparat keamanannya) untuk melanggengkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik.


Perempuan dan Militer(isme)
Peran perempuan dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupan antara lain terlibat langsung dalam barisan massa aksi seperti ibu-ibu Sugapa memeluk pohon yang akan dirobohkan oleh PT. IIU di Porsea Sumatera Utara, ibu-ibu di Bojong Jawa Barat yang melakukan penghadangan mesin-mesin perusahaan yang akan masuk, dan bersama laki-laki melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah yang diambil oleh perusahaan seperti yang dilakukan oleh ibu Werima yang berhadapan dengan PT. INCO di Sulawesi Selatan.
Ironisnya, peran dan perjuangan perempuan bersama komunitasnya untuk mendapakan hak-hak dasarnya harus berhadapan dengan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Seorang petani kelapa sawit perempuan bernama ibu Yuniar tewas ditembak oleh satuan Brimob ketika memperjuangkan haknya atas ketidakadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit PT. Tribakti Sari Mas di Kuansing Riau baru-baru ini.

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai kasus terkait dengan konflik agraria, sumber daya alam dan perjuangan lingkungan hidup, bukanlah cerita baru. Dalam catatan WALHI, berbagai kekerasan yang dialami oleh perempuan dan komunitasnya, mulai dari kasus PT. Freeport Indonesia dimana mama Yosepha pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, kekerasan yang dialami oleh opung Risma ketika berhadapan dengan aparat kepolisian dalam kasus dengan PT. Inti Indorayon Utama atau PT. Toba Pulp Lestari, ibu Nursiha yang ditangkap oleh aparat Kepolisian ketika berhadapan dengan perusahaan sawit. Selain kekerasan yang dialaminya sendiri, banyak perempuan yang harus kehilangan suami, ayah dan anak laki-lakinya ketika berhadapan dengan aparat kamanan negara.

Sebagian besar kita sempat berpikir bahwa saat melakukan aksi ketika terjadi konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup, perempuan berada di barisan terdepan akan membuat aparat keamanan tidak melakukan tindak kekerasan. Ternyata apa yang terjadi tidaklah demikian, tanpa memandang siapa yang dihadapinya, termasuk ibu-ibu dan dihadapan anak-anak, tindak kekerasan dilakukan oleh alat negara seperti dalam kasus Indorayon ketika memblokir jalan atau kasus Rumpin yang berhadapan dengan TNI Angkatan Udara, saat ibu-ibu berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan ibu-ibu. Tanpa ada aba-aba atau peringatan, pasukan TNI AU langsung mendorong ibu-ibu hingga terjatuh, dan berujung pada penembakan terhadap massa aksi. Dalam kasus ini, selain satu orang tertembak di bagian leher, 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu di rusuk sebelah kanan.

Dalam kasus Bojong, saat melakukan sweeping dari rumah ke rumah, beberapa orang ibu dipukul oleh aparat dari Polwil dan Polres Bogor, bahkan ada ibu hamil yang didorong dan ditodongkan senjata dari belakang.

Bahkan di Ibukota, cerita kekerasan seperti banyak terjadi di pelosok-pelosok desa juga secara brutal dilakukan. Dalam kasus penggusuran pasar Barito, ibu-ibu yang melakukan aksi damai dengan membawa bunga, mesti merasakan sepatu Satpol PP. Kurang lebih 15 orang perempuan yang berada di barisan diinjak-injak, dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.

Berbagai bentuk ketidakadilan telah dialami oleh perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, akibat peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan yang disebutkan sebagai kekerasan berbasis gender dalam pengelolaan sumber daya alam. Kekerasan yang dialami akibat praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI), seterusnya melahirkan bentuk kekerasan lain yang disebabkan karena peran, posisi dan relasi gender yang dilekatkan pada perempuan. Beban ganda bagi perempuan yang kehilangan suami, ayah atau anak laki-lakinya terpaksa harus mengambil peran sebagai pencari nafkah keluarga, sementara dia masih harus mengurus peran-peran domestiknya.

