Perempuan dan Jejak Perubahan Iklim

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03145931/perempuan.dan.jejak.perubahan.iklim

Perempuan dan Jejak Perubahan Iklim

Kamis, 17 Desember 2009 | 03:14 WIB

Oleh Khalisah Khalid

Dalam studi lapangan di Desa Ilir, Indramayu, Jawa Barat, terungkap, sebagai buruh tani, Ibu Wati hanya bisa membawa pulang upah Rp 700.000 dalam 25 hari kerja saat masa panen dari pemilik lahan. Beberapa tahun belakangan, masa panen hanya bisa dinikmati satu tahun sekali dari semula dua kali akibat banjir dan kekeringan yang datang bergantian. Padahal, itulah penghasilan yang bisa didapat karena pendapatan suami sebagai nelayan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Kisah perempuan ini sekaligus memaparkan fakta perubahan iklim bukanlah proses yang netral jender. Meski perubahan iklim dirasakan semua orang, pengaruhnya bisa berbeda pada laki-laki dan perempuan karena perbedaan pengalaman yang dikonstruksikan kepada keduanya

Perubahan

Karena itu, perubahan iklim kemudian melahirkan bentuk ketidakadilan lain kepada perempuan, selain warisan bentuk ketidakadilan dari model pembangunan yang melakukan pendekatan patriarkhis. Salah satunya berupa beban ganda akibat dampak perubahan iklim. Pada 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan 40 miliar jam waktu dihabiskan perempuan di seluruh dunia untuk mencari air.

Bentuk ketidakadilan lain adalah pengabaian semua pengalaman pribadi, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas dan pengetahuan perempuan tentang relasi tubuhnya dengan kekayaan alam, baik individu maupun kolektif, yang dipengaruhi kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup yang membuat perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi dalam mengelola kekayaan alamnya. Revolusi Hijau menjadi satu bukti pembangunan dunia berwajah patriarkhal, menjauhkan akses dan kontrol perempuan terhadap tanah dan alamnya.

Negosiasi

Putaran negosiasi perubahan iklim terus berjalan dengan alot dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Desember. Delegasi Indonesia dalam pertemuan climate hearing menyatakan pesimistis proses negosiasi bisa menguntungkan Indonesia di tengah negara industri, khususnya Amerika Serikat, yang terus bersiasat menghindar dari tanggung jawab dan pembahasan soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang luar negeri, termasuk mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Pertanyaannya, bagaimana perundingan perubahan iklim jika ditarik pada entitas makhluk bumi bernama perempuan? Putaran negosiasi dalam COP-15 iklim lebih banyak berdebat soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang daripada membahas bagaimana seluruh makhluk bumi harus diselamatkan dari dampak perubahan iklim.

Perundingan tersebut jauh dari pembahasan mengenai kebutuhan spesifik perempuan. Tidak heran jika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tidak melihat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai institusi negara yang penting untuk dilibatkan dalam upaya penanganan perubahan iklim. Akibatnya, hampir seluruh perumusan peta jalan perubahan iklim tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya, proses yang dibangun jauh dari kebutuhan spesifik perempuan dan tidak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai obyek kebijakan.

Dalam sarasehan perubahan iklim yang dilaksanakan Civil Society Forum untuk keadilan iklim terungkap bahwa di banyak tempat, seperti di Nusa Tenggara Timur, perempuanlah yang lebih mengetahui kebutuhan pangan atau konsumsi keluarganya karena perannya sebagai pengelola bibit dan benih.

Maria Hartiningsih dalam Fokus, ”Jejak Samar Chico Mendes” (Kompas, 20 November 2009), menuliskan, pasar karbon tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati hutan. Bahkan, pasar karbon juga tidak menyentuh nilai jejak pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam hutannya. Pasar karbon menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan hutannya, antara lain dengan mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.

Kontrol

Selain akses dan kontrol yang dihilangkan, pasar juga tidak menghitung nilai kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aktivitas ritual keseharian perempuan dan beragam bentuk solidaritas antarperempuan. Sesederhana apa pun, ritual dan solidaritas itu merupakan bagian dari kelembagaan perempuan, bagian dari cara bertahan hidup di tengah krisis.

Karena itu, menjadi sangat relevan jika perempuan aktivis dunia menyerukan menolak mekanisme REDD sebagai jalan penanganan perubahan iklim karena REDD sangat jauh dari pemenuhan keadilan bagi perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya.

Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia; Gender Working Group Friends of the Earth International

Baca selengkapnya...

Kemunduran Perspektif Gender COP 15 UNFCCC

Media Rilis CSF, 15 Desember 2009

Kabarnya, salah satu mandat delegasi Indonesia adalah memperjuangkan subtansi Bali Action Plan yang dilahirkan COP 13, dimana Indonesia menjadi penyelenggaranya, sekaligus menjabat Presiden COP 13. Sayangnya, delegasi Indonesia tak konsisten, terbukti pelan tapi pasti gender tak lagi menjadi bagian yang muncul dalam teks shared vision AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long Term Cooperative Agreements).

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan, bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang berbeda pada tiap level masyarakat, bergantung wilayah tertentu, generasi, umur, kelas, tingkat pendapatan, pekerjaan, dan gender. Pada masyarakat yang secara dominan masih hidup dengan nilai-nilai patriarki, maka dampak perubahan iklim dengan sendirinya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hidup perempuan, ketimbang laki-laki.

