Top Ten "Lagu" Pemerintahan SBY - JK

Oleh Khalisah Khalid

Menjelang pemilu 2009, berlomba-lomba partai-partai politik terutama partai politik yang telah berkuasa mengkampanyekan dirinya sebagai partai yang telah berhasil membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin di segala bidang, mulai dari isu penurunan harga BBM sampai isu pendidikan yang dinilai telah berhasil, sembari memasang angka target capaian sebagai indikator dari keberhasilan pemerintahan saat ini.

Namun sebuah tayangan di Metro TV membuat tercengang, yang menampilkan sejumlah kebijakan pemerintahan SBY -- JK yang dinilai "menyebalkan" oleh rakyat. Cukup mencengangkan, karena justru kebijakan-kebijakan inilah yang diklaim sebagai sebuah keberhasilan bagi pemerintah saat ini. Berikut ini top ten tangga "lagu" yang dikeluarkan selama satu periode kepengurusan rezim SBY -- JK, yang bernada sumbang bagi rakyat miskin di desa dan kota.

Selengkapnya:
http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Buletin%20SADAR/SADAR%20190%20tahun%20V%202009.html

Baca selengkapnya...

Sya IV

Sejarah, akan dibuat oleh siapa yang sedang dan atau ingin berkuasa di belahan bumi manapun. tapi jangan pernah ingin melupakan sejarah, meskipun ada yang kelam disana. dan aku kembali mengingat-ingat apa yang kau ucapkan padaku Jingga, disaat alunan maghrib menyapa kita dalam sebuah geliat asa, yang mengintip malu-malu sambil sesekali tangannya mengusap wajahku. "ibu sudah memaafkan, namun tidak untuk dilupakan, karena kebenaran akan sejarah tidak boleh dihapus dan dihilangkan dalam memori otak dan hati anak bangsa".

ya... tentu aku ingat kata-katamu dan sambil menembus malam aku menelusuri jalan ini yang dirangkai dari berbagai peristiwa.

"selamat ulang tahun Sya", aku mengetik surat elektronik ini padamu. entahlah, mengapa aku sangat suka dengan kata-kata ini, seperti air yang masuk menggenangi tenggorokanku yang kering dikelabui waktu. mungkin juga itu yang dirasakan oleh putrimu yang cantik Jingga, setiap kali hari kelahirannya diketuk pada pukul 00.00 waktu indonesia bagian timur, meskipun jauh suara lembut yang menuliskan kebenaran didalam sel itu berbisik lirih "selamat ulang tahun sayang", dan esoknya bungkusan kado itu terus menerus menemuinya setiap tahun, sambil tak lupa dengan sapaan hangatnya diujung telpon. sampai satu masa memaksamu tunduk pada titik sejarah baru dalam hidupmu, untuk memahami bahwa begitu mahal kebenaran itu dirampas oleh kelompok yang menjadi hakim untuk menilai bahwa merekalah yang paling benar.

ya... akhirnya putrimu tahu juga Jingga, saat pelajaran sekolahnya sudah mengajarkan bagaimana kewajiban negara melindungi rakyatnya, justru disaat itu dia tahu ayahnya tak mungkin lagi akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya, kebenaran telah dikebumikan, kebenaran telah dirampas.disini, ditanah ini yang jaraknya setengah dari putaran bola dunia. di kamarku, nomor satu yang paling luas dibandingkan dengan kamar-kamar lainnya di asrama kampusku.

mataku terbuka, saat waktu sudah menarikku pada rutinitas anak sekolahan yang dibayari pemerintah Belanda. hari ini cuaca lebih dingin dari biasanya, mungkin sekitar 12 derajat celcius. jaket tebalku memenjaraku begitu kuat, dan hari ini aku berjanji ketemu dengan mentorku yang sering mengkritik tulisanku yang dianggap tidak memenuhi standar ejaan yang disempurnakan.

lucu ya Sya, rasanya aku yang dari kecil diajarkan pelajaran bahasa Indonesia. "Ini Budi, ini Bapak Budi". Bapak Budi pergi ke kantor, ibu Budi memasak di dapur". aiiih, mungkin karena pelajaran ini tidak berubah mengikuti dinamika jaman, hingga aku malas mengikuti pelajaran ini. nah, kalau karena ini ejaan EYD ku tidak bagus, aku tidak akan protes ke mentorku yang lebih mengenal sejarah Indonesia yang penuh manipulasi, dari pada aku yang dilahirkan di bumi Batavia.