Sayangnya, meskipun begitu berat resiko yang dihadapi oleh perempuan dan begitu besar peran yang telah dilakukan oleh perempuan bersama komunitasnya dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupannya. Masih sedikit perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM dalam konflik agraria, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Padahal, perempuan pembela HAM harus menghadapi berbagai ancaman dan bentuk pelanggaran. Mulai dari yang umum dihadapi antara lain pembunuhan, dan resiko kehilangan nyawa, penyiksaan, penganiayaan, pengrusakan property, kriminalisasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, intimidasi, penghancuran sumber-sumber penghidupan, pembunuhan karakter dan stigmatisasi. Selain ancaman dan pelanggaran yang akan dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, ancaman dan pelanggaran yang khusus dialami oleh perempuan antara lain perkosaan dan pelecehan seksual dan serangan pada posisi dan peran ibu, istri dan anak perempuan.

Dalam kasus penangkapan yang dialami oleh ibu Nursiha, selain hak-hak dasarnya yang dilanggar, ibu Nursiha juga terpaksa tidak menjalankan fungsi dan perannya sebagai ibu yang menyusui bayinya yang baru lahir dan tiga orang anak lainnya.
Disinilah kita dapat menilai bagaimana peran militer(isme) dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan khususnya hak asasi perempuan.

Penutup
Tidak ada yang berubah dari dulu hingga saat ini, dari jaman kolonial hingga paska reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan agrarian di Indonesia, menggunakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber daya alam dan agraria. Aktornya bisa mengalami perubahan, tapi korbannya tetap sama yakni rakyat yang seolah tak berwajah dan tak bernama. Dan perempuan menjadi korban yang mengalami renteng kekerasan berlanjut dan berlapis-lapis dari seluruh cerita yang bernama penjarahan sumber daya alam dan agraria.

Namun dari kesemuanya, yang diuntungkan dari watak pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan berwatak militeristik ini juga sama yakni segelintir orang baik pemodal, elit politik dan tentu saja alit dari aparat keamanan mulai dari TNI hingga elit di Kepolisian yang kesemuanya saling mengikatkan diri menjadi dan bertali temali dengan kepentingan masing-masing, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan politiknya.

-----------------------------------------------
Tulisan ini telah disampaikan kepada Komnas Perempuan pada tanggal 26 Jnauari 2011 dalam kerangka penulian Pemetaan keterlibatan militer (ism) dalam konflik SDA

Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Analisa Hukum Kolonial di Tanah Merdeka, Hedar Laudjeng, http://www.huma.or.id/

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Orde Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999.

Gali-Gali Jatam, Volume 3 Nomor 13, 2001

http://bhotghel.multiply.com/journal/item/19/KONFLIK_AGRARIA_DAN_BISNIS_MILITER

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/12/utama/684570.htm, dikutip dari Pelanggaran HAM; Warisan (Maut) Keterlibatan Militer dalam Bisnis, Mufti Makarim.

ibid
Siaran Pers Bersama, KONTRAS, IMPARSIAL, JATAM, MPI, WALHI, ELSAM, AMAN, ALIANSI PEREMPUAN MENGGUGAT, ICW, YAPPIKA, LSPP, YLBHI, akarta, 19 Maret 2003
http://ariantosangaji.blogspot.com/2010/08/kekerasan-poso-dan-ekspansi-modal.html
M. Islah,

Kronologi kasus Bojong dan Rumpin, WALHI.

Perempuan Pembela HAM, Komnas Perempuan

Baca selengkapnya...

ASEAN Gagal Bertanggung Jawab dalam Menghormati, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Perempuan.

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan


Pada tanggal 7-8 Mei 2011, pemimpin negara-negara ASEAN bertemu ASEAN Summit ke-18 di Jakarta, Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 3-5 Mei 2011, lebih dari 1300 delegasi masyarakat sipil dari 10 negara Asia Tenggara terlibat di dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People Forum 2011 di Jakarta. ACSC/APF adalah ruang untuk memperdebatkan dan mengkritisi berbagai kebijakan ekonomi politik ASEAN yang bertumpu pada pasar, mengabaikan prinsip hak asasi yang berdampak langsung pada hidup dan kehidupan buruh migran perempuan, nelayan, petani perempuan, perempuan adat dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.