Bagaimanapun, meski perempuan seringkali dianggap sebagai korban, tapi sesungguhnya peran mereka signifikan sebagai agen perubahan dan pengetahuan kehidupan sahari-hari merupakan jawaban menghadapi dampak perubahan iklim. Perempuan adat memiliki pengetahuan tentang hubungan paling baik dengan alam. Mereka paham pentingnya hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, dan sebagai gantinya, mereka menjaga alam agar dapat terus menyokong kehidupan keluarga mereka. Naluri untuk senantiasa menjaga kehidupan merupakan spirit yang feminine. Tak heran, jika kita selalu menyebut Ibu Pertiwi, atau Mother Nature. Inilah kebijaksanaan yang dimiliki oleh perempuan timur, terutama Indonesia. Pengetahuan ini adalah satu dari beberapa gelintir solusi nyata perubahan iklim yang dapat menyelamatkan generasi kita.

Bali Action Plan yang muncul pada COP 13 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dan social dan penghapusan kemiskinan adalah prioritas global, dan menekankan bahwa sebuah visi bersama (shared vision) mesti memperhatikan “kondisi social dan ekonomi atau factor relevan lainnya;”[iii] Gender equality— including equal participation of women and men as well as accounting for the differentiated impacts on women and men from climate change and its response measures— should be included in UNFCCC agreements in alignment with various international agreements including but not limited to the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), the Beijing Platform for Action, and ECOSOC Resolution.

Komite CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) merekomendasikan perlunya segera melakukan upaya pencegahan resiko perubahan iklim dan bencana yang peka gender, sensitif terhadap sistem pengetahuan adat dan menghormati Hak Asasi Manusia. Hak perempuan untuk berpartisipasi pada semua tingkat pengambilan keputusan terkait perubahan iklim dan programnya, harus dijamin. Data yang terpisah berdasar jenis kelamin dan panduan program untuk membantu pemerintah merupakan salah satu yang penting untuk melindungi hak-hak perempuan. Kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, akan meningkatkan kemampuan Negara mengurangi dampak bencana, serta mitigasi adaptasi perubahan iklim.

Celakanya, negara-negara industri yang kerap disebut negara maju, ternyata terbelakang dalam prespektif gender. Australia menyatakan menolak shared vision pada sidang hari pertama AWG LCA, 7 Desember 2009 . Alasan mereka, upaya-upaya nyata yang berprespektif gender lebih baik dilakukan langsung ke dalam teks, misalnya tentang mitigasi dan adaptasi. Padahal, yang dibutuhkan memasukkan persektif gender sebagai prinsip konvensi, sehingga di dalam teks manapun kemudian prinsip ini dapat menjadi panduan. Selain Australia, negara lain yang menunjukkan resistensinya terhadap teks shared vision adalah Amerika Serikat dan Canada.

Sementara delegasi RI sendiri belum menunjukkan posisinya terhadap pentingnya shared vision sebagai teks bersama yang memuat prinsip-prinsip dasar dokumen LCA. Posisi ini sebetulnya membahayakan Indonesia, sebab shared vision akan memuat prinsip nyata ke depan, yang harapannya dapat menjamin nilai-nilai keadilan yang disepakati bersama. Shared vision adalah dokumen yang paling mungkin disepakati bersama diantara kesepakatan LCA lainnya.

Dengan adanya kesadaran bahwa percepatan perubahan iklim yang terjadi selama ini diakibatkan pembangunan yang tidak sensitif gender, maka Solidaritas Perempuan, CSF bersama Gender Climate Caucus mendesak pemerintah Indonesia mengusung klausul yang peka gender terkait dampak perubahan iklim pada Shared Vision AWG-LCA.

Usulan tersebut meliputi paragraph 7 dan 16.

Paragraph 7 (bis)

Recalling the international commitments to gender equality and participation, the full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Paragraph 16:

The full integration of gender perspectives is essential to effective action on all aspects of climate change, including adaptation, mitigation, technology sharing, financing, and capacity building. The advancement of women, their leadership and meaningful participation, and their engagement as equal stakeholders in all climate related processes and implementation must be guaranteed.

Shared vision atau visi bersama atas prinsip-prinsip dalam menghadapi perubahan iklim sifatnya mendesak, baik di tingkat internasional hingga nasional. Linda Gumelar, Menteri pemberdayaan perempuan Indonesia yang baru beberapa bulan menjabat, mestinya cepat tanggap dengan shared vision terkait perubahan iklim.

Apalagi, delegasi Indonesia yang dikirim ke COP 15 UNFCCC diragukan memiliki prespektif gender. “memangnya perempuan itu penting ya terlibat dalam perubahan iklim?, tanggap salah satu delegasi RI yang ditanyakan mengapa Dewan Nasional Perubahan Iklim tidak melibatkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan ().

Baca selengkapnya...

Arsitektur Cahaya dan Warna, Pada Embun, Pada Bunga

derit roda-roda besi kereta naga
mengerek malam makin dalam

ibu-ibu bakul
ingin rasanya mencium, memelukmun hingga tumpas
merasakan jiwa dan desah nafas
ibu-ibu pekerja tak hilang asa
bunga kebak wangi yang semestinya dipetik dan disunting jadi lagu
Indonesia Raya


kado untukmu IBU-IBU BAKUL KERETA NAGA

juga untuk kaum ibu dalam sajak Hartojo Andangdjaja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

juga untuk keteguhan Prita Mulyasari

lihat di www.lenteradiatasbukit.blogspot.com

Baca selengkapnya...