sungguh Sya, Jingga sudah mengenalkanku pada banyak sejarah yang dimanipulasi. bukan dengan dokumen berlembar-lembar buku sejarah atau tontonan wajib di televisi. dia mengenalkan sejarah, dari pengalaman hidupnya sebagai perempuan dengan penuturan yang tidak pernah mau diungkap oleh sejarah, apalagi untuk meminta maaf. tidak seperti dirimu, maafku begitu luas bagai samudera.

Baca selengkapnya...

Pemilu 2009, Mengukuhkan Jalan Rente Ekonomi dan Kekuasaan Politik Modal

Tahun 2009, menjadi sebuah pertarungan baru bagi elit oligarki politik untuk semakin kreatif. Sayangnya, kreatifitas tersebut bukan bertujuan untuk kebaikan bagi rakyat dan lingkungan, tetapi justru kreatifitas yang menghancurkan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat.

Pemilu langsung 2009 sebagai salah satu bentuk demokrasi prosedural, memang bisa terwujud. Demokrasi melalui pemilu dapat menjadi pintu besar untuk memasuki ruang-ruang kuasa, bukan hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum (electoral democracy), tidak lebih hanya sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara.

Kekuatan korporatokrasi telah mampu mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres. Caranya melalui dukungan finansial pada kandidat-kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal. Harapan pembaruan terhadap Pemilu 2009 masih berupa mimpi, kenyataannya proses yang akan terjadi masih hampir sama dengan Pemilu 2004.

Sarekat Hijau Indonesia memandang bahwa secara substansi pemilu 2009 masih belum beranjak maju untuk mencapai sebuah cita-cita besar bagi perwujudan demokrasi kerakyatan, keadilan sosial, kedaulatan dan kemandirian ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Ini dapat dicermati dari diabaikannya agenda "hijau" sebagai sebuah agenda utama dalam kebijakan partai-partai politik baik dalam visi misinya, platform maupun program partai. Agenda hijau tentu bukan hanya melihat lingkungan hidup sebagai sebuah wacana, melainkan juga sebagai sebuah ideologi yang menjadi arah gerak dari sebuah perubahan yang mendasar atas tatanan ekonomi Indonesia dan global yang kental bercorak kapitalistik.

Karenanya, Sarekat Hijau Indonesia mendorong untuk membangun kekuatan politik alternatif rakyat, tugas utamanya adalah mendesakkan diadopsi agenda-agenda rakyat untuk melawan bercokolnya kekuatan-kekuatan imperialis dan feodal di dalam tubuh kekuasaan. Serta meletakkan landasan bagi model ekonomi-politik pada tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi sumber-sumber kehidupan bukan hanya dalam level negara, melainkan harus mampu diturunkan oleh kekuatan komunitas lokal yang berorientasi kepada kemandirian ekonomi, keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Sarekat Hijau Indonesia juga meyakini bahwa demokrasi politik yang diterjemahkan dalam kotak suara pemilu tidak membawa manfaat bagi rakyat, jika tidak diikuti dengan ekonomi kerakyatan yakni dengan menyerahkan alat-alat produksi ke tangan rakyat sebagaimana yang dimandatkan dalam konstitusi negara.

kunjungi: www.sarekathijauindonesia.org

Baca selengkapnya...

Rokok Haram, Freeport Bagaimana?

Oleh : Khalisah Khalid, Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia.

JUDUL di atas tiba-tiba menggelitik saya, ketika melihat siaran di sebuah stasiun televisi (3 Desember 2008) di mana Menteri Perindustrian menjadi salah satu pembicaranya. Isu yang dibahas seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haram merokok dan dampak ikutannya. Saya tidak hendak ikut-ikutan setuju atau tidak dengan fatwa MUI, tetapi saya mencoba melihat sisi lain yang mungkin luput dari pandangan kita.