Secara spesifik, berbagai elemen gerakan perempuan di Asia Tenggara, termasuk Solidaritas Perempuan dari 10 daerah di Indonesia – terlibat aktif dalam mengkritisi berbagai kebijakan ASEAN. Kritik Solidaritas Perempuan (SP) berbasiskan pada pengalaman-pengalaman perempuan akar rumput yang mengalami ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat peran gender sebagai perempuan, warga negara, buruh migran perempuan, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan dalam konflik bersenjata dan konflik sumber daya alam, perempuan yang hidup di dalam hukum syariah, serta kelompok perempuan lainnya yang mengalami penindasan akibat identitas politik, seksualitas dan kepercayaan tertentu.


Solidaritas Perempuan menilai negara-negara ASEAN telah gagal dalam memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan Asia Tenggara dan Indonesia, pada khususnya. Kegagalan tersebut tercermin dalam beberapa pandangan Solidaritas Perempuan di bawah ini.


Regionalisasi Politik Ekonomi Pro-Pasar

Negara-negara ASEAN secara terbuka melayani kepentingan politik ekonomi global yang ditunjukkan dalam Pilar Ekonomi, Pilar Sosial dan Budaya, serta Pilar Politik dan Keamanan ASEAN. ASEAN telah gagal melindungi hak-hak perempuan dari berbagai kebijakan yang mendukung eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam dan liberalisasi perdagangan.


ASEAN Economic Community Blueprint (AEC) secara jelas berorientasi pada pasar global dan meminggirkan perempuan adat, perempuan pedesaan dan kelompok minoritas. Praktik-praktik perdagangan bebas yang mematikan produksi dan konsumsi lokal terus menguatkan peran Asia Tenggara sebagai produsen dan konsumen pasar global, yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas lahan, pangan, pekerjaan, dan lingkungan hidupnya. Perempuan kehilangan lahannya, tidak berdaulat atas pangannya, dan dipaksa bermigrasi dalam upaya mempertahankan kehidupan diri dan keluarganya. Bahkan, ketika bermigrasi, perempuan masih juga tidak mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya sebagai manusia, warga negara, perempuan dan pekerja, termasuk dalam hal kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS.


Konsistensi ASEAN mendorong kebijakan neoliberal secara terbuka terlihat dalam politik perdangangan bebas melalui FTA dengan melupakan prinsip pelibatan masyarakat, dan upaya memenuhi keadilan sosial-ekonomi rakyat, termasuk perempuan. Liberalisasi perdagangan melalui FTA secara nyata melanggar hak-hak perempuan dalam mengelola sumber-sumber produksi pangan mereka, dan bertentangan dengan upaya rakyat dalam merebut kembali hak-haknya dalam mengelola sumber-sumber produksi yang selama ini diabaikan oleh pemerintah.


Proyek-proyek sumber daya alam, khususnya terkait energi, mineral, migas, kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pengelolaan sumber daya air yang dirancang oleh ASEAN justru semakin memiskinkan perempuan dengan hilangnya lahan-lahan penghidupan, hilangnya akses atas air bersih, kerusakan lingkungan, dan akibatnya terhadap kesehatan. Bahkan, berpotensi mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim.


Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, ASEAN tidak juga mempunyai posisi politik yang kuat di dalam negosiasi perubahan iklim untuk mendesakkan negara-negara industri bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran HAM. ASEAN justru terjebak di dalam skenario perubahan iklim yang dirancang oleh negara-negara industri dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (WB/ADB) untuk terus menguatkan perekonomian mereka dan menyerahkan tanggung jawab merespon dampak perubahan iklim lebih kepada negara-negara berkembang melalui proyek-proyek iklim. Pendanaan iklim yang seharusnya merupakan tanggung jawab dari negara-negara industri sebagai pihak yang paling berperan dalam mengeluarkan emisi gas rumah kaca tidak dikelola untuk kepentingan negara-negara berkembang. Bahkan, negara berkembang dijadikan arena perdagangan, investasi dan jebakan hutang iklim melalui model Green Economy yang diskenariokan Amerika Serikat dan Uni Eropa.



Lemahnya Akses Keterlibatan Masyarakat Sipil dalam Proses ASEAN

Masyarakat sipil telah diakui keberadaannya di dalam Piagam ASEAN. Bahkan, jargon pemerintah negara-negara ASEAN mengatakan bahwa kebijakan dan mekanisme ASEAN berpusat pada rakyat. Tapi pada kenyataannya, rakyat dijadikan sasaran pasar untuk kepentingan perdangangan. Yang menyedihkan, tidak ada keterlibatan rakyat yang penuh dan berarti dalam seluruh proses ASEAN.

Tidak ada suatu mekanisme yang jelas untuk pelibatan masyarakat sipil di dalam proses pengambilan keputusan di tingkat ASEAN. Proses konsolidasi masyarakat sipil belum juga menjadi bagian dari proses ASEAN. Negara-negara Anggota ASEAN tidak pernah secara serius menindaklanjuti hasil-hasil dari ACSC/APF sebelumnya. Hingga kini, hak-hak petani, nelayan, dan buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara terus dilanggar dan tidak ada jaminan perlindungan yang dapat memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. Perempuan terus menjadi pihak yang termarjinalisasi serta mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, masyarkat sipil tidak akan pernah berhenti mempertanyakan prinsip ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat.


Desakan Solidaritas Perempuan
Atas dasar situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak agar:

KTT ASEAN 2011, sebagai proses pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN, menghasilkan mekanisme partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, khususnya perempuan.
ASEAN merevisi ASEAN Economic Community Blueprint menjadi model pembangunan komunitas ekonomi ASEAN yang berpusat pada kepentingan rakyat ASEAN.
ASEAN memastikan dan menjamin implementasi dari reforma agraria yang berkeadilan jender, mencakup pengelolaan sumber-sumber produksi pangan serta perdagangan yang adil dan berpihak pada kepentingan perempuan.

4. ASEAN membangun instrumen tentang perubahan iklim yang berperspektif keadilan iklim dan keadilan jender, serta memastikan adanya standar perlindungan hak-hak perempuan dalam pendanaan, kebijakan dan proyek-proyek iklim

5. ASEAN mendesak negara-negara industri untuk memenuhi tanggung jawabnya menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis serta menyediakan dukungan teknologi dan pendanaan bagi negara berkembang dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif, sensitif, dan responsif jender.

6. Negara-negara anggota ASEAN segera meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, serta menghapuskan kebijakan pemutusan kontrak dan deportasi atas dasar kehamilan dan penyakit menular, khususnya HIV/AIDS, dan menyediakan jaminan perlindungan sosial termasuk ketentuan untuk pelayanan kesehatan dan asuransi medis, serta mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi buruh migran dan anggota keluarganya.

7. ASEAN segera melahirkan Instrumen ASEAN tentang Promosi dan Perlindungan hak-hak buruh migran pada tahun 2011 sebagai instrumen yang mengikat secara hukum, mencakup perlindungan bagi seluruh buruh migran dan anggota keluarganya tanpa memperhatikan status hukum mereka, mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, diskriminasi dan segala bentuk stigmatisasi terhadap buruh migran perempuan dan anggota keluarganya, serta harus sentisitif jender di dalam proses dan praktik migrasi, termasuk mengimplementasikan rekomendasi umum No. 26 dari CEDAW tentang pengakuan atas buruh migran perempuan.

8. ASEAN membangun instrumen untuk melindungi keragaman masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berkeyakinan dan keragaman budaya, serta perlindungan hak otonomi tubuh dan seksualitas perempuan.



Jakarta, 5 Mei 2011



Risma Umar

Ketua Badan Eksekutif Nasional

Solidaritas Perempuan




Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan

Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh

Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan

Solidaritas Perempuan Kinasih Jogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta

Solidaritas Perempuan Kayangan Api Bojonegoro, Jawa Timur

Solidaritas Perempuan Jabodetabek, DKI Jakarta

Solidaritas Perempuan Mataram, Nusa Tenggara Barat

Solidaritas Perempuan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar, Sulawesi Selatan

Solidaritas Perempuan Kendari, Sulawesi Tenggara

Solidaritas Perempuan Palu, Sulawesi Tengah

Baca selengkapnya...