Saya tertegun atas pernyataan atau tepatnya hitung-hitungan Menteri Perindustrian tentang kisaran angka yang diperoleh negara dari cukai rokok, yakni Rp 53 triliun. Angka yang cukup besar untuk menambah pundi-pundi negara. Karena itulah fatwa MUI itu kemudian tampaknya menempatkan pemerintah seperti berada di simpang jalan: setuju dengan alasan melindungi warga negara dari kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak; tidak setuju karena nasib sekitar 10 juta orang bergantung pada industri bernama “Tuhan sembilan senti”, seperti diistilahkan Taufik Ismail, baik yang bersentuhan langsung di pabrik maupun orang-orang yang tidak secara langsung bergelut dengan mesin pabrik.


Bukan Rp 53 triliun itu yang membuat saya tertegun, melainkan hitungan berikutnya. Jika angka tersebut dibandingkan dengan royalti yang didapatkan dari perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia, yang lagi-lagi mengutip pernyataan Bapak Menteri itu, angka royaltinya paling tinggi mencapai Rp 20 triliun. Itu pun sudah mendapatkan bonus dengan menyandang sebagai perusahaan pembayar royalti terbaik dari majalah tambang pada tahun 2008. Artinya, segitulah pundi-pundi kas negara yang masuk dari perusahaan emas yang sudah tiga dasawarsa menguras isi perut Papua, meskipun tidak pernah dihitung ongkos lain yang ditimbulkan akibat praktik industri pertambangan baik berupa kerusakan lingkungan maupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang semuanya difasilitasi dengan baik oleh negara.

Dalam logika saya yang paling sederhana muncul pikiran, jika begitu angkanya, seharusnya pengurus negara ini berpikir ulang untuk menempatkan industri ekstraktif sebagai sumber pendapatan ekonomi bangsa. Pun sudah ditempatkan sebagai basis pertumbuhan ekonomi, toh keuntungannya jauh lebih besar dari industri rokok yang sekarang difatwakan haram. Namun lagi-lagi saya juga tidak hendak hitung-menghitung angka keuntungan baik yang bersumber dari cukai rokok maupun dari royalti PT Freeport Indonesia.

Yang menarik bagi saya untuk dipertanyakan lebih jauh adalah ketika pengharaman rokok dihubungkan dengan sebuah nilai kemaslahatan dan kemudaratan. Ditafsirkan bahwa merokok lebih banyak mudaratnya, khususnya bagi warga negara tertentu, dibandingkan dengan maslahatnya, sehingga demi kesehatan masyarakat maka MUI mengeluarkan fatwa haram tersebut. Nah, saya juga ingin menariknya pada satu kondisi dari nilai yang sama yang dijadikan sebagai alat tafsir, yakni maslahat dan mudarat dalam industri ekstraktif seperti tambang emas yang antara lain dikerjakan oleh PT Freeport. Jika dinilai, sungguh kemudaratannya jauh lebih besar ketimbang kemaslahatannya bagi umat manusia. Kemaslahatan (itu pun jika ada) yang paling mungkin dirasakan oleh segelintir elite baik pusat maupun lokal, tapi kemudaratannya paling tidak dicatat oleh organisasi yang concern bekerja untuk isu lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang, di mana PT Freeport Indonesia yang konon memberikan kontribusi pendapatan negara, sesungguhnya lebih banyak mudaratnya bagi rakyat dan lingkungan. Angka tertinggi Rp 20 triliun royaltinya harus dibayar dengan harga yang juga sangat tinggi oleh rakyat akibat hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan rusaknya lingkungan hidup yang tidak terpulihkan.

Jika Taufik Ismail yang menyebut Indonesia sebagai surga luar biasa ramah bagi para perokok, negeri ini juga menjadi surga bagi industri tambang. Datang, gali, dan pergi, semuanya difasilitasi negara. Jasa keamanannya, undang-undangnya, bahkan berkali-kali dengan iklan-iklannya. Apa itu bukan surga?

Saya menilai fatwa pengharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia menjadi satire didengar. Sebab, sebelum-sebelumnya lembaga ini hampir absen mengeluarkan fatwa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jika merokok haram bagi kelompok tertentu seperti perempuan dan anak-anak demi kemaslahatan, mengapa MUI tidak sekalian saja mengeluarkan fatwa haram terhadap perusahaan industri tambang seperti PT Freeport, untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap limbah industri tambang?

Artikel ini juga dimuat di www.vhrmedia.com

Baca selengkapnya...